Pesona yang Luruh
Senandung sang pesona Lirih sendu dalam desah sunyi Terjaga mimpi dan bulan yang syahdu O, di mana citra
Yang terhampar di angin Hanya debu menyesakkan dada Di kerimbunan hijau yang luruh Teriknya hari-hariDatang, menjelmalah lagi Sejuta pesona, harumnya persada Datang, tepislah nestapa Hari-hari terancam Bencana, duka jiwa……..
SYAIR di atas langsung mengalir keluar dari ingatan masa silam saya, ketika Iman Handiman memposting komentarnya pada blog ini. Tak cuma syair, melainkan juga iramanya yang begitu melodius.
Ya, Iman adalah satu di antara guru saya menulis. Ia tak hanya piawai menuliskan cerita berupa laporan jurnalistik, melainkan juga ahli menulis syair, sekaligus memetik gitar.
Suatu hari, di awal 1980-an dia menunjukkan kepada saya sebuah kaset. Kaset ini berisi sejumlah lagu. Sebagian di antara lagu-lagu itu, syairnya dia yang tulis. Kaset itu bukan sembarang kaset, karena merupakan kaset dengan 12 lagu yang siap diproduksi. Produsennya, PT Musica Studio.
Kaset itu berisi rekaman awal (semacam dummy/praproduksi). Isinya masih berupa musik dasar yang mengiringi vokal penyanyinya. Belum dilengkapi ilustrasi lain. Vocal pengisi lagu itu adalah Rafika Duri.
Rupanya, Iman bersama rekannya, Cecep Ahmad Sudradjat, seorang muisi Bandung waktu itu, berkolaborasi. Iman banyak menulis syair, Cecep mencipta lagu. Cecep membawa lagu-lagu mereka ke Jakarta, dan Musica menerimanya. Dua belas lagu!! Termasuk Pesona yang Luruh, yang syairnya saya kutip di atas.
Dari segi melodi, Pesona dianggap paling menjual. Namun kata Iman saat itu, produsen meminta agar liriknya diubah karena terlalu “nyosial” tidak ada sentuhan cinta. Itu sebabnya, Cecep mengirim satu kopi kaset musik dasar itu kepada Iman, agar jadi panduan saat mengubah syairnya.
Maka sibuklah Iman. Beberapa kali dia mengajak saya mendengarkan lagu itu berulang-ulang sambil mencoba mencorat-coretkan kata, mengganti lirik Pesona –yang bernapaskan lingkungan– menjadi lagu dengan lirik bersuasana cinta. Berhari-hari, kami coba mencoar-coret mencari kata yang tepat, kemudian mengetiknya.
Sekali waktu, dengan gapah-gopoh Iman bercerita bahwa syair hasil perubahan itu ditunggu siang itu juga di Jakarta karena lagunya dipastikan dijadikan judul album. Apa boleh buat, syair baru hasil rombakan itu pun dikirim, meski belum sempurna betul.
Persoalan lain muncul, yaitu bagaimana cara mengirimkan syair dengan cepat? Tak mungkin mendiktekan syair via telepon interlokal (duit pasti tak cukup, hehehe!!). Jalan tercepat dan paling tepat adalah mengirim lirik itu via …. telegram.
Beberapa minggu kemudian, album baru Rafika Duri pun beredar. Betul saja, lagu yang liriknya dikirim via telegram itu dijadikan judul album. Lagu itu kemudian sangat terkenal dan menjadi hit di berbagai stasiun radio, kasetnya laris, bahkan sempat dijadikan tema dasar film dengan judul yang sama: Tirai
Kita telah bersama Sekian lama dalam cita cinta Namun tiada jua rasa saling itu Seia sekataSelayakanya kau coba Menyingkapkan tirai kasih kita Begitu jauh kurengkuh hatimu Di seberang jalankuLelah, lelah hati ini Menggapai hatimu tak jua menyatu Lelah, lelah hati ini Bagaimana kelak kuakan melangkah di sisimu https://www.youtube.com/watch?v=d0z0NujeLtY
Sama sekali tak menyangka, mama-papa memberiku nama fika. lagu tirai jadi “lagu kebangsaan” kisah kasih mereka sampai akhirnya menikah. Dan ketika aku lahir (1984), mereka menamaiku Rafika Handayani. Eh, ternyata semula judul dan syair lagu itu laen, ya Om… makacih om, fika jadi tahu. Mama-papa juga pada gak tahu tuh. aku tunjuukin blog ini ke mereka berdua. Salam kenal dari jauh. Fika
pesona yang luruh…puisi indah