Arsip untuk November, 2007

30
Nov
07

Persib, Bumerang Cinta

 persib.jpg

Dari kiri, Dedi Muhtadi, Kepala Biro Kompas Jabar (moderator), Tri Goestoro, Yossi Irianto dan Yusran Pare dalam Bincang Kompas di Sasana Budaya Ganesha ITB, Kamis (29/11) membahas kemandirian Persib. (Foto Gani Kurniawan/Tribun Jabar)

***

“BANYAK warga Jawa Barat begitu cinta pada Persib Bandung. Bahkan, ketika diusik sedikit tentang Persib, mereka bisa sangat terusik. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya dukungan bagi Persib.”

Kata-kata itu terdengar indah diungkapkan Pemimpin Redaksi Tribun Jabar Yusran Pare dalam Bincang Kompas  dengan tema “Menuju Kemandirian Persib di Tahun 2008” di Sasana Budaya Ganesha, Bandung, Kamis (29/11). Terbayang di mata, puluhan ribu pendukung Persib di Jabar tidak akan pernah mau Persib cacat sedikit pun.

Akan tetapi, Yusran menuturkan, hal itu sangat berlawanan ketika kolom Deudeuh ka Persib dibuka. Program ini digagas Tribun Jabar ketika Persib mulai menemui kesulitan pembiayaan, baik untuk membeli pemain baru maupun biaya operasional.

Harapannya, fanatisme dan kecintaan pada Persib bisa menyelamatkan Persib. Namun, sejak dibuka sekitar empat bulan lalu, dikatakan Yusran, penambahan dana sangat sedikit. Bahkan, pergerakannya makin stagnan. Hingga Kamis kemarin, “susu” untuk Persib baru berjumlah Rp 39.362.500. Ironis.

“Ketika Persib mau dijual, banyak reaksi keras dari pendukung Persib. Hal ini menunjukkan emosi dan roh kekuatan sangat besar dalam diri pendukung Persib. Tapi, ketika Persib memerlukan bantuan finansial, perkembangan yang terjadi tidak seperti yang diharapkan,” ujarnya.

Meski demikian, mencintai Persib memang tidak bisa sebatas diukur dengan sumbangan uang. Ada banyak cara positif yang dilakukan bobotoh untuk menunjukkan kecintaannya. Ribuan pesan singkat yang masuk ke Redaksi Tribun Jabar menjadi bukti rasa fanatik pendukung Persib.

“Persib sudah seperti simbol Jabar. Namun, apabila semangat dan perhatian di atas dikembangkan lebih, tentu perkembangan emosi menjadi lebih positif,” katanya.

Terkait dengan rasa tanggung jawab memiliki Persib, Yossi mengatakan, seharusnya tidak hanya bobotoh yang lebih rajin mengirimkan pesan singkat ketimbang menyumbang uang. Menurut dia, operator seluler harus ikut serta di dalamnya. Yossi menyatakan, tidak terhitung berapa banyak rupiah yang dihasilkan dari gelontoran ribuan pesan singkat per harinya.

“Kami akan menjalin kerja sama dengan operator seluler agar ke depannya mereka tidak bisa mengambil untung dari kecintaan banyak orang tanpa peran signifikan pada Persib,” ujar Yossi.

Sering merugi

Kecintaan ribuan bobotoh pada Persib memang sulit diragukan. Minimal 20.000 orang memadati Stadion Siliwangi bila Persib bermain di Bandung. Tua, muda, perempuan, lelaki, pejabat atau masyarakat, biasa tumplek blek di stadion.

Sayang, fanatisme ini tidak simetris dengan pundi keuangan Persib. Bahkan, Persib sering kali merugi, misalnya akibat kerusuhan yang ditimbulkan penonton. Pada musim 2007 ini, Persib mengalami tiga kali partai usiran. Minimal Rp 500 juta rupiah melayang akibat hukuman ini.

Menurut ketua panitia pertandingan Persib Sukowiyono, masih banyak oknum tertentu, baik petugas dalam maupun masyarakat, yang sengaja melakukan kecurangan. Kebocoran tiket atau kecurangan dalam membeli tiket sering hanya mendatangkan kerugian. Hal ini semakin parah dengan sikap PSSI yang mencaplok banyak keuntungan dari hak siar. Akhirnya, hanya kerugian yang sering diterima. Bahkan, bila terjadi kericuhan, selain pertandingan dilarang ditonton, denda pun harus dibayarkan.

