Arsip untuk Februari, 2008

29
Feb
08

Bangun Soegito

gitorollies.jpg

SAYA ”bertemu” terakhir dengan Gito Rollies awal Februari 2008 di Cicalengka, Kabupaten Bandung. Hari itu tokoh Jawa Barat, H Nanang Iskandar Masoem menikahkan putrinya. Nanang berbesan dengan Arifin Soehara, teman seangkatan saya di fakultas, cuma beda kelas –dia kelas karyawan, saya kelas reguler.

Bangun Soegito alias Gito Rollies adalah sahabat Nanang. Mereka satu kelas di SMAN 2 Bandung. Dan, kata Gito, persahabatan mereka terus berlanjut. Sementara saya, mengenal rocker yang bermetamorfosis jadi juru dakwah ini sejak sering meliput pentas-pentas musik di awal tahun 1980-an.

Di Cicalengka, hari itu Gito sebagaimana tampilannya belakangan ini, mengenakan gamis warna pucat, peci putih, dan sorban. Ia didapuk panitia untuk naik panggung. Sebelum menyanyi, ia mengkilas balik pershabatannya dengan Nanang –satu di antara sembilan anak Haji Ma’some– kiai yang sukses mengembangkan pesantren, lembaga pendidikan modern, dan jaringan bisnis amat besar di Jawa Barat.

“Saya ini betul-betul bersahabat dengan Pak Nanang. Sahabat dalam arti sebenarnya. Tapi sahabat yang bertolak belakang. Saya …badung dan nakal, Pak Nanang saleh luar biasa. Sejak remaja ia tak pernah tinggal salat. Sementara saya? Tahu sendiri lah…?” kata Gito terkekeh. Ia pun mencuplik sejumlah tingkah nakal-nya di masa remaja.

Akhirnya Gito memanggil satu lagi teman satu SMA-nya. Agum Gumelar, yang juga hadir pada resepsi akbar pernikahan anak-anak Nanang dan Arifin itu. “Nah, Pak Agum juga sahabat saya. Kami sama-sama dari sekolah yang sama. SMAN 2 Bandung,” kata Gito. Maka, hari itu, Agum yang sudah berduet dengan Nu’man –dalam pemilihan Gubernur Jawa Barat—berganti pasangan dulu. Mereka pun bernyanyi.

Tadinya saya –dan istri—ingin menemui dulu Gito, ya sekadar bertanya apa kabar atau apalah. Maklum sudah 20 tahunan tak bertemu muka. Namun, hari itu tamu begitu banyak. Entah berapa ribu. Lagi  pula, panggung tempat Gito tampil,  dibatasi kolam. Dari tempatnya, Gito sempat melambai lalu mengacungkan jempol dan mengangguk saat saya memberinya isyarat bahwa kami pamit.

Kamis (28/02/2008) malam, datang berita, Gito sudah pergi. Perjuangannya melawan kanker getah bening sudah berakhir. Inna lillahi wainna ilaihi rojiun. Segala yang berasal dari-NYA, semua kembali kepada-NYA.

Satu lagi, tokoh yang jadi ikon perkembangan musik di tanah air pergi. Sebelumnya Harry Roesli –musisi eksentik—pergi setelah bergelut dengan penyakitnya, (http://curahbebas.wordpress.com). Gito, dengan teman-temannya Uce F Tekol, Jimmy Manoppo, Benny Likumahuwa, dan Teungku Zulian Iskandar menggebrak panggung musik dengan The Rollies-nya.

Kiprah musik anak-anak Bandung di tahun  70-80an itu tambah marak dengan terbitnya “Aktuil” yang terus mengulas perkembangan musik dan “memprovokasi” kawula muda untuk melahirkan gerkan-gerakan baru di bidang musik. Selain Rollies, saat-saat itu ada Rhapsodia (Soleh), Paramour (Djadjat), dan Giant Step (Benny Soebardja) yang tak kalah garang jika tampil di panggung.

Setelah malang melintang di pentas musik cadas, Gito hilang dari peredaran, dan muncul lagi dengan identitas baru. Ia telah bersalin baju, jadi seorang yang lebih religius dan lebih sering naik panggung sebagai juru dakwah. Dan dalam “busana” itulah dia pergi menghadap-NYA.

Selamat jalan, Bung! (*)

23
Feb
08

Delapan Tahun

delapan-tahun.jpg

LAHIR dengan nama Metro Bandung. Edisi perdana harian pagi ini diluncurkan 23 Februari 2000 dengan semangat sebagai koran kota. Tak terasa, delapan tahun sudah usia surat kabar yang kami kelola di tengah sesaknyanya pasar media di Bandung dan Jawa Barat.

Ada kebahagian melihat teman-teman larut dalam sukacita pesta kecil memotong satu tumpeng dan merecah kue tart sederhana, sekadar simbol. Saya jadi teringat ketika peryama kali Mas Herman Darmo, Bang Syamsul Kahar, Mas Agus Nugroho dan seabreg rekan berdesak-desak di garasai rumah kontrakan di Jalan Malabar 7 Bandung, yang kami sulap jadi kantor.

Sebagian di antara teman-teman yang turut bersama sejak itu, hingga kini masih berkiprah bersama. Sebagian lagi, sudah memilih jalan sendiri-sendiri di luar kami. Ada yang masih di bidang pers, ada pula yang di bidang lain.

Peringatan ulang tahun kedelapan, kami rayakan sangat sederhana, seperti biasa. Tempatnya di halaman kantor, di Jalan Malabar No 5, geser satu nomor dari bangunan yang pertama kali kami tempati.

Di tempat ini pun, kami masih mengontrak. Tapi, perayaan kali ini membangkitkan kegairahan baru karena sebagaimana diumumkan H Pitoyo, pemimpin perusahaan Tribun Jabar kini, dipastikan tahun depan kami akan menempati kantor milik sendiri di kawasan Jalan Riau (RE Martadinata).

