Arsip untuk Januari, 2008

28
Jan
08

Perginya “daripada” Soeharto

 daripada.jpg

Duka Cita Virtual

SETELAH  menjalani perawatan intensif selama 24 hari di Rumahsakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta, mantan presiden kedua RI, HM Soeharto akhirnya mengembuskan napas terakhirnya, Minggu (27/1) pukul 13.10. Orang kuat di era orde baru itu meninggal dalam usia 86 tahun.

“Telah wafat dengan tenang Bapak HM Soeharto pada pukul 13.00 WIB di RSPP. Semoga amal beliau diterima dan diampuni dosanya,” ujar Ketua Tim Dokter Kepresidenan, Dr Mardjo Soebiandono, dalam keterangan resminya kepada wartawan.

Jumpa pers meskipun berlangsung singkat, hanya lima menit, terasa mengharukan. Mata tim dokter berkaca-kaca. Tiga anak Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut), Siti Hediyati (Mbak Titik) dan Sigit Harijudanto ikut bersama tim dokter. Mata ketiga anak Soeharto itu sembab. Bahkan Tutut tak kuasa membendung air matanya.

“Asragfirullah…astagfirullah…astagfirullah.., inna lillahi wa inna illaihi roji’un,” kata Tutut, suaranya terus terisak, di RS Pertamina. Namun suasananya juga terhidang di setiap ruang keluarga, di rumah makan, di tempat hiburan, di kafe, dan di mana pun yang ada televisi dan televisinya dihidupkan.

Pemerintah menetapkan masa berkabung selama tujuh hari sejak kepergian Sang Jenderal Besar ini. Upacara perkabungan dan pemakamannya menyita perhatian, karena seluruh media massa nasional, terutama televisi dan media online, berusaha menyiarkan secara realtime sejak “Raja” Orde Baru ini masuk rumah sakit (lagi) hingga ke detik-detik penguburan.

Sepanjang hari Munggu dan Senin, perhatian publik tersita ke Ruma Sakit Pertamina, Jalan Cendana, nDalem Kalitan, dan Astana Giribangun. Tidak semata pada bagaimana suasana duka menyelimuti keluarga, siapa saja yang datang menjenguk dan melayat, bahkan hingga bambu dan kayu yang digunakan dalam pemakaman, sampai ke aspek mistis. Semua seolah menjadi sesuatu yang harus disampaikan kepada publik.

Era informasi telah membuat dukacita ini jadi dukacita yang mengharu-biru semua orang, seolah menindih kesusahan dan dukacita nyata yang sedang dialami oleh orang-oranga itu sendiri terlepas dari siapa dan apa pun peran dia dalam hidup keseharian.

Tepat sekali apa yang disampaikan Yasraf Amir Piliang, realitas sakit dan kepergian Pak Harto kini menjadi citra duka publik di dalam layar elektronik. Naik turun detak jantung Pak Harto seakan menjadi naik turun detak jantung publik; harap-cemas para dokter seakan menjadi harap-cemas publik; komat-kamit doa keluarga kini menjadi komat-kamit doa publik. Dan, kepergian Pak Harto kemudian membangun sebuah ruang ”publisitas” duka, keprihatinan dan doa.

Teknologi informasi tidak saja mampu memindahkan informasi dengan kecepatan tinggi dan secara real time, tetapi juga mampu memberi pembesaran efek sehingga duka diri kini menjadi duka setiap orang.

Akan tetapi, citra visual itu tidak selalu merupakan cermin realitas. Citra-citra ”dipilih” untuk satu tujuan tertentu. Mengambil foto berarti membingkai (to frame) dan meminggirkan (exclusion), yaitu menyembunyikan realitas-realitas lain dari mata publik.

Narasi visual Pak Harto yang terbaring sakit hingga wafat dan kemudian dimakamkan dalam sebuah prosesi yang kolosa, dibingkai bersama narasi-narasi visual masa kecil, kegigihan, keberanian, dan kepahlawanannya sehingga menggugah empati di hati publik.