“Saya sangat mengharapkan agar tidak ada lagi ulah yang merugikan Persib. Khususnya lawan Persitara Jakarta Utara, Sabtu pukul 18.30 di Stadion Si Jalak Harupat, jangan sampai terjadi kericuhan. Sebab, Persib sangat membutuhkan dukungan menuju babak final Liga Djarum Indonesia,” kata Suko. (CORNELIUS HELMY/KOMPAS JAWA BARAT 30 NOVEMBER 2007)

30
Nov
07

Jendela Bandung

hers_jendela1.jpg

BUKU itu berjudul Jendela Bandung, Pengalaman Bersama KOMPAS. Penulisnya, Her Suganda wartawan Kompas yang bertugas di Bandung sejak tahun 1980 sampai pensiun di usia 60. Wartawan Tribun Jabar, Kisdiantoro, mengulas sekilas isi buku tersebut:

toro13.jpg

TENGOKLAH sebentar ke Jalan Braga, Kota Bandung. Di sana, dengan mudah akan ditemukan bukti-bukti sejarah berupa bangunan tua yang memikat. Kalau masyarakat menjuluki Bandung sebagai laboratorium arsitektur Indonesia, sepertinya tak salah.

Itulah sepotong kecil catatan sejarah keeksotikan Kota Bandung yang digambarkan Her Suganda, pensiunan wartawan Kompas dalam bukunya “Jendela Bandung, Pengalaman Bersama Kompas.”

Jendela Bandung, boleh disebut sebagai buku pertama yang merekam secara lengkap kota ini yang mencakup tiga kurun dari pra sejarah hingga masa kini.

Dari balik jedela-nya, Hers –demikian ia biasa disapa– melihat Bandung yang sangat kaya warisan budaya. Cerita sastra nenek moyang tentang Sangkuriang dan Dayang Sumbi, Bandung jaman pra sejarah, Bandung di era sejarah dengan bangunan-bangunan yang memikat, dan Bandung di era sekarang. Semua cerita itu ia tulis dengan gamblang dan jelas.

“Sebuah rumah tanpa jedela akan sumpek, dengan jedela lalu membukanya, kita akan melihat Bandung yang bergitu memikat. Saya menuliskan, Bandung dalam tiga episode, Bandung pra sejarah, era kolonial, dan masa kini,” kata Her Suganda, usai mengikuti pembukaan Kompas Gramedia Fair 2007 di Gedung Sabuga ITB, Rabu (28/11).

Apa yang dikatakannya, terungkap jelas ketika ia melukiskan Jalan Braga. Sepotong jalan ini menyimpan rekaman sejarah yang jauh lebih panjang dari ruas jalan yang hanya satu kilometer itu.

Braga yang membujur dari arah utara ke selatan itu, termasuk satu di antara jalan tertua di Kota Bandung. Di sisi kiri-kanan jalan ini banyak berdiri bangunan dengan desain unik dan sejarah panjang menjadikannnya melegenda.

Pada masa awalnya, jalan ini menghubungkan gudang kopi milik Andries de Wilde, tempat yang kini digunakan sebagai kantor Walikota Bandung. Saat itu, Jalan Braga hanya dilalui gerobak yang ditarik kerbau sehingga dinamakan Karrenweg atau Jalan Pedati. Saat musim hujan, jalan itu menjadi berlumpur.

Di musim kemarau kemarau, debu bertebaran di mana-mana. Ujung utara jalan itu merupakan tempat yang menyeramkan, karena banyak tumbuh pohon-pohon besar. Karena menyeramkan, orang pun menamainya Jalan Culik.

Sejarah telah mengubahnya menjadi jalan yang demikian megah. Setelah di ujung selatan jalan itu dibangun pula jalan (kini dikenal sebagai Jalan Asia Afrika), tumbuhlah bangunan-bangunan tempat perbelanjaan.