Betapa pun besar/kecilnya, inilah hasil kerja keras teman-teman selama ini. Ini juga sekaligus menunjukkan, apa yang kami lakukan, apa yang kami kerjakan mulai menampakkan hasil. Bahwa rentang waktu yang kami tempuh begbitu lama, ya karena itulah kenyataannya.

Bisa bertahan di tengah situasi pasar yang demikian rapat dan kejam saja sudah merupakan anugerah. Karenanya, apa yang kami peroleh hari-hari ini, tentu saja merupakan anugerah yang lebih besar lagi.

Karena itu meluncurkan Metro Bandung setiap hari, perlu perjuangan yang ekstra keras. Tahun demi tahun, Metro menembus rimba raya pasar surat kabar di kota Bandung –dan sekitarnya. Perlahan-lahan, Metro Bandung mulai ikut mewarnai pasar.

Melihat respon pasar yang positif, maka sejak 18 Februari 2005, atau lima tahun sejak Metro terbit, manajemen memutuskan mengganti namanya menjadi Tribun Jabar.

Format penyajian pun disempurnakan, dan perubahan nama serta penyempurnaan format penyajian serta penyempurnaan distribusi menunjukkan hasil yang signifikan. Setidaknya jika dilihat dari oplah yang mencapai 300 persen dari oplah Metro dan persebaran yang lebih luas lagi.

Ini menunjukkan, apa yang kami lakukan –sedikit-banyak—bisa diterima halayak. Ini juga sekaligus memberikan peringatan dini bahwa kami harus bekerja lebih keras lagi agar memperoleh hasil yang terus membaik dan lebih baik lagi dari masa ke masa.

***

KENANGAN – Dari Metro Bandung ke Tribun Jabar

awak redaksi awal metroinilah-sebagian-pasukan-yang-melahirkan-metro-bandung.jpgpara-srikandi-meto-tinggal-hasanahduduk-belakang-paling-kanan.jpgsebagian-awak-metro-sebagian-masih-bertahan-zelphi.jpggarasi-jadi-ruang-redaksi.jpgbuka-bukaan-salingkritik-saling-beri-masukan-di-pangalengan.jpgbegitu-terpilih-sebagai-walikota-dada-rosada-kunjungi-metro.jpgmaha-patih-kanjeng-raden-mas-ngabehi-sujarwo-bersedekap-mendampingi-sri-sultan.jpgmachmud-membacakan-doa-menjelang-edisi-perdana-tribun-terbit.jpgsebagian-di-antara-awak-tribun-jabar-bersama-keluarganya-tahun-2007.jpg

Tanpa terasa, delapan tahun kami bersama-sama. Sebagian di antara anggota pasukan yang turut merintis kelahiran Metro Bandung/Tribun Jabar masih bertahan hingga kini. Sebagian sudah memilih jalannya sendiri. Di antara mereka, ada yang sudah tidak bersama lagi, antara lain: Firly Firlandi, Yogi Ardhi, Budi Winarno, Mariatul Kiptiah, Irna Febri Herawati, Ester Perangin-angin, Isni Hindryati, Rudyanto Pangaribuan, Yuyun Yumiati, Wasis Wibowo, Arie Sanjaya, Dian Hendrayana.

21
Feb
08

Bertemu Dua Iwan

kiri-iwan-ridwan-sulanjana-kanan-iwan-ridwan-abdulrachman.jpg

PERTAMA datang ke kantor kami, Januari 2005, untuk pamit. Tiga tahun kemudian, Rabu 20 Februari 2008, datang untuk sampurasun. Dulu, ia pamit karena jabatannya sebagai Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) III Siliwangi habis. Kini, ia “datang lagi” sebagai calon wakil gubernur Jawa Barat. Ia mendampingi Danny Setiawan –gubernur Jabar 2003-2008– diusung koalisi partai Golkar dan Partai Demokrat.

Disebut “datang lagi” karena ia sebenarnya memang bukan orang luar. Sunda pituin pelahiran tanah Pakuan Pajajaran (Bogor) tahun 1951. Ia adalah sosok prajurit bersahaja dan rendah hati. Saat jadi Panglima Siliwangi, rumah dinasnya tak pernah sepi, terutama tiap Kamis malam. Pintunya terbuka lebar menerima warga, sambil ia menggelar pengajian.

Jika pada kedatangan pertama ia hanya didampingi seorang sopir dan ajudan, maka kedatangannya yang kedua “dikawal” agak istmewa. Setidaknya, pendampingnya adalah orang-orang istimewa di bidang masing-masing.

Ada Tjetje Hidajat Padmadinata, politikus ulung, dan boleh dibilang tokoh besar Jawa Barat lintas generasi, progresif. Ada Herman Ibrahim, tentara kritis yang lebih dikenal sebagai analis dan penulis. Ada Budi Radjab, sosiolog. Terus, Ipong Witono, tokoh muda, pengusaha yang lebih komit pada aktivitas budaya dan politik.

Lalu, ada lagi Iwan Ridwan Abdurrachman. Komponis yang memberi warna kokoh pada Trio Bimbo di masa-masa awal. Pencipta Melati dari Jayagiri dan Hymne Siliwangi , pendiri Wanadri –perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunug pertama di Indonesia– dan “guru” Kopassus.

Iwan Abdurrachman tentu bukan orang asing. Setidaknya, ia sudah dikenal gubahan-gubahannya sejak saya remaja (SMP-SMA dulu) juga pada masa-masa gerakan mahasiswa tahun 1977/1978 di Bandung. Kini, ia jadi satu di antara think tank tim sukses Danny-Iwan.

“Saya jadi pendukung Iwan (–dan Danny) bukan karena apa-apa. Lebih karena nama kami sama. Ya, sama-sama Iwan Ridwan. Sama-sama berkumis,” katanya berseloroh. Namun, kata dia, ada yang lebih penting lagi yang tampak dari munculnya pasangan Danny-Iwan ini, yakni kesungguhan dan kesediaan militer berada di bawah pemerintahan sipil. Ya deh!