Publik seakan diajak untuk melupakan –sejenak atau selamanya– tentang persoalan-persoalan nyata yang juga membelit mereka, meringkus semua anak bangsa. Lupa bahwa masih banyak duka cita yang belum dan dituntaskan. 

Kita pun seolah lupa, bahwa bahwa kita pernah membiarkan seorang mantan kepala negara meninggal dalam kesunyian setelah dicengekeram sakit tanpa perawatan memadai di sebuah wisma. Kita mungkin memang telah melupakan kepedihan ditinggal pergi tunas-tunas bangsa dalam aksi penembakan membabi-buta dalam insiden Trisakti dan insiden Semanggi.

Kita lupa terhadap kepedihan orang-orang yang ditinggal mati oleh suami, isteri, anak, menantu, kerabat, sanak, famili, sahabat, yang dihabisi dalam huru-hara menjelang bangkitnya rezim orde baru. Kita lupa, pada dukacita dan trauma yang dialami korban-korban kerusuhan 13-14 Mei 1998. Lupa pada kepedihan para keluarga korban 27 Juli 1996.

Soeharto telah pergi, 27 Januari 2008. Rezimnya sudah tumbang  sepuluh tahun silam. Tapi rezim berikutnya, mulai dari Habibie, Gus Dur, Megawati dan kini  Susilo bambang Yudhoyono, tampaknya terlu sibuk dengan diri masing-masing. Para politisinya pun tak kalah seru baku rebut pengaruh, posisi, dan publisitas.

Entah kapan mereka akan menoleh pada kepentingan keluarga orang-orang hilang, keluarga Munir, keluarga Udin,  keluarga para mahasiswa yang tewas ditembaki saat menyuarakan aspirasi rakyat, ribuan keluarga lain yang kehilangan anggotanya oleh sebab yang tak jelas di Aceh, Lampung, Serang, Singkawang, Sambas, Banjarmasin, Situbondo, Sampit, Poso, Ambon, Papua dan masih banyak lagi.

Selamat jalan, Jenderal Besar! *** 

27
Jan
08

Bang Yos Ketuk Pintu

 sutiyoso.jpg

Sutiyoso alias Bang Yos, berkunjung ke kantor Tribun Jabar, disambut Pemimpin Redaksi, Yusran Pare dan Pemimpin Perusahaan, Pitoyo, Kamis (24/1).

SEBAGAI  pemain pemula dalam dunia politik, Sutiyoso atau yang kerap dipanggil Bang Yos, mengaku perlu melakukan kunjungan ke berbagai tempat, termasuk ke media.

Dengan cara itu, ia akan mengetahui apakah sosoknya bisa diterima oleh masyarakat atau sebaliknya. Beberapa kali lawatan ke daerah dan berdialog dengan masyarakat, Bang Yos mengaku mendapat respon yang baik atas niat pencalonannya sebagai presiden 2009.

“Kemarin saya datang ke tokoh masyarakat dan ulama, untuk meminta izin kepada mereka dan responya sangat baik. Saya memang pemain pemula di pentas politik nasional, dan saya menyadari perlu banyak melakukan kunjungan” kata Sutiyoso saat bersilaturahmi ke Redaksi Tribun Jabar, Kamis (24/1).

Setelah mendeklarasikan diri sebagai calon presiden 2009 beberapa bulan lalu, Bang Yos sudah melakukan road show ke berbagai daerah. Mislanya ke Jawa Timur, Sumatrea, Manado dan beberapa daerah lain.

“Di sana (Surabaya, red), saya menginap di rumah petani lalu saya melakukan dialog. Dengan cara begitu, saya sangat tahu apa yang diinginkan masyarakat. Jadi kelak jika jadi pemimpin saya sudah tidak “tingak-tinguk’ lagi, sudah bisa langsung bekerja,” jelas Bang Yos.

Mantan Pangdam Metro Jaya ini menceritakan latar belakang karir birokrasi dan prestasi selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta selama dua periode. Di awal kepemimpinanya, ia dihadapkan pada kondisi pemerintahan yang sangat sulit.

Infrastruktur yang rusak karena terjadi kekacauan massal, rakyat yang tak percaya dengan pemimpin dan berbagai peroalan lain terkait dengan kas daerah.