Dan, jadilah Braga sebagai pusat perbelanjaan Hindia Belanda paling bergengsi saat itu. Lalu, gedung-gedung lain ikut tumbuh. Semisal, Bioskop Majestic, Hotel Savoy Homann, dan Hotel Grand Preanger termasuk bangunan-bangunan tua di sekitar Alun-alun Kota Bandung.

Itu baru sepotong kisah tentang Jalan Braga, dan Jendela Bandung memuat lebih banyak lagi dari sekadar sepotong jalan. Kewat buku itu, Her Suganda juga berusaha memandu warga dan pengunjung kota bertabur bunga ini dengan setumpuk rapi informasi kekinian yang dibutuhkan.

Mulai dari alamat jalan, restoran dan kafe, tempat jajanan, toko roti dan kue, alamat hotel, sampai ke alamat factory outlet (FO) dan berbagai petunjuk lainnya lengkap dengan gambarnya.

Her sudah sejak lama berinvestasi mengumpulkan kekayaan Kota Bandung dengan menyimpan semua peristiwa penting dalam lembaran catatan atau lembaran foto. Setidaknya, sejak ia ditugaskan di Bandung pada tahun 1980 sampai buku ini disusun tahun 2007.

Setiap melakukan tugasnya sebagai reporter Kompas, ia tak hanya menjumput catatan- catatan peristiwa, tapi juga merekamnya secara mendalam. Hampir semua gang di Kota Bandung pernah disambangi. Ia pun sangat hapal karena setiap peristiwa ia catat.

“Tak ada kota di Indonesia yang memiliki sejarah Geologi selengkap di Bandung. Bandung pra sejarah, gunung api, samudra Bandung yang berubah menjadi danau, semua bisa dibuktikan. Ini fakta, bukan dongeng,” kata Her Suganda sangat mengagumi Bandung.

Bukti lain bahwa Bandung sangat memikat, membanjirnya pendatang dari berbagai kota pada akhir pekan. Mereka berkunjung untuk berwisata belanja dan menikmati makanan.
Padahal di Jakarta atau kota lain, banyak didapati mal yang menyediakan berbagai pakaian temasuk makanan lezat. Tapi mereka tetap datang ke Bandung.

Menurut Her, hal itu terjadi karena orang-orang merasa nikmat berkunjung ke rumah-rumah. Dan di Bandung ditemukan tempat belanja yang bernuansa home. Pengunjung merasa nyaman, bak mengunjungi rumah yang disambut ramah oleh sang tuan rumah.

“Investasi yang sangat berharga adalah kekayaan intelektual, dan itu saya lakukan bertahun-tahun. Buku ini saya tulis dengan gaya feature, sehingga enak di baca. Menulis tentang Bandung, setidaknya saya ikut mendokumentasikan sejarah,” tutur Her.

Sebagai pekerja, Her Suganda sangat paham bahwa suatu saat ia bisa pensiun atau diberhentikan dari pekerjaan. Namun sebagai seorang jurnalis ia tak mengenal pensiun. Selama masih kuat menulis, katanya, ia akan terus menulis. Kota Bandung di mata Her Suganda masih menyimpan banyak kekayaan yang menarik untuk didokumentasikan. (kisdiantoro)

 

28
Nov
07

Guru dengan Vespa Ajaib

imha1.jpg

“SELAMAT euy! Udah ngeblog neh..…” komentar ini diposting oleh sahabat sekaligus guru saya, Iman Handiman. Luar biasa, ternyata halaman maya ini mempertemukan kami kembali setelah sekian tahun terpisah.

Ya, Iman adalah guru saya menulis. Orangnya kalem. Gerak-geriknya lamban. Begitu pula bicaranya. Tapi, tulisannya, masyaallah…. hidup betul. Ia sangat gigih memburu narasumber dan remah-remah informasi. Komitmennya terhadap fakta di lapangan sangat tinggi. Amat peduli pada rincian, detail, dan karena itu tulisannya menjadi hidup. Deskripsinya sangat kuat.

Saya mulai belajar menulis tahun 1979, dan berkenalan dengannya awal 1980-an ketika saya sering hunting mencari bahan. Waktu itu dia sudah bekerja sebagai wartawan Berita Yudha, saya sendiri korektor di Bandung Pos namun nyambi menulis lepas di koran tersebut.