Kedatangan “dua Iwan” dan para tokoh Jabar di kantor kami tentu saja dimanfaatkan untuk berdiskusi. Maka, hampir tiga jam kami terlibat perbincangan hangat diselingi canda di sana-sini. Suasana pun jadi cair dan santai, sehingga pernyataan-pernyataan Iwan sabagai cawagub terlihat mengalir apa adanya, meskipun ada hal-hal yang masih dirahasiakannya.

Iwan tidak ragu saat mengungkapkan soal alasannya bersedia mendampingi Danny Setiawan dalam Pilgub Jabar 2008.

“Saya sejak dulu hanya ingin jadi pendamping. Dan sekarang ini jelas, Pak Danny membutuhkan pendamping yang bisa mengawasi agar arah kebikajannya tidak melenceng. Karena kalau pengawasnya orang partai lagi, Pak Danny menilai tidak akan bisa berlari cepat. Karenanya Pak Danny memilih mantan militer,” papar Iwan Sulandjana. Ya deh! Lagi.

Namanya juga tebar pesona menjelang pemilihan.***
20
Feb
08

Aksi Sopir Taksi

recharge_20030422.jpgini_sih_taksi_di_amrik.jpg

BANDUNG, TRIBUN – Ketua Umum DPP Gabungan Solidaritas Pengemudi Seluruh Indonesia (GSPI) Asep Pratala, Rabu (20/2/08) memimpin seratusan sopir taksi Kota Bandung ke kantor Tribun Jabar. Sebelumnya, mereka juga menggeruduk kantor media cetak lain, Galamedia.

Menurut Asep, kedatangan mereka untuk menyampaikan klarifikasi terkait pemberitaan yang dinilainya merugikan sopir taksi. Selasa (19/2) media-media menyiarkan berita mengenai seorang warga yang melapor ke polisi bahwa ia dirampok saat naik taksi, Minggu (17/2) sekitar pukul 22.00.

Terkait kasus itu, Asep Pratala menegaskan, sejauh ini belum ada bukti maupun petunjuk yang final bahwa perampokan itu terjadi di taksi salah satu armada di kota ini. Menurut Asep, pemberitaan itu berdampak luas terhadap operasional taksi yang tergabung dalam GSPI.

“Omzet turun hingga lima puluh persen. Pemberitaan itu sangat memukul kami. Apalagi kami saat ini tengah berjuang meningkatkan pelayanan sehingga bisa memuaskan masyarakat,” kata Asep yang jadi juru bicara GSPI.

Dalam pertemuan kemarin, Asep dan para pengurus GSPI diterima Pemimpin Perusahaan Tribun Jabar H Pitoyo dan sejumlah redaktur. Menurut H Pitoyo, Tribun Jabar terus berusaha menjunjung tinggi pemberitaan yang benar dan berimbang tanpa menyudutkan pihak mana pun.

“Sesungguhnya kami tidak bermaksud mencederai siapapun dan pihak manapun,” kata Pitoyo dalam pertemuan yang juga dihadiri Wakapolresta Bandung Tengah, Kompol Toni Binsar.

Asep Pratala menambahkan terkait laporan perampokan itu, Polresta Bandung Barat telah memanggil dan mendata semua sopir taksi anggota GSPI yang bertugas pada hari itu. Polisi juga telah memeriksa lokasi kejadian.

“Tapi dalam pembicaraan dengan saya, dan juga ketika dibawa ke lokasi, pelapor tak bisa menunjukkan lokasi persisnya. Karena itu sejauh ini, saya menganggap laporan adanya sopir taksi yang merampok penumpangnya adalah bohong,” papar Asep.

Ia menambahkan, sejak armada taksi beroperasi di Kota Bandung tahun 1980-an lalu, belum pernah ada sopir taksi yang merampok penumpang. “Tapi, kalau sopir taksi yang dirampok, itu sudah berulang kali. Kami mencatat, sudah 11 sopir taksi yang tewas karena dirampok,” tegasnya.

Seperti diberitakan Tribun dan media-media lain Selasa (19/2), seorang warga yang mengaku tinggal di Jalan Karanglayung, Kelurahan Cipedes, Kecamatan Sukajadi melapor ke polisi jadi korban perampokan dalam taksi.

Ringkasan aduannya, malam itu Irnadi berada di Jalan Merdeka dan hendak pulang. Dia kemudian naik sebuah taksi. Kepada sopir taksi yang membawanya, ia berpesan agar melewati jalan yang cukup ramai.

Namun, saat melewati Jalan Cipaganti, sopir taksi membelokkan kendaraan ke Jalan Eyckman. Di jalan itulah taksi tersebut berhenti. Lalu, naik dua orang pria yang satu di antaranya membawa pisau. Keduanya naik dari pintu bagian belakang taksi.

Kedua lelaki itu mengapit Irnadi. Bahkan, seorang pelaku yang membawa pisau langsung menodongkannya ke tubuh korban. Korban pun tak berkutik di bawah ancaman senjata tajam.

Menurut Irnadi, sopir taksi yang membawanya hanya diam ketika dua orang tersebut masuk. Irnadi kemudian diperintahkan untuk menundukkan kepala. Sopir taksi lalu membawanya ke kawasan Cihideung, Lembang.

Di Cihideung dia diturunkan, dan tak sedikitpun dilukai. Perampok merampas satu unit laptop Acer, dua buah telepon genggam merk Nokia dan Samsung, jaket, jam tangan, dompet serta isinya uang tunai Rp 400 ribu. Total, kerugian materi yang diderita korban mencapai Rp 30 juta. (rif/xna)

19
Feb
08

Korupsi dan Janji Kepala Polisi

susno duadji

SERIBU berbanding sepuluh. Perumpamaan perbandingan ini disampaikan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Barat, Inspektur Jenderal Polisi Susno Duadji untuk menggambarkan efektifitas kontrol sosial antara polisi dengan pers.