Namun, dengan kerja kerasnya, ia berhasil menstabilkan kondisi Jakarta yang porak poranda menjadi lebih baik. Satu catatan prestasinya adalah ia berhasil meningkatkan kesejakteraan guru di DKI Jakarta dengan memberikan tunjangan bulanan pada guru pegawai negeri sipil (PNS) sebesar Rp 2,5 juta.

“Fair saja, saya deklarasi karena respon masyarakat baik dan saya akan jalan terus. Kalau nanti ada yang lebih baik, silahkan saja, saya malah akan memberi peluang” katanya. (dia)

22
Jan
08

Berlari di Kampung Sendiri

agum.jpg

CALON Gubernur Jawa Barat yang diusung tujuh partai, antara lain PDIP dan PPP,  Agum Gumelar dan Numan Abdul Hakim melakukan kunjungan ke media cetak yang terbit di Bandung, Senin (21/1).

Dalam kunjungannye ke kantor redaksi Tribun Jabar, selain didampingi cawabugnya,  Agum Gumelar juga didampingi oleh beberapa anggota tim suksesnya. Di kantor Tribun, Agum disambut Pemimpin Redaksi Yusran Pare, Pemimpin Perusahaan Pitoyo, Redaktur Pelaksana Hasanah Samhudi, serta beberapa redaktur dan wartawan. Acara tersebut berjalan dalam suasan santai dengan penuh selingan humor segar.

Calon gubernur dari PDIP mengaku sudah memastikan untuk bertarung dalam pilgub April mendatang. Kedatangannya ke Tribun pun sekalian untuk ketuk pintu, bukan untuk mendikte pemberitaan media. Bahkan Agum terus terang meminta kritik dari media, karena selama ini ia mengannggap media sebagai alat kontrol yang efektif.

Agum juga menginginkan sebuah proses demokrasi pemilihan kepala daerah di Jawa Barat yang berjalan aman, tertib dan lancar tanpa ada kerusuhan. Alasannya, suhu politik menjelang pilkada Jabar akan semakin memanas. Dengan kondisi itu, ekses pilkada bisa berakibat pada kerusuhan seperti yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Namun ia tak berharap proses pilkada di Jabar tmbul ekses tersebut.

“Demokrasi harganya sangat mahal. Oleh karenanya, saya berharap pada pilkada nanti bisa berjalan aman, tertib dan lancar, sehingga tercapai sasaran demokrasi dan pemerintahan yang didambakan,” kata Agum Gumelar.

Alasannya menggandeng Numan, karena ia tak ingin merangkak jika kelak  terpilih  menjadi gubernur Jabar. Numan yang pernah duduk dalam kursi birokrasi, dinilai sudah sangat mengenal Jawa Barat. Dengan demikian, jika memimpin Jabar, Agum bisa langsung melaksanakan program-programnya.

“Mengapa Numan? Karena kalau terpilih, saya sudah harus berlari mengejar ketertinggalan dari daerah lain. Karena ekspektasi masyarakat Jabar sangat besar, seperti mengatasi kemiskinan, antrean minyak dan sebagainya,” lanjut Agum.

Menurutnya, Jabar secara komparatif sangat unggul. Namun, pada kenyataanya belum mampu bersaing dengan daerah lain. Bahkan kasus masyarakat miskin yang susah berobat masih banyak.

Oleh karenanya, paradigma Jabar harus berubah menjadi provinsi yang mampu bersaing. Caranya, kata Agum, pemerintah tidak lagi menjadi juragan, melainkan menjadi fasilitator dan pelayan masyarakat.

“Jadi kalau terpilih, jangan jadi juragan. Silahkan Tribun mengontrol,” katanya.
Sementara itu, Numan mejelaskan mengapa mau berpasangan dengan Agum. Katanya, ia menghendaki perubahan di Jabar dengan mencari pemimpin yang berpengalaman dalam berorganisasi, tegas dan mampu mewujudkan harapan masyarakat.