Untuk menyerap ilmunya, saya sering begadang –sekaligus mondok– di rumahnya. Keluarganya sangat terbuka. Meski beranggota cukup banyak (dia anak kedua dari 7 bersaudara), mereka toh tak pernah keberatan sesekali saya menambah sesak rumahnya. Seringkali saya dibonceng (Honda 70cc tahun 73 warna biru) nya untuk berburu bahan tulisan. Belakangan, dengan vespanya.

galunggung_april1982_latar_berlakang_dengan_muntahan_materi_vulkaniknya_di_latar_depan1.jpg
Sekali waktu (pertengahan tahun 1982), dengan vespa-nya kami dari Bandung menuju Tasikmalaya, kira-kira 120 km. Saat itu Gunung Galunggung masih sangat aktif setelah letusan besar pada 5 April 1982. Kami memang sering “meliput” bareng bencana yang terus dipompakan dari perut gunungapi di perbatasan Tasik-Garut ini.

Hari itu, untuk kesekian kalinya kami ke sana. Saya mondok di rumahnya, agar kami bisa berangkat bersam-sama pagi hari. Dari tempat tinggalnya di kawasan Linggawastu di jantung kota Bandung, perjalanan mulus-mulus saja.

Sambil melaju –tak pernah terlalu kencang– kami ngobrol. Kadang dia menyenandungkan lagu-lagu sambil kami kritisi liriknya dari segi kebahasaan dan logika, (dia juga seorang penyair dan penggubah lagu – Lihat: Syair dari Masa Silam)

Keluar kota Bandung, perjalanan masih normal. Lewat turunan berliku di Nagreg, juga tak ada masalah sampai ke perbatasan Garut-Tasik. Jalanan menurun dan berliku ini bukan rute asing. Kami sudah berpuluh kali melintasinya pergi-pulang dengan motor.

Kali itu pun tak ada kelainan. Jalan menurun, dan kian banyak tikungan di sekitar Gentong. Iman pengendara yang tertib dan sangat hati-hati. Saya di belakangnya merapatkan tubuh mengikuti gerakan motor. Tiba-tiba dari arah berlawanan sebuah bus (Merdeka) melesat memakan tikugan terlalu lebar menerkam jalur kami.

Saya tak ingat persis apa yang terjadi. Sebuah benturan. Terdengar pekikan (belakangan saya yakin itu pekikan keras saya, sebab krongkongan terasa agak perih dan suara jadi parau). Gelap. Saya merasa melayang seperti tanpa bobot. Masih sempat nendengar bunyi besi menggaruk bebatuan dan kerikil. Kepulan debu…

Rupanya kami jumpalitan. Motor terpental sampai terpusing di atas kerikil dan batuan di bahu jalan. Iman terlontar jauh dan membentur dinding tebing. Saya –mungkin juga terlontar— sebab sudah pada posisi meringkuk menyamping. Yang saya ingat ketika terjadi benturan itu, adalah kamera. Saya melindunginya dengan mengepit kuat-kuat di antara tubuh dan lengan kiri saya. Sendi pangkal lengan terasa amat sakiti.

Vespa Iman bentuknya jadi aneh. Pipih, gitu. Dinding depan scooternya –kiri-kanan—terlipat ke arah dalam. Tak ada penduduk di sekitar itu yang bisa menolong atau membantu mengejar bus edan tadi. Betul-betul ajaib kami masih selamat. Cuma cedera kecil, dan sendi pangkal lengan kiri saya agak tergeser.

Kami melanjutkan perjalanan dengan vespa compang-camping, dan memperoleh pertolongan pertama di rumah dinas seorang dokter di Puskesmas Pagerageung, kira-kira 20 kilo meter dari lokasi kecelakaan.

Malamnya, Iman “menyerahkan” saya kepada seorang kiai yang kemudian menyuruh saya telungkup di lantai. Ia menarik lengan kiri saya yang terpuntir, salah satu kakinya mengin jak punggung saya di sekitar belikat. Lalu, tiba-tiba.. krak!! Dia menyentakkan lengan saya. Sentakan itu menjalarkan nyeri dan ngilu yang luar biasa, sampai rasanya kepala seperti meledak.