Kata dia, 1000 polisi mungkin takkan cukup untuk mengawasi dan membenahi perilaku korup di tengah kehidupan masyarakat kita. Tapi sepuluh wartawan yang punya komitmen dan memiliki integritas tinggi, akan bisa melakukan.

Kapolda Jabar ini tampak gregetan betul terhadap praktek korupsi yang makin hari bukannya kian surut, melainkan justru sebaliknya. Kegundahaannya itu terungkap saat ia singgah ke Tribun, Senin (18/2).

Tak berhenti pada kegundahan, ia juga menegaskan sikap dan tekadnya memerangi korupsi. Malah ia berjanji akan memuilai dengan pembenahan dan pembersihan ke dalam (lingkungan polisi di Jawa Barat), lalu ke luar. Lalu, Polda Jabar akan pula membuka jalur khusus –termasuk website– untuk menerima laporan dan pengaduan dari masyarakat.

Angin segar? Mudah-mudahan saja begitu. Dalam masyarakat normal, aparat hukum memang seharusnya merupakan sosok yang ditakuti dan bisa mengancam orang maupun pihak lain yang (hendak) melanggar aturan.

Selama ini kita merasakan aparat hukum seperti kehabisan nyali ketika memerangi korupsi karena seringkali langsung berhadapan dengan tembok besar, yakni kokohnya kultur korup di setiap lini di negeri ini.

Akibatnya, penanganan korupsi seperti jalan di tempat. Dalam kasus-kasus tertentu, penyidikan, penuntutan dan keputusan pengadilan hingga tata cara advokasi dalam setiap kasus korupsi, justru malah jadi celah korupsi pula.

Dengan demikian, tekad dan janji Kapolda Jabar untuk memerangi korupsi, setidaknya di wilayah hukumnya pun sangat mungkin akan berhadapan dengan kultur yang juga sudah telanjur korup.

Memang, aparat hukum tak mungkin bisa bekerja sendiri. Diperlukan kerja sama dari segenap elemen masyarakat, termasuk jajaran pers dan organisasi massa.

Dua ormas Islam tersbesar dan paling berpengaruh, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah pernah mengikatkan diri dalam satu aliansi untuk bersama-sama melawan korupsi. Kita juga sudah punya lembaga khusus, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi. Tiap instansi pun memiliki badan atau pengawasan internal sendiri.

Toh, korupsi jalan terus, malah makin menjadi-jadi dan menajalar bahkan lembaga perwakilan rakyat. Dari pusat, hingga ke daerah.

Mungkin betul kata Kapolda, pers bisa turut mengontrol dan mengingatkan masyarakat serta aparat mengenai hal itu. Namun realitas menunjukkan, pers pun nyaris tak pernah bisa steril dari kepentingan-kepentingan bisnis dan mungkin kepentingan politik para pelakunya.

Setidaknya, masyarakat masih melihat ada di antara pers yang tidak memegang teguh komitmen dan integritas profesinya. Alih-alih mengontrol perilaku korup, malah terhanyut dan jadi bagian dari kultur itu.

Betapa pun, Kapolda telah membuka diri dan menyatakan tekadnyna. Kita semua tentu saja berharap tekad seperti itu tidak hanya menyala dari satu pihak, melainkan juga dari seluruh pimpinan dan segenap elemen masyarakat.

Kecuali, kalau kita memang lebih suka hidup dalam budaya korup! ***

Bandung, 190208

19
Feb
08

Jika Susno ke Tribun

susno2.jpgWaaah… cepat sekali! Ini ciri-ciri koran yang dikelola orang-orang muda. Cepat, dinamis dan inovatif…!” kata Kapolda Jabar ketika menerima suvenir koran edisi khusu yang memberitakan kehadirannya. Realtime.

KORUPSI. Itulah sepertinya yang akan menjadi fokus kerja Kapolda Jabar, Irjen Pol Susno Duadji. Saat berkunjung ke kantor redaksi Tribun Jabar, Senin (18/2/2008) siang, jenderal polisi bintang dua ini berbicara cukup banyak mengenai pemberantasan korupsi.

Dalam kunjungannya, Kapolda didampingi Kabid Humas Kombes Pol Dade Achmad, Kabid Binkum Kombes Pol Rustam Effendi, Dir Lantas Kombes Pol Binsar Sitompul, dan Dir Intel Kombes Pol Slamet. Mereka diterima oleh Pimpinan Perusahaan Tribun H Pitoyo, Pemimpin Redaksi Yusran Pare, Redaktur Pelaksana Hasanah Samhudi, Manajer Produksi Cecep Burdansyah, dan Manajer Iklan Triyoba Nataria.

Dalam perbincangan hangat selama kurang lebih 30 menit, Kapolda sempat mengucapkan selamat ulang tahun kepada Tribun Jabar yang pada hari kemarin tepat berulang tahun ke-8. “Selamat hari jadi ke-8. Mudah-mudahan bisa menjadi media yang memberikan pendidikan, dan informasi terbaru,” katanya.

Ia mengaku Tribun Jabar menjadi ‘santapannya’ setiap hari. Terlebih, menurut Kapolda, Tribun menyajikan informasi yang bagus dan punya ciri khas dalam penyajian beritanya.

Terkait pemberantasan korupsi, mantan Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) berencana untuk membuat website tersendiri mengenai aduan korupsi di Jawa Barat. Nantinya, website itu akan menerima laporan mengenai kasus korupsi. “Kita akan perangi korupsi,” tegas Kapolda.

Menurut Kapolda, momen pilkada seperti sekarang ini sebenarnya menjadi momen untuk memberantas korupsi. Rakyat bisa memilih calon pejabat yang punya komitmen untuk memerangi korupsi.