Agum dan Numan pun berharap kepada media untuk tetap menjaga idealismenya, tidak memihak kepada partai manapun. (dia)

heryawan.jpg

Petarung Muda

HARI berikutnya, datang calon gubernur (cagub) Jawa Barat H Ahmad Heryawan Lc. Ia mengaku sudah siap berkompetisi dengan para kandidat lainnya yang lebih senior usianya. Meskipun usia masih muda, 41 tahun, ia siap mengabdikan diri untuk melakukan perubahan di Jawa Barat ke arah lebih baik.

Hal itu diungkapkan cagub dari PKS saat berkunjung ke Tribun Jabar, di jalan Malabar, Kamis (24/1). Ahmad datang tidak disertai pasangan cawagubnya, Dede Yusuf.
“Kami ingin ada perubahan di berbagai hal, khususnya konsep Jawa Barat 25 tahun ke depan,” ujar Ahmad yang datang bersama tim suksesnya.

Kehadiran Ahmad di Tribun selama satu jam setengah diterima Pemimpin Redaksi Yusran Pare, Redaktur Pelaksana Hasanah Samhudi dan beberapa redaktur dan wartawan.

Ahmad Heryawan tak menampik kalau popularitas dan pengalaman serta umur kalah dibandingan pasangan Dai (Dani- Iwan) dan Aman (Agum-Numan). Namun hal itu bukan rintangan untuk terus maju dan memenangkan Pilgub, karena masih ada celah dan peluang mendulang suara di kantong-kantong basis PKS dan PAN, termasuk akan membidik pemilih rasional.

Apalagi, Ahmad cukup kenyang dalam berorganisasi, bahkan sudah 18 tahun memimpin ormasi Islam, yakni Persatuan Umat Islam (PUI). Jadi, bagi Ahmad, walau usia muda ia sudah berani untuk jadi pemimpin.

“Mudah-mudahan yang terpilih benar-benar suara terbanyak dan terbaik dari masyarakat yang rasional dan cerdas, bukan memilih  yang terpopuler,” ujar Ahmad.
Menurut Ahmad, Allah SWT sudah tahu dan menuliskannya siapa yang terpilih jadi gubernur Jabar tahun 2008,  tetapi masih ghaib bagi kita dan harus digapai dengan ikhtiar yang bersih jangan membohongi rakyat.

Jika terpilih jadi Gubernur Jabar, Ahmad berjanji akan membangun wilayah yang selama ini terpinggirkan khususnya wilayah selatan. “Saya warga Jabar dari Sukabumi, jelas mengenal wilayah Jawa Barat, jadi tahu daerah mana yang tidak tersentuh pembangunan dan sudah saatnya Jabar dipimpin orang muda,” ujar Ahmad.

Selain harus memperhatikan pembangunan daerah terpencil, yang harus diberikan kepada masyarakat yaitu jaminan keamanan, investasi dan kepastian hukum. “Paradigma pelayanan yang sering menyulitkan harus diubah dengan memberikan kemudahan perizinan bagi masyarakat dan pengusaha serta  aminan keuntungan,” ujarnya.

Meskipun kiprahnya banyak di luar Jabar, yakni di DKI Jakarta, Ahmad mengaku sangat mengetahui persoalan yang terjadi di Jawa Barat, termasuk apa yang menjadi aspirasi masyarakat Jabar.  “Pendidikan, kesehatan, itu akan menjadi prioritas saya kalau kelak terpilih,” katanya. (tsm)

Ya, deh!!!

21
Jan
08

Selamat Jalan, Jenderal!

sunarko.jpg

TAK banyak pejabat yang begitu dekat dengan insan pers, terlebih di institusi kepolisian. Salah seorang yang memiliki hubungan istimewa dengan para wartawan itu adalah Kapolda Jabar Irjen Pol Sunarko Danu Ardanto. Hal ini tak lepas dari sikap Sunarko yang selalu memosisikan diri sebagai rekan para jurnalis.

Di manapun dan kapanpun, Sunarko siap memberikan informasi yang dibutuhkan wartawan. Sebagai kapolda tentu sikapnya ini sangat membantu tugas jurnalistik.  Kedekatan hubungannya pun bukanlah basa-basi tapi ditunjukkannya langsung dengan langkah konkret.

