Arsip untuk November 30th, 2007

30
Nov
07

Persib, Bumerang Cinta

 persib.jpg

Dari kiri, Dedi Muhtadi, Kepala Biro Kompas Jabar (moderator), Tri Goestoro, Yossi Irianto dan Yusran Pare dalam Bincang Kompas di Sasana Budaya Ganesha ITB, Kamis (29/11) membahas kemandirian Persib. (Foto Gani Kurniawan/Tribun Jabar)

***

“BANYAK warga Jawa Barat begitu cinta pada Persib Bandung. Bahkan, ketika diusik sedikit tentang Persib, mereka bisa sangat terusik. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya dukungan bagi Persib.”

Kata-kata itu terdengar indah diungkapkan Pemimpin Redaksi Tribun Jabar Yusran Pare dalam Bincang Kompas  dengan tema “Menuju Kemandirian Persib di Tahun 2008” di Sasana Budaya Ganesha, Bandung, Kamis (29/11). Terbayang di mata, puluhan ribu pendukung Persib di Jabar tidak akan pernah mau Persib cacat sedikit pun.

Akan tetapi, Yusran menuturkan, hal itu sangat berlawanan ketika kolom Deudeuh ka Persib dibuka. Program ini digagas Tribun Jabar ketika Persib mulai menemui kesulitan pembiayaan, baik untuk membeli pemain baru maupun biaya operasional.

Harapannya, fanatisme dan kecintaan pada Persib bisa menyelamatkan Persib. Namun, sejak dibuka sekitar empat bulan lalu, dikatakan Yusran, penambahan dana sangat sedikit. Bahkan, pergerakannya makin stagnan. Hingga Kamis kemarin, “susu” untuk Persib baru berjumlah Rp 39.362.500. Ironis.

“Ketika Persib mau dijual, banyak reaksi keras dari pendukung Persib. Hal ini menunjukkan emosi dan roh kekuatan sangat besar dalam diri pendukung Persib. Tapi, ketika Persib memerlukan bantuan finansial, perkembangan yang terjadi tidak seperti yang diharapkan,” ujarnya.

Meski demikian, mencintai Persib memang tidak bisa sebatas diukur dengan sumbangan uang. Ada banyak cara positif yang dilakukan bobotoh untuk menunjukkan kecintaannya. Ribuan pesan singkat yang masuk ke Redaksi Tribun Jabar menjadi bukti rasa fanatik pendukung Persib.

“Persib sudah seperti simbol Jabar. Namun, apabila semangat dan perhatian di atas dikembangkan lebih, tentu perkembangan emosi menjadi lebih positif,” katanya.

Terkait dengan rasa tanggung jawab memiliki Persib, Yossi mengatakan, seharusnya tidak hanya bobotoh yang lebih rajin mengirimkan pesan singkat ketimbang menyumbang uang. Menurut dia, operator seluler harus ikut serta di dalamnya. Yossi menyatakan, tidak terhitung berapa banyak rupiah yang dihasilkan dari gelontoran ribuan pesan singkat per harinya.

“Kami akan menjalin kerja sama dengan operator seluler agar ke depannya mereka tidak bisa mengambil untung dari kecintaan banyak orang tanpa peran signifikan pada Persib,” ujar Yossi.

Sering merugi

Kecintaan ribuan bobotoh pada Persib memang sulit diragukan. Minimal 20.000 orang memadati Stadion Siliwangi bila Persib bermain di Bandung. Tua, muda, perempuan, lelaki, pejabat atau masyarakat, biasa tumplek blek di stadion.

Sayang, fanatisme ini tidak simetris dengan pundi keuangan Persib. Bahkan, Persib sering kali merugi, misalnya akibat kerusuhan yang ditimbulkan penonton. Pada musim 2007 ini, Persib mengalami tiga kali partai usiran. Minimal Rp 500 juta rupiah melayang akibat hukuman ini.

Menurut ketua panitia pertandingan Persib Sukowiyono, masih banyak oknum tertentu, baik petugas dalam maupun masyarakat, yang sengaja melakukan kecurangan. Kebocoran tiket atau kecurangan dalam membeli tiket sering hanya mendatangkan kerugian. Hal ini semakin parah dengan sikap PSSI yang mencaplok banyak keuntungan dari hak siar. Akhirnya, hanya kerugian yang sering diterima. Bahkan, bila terjadi kericuhan, selain pertandingan dilarang ditonton, denda pun harus dibayarkan.

“Saya sangat mengharapkan agar tidak ada lagi ulah yang merugikan Persib. Khususnya lawan Persitara Jakarta Utara, Sabtu pukul 18.30 di Stadion Si Jalak Harupat, jangan sampai terjadi kericuhan. Sebab, Persib sangat membutuhkan dukungan menuju babak final Liga Djarum Indonesia,” kata Suko. (CORNELIUS HELMY/KOMPAS JAWA BARAT 30 NOVEMBER 2007)

30
Nov
07

Jendela Bandung

hers_jendela1.jpg

BUKU itu berjudul Jendela Bandung, Pengalaman Bersama KOMPAS. Penulisnya, Her Suganda wartawan Kompas yang bertugas di Bandung sejak tahun 1980 sampai pensiun di usia 60. Wartawan Tribun Jabar, Kisdiantoro, mengulas sekilas isi buku tersebut:

toro13.jpg

TENGOKLAH sebentar ke Jalan Braga, Kota Bandung. Di sana, dengan mudah akan ditemukan bukti-bukti sejarah berupa bangunan tua yang memikat. Kalau masyarakat menjuluki Bandung sebagai laboratorium arsitektur Indonesia, sepertinya tak salah.

