“SELAMAT euy! Udah ngeblog neh..…” komentar ini diposting oleh sahabat sekaligus guru saya, Iman Handiman. Luar biasa, ternyata halaman maya ini mempertemukan kami kembali setelah sekian tahun terpisah.
Ya, Iman adalah guru saya menulis. Orangnya kalem. Gerak-geriknya lamban. Begitu pula bicaranya. Tapi, tulisannya, masyaallah…. hidup betul. Ia sangat gigih memburu narasumber dan remah-remah informasi. Komitmennya terhadap fakta di lapangan sangat tinggi. Amat peduli pada rincian, detail, dan karena itu tulisannya menjadi hidup. Deskripsinya sangat kuat.
Saya mulai belajar menulis tahun 1979, dan berkenalan dengannya awal 1980-an ketika saya sering hunting mencari bahan. Waktu itu dia sudah bekerja sebagai wartawan Berita Yudha, saya sendiri korektor di Bandung Pos namun nyambi menulis lepas di koran tersebut.
Untuk menyerap ilmunya, saya sering begadang –sekaligus mondok– di rumahnya. Keluarganya sangat terbuka. Meski beranggota cukup banyak (dia anak kedua dari 7 bersaudara), mereka toh tak pernah keberatan sesekali saya menambah sesak rumahnya. Seringkali saya dibonceng (Honda 70cc tahun 73 warna biru) nya untuk berburu bahan tulisan. Belakangan, dengan vespanya.
Sekali waktu (pertengahan tahun 1982), dengan vespa-nya kami dari Bandung menuju Tasikmalaya, kira-kira 120 km. Saat itu Gunung Galunggung masih sangat aktif setelah letusan besar pada 5 April 1982. Kami memang sering “meliput” bareng bencana yang terus dipompakan dari perut gunungapi di perbatasan Tasik-Garut ini.
Hari itu, untuk kesekian kalinya kami ke sana. Saya mondok di rumahnya, agar kami bisa berangkat bersam-sama pagi hari. Dari tempat tinggalnya di kawasan Linggawastu di jantung kota Bandung, perjalanan mulus-mulus saja.
Sambil melaju –tak pernah terlalu kencang– kami ngobrol. Kadang dia menyenandungkan lagu-lagu sambil kami kritisi liriknya dari segi kebahasaan dan logika, (dia juga seorang penyair dan penggubah lagu – Lihat: Syair dari Masa Silam)
Keluar kota Bandung, perjalanan masih normal. Lewat turunan berliku di Nagreg, juga tak ada masalah sampai ke perbatasan Garut-Tasik. Jalanan menurun dan berliku ini bukan rute asing. Kami sudah berpuluh kali melintasinya pergi-pulang dengan motor.
Kali itu pun tak ada kelainan. Jalan menurun, dan kian banyak tikungan di sekitar Gentong. Iman pengendara yang tertib dan sangat hati-hati. Saya di belakangnya merapatkan tubuh mengikuti gerakan motor. Tiba-tiba dari arah berlawanan sebuah bus (Merdeka) melesat memakan tikugan terlalu lebar menerkam jalur kami.
Saya tak ingat persis apa yang terjadi. Sebuah benturan. Terdengar pekikan (belakangan saya yakin itu pekikan keras saya, sebab krongkongan terasa agak perih dan suara jadi parau). Gelap. Saya merasa melayang seperti tanpa bobot. Masih sempat nendengar bunyi besi menggaruk bebatuan dan kerikil. Kepulan debu…
Rupanya kami jumpalitan. Motor terpental sampai terpusing di atas kerikil dan batuan di bahu jalan. Iman terlontar jauh dan membentur dinding tebing. Saya –mungkin juga terlontar— sebab sudah pada posisi meringkuk menyamping. Yang saya ingat ketika terjadi benturan itu, adalah kamera. Saya melindunginya dengan mengepit kuat-kuat di antara tubuh dan lengan kiri saya. Sendi pangkal lengan terasa amat sakiti.