Orang nomor satu di Polda Jabar ini, Jumat (18/1) sore kemarin, mengunjungi kantor Harian Pagi Tribun Jabar di Jalan Malabar No 5 Bandung. Selain bersilaturahmi,  Sunarko sekaligus berpamitan karena memperoleh tugas baru sebagai salah satu  Deputi di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Jakarta.

Dalam kunjungannya Sunarko didampingi Kabid Humas Polda Jabar Kombes Pol  Dade Achmad, Kapolwiltabes Bandung Kombes Pol Bambang Suparsono,  Kapolresta Bandung Tengah AKBP Arief Ramdhani, Kasat Lantas Polwiltabes Bandung AKBP Heru Koco,  Wakapolresta Bandung Tengah Kompol Toni Binsar,  dan Kapolsekta Bandung Wetan AKP Reynold Hutagalung.

Rombongan Kapolda diterima Pemimpin Redaksi Tribun Jabar Yusran Pare dan  sejumlah awak redaksi. Dalam perbincangan santai di ruang rapat redaksi, Sunarko  mengaku terkesan dengan pemberitaan Tribun Jabar yang berimbang.

“Bagi polisi, media sebagai alat transformasi. Sedangkan bagi masyarakat, media  sebagai alat kontrol sosial terhadap sikap dan perilaku polisi. Kedua peran ini telah dijalankan dengan baik oleh Tribun Jabar. Saya mengucapkan terima kasih atas kerja  samanya selama ini,” tutur Kapolda.

Terkait kepindahan tugasnya, Sunarko berharap hubungan baiknya selama ini dengan  insan pers di Jawa Barat bisa terus dikembangkan. “Saya berharap meski telah pindah tugas ke Jakarta tapi bukan berarti hubungan kita terputus. Saya justru berharap hubungan kita bisa terus dikembangkan,” ujarnya.

Sunarko menambahkan, meski tidak lagi bertugas di Jawa Barat tapi ia akan tetap memantau perkembangan di provinsi ini. Melalui www.tribunjabar.co.id yang menyajikan berita secara real time Sunarko berharap, ia bisa terus mengikuti perkembangan yang terjadi di Jawa Barat.

Pemimpin Redaksi Tribun Jabar Yusran Pare mengaku salut dengan kultur yang dikembangkan Sunarko selama memimpin Polda Jabar, terutama hal yang berkaitan dengan tugas jurnalistik.

“Semoga apa yang dilakukan Pak Sunarko selama ini bisa diteruskan oleh kapolda baru maupun pejabat kepolisian lainnya di Jawa Barat,” ujar Yusran.

Pada kesempatan itu, redaksi Tribun memberikan kenang-kenangan berupa model halaman depan Tribun Jabar berisi foto Sunarko yang baru tiba di halaman kantor  Tribun Jabar.  “Lho ini kan foto yang barusan di depan, cepat sekali ya,” ujarnya sambil tersenyum dan meminta Yusran Pare membubuhkan tanda tangan di atas cendera mata khas Tribun itu.  (ichsan)

05
Jan
08

Horor Sang Majikan

nirmalabonat.jpg

ENTAH apa yang dirasakan Nirmala ketika Kamis (3/1/07) Hakim pengadilan Kuala Lumpur menyatakan Yim Pek Ha majikan Nirmala, bersalah dan dapat dihukum setidak-tidaknya 20 tahun penjara.

“Jaksa penuntut telah berhasil membuktikan empat tuduhan yang diajukan. Saya menyatakan Yim Pek Ha bersalah. Sebelum diputuskan berapa lama hukumannya, maka saya memberi kesempatan kepada tertuduh untuk membela diri,” kata Ahktar, hakim tunggal mahkamah di Kuala Lumpur itu.

Adil ataupun tidak, putusan ini tentu saja sangat berarti tidak hanya bagi Nirmala Bonat, tapi bagi bangsa Indonesia, khususnya mereka yang bekerja di luar negeri karena tanah airnya –yang subur makmur aman tenteram ketaraharja– ini tak mampu menyediakan lapangan kerja yang memadai bagi mereka.

