DAHRONI dan istrinya, Saiyah, pulang dengan tangan hampa ke kampung halamannya di Desa Bojong, Kabupaten Bogor. Mereka sengaja datang ke Sumedang dengan satu harapan: menemukan kembali Winarti, putri sulung mereka yang hilang sejak 20 Agustus lalu.
Peristiwa seperti ini sudah beberapa kali mereka alami di berbagai tempat. Setiap ada kabar tentang Wiranti, mereka segera pergi ke tempat di mana putrinya itu diperkirakan berada.
Hal sama juga dilakukan pasangan Mulyana dan Erni yang kehilangan putrinya, Fitri Yanti yang mereka duga ikut larut dalam kelompok pengajian yang belekangan disebut sebut sebagai kelompok pemgajian Al Quran Suci, tau Al Haq.
Gejala menghilangnya anak-anak remaja terkait dengan kelompok tertentu seperti yang terjadi akhir-akhir ini, sebenarnya bukan hal baru.Januari 2002 polisi di Bandung menggerebek dan mengangkut sepuluh anak muda, laki-perempuan, dari sebuah rumah yang konon merupakan tempat pengajian khusus. Satu orang ditahan, sembilan lainnya dipulangkan. Namun satu di antaranya menghilang lagi sehari setelah dikembalikan ke rumah orangtuanya.
Akhir November 2001, sekitar seratus orangtua megirim delegasi ke DPRD Jabar di Bandung. Mereka –datang dari Bandung, Jakarta, dan Lampung– mengadu, me rintih dan memohon agar pemerintah, para wakil rakyat, dan aparat keamanan menyelamatkan anak-anak mereka dari kelompok yang mereka sebut sebagai Negara Islam Indonesia. Belakangan, sebutan nama ini bertambah lagi jadi kelompok Negara Karunia Allah.
Dari risalah-risalah, selebaran, dokumen, dna catatan harian yang ditemukan terkait dengan anak-anak hilang itu, diperoleh gambaran bahwa kelompok seperti ini membangun komunitas baru yang eksklusif atas dasar kemurnian ajaran agama. Mereka bergerak untuk menghimpun pengikut sambil mengalang dana. Hingga kini, kita belum pernah memperoleh kejelasan atas kelanjutan kasus-kasus tersebut, sampai kemudian muncul lagi gejala yang hampir serupa.
Kelompok itu –apa pun namanya– telah berhasil mengembangkan pola dakwah sedemikian rupa hingga mampu mencuci bersih pikiran sasaran dakwahnya dari nilai-nilai umum yang sudah ditanam, dipupuk dan kadang dipaksa tumbuh oleh lingkungan keluarga, sekolah, lalu membaliknya ke sudut paling ekstrem: menjadi manusia baru dengan visi baru dan iman perjuangan baru!
Pertanyaannya kemudian adalah, apa sesungguhnya yang telah dilakukan oleh masyarakat dan elemen-elemennya, lembaga-lembaga keagamaan dan berbagai jaringannya, pemerintah dan tangan-tangan kekuasaannya, untuk secara dini mengantisipasi gejala yang telah lama muncul itu?
Di sisi lain, gejala ini sekaligus juga merupakan kritik terhadap metoda dan tata cara para penganjur agama dalam menyelenggarakan dakwahnya. Bahwa keadaan yang terus berkembang, perlu terus disertai upaya-upaya cerdas dan kreatif dalam melakukan berbagai hal. Termasuk dalam berdakwah. ***
0 Tanggapan to “Anak-anak Hilang”