Tanggal 10 November pasti punya arti khusus bagi bangsa Indonesia. Setidaknya, tanggal itu diperingati sebagai Hari Pahlawan. Tapi ada juga yang mungkin mengingatnya karena peristiwa lain sebagaimana yang terjadi pada tahun 2003 di Bandung.
HARI itu Senin, 10 November 2003. Gerbang berlapis rangka besi gemelentang terbuka. Sesosok lelaki paro baya melangkah keluar. Tangannya menenteng kitab suci. Ia melenggang penuh percaya diri memasuki mobil tahanan. Hari itu, untuk pertama kalinya ia dihadapkan ke meja hijau.
Pada saat yang sama di tempat terpisah, hampir 300 orang berkumpul dan memulai peribadatan. Liturgi yang dipimpin seorang pemuka agama ini mengarahkan jemaat untuk berpasrah diri karena hari akhir sudah tiba. Kiamat!
Kiamat terjadi 10 November 2003 pukul 3 sore! Begitu keyakinan mereka.
Gegerlah.
Yang terjadi bukan kiamat. Bukan para malaikat yanang menjemput dan mengangkat mereka ke sorga, tapi serombongan polisi menggelandang 12 pimpinan jemaat itu ke tahanan. Sementara hampir tiga ratus anggota jemaat yang yakin akan Kiamat 10 November 2003 itu, dievakuasi ke sebuah gereja, kemudian dipindahkan ke suatu tempat yang lebih memadai.
Lelaki paro baya yang digiring ke pengadilan di Bandung, 10 November 2003 itu adalah Mangapin Sibuea, seorang pendeta yang yakin telah mendapat titah langsung dari Tuhan untuk menyelamatkan umat manusia dari kehancuran segalanya.
Itu sebabnya ia mendirikan sekte baru. Sekte yang yakin hari akhir semesta ini terjadi 10 November 2003. Proses kehancuran atau kiamat itu berlangsung selama tiga setengah tahun dalam dimensi waktu manusia.
Maka ia pun menyulap tempat tinggalnya menjadi tempat berhimpun orang-orang yang dipilih Tuhan untuk naik langsung ke sorga. Tempat itu kemudian dikenal sebagai Pondok Nabi.
Pondok ini adalah komplek yang terdiri atas tiga bangunan di tepi jalan raya antara Kota dan Kabupaten Bandung, persis di depan asrama tentara bersisian dengan . rumah tinggal dan toko di kawasan hunian dan tempat usaha. Dari pondok inilah sang nabi menjalarkan ‘sabda-sabdanya’.
“Pondok ini merupakan tempat untuk bertobat bagi orang-orang yang percaya akan hari akhir yang akan jatuh 10 November. Ini masalah akidah, percaya atau tidak, silakan, kami tidak memaksa,” tegas Sang Rasul, eh Mangapin.
“Saya diutus Allah. Dia menyuruh saya untuk memberitahu semua orang supaya jangan sampai binasa. Maka, sebelum Hari Kiamat datang pada pukul 3 sore 10 November 2003, bertobatlah semua,” imbuhnya.
Kiamat?
Persis pukul 15.00 (pukul 3 sore) hari Senin 10 November 2003 yang terjadi bukan kiamat, tapi ketukan palu hakim ketua yang menandai sidang di Pengadilan Negeri Bale Bandung (Kabupaten Bandung) dimulai. “Saya sengaja memilih hari sidang pertamanya sesuai hari kiamat ramalan Mangapin. Biar tahu sendiri saat disidang bahwa ramalannya tidak benar,” ujar M Hutagaol SH, jaksa yang menggusur ‘Rasul’ ini ke meja hijau.
Menurutnya, sementara ini Mangapin didakwa dalam kasus penodaan agama sesuai pasal 156a KUHP dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. Mangapin sendiri sudah ditahan oleh pihak kejaksaan sejak tanggal 23 Oktober sampai saat persidangan berlangsung.
Dua tahun sebelumnya kasus ini sudah mulai ditangani kejaksaan dengan menghadirkan saksi ahli, di antaranya seorang pendeta yang menegaskan bahwa ajaran Mangapin menyimpang. Namun baru 10 November 2003 kasusnya digelar di pengadilan.
Persidangan itu selesai bersamaan dengan proses evakuasi jemaat penganut Sekte Kiamat dari Pondok Nabi Dunia. Namun Sang ‘Rasul’ tidak banyak berkomentar soal itu. Ia tetap yakin pengangkatannya ke langit akan terjadi sesuai ramalannya.
“Lihat saja tujuh jam lagi, saya akan raib. Ini sesuai suara Tuhan,” ujarnya saat itu. Namun sampai tulisan ini dibuat, ‘Rasul’ dari Baleendah Bandung, ini tak juga naik ke sorga. Ia masih menghuni selnya di rumah tahanan Kebonwaru Bandung.
Kasus ‘nabi’ dari Bandung ini bukanlah yang pertama. Pada setiap kurun, di setiap tempat, selalu saja ada orang yang merasa mendapat wangsit ilahiah, merasa dirinya jadi nabi, jadi Imam Mahdi, jadi Mesias, jadi penyelamat dunia.
Kasus Children of God yang menjalar ke Indonesia awal 1980-an, atau David Koresh di Waco, Amerika Serikat (1993) dan tragedi bunuh diri massal yang dipimpin seorang ‘rasul’ dalam insiden People Temple di Guyana, Perancis (1979) yang mirip kematian massal jemaat di Gunung Bawakaraeng, Sulawesi Selatan, adalah sekelumit contoh kecil.
Yang paling mirip, mungkin kasus David Koresh yang pada 19 April 1993 bersama 85 pengikut sektenya bunuh diri dengan membakar pedepokan mereka di 16 km sebelah timur Kota Waco, Texas AS. Mereka juga yakin tentang tibanya hari akhir.
Berikutnya, 5 Oktober 1994, lebih 50 orang anggota sekte Ordo Kenisah Matahari bunuh diri di Kota Cherry, Distrik Valais, barat daya Swiss. Polisi menemukan tubuh mereka terikat dan sudah meninggal dalam dua rumah yang terbuat dari kayu-kayu bundar.
Setahun kemudian, polisi menemukan 16 jenazah anggota Sekte Matahari di kawasan hutan Saint Pierre de Cherennes, dataran tinggi Alpine Vercors, bagian timur Perancis dalam keadaan hangus. Diduga kematian mereka merupakan gabungan pembunuhan dan bunuh diri.
Tahun 1997, 26 Maret, 39 wanita dan pria ditemukan sudah jadi mayat di sebuah rumah mewah di Rancho Santa Fe, California AS. Mereka diidentifikasi sebagai anggota sekte Gebrang Sorga yang dipimpin Marshall Applewhite.
Dan, yang terbaru adalah insiden di Kampala, Uganda, 19 Maret 2000. Tak kurang dari 330 anggota sekte Gerakan Pemulihan Sepuluh Perintah Allah tewas bunuh diri dalam gereja yang terbakar di kota kecil Kanungu.
Sekte ini dipimpin tiga pastor dan dua biarawati yang telah dikucilkan oleh Gereja. Mereka meramalkan dunia akan kiamat pada 31 Desember 1999, dan merevisi ramalannya menjadi 31 Desember 2000. Ternyata ramalan itu tidak terbukti.
Terlepas dari bagaimana cara mereka menyebarkannya, munculnya gejala macam itu sebenarnya mungkin juga merupakan tanda-tanda bahwa zaman telah makin uzur. **