Dua puluh tahun mungkin tempo yang cukup lama bagi si terhukum. Tapi cedera fisik dan psikis yang dialami Nirmala tak akan sembuh lagi sampai seumur hidupnya. Remaja putri asal Nusa Tenggara Timur ini harus menanggung cacat bikinan sang majikan.

Rumah sang majikan yang seharusnya melindunginya dari berbagai ancaman, justru jadi neraka yang mencengkeramnya dengan beragam siksa dan aniaya.

Horor ini terkuak pertengahan Mei 2004, dan langsung mengguncang perasaan orang-orang yang punya hati nurani. Ia jadi korban kekejian majikan tempatnya mengabdi. Dara berusia 19 berkulit hitam dengan paras manis berambut keriting ini telah berubah drastis.

Wajahnya jadi lebih mirip alien dalam Star Trek. Sosoknya penuh bopeng dan bekas luka melepuh. Di punggung, kedua payudara, paha, betis, kepala, tangan. Cedera fisik ini buah penderitaan yang ditahan-tahannya berbulan-bulan. Kadang ia disiram air panas. Sesekali digetok. Kali lain disetrika!

“Pada bulan keempat beta mulai disiksa. Pertama kali gara-gara piring retak kena pipa air. Dong marah, dan pukul be pung mulut deng cawan besi. Sejak itu amper tiap hari dong pukul beta. Yang paling sakit yang beta inga, setelah disetrika. Beta pingsan. Dong siram beta deng air panas. Untung beta sadar dan menghindar,” tutur Nirmala kepada Richard, wartawan Pos Kupang yang menghubunginya di tempat penampungan beberapa hari setelah dia lolos dan diselamatkan.

Ya, Nirmala berhasil lepas dari siksaan. Media setempat menyiarkannya. Dunia tersentak, dan sejenak menoleh ke Malasysia. Insiden ini tentu saja menampar muka Encik Badawi dan masyarakatnya, sekaligus (mestinya) menohok pemerintah Indonesia yang ternyata –setelah lebih 30 tahun mengekspor tenaga kerja– tidak juga mampu memberi perlindungan memadai pada anak bangsanya di rantau.

Sangat wajar jika Badawi mengaku sangat malu ketika ada warga negara makmur yang dipimpinnya berlaku amat teruk seperti itu. Sebagai bangsa beradab dan ramah, Malaysia tentu akan tercoreng oleh ulah salah seorang ‘oknum’ waragnya yang ’sanggup melakukan kesakitan begitu rupa kepada seorang manusia lain,’ sebagaimana ditulis media setempat.

Tentu sangat tidak wajar jika pemerintah tempat Nirmala berasal justru adem ayem, tidak serentak melakukan tindakan strategis dan sistematis untuk melindungi para pekerjanya di luar negeri, selain sekadar berusaha menjemputnya dan mendampingi pada saat proses hukum.

Apalagi Nirmala bukanlah satu-satunya korban. Ia hanyalah satu dari sekian puluh bahkan mungkin ratusan — dari entah berapa orang persisnya jumlah pekerja kita di tanah seberang. Tahun 2003 saja hampir 900.000 orang diekspor, eh dikirim, ke luar negeri. Dari jumlah 60-70 persen dari bekerja di sektor informal (untuk tidak menyebut sebagai pembantu rumah tangga) seperti Nirmala.

Nirmala berarti immaculata, suci, bersih, adalah seorang pengembara tulen. Ia tinggalkan kampung halaman yang tidak bisa memberinya kehidupan layak. Ia hanya punya tenaga dan kemauan mengubah nasib. Bekerja apa pun –sepanjang itu halal– jadilah.

Maka ia menyeberang ribuan kilo meter dari kampungnya di pojokan pulau karang kering di belahan barat Timor. Dari kampung halamannya yang bertetangga dengan ‘luar negeri’ Timor Leste, ia mengembara ke barat, ke negeri Encik Badawi dan mengabdi pada sebuah keluarga. Dan, malapetaka pun menimpanya.