Namun setelah itu ajaib…lagi. Lengan saya pulih seperti sedia kala. Dan esok paginya kami sudah meluncur lagi di atas vespa yang compang camping menerobos jalanan setapak mendaki lereng galunggung.

Motor Iman juga vespa ajaib, sebab seperti panser kecil yang bisa digunakan di medan berpasir tebal dan berbatu-batu vulkanik, dari mulai kaki gunung berapi, sampai menjelang lerengnya.

Jika motor betul-betul sudah tak bisa lagi menanjak, barulah ia meninggalkannya begitu saja. Kami melanjutkan perjalanan berjalan kaki. Ntar, ketika pulang, motor sudah tak tampak lagi, karena tertutupi debu vulkanik. Seperti kendaraan perang yang disamarkan di padang pasir, lah…

kawah_galunggung_juni_1984_wartawan_pertama_yang_mencapai_bibir_kawah_dan_berenang_di_airnya_yang_panas_bw.jpg

22
Nov
07

Anak-anak Hilang

 saiyah-mencari-wiranti-sang-anak-foto-deddi-rustandi.jpgwiranti-masih-terus-dicari-repro-deddi-rustandi.jpganak-anak-yang-pernah-hilang1-foto-deddi-rustandi.jpg

DAHRONI dan istrinya, Saiyah, pulang dengan tangan hampa ke kampung halamannya di Desa Bojong, Kabupaten Bogor. Mereka sengaja datang ke Sumedang dengan satu harapan: menemukan kembali Winarti, putri sulung mereka yang hilang sejak 20 Agustus lalu.

Peristiwa seperti ini sudah beberapa kali mereka alami di berbagai tempat. Setiap ada kabar tentang Wiranti, mereka segera pergi ke tempat di mana putrinya itu diperkirakan berada.

Hal sama juga dilakukan pasangan Mulyana dan Erni yang kehilangan putrinya, Fitri Yanti yang mereka duga ikut larut dalam kelompok pengajian yang belekangan disebut sebut sebagai kelompok pemgajian Al Quran Suci, tau Al Haq.

Gejala menghilangnya anak-anak remaja terkait dengan kelompok tertentu seperti yang terjadi akhir-akhir ini, sebenarnya bukan hal baru.Januari 2002 polisi di Bandung menggerebek dan mengangkut sepuluh anak muda, laki-perempuan, dari sebuah rumah yang konon merupakan tempat pengajian khusus. Satu orang ditahan, sembilan lainnya dipulangkan. Namun satu di antaranya menghilang lagi sehari setelah dikembalikan ke rumah orangtuanya.

Akhir November 2001, sekitar seratus orangtua megirim delegasi ke DPRD Jabar di Bandung. Mereka –datang dari Bandung, Jakarta, dan Lampung– mengadu, me rintih dan memohon agar pemerintah, para wakil rakyat, dan aparat keamanan menyelamatkan anak-anak mereka dari kelompok yang mereka sebut sebagai Negara Islam Indonesia. Belakangan, sebutan nama ini bertambah lagi jadi kelompok Negara Karunia Allah.

Dari risalah-risalah, selebaran, dokumen, dna catatan harian yang ditemukan terkait dengan anak-anak hilang itu, diperoleh gambaran bahwa kelompok seperti ini membangun komunitas baru yang eksklusif atas dasar kemurnian ajaran agama. Mereka bergerak untuk menghimpun pengikut sambil mengalang dana. Hingga kini, kita belum pernah memperoleh kejelasan atas kelanjutan kasus-kasus tersebut, sampai kemudian muncul lagi gejala yang hampir serupa.

Kelompok itu –apa pun namanya– telah berhasil mengembangkan pola dakwah sedemikian rupa hingga mampu mencuci bersih pikiran sasaran dakwahnya dari nilai-nilai umum yang sudah ditanam, dipupuk dan kadang dipaksa tumbuh oleh lingkungan keluarga, sekolah, lalu membaliknya ke sudut paling ekstrem: menjadi manusia baru dengan visi baru dan iman perjuangan baru!