“Saya akan coba untuk memerangi korupsi. Kalau sampai habis benar sepertinya susah. Tapi saya akan berusaha untuk menguranginya,” tegasnya.

Karena itulah, sebelum melangkah ke instansi di luar, Susno Duadji akan membersihkan lingkungannya terlebih dahulu. “Saya coba benahi dulu di dalam. Setelah itu keluar. Kita kan malu kalau misal mengusut kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh bupati atau walikota tapi masih ada hal seperti itu di dalam,” tutur Kapolda.

Dan tanggungjawab memberantas korupsi juga menurutnya bukan hanya kewajiban polisi. Media massa lewat pemberitaannya bisa ikut memerangi korupsi. “Polisi 1.000 mungkin tidak bisa membenahi kondisi seperti ini, tapi wartawan 10 orang kalau punya komitmen bisa melakukan itu,” ujarnya memberi semangat.

Di akhir pertemuan, Kapolda memberikan cenderamata kepada Tribun Jabar. Sementara Tribun Jabar memberikan koran mini dalam pigura yang memuat fotonya saat beramah-tamah dengan redaksi Tribun. “Wah, cepet bener. Ini nih kemajuan teknologi,” katanya spontan.

Sekitar pukul 14.30, bus yang ditumpangi Kapolda beserta rombongan meninggalkan kantor Tribun Jabar. Selamat bertugas Jenderal. Semoga sukses memerangi korupsi.(tis)

11
Feb
08

Korban Bawah Tanah

konsermaut.jpg

ATAS: Gedung Asia Africa Cultural Center (AACC) – di Jalan Braga Bandung, gedung ini dulu adalah bisokop Majestic. BAWAH: Sebagian korban konser.

LAGI-lagi konser musik berujung kematian. Kali ini pentas musik “underground” di gedung Asia Afrika Cultural Center (AACC) Sabtu (9/2/2008) malam berakhir bagai bak horor maut. Sebelas anak muda penggemar musik bawah tanah ini tewas saat peluncuran album grup musik “Beside” hampir berakhir.

Satu korban tewas di antara 11 orang ini perempuan. Tujuh orang berhasil dikenali identitasnya, sisanya masih dalam penelusuran. Selain merenggut nyawa, kericuhan tadi malam menimbulkan korban luka-luka.

Ada dua versi yang berkembang tentang sebab kematian korban yang rata-rata anak baru gede ini. Kapolda Jabar Irjen Pol Susno Duadji menyebut keterlibatan minuman berbau spiritus yang dikonsumsi para korban.

Kabid Humas Polda Jabar Kombes Pol Dade Achmad mengatakan pihaknya telah menyita beberapa botol minuman yang dibagikan panitia kepada penonton.

Versi lain menyebutkan, jatuhnya korban lebih disebabkan karena gedung pertunjukan tidak memadai, sementara aktivitas para pengunjung begitu “panas” sehingga menimbulkan kekacauan.

Pentas musik underground di Bandung sebenarnya jarang meminmbulkan masalah, di samping komunitasnya masih relatif belum sebanyak komunitas pop maupun dangdut, penampilan mereka pun biasanya di tempat-tempat yang lebih eksklusif, (lihat Musik Bawah Tanah, http://curahbebas.wordpress.com )

Terlepas dari dua versi ini, yang paling jelas adalah korban sudah jatuh. Ini untuk kesekian kali konser musik di tanah air berakhir dengan kematian penonton. Beberapa di antaranya:

19 November 2000GOR Saburai bandar Lampung. Empat fans Sheila on Seven tewas ketika konser kelompok musik itu berubah jadi kerusuhan massal (lihat juga Kekasih Gelap http://curahbebas.wordpress.com).

24 Mei 2003 – Stadion Bima Cirebon. Kerusuhan terjadi dalam konser Rif & Nicky Astria, satu orang penonton tewas

23 Februari 2004 – Stadion Lambung Mangkurat Banjarmasin. Empat orang tewas dalam konser akbar Sheila on Seven

19 Desember 2004 Dua orang tewas saat grup musik Gigi menggelar konser di kampus UIN Jakarta itu. Korban tewas akibat tertimpa kanopi yang roboh.

19 Desember 2006 Stadion Widya Mandala Pekalongan. Sebanyak 10 penonton konser Ungu tewas terinjak-injak

23 Juni 2007 – Stadion Sangkuriang Cimahi. Konser Pas Band & J Rock berakhir rusuh saat bubaran. Tiga orang tewas terinjak-injak.

10
Feb
08

Sabtu Kelabu Mac dan Janu

SABTU 9 Februari, kalangan pers di tanah air merayakan Hari Pers Nasional (HPN). Tahun ini perayaan dipusatkan di Semarang, Jawa Tengah. Presiden Susilo Bambang Yoedhoyono hadir pada perayaan puncak hari pers, yang titimangsanya diambil dari hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia ini.

sabtukelabu.jpg

SAYA  jadi teringat semingu sebelumnya, Sabtu 2 Februari 2008. Hari yang mungkin tak akan terlupakan. Siang itu, tiba-tiba srombongan orang, semua lelaki, datang ke kantor Tribun Jabar di Jalan Malabar Bandung.

Mereka diangkut dengan mobil-mobil bus mini yang berangkat dari Soreang, ibu kota Kabupaten Bandung.  Di kantor, tak banyak anggota staf redaksi, sehingga Januar Pribadi (kami memanggilnya Jan), dan Machmud Mubarok (kami memanggilnya Mek – pelafalan dari mac) yang ketiban pulung jadi tuan rumah.

Para tamu mengatasnamakan diri sebagai pengurus dan anggota serta simpatisan Forum Masyarakat Kabupaten Bandung Bersati (Formak). Mereka menyatakan tidak puas atas pemberitaan Tribun mengenai Bupati Bandung Obar Sobarna.

