Sabtu 20/10/07 malam, guru saya Romo Dion DBP menelepon dari Kupanng. Beliau minta komentar saya yang akan disertakan timnya ke dalam buku 15 Tahun Pos Kupang. Aduh! Saya memang pernah di Kupang (1995/1996), berguru kepada Romo Dion dan Pater Damyan Godho, namun untuk berkemontar tentang Pos Kupang tentulah saya bukan maqom-nya. Saya tak pernah memberikan apa-apa kepada Pos Kupang, kecuali menyerap ilmu yang dengan murah hati mereka tebar dan semai di sanubari saya. Selain ilmu, saya juga memperoleh banyak kenangan. Misalnya, kisah di bawah ini:
“PASANGAN” itu selalu datang bersama-sama, setidaknya dua kali dalam sepekan. Keduanya sama-sama tampak tua meski umurnya mungkin masih paro baya, antara 40-50-an. Keduanya selalu berjalan sejajar –jarang sekali beriringan– menyusuri jalan kecil agak menanjak di depan kantor kami, menuju pasar di pusat kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Biasanya mereka muncul antara pukul 07.00 sampai pukul 09.00 dan selalu kembali melintas untuk pulang pada lepas tengah hari ketika matahari memanggang demikian teriknya, membuat isi kepala seperti mendidih.
Beberapa kali saya berpapasan dengan “pasangan” ini, atau melihatnya dari balik kaca pintu. Menurut teman saya, Dion, Mereka dari dusun, di hutan sana. Datang untuk jualan hasil bumi, dan uangnya mereka belikan beras serta sepotong-dua lauk pauk dan kebutuhan lain, kata teman saya sekantor.
Yang luar biasa di mata saya adalah, setiap pulang dari pa¬sar itu keduanya selalu berjalan sempoyongan. Kaki mereka seperti kehilangan belulang. Goyah.
Keduanya pasti berjalan terseok-seok ke kiri dan ke kanan. Sesekali, sambil berjalan dua orang ini saling bertumpu pundak, baku sangga. Yang satu miring ke kiri, pundaknya bertumpu pada rekannya yang doyong ke kanan. Kali lain, keduanya ambruk, menggelosor begitu saja di emperan kantor kami. Lalu mendengkur.
“Wah, drunken master baru pi tidur…!” kata satpam di kantor kami sambil terkekeh. Ia tak bisa berbuat banyak untuk menghalau dua lelaki yang hanya “bercelana” lilitan kain tenun ikat –tanpa kolor– itu. Sekitar satu atau dua jam kemudian, barulah ia bisa membangunkan pasangan pendekar mabuk ini dan dengan mudah menyuruhnya pergi.
Dari rekan-rekan sekantor, saya dapat gambaran bahwa kedua lelaki paro baya itu warga kampung yang cukup jauh dari kota. Mereka pergi dini hari membawa ha¬sil bumi dan hasil hutan untuk dijual di pasar.
Dengan uang yang diperolehnya dari ‘bisnis’ itu mereka belanja kebutuhan sehari-hari, dan pasti membeli sopi di warung pasar. Minuman keras dari fermentasi air lontar itulah yang membikin mereka sempoyongan. Minuman yang diproduksi secara tradisional itu memang relatif murah, bahkan dibanding bir.
Sukar dibayangkan, bagaimana rasanya menggelontori perut dengan bergelas-gelas minuman berkadar alkohol sampai lebih dari 45 persen itu di bawah udara terik sengangar, di atas lahan kering karang berdebu yang jadi ciri khas kota di ujung barat Pulau Timor itu.
Absurd, memang. “Sudah miskin, cari uang susah, eh setelah dapat dipakai mabuk. Bagi kita, mungkin aneh. Tapi hanya itulah cara yang mereka tahu untuk berusaha melarikan diri dari tekanan hidup sehari-hari,” kata seorang rekan.
Minuman keras memang nyaris jadi minuman sehari-hari –selain air– bagi sebagian penduduk di daerah itu. Di samping secara tradisional sudah merupakan kebiasaan turun temurun, juga karena relatif murahnya harga minuman yang kadar alkoholnya bisa menyambar api geretan itu. Kalau pun tak punya duit, orang toh bisa mengolah sendiri melalui proses yang tak terlalu rumit.