Pertanyaannya kemudian adalah, apa sesungguhnya yang telah dilakukan oleh masyarakat dan elemen-elemennya, lembaga-lembaga keagamaan dan berbagai jaringannya, pemerintah dan tangan-tangan kekuasaannya, untuk secara dini mengantisipasi gejala yang telah lama muncul itu?

Di sisi lain, gejala ini sekaligus juga merupakan kritik terhadap metoda dan tata cara para penganjur agama dalam menyelenggarakan dakwahnya. Bahwa keadaan yang terus berkembang, perlu terus disertai upaya-upaya cerdas dan kreatif dalam melakukan berbagai hal. Termasuk dalam berdakwah. ***

08
Nov
07

Kiamat, euy!

Tanggal 10 November pasti punya arti khusus bagi bangsa Indonesia. Setidaknya, tanggal itu diperingati sebagai Hari Pahlawan. Tapi ada juga yang mungkin mengingatnya karena peristiwa lain sebagaimana yang terjadi pada tahun 2003 di Bandung.

HARI itu Senin, 10 November 2003. Gerbang berlapis rangka besi gemelentang terbuka. Sesosok lelaki paro baya melangkah keluar. Tangannya menenteng kitab suci. Ia melenggang penuh percaya diri memasuki mobil tahanan. Hari itu, untuk pertama kalinya ia dihadapkan ke meja hijau.

Pada saat yang sama di tempat terpisah, hampir 300 orang berkumpul dan memulai peribadatan. Liturgi yang dipimpin seorang pemuka agama ini mengarahkan jemaat untuk berpasrah diri karena hari akhir sudah tiba. Kiamat!
Kiamat terjadi 10 November 2003 pukul 3 sore! Begitu keyakinan mereka.

Gegerlah.

Yang terjadi bukan kiamat. Bukan para malaikat yanang menjemput dan mengangkat mereka ke sorga, tapi serombongan polisi menggelandang 12 pimpinan jemaat itu ke tahanan. Sementara hampir tiga ratus anggota jemaat yang yakin akan Kiamat 10 November 2003 itu, dievakuasi ke sebuah gereja, kemudian dipindahkan ke suatu tempat yang lebih memadai.

Lelaki paro baya yang digiring ke pengadilan di Bandung, 10 November 2003 itu adalah Mangapin Sibuea, seorang pendeta yang yakin telah mendapat titah langsung dari Tuhan untuk menyelamatkan umat manusia dari kehancuran segalanya.
Itu sebabnya ia mendirikan sekte baru. Sekte yang yakin hari akhir semesta ini terjadi 10 November 2003. Proses kehancuran atau kiamat itu berlangsung selama tiga setengah tahun dalam dimensi waktu manusia.

armageddon_2005.jpg

Maka ia pun menyulap tempat tinggalnya menjadi tempat berhimpun orang-orang yang dipilih Tuhan untuk naik langsung ke sorga. Tempat itu kemudian dikenal sebagai Pondok Nabi.

Pondok ini adalah komplek yang terdiri atas tiga bangunan di tepi jalan raya antara Kota dan Kabupaten Bandung, persis di depan asrama tentara bersisian dengan . rumah tinggal dan toko di kawasan hunian dan tempat usaha. Dari pondok inilah sang nabi menjalarkan ‘sabda-sabdanya’.

“Pondok ini merupakan tempat untuk bertobat bagi orang-orang yang percaya akan hari akhir yang akan jatuh 10 November. Ini masalah akidah, percaya atau tidak, silakan, kami tidak memaksa,” tegas Sang Rasul, eh Mangapin.
“Saya diutus Allah. Dia menyuruh saya untuk memberitahu semua orang supaya jangan sampai binasa. Maka, sebelum Hari Kiamat datang pada pukul 3 sore 10 November 2003, bertobatlah semua,” imbuhnya.

Kiamat?

Persis pukul 15.00 (pukul 3 sore) hari Senin 10 November 2003 yang terjadi bukan kiamat, tapi ketukan palu hakim ketua yang menandai sidang di Pengadilan Negeri Bale Bandung (Kabupaten Bandung) dimulai. “Saya sengaja memilih hari sidang pertamanya sesuai hari kiamat ramalan Mangapin. Biar tahu sendiri saat disidang bahwa ramalannya tidak benar,” ujar M Hutagaol SH, jaksa yang menggusur ‘Rasul’ ini ke meja hijau.