Berita yang mereka maksud adalah mengenai langkah-langkah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang akan memeriksa sang bupati. Pada berita itu, juga diungkap mengenai adanya aliran dana APBD yang tiba-tiba menggelontor menjelang akhir tutup buku.

Berita yang turun Kamis (31/1/2008) itu –sabagaimana standar Tribun– tentu saja dilengkapi data-data, fakta, dan keterangan-keterangan yang mempekuatnya. Dari segi jurnalistik seudah memadai, memenuhi standar.

Pada Kamis itu pula, muncul klarifikasi dari Kepala Badan Kepala Badan Pengembangan Informasi Daerah (BPID) Kabupaten Bandung. Isi klarifikasi tak jauh berbeda dengan apa yang sudah diberitakan, hanya penegasan bahwa pemeriksaan oleh BPK itu rutin, dan bahwa bupati tak pernah menantang untuk diperiksa.

Toh, klarifikasi terhadap hal yang sudah “kelar” ini tetap kami siarkan pada kesempatan pertama, edisi berikutnya, Jumat (1/2/2008). Dengan demikian permasalahan, dari segi legal formal dan administratif sudah clear.

Karenya, jajaran redaksi tak menduga masih akan ada reaksi lanjutan. “Kami tak rela pemimpin kami dilukai perasaannya,” kata seorang di antara mereka. “Persoalan Tribun dengan Bupati, boleh saja sudah kelir! Tapi dengan kami belum!”

Singkat cerita, kelompok ini mendesak Tribun memimta maaf secara atas hal itu. Permohonan maaf harus disiarkan selama 10 kali (sekali lagi sepuluh kali) di halaman muka Tribun.

Menurut Mac dan Janu, suasana tegang sudah terasa sejak awal kedatangan rombongan yang bersilaturahmi ini. Mereka hanya berdua menghadapi desakan dan tuntutan dalam format pertemuan yang “tidak imbang”.

Akhirnya dicapailah “kesepakatan” dari forum silaturahmi dadakan itu. Itu sebabanya, pada edisi Senin (4/2/08), tiba-tiba muncul berita di bawah ini. Itu pun, jika masih patut dianggap sebagai berita.

20080202_rry_aspirasi-formak-ke-tribun-jabar02.jpg

Obar Tak Pernah Tantang BPK

* Formak Tuntut Permintaan Maaf

BANDUNG, TRIBUN – Bupati Bandung, H Obar Sobarna SIP, tidak pernah menantang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan pemeriksaan keuangan Kabupaten Bandung.

Hal itu disampaikan Forum Masyarakat Kabupaten Bandung Bersatu (Formak) saat bersilaturahmi ke Kantor Tribun, Sabtu (2/1) siang.

Juru bicara Formak, Salman, didampingi H Daud dan H Tete, menyebutkan, mereka datang mewakili masyarakat Kabupaten Bandung. Mereka meminta klarifikasi soal pernyataan itu.

Salman juga mempertanyakan soal cuci gudang anggaran. Apalagi menurut informasi yang didapatnya, Ketua DPRD Kabupaten Bandung tidak pernah menyatakan hal tersebut.

“Jadi kami meminta Tribun minta maaf soal itu, dan menjunjung asas praduga tak bersalah. Apalagi kalimat berita yang dibuat terlalu provokatif,” kata Salman.
Kepala Badan Kepala Badan Pengembangan Informasi Daerah (BPID)Kabupaten Bandung, Drs H Edin Hendradin MSi menegaskan Bupati tak pernah menyatakan menantang BPK untuk melakukan pemeriksaan.

Edin pun membantah bupati akan diperiksa secara khusus oleh BPK, (Tribun, Jumat 1/2). Ia menjelaskan, pemeriksaan ini merupakan program kerja rutin atau reguler sesuai Undang-Undang No 15 Tahun 2006 tentang BPK. Program kerja BPK ini bersifat menyeluruh dan menyentuh segenap instansi pemerintahan di wilayah Indonesia, termasuk Pemkab Bandung.

“Materi pemeriksaan meliputi penggunaan APBD 2007 yang digunakan oleh masing-masing SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) Pemkab Bandung. Sehingga pemeriksaan BPK di Pemkab Bandung tidak bersifat khusus,” kata Edin, dalam suratnya kepada Tribun, Kamis (31/1).

Sebagaimana diberitakan Tribun (Kamis 30/1), BPK akan memeriksa kas daerah Kabupaten Bandung. Pemeriksaan ini terkait dengan pengesahan APBD 2008 di seluruh kota/kabupaten dan terjadinya perbedaan penghitungan Silpa antara legislatif dengan eksekutif.

Sementara itu, Minggu (3/2), DPRD Kabupaten Bandung menyepakati perbedaan penghitungan Silpa (Sisa Lebih Penghitungan Anggaran).

Sisa anggaran itu adalah Rp 167,167 miliar berdasarkan hasil penghitungan terakhir Badan Anggaran dan Keuangan Daerah (BAKD). Dewan sepakat, tidak ada permasalahan lagi dalam keuangan daerah Kabupaten Bandung. (*)

07
Feb
08

Pileuleuyan Pa Ading

raf.jpg

DAN, Tuhan pun memanggilnya. Rabu 6 Februari 2008, Rahmatullah Ading Affandi (RAF), selepas magrib pergi dengan wajah cerah berseri. Jawa Barat pun kehilangan satu lagi putra terabaiknya. Tokoh multitalenta yang berangkat dari nafas pesantren, dunia seni, lalu karya dan kiprahnya merambah menjalari perkembangan seni budaya tatar Pasundan.

Ia bisa bicara lantang mengenai kesenian, politik, bahkan olahraga. Ia tidak sekadar bicara, tapi juga menulis. Tak cuma menulis naskah drama, sendratari, gending karesmen, tapi juga roman, cerita pendek, puisi, esai, dan analisis.

