SAYA ”bertemu” terakhir dengan Gito Rollies awal Februari 2008 di Cicalengka, Kabupaten Bandung. Hari itu tokoh Jawa Barat, H Nanang Iskandar Masoem menikahkan putrinya. Nanang berbesan dengan Arifin Soehara, teman seangkatan saya di fakultas, cuma beda kelas –dia kelas karyawan, saya kelas reguler.
Bangun Soegito alias Gito Rollies adalah sahabat Nanang. Mereka satu kelas di SMAN 2 Bandung. Dan, kata Gito, persahabatan mereka terus berlanjut. Sementara saya, mengenal rocker yang bermetamorfosis jadi juru dakwah ini sejak sering meliput pentas-pentas musik di awal tahun 1980-an.
Di Cicalengka, hari itu Gito sebagaimana tampilannya belakangan ini, mengenakan gamis warna pucat, peci putih, dan sorban. Ia didapuk panitia untuk naik panggung. Sebelum menyanyi, ia mengkilas balik pershabatannya dengan Nanang –satu di antara sembilan anak Haji Ma’some– kiai yang sukses mengembangkan pesantren, lembaga pendidikan modern, dan jaringan bisnis amat besar di Jawa Barat.
“Saya ini betul-betul bersahabat dengan Pak Nanang. Sahabat dalam arti sebenarnya. Tapi sahabat yang bertolak belakang. Saya …badung dan nakal, Pak Nanang saleh luar biasa. Sejak remaja ia tak pernah tinggal salat. Sementara saya? Tahu sendiri lah…?” kata Gito terkekeh. Ia pun mencuplik sejumlah tingkah nakal-nya di masa remaja.
Akhirnya Gito memanggil satu lagi teman satu SMA-nya. Agum Gumelar, yang juga hadir pada resepsi akbar pernikahan anak-anak Nanang dan Arifin itu. “Nah, Pak Agum juga sahabat saya. Kami sama-sama dari sekolah yang sama. SMAN 2 Bandung,” kata Gito. Maka, hari itu, Agum yang sudah berduet dengan Nu’man –dalam pemilihan Gubernur Jawa Barat—berganti pasangan dulu. Mereka pun bernyanyi.
Tadinya saya –dan istri—ingin menemui dulu Gito, ya sekadar bertanya apa kabar atau apalah. Maklum sudah 20 tahunan tak bertemu muka. Namun, hari itu tamu begitu banyak. Entah berapa ribu. Lagi pula, panggung tempat Gito tampil, dibatasi kolam. Dari tempatnya, Gito sempat melambai lalu mengacungkan jempol dan mengangguk saat saya memberinya isyarat bahwa kami pamit.
Kamis (28/02/2008) malam, datang berita, Gito sudah pergi. Perjuangannya melawan kanker getah bening sudah berakhir. Inna lillahi wainna ilaihi rojiun. Segala yang berasal dari-NYA, semua kembali kepada-NYA.
Satu lagi, tokoh yang jadi ikon perkembangan musik di tanah air pergi. Sebelumnya Harry Roesli –musisi eksentik—pergi setelah bergelut dengan penyakitnya, (http://curahbebas.wordpress.com). Gito, dengan teman-temannya Uce F Tekol, Jimmy Manoppo, Benny Likumahuwa, dan Teungku Zulian Iskandar menggebrak panggung musik dengan The Rollies-nya.
Kiprah musik anak-anak Bandung di tahun 70-80an itu tambah marak dengan terbitnya “Aktuil” yang terus mengulas perkembangan musik dan “memprovokasi” kawula muda untuk melahirkan gerkan-gerakan baru di bidang musik. Selain Rollies, saat-saat itu ada Rhapsodia (Soleh), Paramour (Djadjat), dan Giant Step (Benny Soebardja) yang tak kalah garang jika tampil di panggung.
Setelah malang melintang di pentas musik cadas, Gito hilang dari peredaran, dan muncul lagi dengan identitas baru. Ia telah bersalin baju, jadi seorang yang lebih religius dan lebih sering naik panggung sebagai juru dakwah. Dan dalam “busana” itulah dia pergi menghadap-NYA.
Selamat jalan, Bung! (*)