Boleh jadi, dengan mabuk, lantas tertidur, mereka melupakan sejenak kesulitan hidupnya. Tapi kebiasaan itu juga menyeret dampak buruk lain, yakni tingginya angka kriminalitas. Kalau orang itu mabuk untuk diri sendiri, dan langsung mendengkur begitu teler, tak jadi soal.
Yang repot dalah para drunken tanggung yang gentayangan lalu ngoceh sana-sini dan tindakannya kurang terkontrol. “Kacau sudah, bisa-bisa perang antarkampung, gara-gara orang mabuk berantem,” ujar rekan saya.
Nah, di kota tempat saya tinggal saat ini pun, mulai banyak drunken “tanggung” master gentayangan di jalanan, terutama di simpang-simpang jalan tengah kota yang ramai kendaraan. Apalagi di malam liburan, seperti malam tahun baru misalnya. Bahkan di malam lebaran, di sela-sela orang berpawai menabuh bedug.
Mereka gentayangan dengan langkah goyah, mendekati mobil-mobil yang terhenti oleh lampu merah. Kadang sambil membawa ecek-ecek dari tutup botol yang dirangkai, atau sekadar bermodalkan tepuk tangan. Maksudnya mungkin mengamen. Para pengemudi biasanya ngeri berhadapan dengan teror macam itu, sehingga dengan terpaksa menyodorkan sekeping dua keping uang.
Boleh jadi, mereka sengaja mabuk –atau setidaknya tampil seperti sedang mabuk– karena tak cukup punya keberanian untuk menekan orang lain itu dalam keadaan sadar, sehingga perlu menyetengahsadardirikan. Yang jelas, para pengemudi mobil apalagi kaum perempuan, akan dengan mudah merasa diteror. Dan, keping-keping uang logam pun menggelinding dari balik jendela mobil.
Begitulah. Jika drunken master yang saya temukan di Kupang itu cari uang untuk mabuk agar melupakan kenyataan betapa sulitnya cari uang, maka di kota tempat tinggal saya saat ini para anak muda itu justru mabuk (setengah mabuk, ‘kali) dahulu, untuk mencari uang. Dua hal yang tampaknya bertolak belakang.
Mana yang lebih terhormat? Entahlah, sebab kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, kita juga bisa dengan mudah menemukan drunken master yang lain.
Orang-orang ini tidak berasal dari kalangan miskin seperti di Kupang atau para pemuda sempoyongan di jalanan kota, melainkan dari kalangan yang secara intelektual, sosial, dan ekonomi relatif lebih ‘tinggi’ sehingga minuman keras yang dikonsumsinya pun boleh dikata “berkelas”.
Minuman jenis ini tentu harus dibeli dengan bergepok-gepok uang yang sekali duduk minum bisa menghanguskan senilai dua atau tiga kuintal beras kelas satu.
Sepanjang duduk minum itu, bisa berkembang aneka percakapan, mulai dari soal bisnis, saham terlaris, sampai urusan esek-esek dengan selingkuhan atau bahkan siapa saja. Selesai minum, bisa langsung pulang, atau meneruskan ‘bisnis’ lain sambil rehat di hotel mana saja yang bisa dijangkau dalam tempo serba kebelet.
Anehnya, makin banyak saja tempat untuk kongkow mcam itu dibuka meski dengan kedok rumah makan, resto, kafe, dan sebangsanya. Dan, pengunjungnya tetap ramai, bahkan makin meriah saja tampaknya. Artinya, saban malam jutaan rupiah mengalir ke tempat-tempat macam ini.
Para drunken master dari kelas ini jelas tidak sedang melupakan sulitnya hidup dan mencari, atau perlu topeng keberanian untuk mencari uang. Tampaknya para master ini termasuk pada kalangan orang-orang yang sudah kehabisan cara menghabiskan uang.
Tentang bagaimana cara mereka mendapatkannya, itu lain soal.
Kadang, hidup memang tampak absurd.* (yusranpare, Bandung, 291201)
1 Tanggapan to “Pendekar Mabuk”