Membicarakan RAF adalah menatap kembali perkembangan panggung seni pertunjukan di tanah air, karena pikiran, kiprah, dan gagasan-gagasannya kemudian tidak hanya jadi ikon, tetapi jadi patron.

Para seniman Sunda mungkin masih bisa mengingat dengan segar, bagaimana ketika awal tahun 1960-an ia tiba-tiba memunculkan konsep yang sama sekali baru bagi Tembang Cianjuran.

Kala itu di Bandung sudah berkembang 3-4 paguyuban Tembang Cianjuran, tentu semua bersandar pada mamaos. Nah, RAF menghadirkan konsep tembang berbasis puisi. Boleh jadi, karena dia berasal dari ranah itu, ranah sastra.

Selepas Perang Dunia II, dia mulai melahirkan karya-karya dalam bentuk naskah/skenario drama. Sebut saja di antaranya, Dakwaan, Sangkuriang, dan Yaomal Qiyamat yang kemudian mengilhaminya menggubah drama yanng dikemas dalam bentuk “seperti” opera sebagaimana tampak pada Leuwi Sipatahunan (1963).

Untuk ukuran pergelaran pada masa itu, Leuwi Sipatahunan bisalah disebut sebgai pentas kolosal pertama gending karesmen yang melibatkan 25 penembang, 13 kru dan penata artistik.

Dari sini pula titik awal RAF bersama sejawatnya melahirkan Lingga Binangkit, lingkung seni yang memelopori pembaruan tidak saja di bidang seni tembang, tapi merambah ke seni kasidah. Bisa dipahami, karena dalam kiprahnya RAF selalu meniupkan nilai-nilai religius pada karya-karyanya.

Selain memajukan seni Cianjuran, terobosan penting Lingga Binangkit adalah penggunaan alat-alat musik barat seperti gitar dan keyboard dalam seni kasidah. Pada 1970-an.

Penggabungan dua alat musik modern dengan rebana tradisional tersebut sempat memicu kontroversi, terutama dari kalangan pesantren pada masa itu.

Toh, dalam perjalanannya, penggabungan itu bisa diterima masyarakat dan menjadi ciri khas kasidah modern yang terus berkembang hingga sekarang. RAF bersama Lingga Binangkit-nya bisa disebut sebagai pelopor kasidah modern.

April 2005, Pa Ading masih sempat menulis naskah gending yang dijudulinya Wiwitan Indit-inditan. Naskah ini dipentaskan pada perayaan 42 tahun Lingga Binangkit di Gedung Asia Africa Culture Center (gedung Majestic), di Jalan Braga Bandung. (lihat http://linggabinangkit.wordpress.com).

Ia pun membangun komunitas seni Patria yang boleh dikata menjadi wadah persemaian para pelaku seni pertunjukan dan belakangan merambah ke seni peran di Bandung. Hingga kini, rumahnya di komplek Guruminda, Cisaranten –setelah pindah dari jalan Bawean– tak pernah sepi dari aneka kegiatan. Berbagai acara televisi dan hiburan, diproduksi dari “komplek RAF” ini.

Tak pernah secara formal membuka sanggar atau semacamnya, RAF bersama keluarga ibarat magnet yang menyedot para peminat dan penggiat seni untuk selalu bergabung, berinteraksi dan berkarya.

Boleh jadi, ini tak lepas dari prinsip yang selalu ditekankannya sejak lama, bahwa cukup satu syarat saja bagi orang yang memang mencintai seni, yaitu resep (senang/suka), baik pada lingkungan duduluran (kekeluargaan), maupun keindahannya.

Konsep duduluran inilah yang membuat RAF bukan saja merupakan sosok individu, tapi melebar dan menjalarkan spirit menjadi sebuah komunitas persaudaraan. Ke rumahnya, siapa pun yang datang, disambut dengan sukacita.Cag!

Ka hareup neukteuk sajeujeuh
ka tukang nilas saregang
ka hareup seukeut pangjeujeuh
ka tukang awas nyoreang ….

(yusran pare)

***

Perginya Sang Inohong

BUDAYAWAN yang juga tokoh pers, seniman, sastrawan Sunda sekaligus pengamat sepakbola, Rahmatullah Ading Affandie (RAF) wafat pada usia 79 tahun, di RS Advent Bandung, Rabu (6/2) pukul 18.51.

RAF dikenal sebagai penggagas sekaligus penggarap sinetron Sunda Inohong di Bojongrangkong yang ditayangkan TVRI Bandung, itu meninggalkan seorang istri, Ineu Priatnakusumah (78) serta lima anak Niki, Luki, Yogi, Eri, dan Dicki, beserta sembilan orang cucu.

Pria kelahiran Banjarsari, Ciamis 2 Oktober 1929 itu juga menelurkan karya-karya sastra Sunda terbaiknya, antara lain novel Sunda Pipisahan, Nu Kaul Lagu Kaleon, Bentang Lapangan serta Dongeng ti Pasantren.

Ditemui wartawan Tribun di kediamannya di Komplek Guruminda Blok C No 3 Kota Bandung tadi malam, Eri, anak kelima RAF, menuturkan, ayahnya itu menderita kanker kelenjar sejak Juli 2007. RAF sempat beberapa kali dirawat di RS Hasan Sadikin.

Menurut Eri, ayahnya itu diopname di Ruang Anggrek Katalina RSHS sejak Senin (28/1). Bahkan Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan sempat membesuknya, Jumat (1/2).

Pada Senin (4/2) RAF diizinkan pulang ke rumah. Namun Rabu (6/2) subuh RAF mengalami sesak nafas dan dilarikan kembali ke RSHS.

Sayangnya, karena ruang Anggrek RSHS penuh, RAF dilarikan ke Ruang ICU RS Advent. Namun Yang Maha Kuasa menentukan lain. Setelah mendapat perawatan intensif, akhirnya mantan pengurus Persib pada era Omo itu tutup usia hanya beberapa saat setelah azan magrib selesai berkumandang.