Itulah sepotong kecil catatan sejarah keeksotikan Kota Bandung yang digambarkan Her Suganda, pensiunan wartawan Kompas dalam bukunya “Jendela Bandung, Pengalaman Bersama Kompas.”

Jendela Bandung, boleh disebut sebagai buku pertama yang merekam secara lengkap kota ini yang mencakup tiga kurun dari pra sejarah hingga masa kini.

Dari balik jedela-nya, Hers –demikian ia biasa disapa– melihat Bandung yang sangat kaya warisan budaya. Cerita sastra nenek moyang tentang Sangkuriang dan Dayang Sumbi, Bandung jaman pra sejarah, Bandung di era sejarah dengan bangunan-bangunan yang memikat, dan Bandung di era sekarang. Semua cerita itu ia tulis dengan gamblang dan jelas.

“Sebuah rumah tanpa jedela akan sumpek, dengan jedela lalu membukanya, kita akan melihat Bandung yang bergitu memikat. Saya menuliskan, Bandung dalam tiga episode, Bandung pra sejarah, era kolonial, dan masa kini,” kata Her Suganda, usai mengikuti pembukaan Kompas Gramedia Fair 2007 di Gedung Sabuga ITB, Rabu (28/11).

Apa yang dikatakannya, terungkap jelas ketika ia melukiskan Jalan Braga. Sepotong jalan ini menyimpan rekaman sejarah yang jauh lebih panjang dari ruas jalan yang hanya satu kilometer itu.

Braga yang membujur dari arah utara ke selatan itu, termasuk satu di antara jalan tertua di Kota Bandung. Di sisi kiri-kanan jalan ini banyak berdiri bangunan dengan desain unik dan sejarah panjang menjadikannnya melegenda.

Pada masa awalnya, jalan ini menghubungkan gudang kopi milik Andries de Wilde, tempat yang kini digunakan sebagai kantor Walikota Bandung. Saat itu, Jalan Braga hanya dilalui gerobak yang ditarik kerbau sehingga dinamakan Karrenweg atau Jalan Pedati. Saat musim hujan, jalan itu menjadi berlumpur.

Di musim kemarau kemarau, debu bertebaran di mana-mana. Ujung utara jalan itu merupakan tempat yang menyeramkan, karena banyak tumbuh pohon-pohon besar. Karena menyeramkan, orang pun menamainya Jalan Culik.

Sejarah telah mengubahnya menjadi jalan yang demikian megah. Setelah di ujung selatan jalan itu dibangun pula jalan (kini dikenal sebagai Jalan Asia Afrika), tumbuhlah bangunan-bangunan tempat perbelanjaan.

Dan, jadilah Braga sebagai pusat perbelanjaan Hindia Belanda paling bergengsi saat itu. Lalu, gedung-gedung lain ikut tumbuh. Semisal, Bioskop Majestic, Hotel Savoy Homann, dan Hotel Grand Preanger termasuk bangunan-bangunan tua di sekitar Alun-alun Kota Bandung.

Itu baru sepotong kisah tentang Jalan Braga, dan Jendela Bandung memuat lebih banyak lagi dari sekadar sepotong jalan. Kewat buku itu, Her Suganda juga berusaha memandu warga dan pengunjung kota bertabur bunga ini dengan setumpuk rapi informasi kekinian yang dibutuhkan.

Mulai dari alamat jalan, restoran dan kafe, tempat jajanan, toko roti dan kue, alamat hotel, sampai ke alamat factory outlet (FO) dan berbagai petunjuk lainnya lengkap dengan gambarnya.

Her sudah sejak lama berinvestasi mengumpulkan kekayaan Kota Bandung dengan menyimpan semua peristiwa penting dalam lembaran catatan atau lembaran foto. Setidaknya, sejak ia ditugaskan di Bandung pada tahun 1980 sampai buku ini disusun tahun 2007.

Setiap melakukan tugasnya sebagai reporter Kompas, ia tak hanya menjumput catatan- catatan peristiwa, tapi juga merekamnya secara mendalam. Hampir semua gang di Kota Bandung pernah disambangi. Ia pun sangat hapal karena setiap peristiwa ia catat.

“Tak ada kota di Indonesia yang memiliki sejarah Geologi selengkap di Bandung. Bandung pra sejarah, gunung api, samudra Bandung yang berubah menjadi danau, semua bisa dibuktikan. Ini fakta, bukan dongeng,” kata Her Suganda sangat mengagumi Bandung.

Bukti lain bahwa Bandung sangat memikat, membanjirnya pendatang dari berbagai kota pada akhir pekan. Mereka berkunjung untuk berwisata belanja dan menikmati makanan.
Padahal di Jakarta atau kota lain, banyak didapati mal yang menyediakan berbagai pakaian temasuk makanan lezat. Tapi mereka tetap datang ke Bandung.

Menurut Her, hal itu terjadi karena orang-orang merasa nikmat berkunjung ke rumah-rumah. Dan di Bandung ditemukan tempat belanja yang bernuansa home. Pengunjung merasa nyaman, bak mengunjungi rumah yang disambut ramah oleh sang tuan rumah.

“Investasi yang sangat berharga adalah kekayaan intelektual, dan itu saya lakukan bertahun-tahun. Buku ini saya tulis dengan gaya feature, sehingga enak di baca. Menulis tentang Bandung, setidaknya saya ikut mendokumentasikan sejarah,” tutur Her.

Sebagai pekerja, Her Suganda sangat paham bahwa suatu saat ia bisa pensiun atau diberhentikan dari pekerjaan. Namun sebagai seorang jurnalis ia tak mengenal pensiun. Selama masih kuat menulis, katanya, ia akan terus menulis. Kota Bandung di mata Her Suganda masih menyimpan banyak kekayaan yang menarik untuk didokumentasikan. (kisdiantoro)