Menurutnya, sementara ini Mangapin didakwa dalam kasus penodaan agama sesuai pasal 156a KUHP dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. Mangapin sendiri sudah ditahan oleh pihak kejaksaan sejak tanggal 23 Oktober sampai saat persidangan berlangsung.

Dua tahun sebelumnya kasus ini sudah mulai ditangani kejaksaan dengan menghadirkan saksi ahli, di antaranya seorang pendeta yang menegaskan bahwa ajaran Mangapin menyimpang. Namun baru 10 November 2003 kasusnya digelar di pengadilan.

Persidangan itu selesai bersamaan dengan proses evakuasi jemaat penganut Sekte Kiamat dari Pondok Nabi Dunia. Namun Sang ‘Rasul’ tidak banyak berkomentar soal itu. Ia tetap yakin pengangkatannya ke langit akan terjadi sesuai ramalannya.

“Lihat saja tujuh jam lagi, saya akan raib. Ini sesuai suara Tuhan,” ujarnya saat itu. Namun sampai tulisan ini dibuat, ‘Rasul’ dari Baleendah Bandung, ini tak juga naik ke sorga. Ia masih menghuni selnya di rumah tahanan Kebonwaru Bandung.

Kasus ‘nabi’ dari Bandung ini bukanlah yang pertama. Pada setiap kurun, di setiap tempat, selalu saja ada orang yang merasa mendapat wangsit ilahiah, merasa dirinya jadi nabi, jadi Imam Mahdi, jadi Mesias, jadi penyelamat dunia.

Kasus Children of God yang menjalar ke Indonesia awal 1980-an, atau David Koresh di Waco, Amerika Serikat (1993) dan tragedi bunuh diri massal yang dipimpin seorang ‘rasul’ dalam insiden People Temple di Guyana, Perancis (1979) yang mirip kematian massal jemaat di Gunung Bawakaraeng, Sulawesi Selatan, adalah sekelumit contoh kecil.

Yang paling mirip, mungkin kasus David Koresh yang pada 19 April 1993 bersama 85 pengikut sektenya bunuh diri dengan membakar pedepokan mereka di 16 km sebelah timur Kota Waco, Texas AS. Mereka juga yakin tentang tibanya hari akhir.

Berikutnya, 5 Oktober 1994, lebih 50 orang anggota sekte Ordo Kenisah Matahari bunuh diri di Kota Cherry, Distrik Valais, barat daya Swiss. Polisi menemukan tubuh mereka terikat dan sudah meninggal dalam dua rumah yang terbuat dari kayu-kayu bundar.

Setahun kemudian, polisi menemukan 16 jenazah anggota Sekte Matahari di kawasan hutan Saint Pierre de Cherennes, dataran tinggi Alpine Vercors, bagian timur Perancis dalam keadaan hangus. Diduga kematian mereka merupakan gabungan pembunuhan dan bunuh diri.

Tahun 1997, 26 Maret, 39 wanita dan pria ditemukan sudah jadi mayat di sebuah rumah mewah di Rancho Santa Fe, California AS. Mereka diidentifikasi sebagai anggota sekte Gebrang Sorga yang dipimpin Marshall Applewhite.

Dan, yang terbaru adalah insiden di Kampala, Uganda, 19 Maret 2000. Tak kurang dari 330 anggota sekte Gerakan Pemulihan Sepuluh Perintah Allah tewas bunuh diri dalam gereja yang terbakar di kota kecil Kanungu.

Sekte ini dipimpin tiga pastor dan dua biarawati yang telah dikucilkan oleh Gereja. Mereka meramalkan dunia akan kiamat pada 31 Desember 1999, dan merevisi ramalannya menjadi 31 Desember 2000. Ternyata ramalan itu tidak terbukti.

Terlepas dari bagaimana cara mereka menyebarkannya, munculnya gejala macam itu sebenarnya mungkin juga merupakan tanda-tanda bahwa zaman telah makin uzur. **