Jenazah RAF dikebumikan di Taman Makam Keluarga di Cilanggeng Rancaekek, Kamis (7/2) sekitar pukul 10.00. Sebelumnya, jenazah RAF akan disalatkan di Mesjid Ar Rohmat di Komplek Guruminda. (tor)

01
Feb
08

Politik Poco-poco

poco-pocoan.jpg
ORANG mengenalnya sebagai lagu dan tarian khas Minahasa, Sulawesi Utara, meski sejatinya Poco-poco berasal dari Ambon, Maluku. Mulai populer awal 1990-an, hingga kini masih sering digelar dalam berbagai kesempatan pesta gembira.
Ciri poco-poco, step-nya patah-patah dengan arah berganti-ganti pada hitungan 1-2-3-4. Satu langkah kaki diayun ke depan, namun buru-buru mengayun lagi selangkah ke belakang seiring irama yang mudah diikuti.
Balenggang pata-pata
Ngana pe goyang pica-pica
Ngana pe bodi poco-poco
Selain dipopulerkan oleh kalangan militer, tari pergaulan ini juga jadi materi pelengkap di sanggar-sanggar bugar. Disisipkan di tengah latihan aerobik, dengan gerakan yang bisa lebih dinamis karena musik pengiringnya lebih rampak.
Entah karena presiden Yudhono pensiunan militer yang mungkin sesekali pernah berpoco-poco bersama pasukannya, atau karena mantan presiden Megawati Soekarnoputri gemar menari poco-poco dan memahami betul “filosofi gerak” tarian itu, sehingga ia menuding (pemerintahan) Yudhoyono ibarat poco-poco. Bergerak di tempat, cuma sekadar menghibur diri dan orang lain.
Cuma ngana yang kita cinta
Cuma ngana yang kita sayang
Cuma ngana suka biking pusing
Kritik itu dilontarakan Mega terhadap gerak-gerik pemerintah saat ini yang dinilainya tidak berhasil mengubah keadaan menjadi lebih baik. Kemiskinan bukannya semakin berkurang, malah justru meningkat, kata Mega.
Di satu sisi, kritiknya mungkin betul. Di sisi lain, adalah lebih mudah mengamati sesuatu dari luar ketimbang berada dan turut menjalankan sebuah sistem. Bagi Megawati, yang juga pernah memimpin republik ini, tentu dia paham betul bagaimana sulit dan ruwetnya persoalan yang dihadapi bangsa ini.
Mampu dan berhasilkah dia dan timnya mengatasi persoalan? Tepatkah langkah-langkah yang diambilnya untuk menuntaskan masalah kemiskinan, pendidikan, korupsi, dan lain sebagainya? Publik lah yang tentu merasakan, mencatat, dan memperbandingkannya.
Dan, bisa jadi, dengan dasar itu pula publik menentukan pilihan pada saat pemilihan presiden tempo hari. Dasar itu pula yang tentu akan jadi satu di antara pertimbangan publik untuk memilih pemimpin-pemimpin di masa datang.
Ngana bilang
Kita na sayang
Rasa hati ini malayang
Jau… uh… ci ya … ci ya
Sejauh ini, satu hal yang tampaknya belum juga bisa dituntaskan oleh para pemimpin negeri ini adalah korupsi. Betul, tiap rezim selalu punya konsep, selalu “tampak” ada upaya memberantas tuntas praktek-praktek korupsi, namun realitas menunjukkan, hampir semuanya tak berhasil.
Korupsi seperti sudah jadi ruh yang menghablur dan menggerakkan segala aktivitas hampir semua lini, institusi, lembaga, badan, pemerintahan maupun swasta, dari pusat sampai ke daerah. Padahal, lembaga dan institusi pencegah dan penindak korupsi sebenarnya sudah cukup lengkap.
Isu pemberantasan korupsi bukan saja milik pemerintahan sekarang, sebab sudah digembar-gembor demikian kencang sejak era Soekarno, di masa Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, juga saat Megawati berkuasa, hingga kini di era Yudhoyono.
Nyatanya, korupsi tetap merajalela dan –dalam beberapa bentuk– seakan sudah diterima sebagai kelaziman dan keharusan yang tak seakan perlu dipertanyakan lagi. Masyarakat sendiri seperti sudah tak berdaya menghindarinya, malah cenderung ikhlas melarutkan diri di dalam praktek yang seharusnya diperangi.
Biar kita ngana pe bayang
Biar na biking layang-layang
Cuma ngana yang kita sayang
Saking parahnya cengkereaman kultur korupsi itu, lembaga wakil rakyat dari pusat ke daerah, bahkan lembaga sekelas Bank Indonesia, bank sentral yang seharusnya steril dari soal-soal seperti itu ternyata juga terindikasi terlibat dalam arus pusaran korupsi.
Itu baru persoalan korupsi. Belum lagi masalah-masalah lain termasuk bencana alam yang seolah tak henti terjadi dan memerlukan langkah-langkah strategis dan tepat. Bencana yang silih berganti datang itu pun tidak semata akibat dari proses alamiah, namun ada juga yang hadir karena “diundang” oleh pelaksanaan dan tindak-tanduk pembangunan yang tidak tepat.
Di tengah situasi seperti ini, rakyat butuh ketenangan, keyakninan dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Harapan itu antara lain digantungkan pada pundak para pemimpin yang mampu menunjukkan kearifan dan kebijaksanaannya. Namun, yang terjadi, para pemimpin ini jauh lebih suka baku omong dan saling-silang bersilat lidah merapal jurus-jurus retoris.
Maka, daripada ikut pusing, mendingan kita bercpoco-poco bersama saja: Dur, panjak!
Cuma ngana yang kita cinta
Cuma ngana yang kita sayang
Cuma ngana suka biking pusing
.