Vespa Iman bentuknya jadi aneh. Pipih, gitu. Dinding depan scooternya –kiri-kanan—terlipat ke arah dalam. Tak ada penduduk di sekitar itu yang bisa menolong atau membantu mengejar bus edan tadi. Betul-betul ajaib kami masih selamat. Cuma cedera kecil, dan sendi pangkal lengan kiri saya agak tergeser.
Kami melanjutkan perjalanan dengan vespa compang-camping, dan memperoleh pertolongan pertama di rumah dinas seorang dokter di Puskesmas Pagerageung, kira-kira 20 kilo meter dari lokasi kecelakaan.
Malamnya, Iman “menyerahkan” saya kepada seorang kiai yang kemudian menyuruh saya telungkup di lantai. Ia menarik lengan kiri saya yang terpuntir, salah satu kakinya mengin jak punggung saya di sekitar belikat. Lalu, tiba-tiba.. krak!! Dia menyentakkan lengan saya. Sentakan itu menjalarkan nyeri dan ngilu yang luar biasa, sampai rasanya kepala seperti meledak.
Namun setelah itu ajaib…lagi. Lengan saya pulih seperti sedia kala. Dan esok paginya kami sudah meluncur lagi di atas vespa yang compang camping menerobos jalanan setapak mendaki lereng galunggung.
Motor Iman juga vespa ajaib, sebab seperti panser kecil yang bisa digunakan di medan berpasir tebal dan berbatu-batu vulkanik, dari mulai kaki gunung berapi, sampai menjelang lerengnya.
Jika motor betul-betul sudah tak bisa lagi menanjak, barulah ia meninggalkannya begitu saja. Kami melanjutkan perjalanan berjalan kaki. Ntar, ketika pulang, motor sudah tak tampak lagi, karena tertutupi debu vulkanik. Seperti kendaraan perang yang disamarkan di padang pasir, lah…
om yusran, ni res… anak pertama Iman Handiman yg reviewnya ditulis di atas, hehehe!
sumpah, res terharu bacanya. peristiwa yang lumayan ngagetin pas res tau kalo ayah ternyata punya pengalaman segitu menegangkan, mendebarkan, sekaligus mencengangkan!
sebelomnya ayah emang pernah cerita, tapi ga seditel ini. yang res tau ayah cuma pernah kecelakaan vespa dalam perjalanan dari (ato ke, ga inget) tasik…
res sekarang kerja di muara bungo, 5 jam perjalanan darat dari kota jambi. dan cerita tadi beneran ngasih res inspirasi buat ngelakuin sesuatu hal yang bakalan diinget sampe res tua ntar. belom kepikiran kaya gimana, yang pasti bukan naek vespa dari jambi sampe ke muara bungo, hehehe!
oia, ada sesuatu yg lupa ditulis di atas, ato mungkin ayah ga cerita ke om yusran…
tepat pas ayah jatuh dari vespa, berpuluh2 kilometer jauhnya dari tempat kejadian tepatnya di rumah bapa Oman di linggawastu, eyang ngeliat ada sesosok mirip ayah lagi duduk di kursi… mungkin bisa jadi pertimbangan buat ditambahin di blognya,tapi jangan nyesel klo ntar namanya harus diganti jadi blog Kisah2 Misteri…
Wah… wah… Restu!!! Aduh, dunia kini jadi kecil. Kita dipertemukan lewat dunia maya. Wah, Om pasti masih inget dong ketika restu bayi dulu. Kisah yang itu cuma secuplik saja yang kami alami bersama. Masih banyak pengalaman lain yang tak kalah seru. O ya, Iyeh (… dulu kamu memanggil dirimu seperi itu Yeh, atau Iyeh… kan masih cadel) sekarang di Jambi. Muara Bungo, Om juga pernah ke sana. Tempat yang eksotis. Selamat, ya! Kamu kerja di mana? Pas buka blog ini, Om sedang di Banjarmasin.