Lihat http://curahbebas.wordpress.com

03
Jan
08

Mata, Telinga, Maya

malaysia.jpgMENTERI Kesehatan Malaysia Datuk Seri Dr Chua Soi Lek mundur, Rabu (2/1/08), menyusul terkuaknya rekaman hubungan intim antara dia dengan pasangan selingkuhnya. Videonya tersebar Malaysia beberapa bulan terakhir. Belakangan juga muncul di internet. Sang Datuk sudah mengakui secara terbuka, dirinyalah yang ada di rekaman tersebut.

Skandal yang menggemparkan Tanah Melayu itu mirip yang terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu. Seorang tokoh parpol sekaligus anggota DPR RI, berselingkuh dengan teman separtainya, dan rekaman video seksnya tersebar ke seantero jagat melalui koneksi internet. Karir politiknya pun ambruk.

yz.jpg

Lima tahun lalu, seorang senator di Amerika, mengundurkan diri setelah rangkaian rekaman perselingkuhannya di sebuah kamar hotel muncul dalam situs internet, dan aibnya terkuak ke halayak ramai tanpa bisa dia bantah.

Tiga keping peristiwa ini makin memperkuat pandangan bahwa di era kemajuan teknologi informatika yang sedang berlangsung hari-hari ini, dunia semakin terbuka lebar. Dunia cyber telah membuka babak baru, ruang publik baru, pada masyarakat sekaligus menawarkan berbagai kemungkinan yang semula dianggap tak masuk akal, mustahil atau tabu.

Kemajuan teknologi yang antara lain diwujudkan melalui revolusi informatika ini secara tidak langsung banyak mengambil alih fungsi yang selama ini diemban ruang‑ruang publik konvensional selama ini. Hal itu karena cyberspace lebih menjanjikan kemudahan‑kemudahan dalam wacana kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan bahkan politik.

Sejalan dengan itu, ia juga membukakan makin banyak mata dan telinga untuk dengan mudah melihat dan mendengar apa saja yang ingin — bahkan juga yang tidak ingin– dilihat dan didengar.

Kini bukan hanya ruang publik yang bisa diamati secara bebas, bahkan ruang paling pribadi pun bisa saja disaksikan dan dicermati pihak lain dari tempat yang tidak lagi dibatasi ruang dan waktu. Makin banyak mata menatap apa yang dilakukan penghuni bumi, diketahui atau tidak. Tersamar maupun terang-terangan.

lift.jpgArtinya, di masa kini nyaris tak ada lagi tempat tersembunyi, bahkan mungkin di rumah sendiri. Teknologi telah membantu orang-orang –entah iseng, entah untuk kepentingan intelijen– bisa melihat, mendengar, dan merekam, hal-hal yang mungkin sama sekali tak pernah kita duga.

Dengan sedikit modal dan keterampilan, orang bisa mencuri gerak-gerik –yang paling pribadi sekali pun– siapa saja. Kemudian menikmatinya sendiri atau menyebarkannya ke dunia maya, atau malah untuk pemerasan. Lensa dan kamera super mini dengan kemampuan maksimum, bisa dengan mudah diperoleh di pasaran.

ba500001.jpg

Desember 2007 lalu seorang polisi di Bali ditindak setelah rekaman vidoenya beredar di internet. Ia memeras dua turis yang melanggar lalu lintas. Satu di antara turis itu diam-diam merekamnya lewat telepon selular berlensa, kemudian mem-posting rekaman itu. Dunia tahu. Indonesia (seharusnya) malu.

Apa yang tampak dari kasus di Malaysia, skandal anggota DPR-RI, kasus senator di Amerika, dan polisi di Bali, adalah peneguhan pendapat bahwa tenkologi telah berkembang demikian cepat, makin canggih, kian murah, makin mudah, dan makin gampang pula disalahgunakan.

Ini juga sebagai peringatan bagi siapa saja, entah itu pejabat atau tokoh publik, entah itu seseorang yang anonim. Bahwa di zaman ini, hidup lurus saja tidak cukup. Bahkan hajat halal antara suami-istri yang sah pun, bisa tiba-tiba jadi malapetaka ketika ada orang yang mencuri-curi adegan dan melemparkannya ke internet.

Apalagi perilaku yang menyimpang.***