SERIBU berbanding sepuluh. Perumpamaan perbandingan ini disampaikan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Barat, Inspektur Jenderal Polisi Susno Duadji untuk menggambarkan efektifitas kontrol sosial antara polisi dengan pers.
Kata dia, 1000 polisi mungkin takkan cukup untuk mengawasi dan membenahi perilaku korup di tengah kehidupan masyarakat kita. Tapi sepuluh wartawan yang punya komitmen dan memiliki integritas tinggi, akan bisa melakukan.
Kapolda Jabar ini tampak gregetan betul terhadap praktek korupsi yang makin hari bukannya kian surut, melainkan justru sebaliknya. Kegundahaannya itu terungkap saat ia singgah ke Tribun, Senin (18/2).
Tak berhenti pada kegundahan, ia juga menegaskan sikap dan tekadnya memerangi korupsi. Malah ia berjanji akan memuilai dengan pembenahan dan pembersihan ke dalam (lingkungan polisi di Jawa Barat), lalu ke luar. Lalu, Polda Jabar akan pula membuka jalur khusus –termasuk website– untuk menerima laporan dan pengaduan dari masyarakat.
Angin segar? Mudah-mudahan saja begitu. Dalam masyarakat normal, aparat hukum memang seharusnya merupakan sosok yang ditakuti dan bisa mengancam orang maupun pihak lain yang (hendak) melanggar aturan.
Selama ini kita merasakan aparat hukum seperti kehabisan nyali ketika memerangi korupsi karena seringkali langsung berhadapan dengan tembok besar, yakni kokohnya kultur korup di setiap lini di negeri ini.
Akibatnya, penanganan korupsi seperti jalan di tempat. Dalam kasus-kasus tertentu, penyidikan, penuntutan dan keputusan pengadilan hingga tata cara advokasi dalam setiap kasus korupsi, justru malah jadi celah korupsi pula.
Dengan demikian, tekad dan janji Kapolda Jabar untuk memerangi korupsi, setidaknya di wilayah hukumnya pun sangat mungkin akan berhadapan dengan kultur yang juga sudah telanjur korup.
Memang, aparat hukum tak mungkin bisa bekerja sendiri. Diperlukan kerja sama dari segenap elemen masyarakat, termasuk jajaran pers dan organisasi massa.
Dua ormas Islam tersbesar dan paling berpengaruh, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah pernah mengikatkan diri dalam satu aliansi untuk bersama-sama melawan korupsi. Kita juga sudah punya lembaga khusus, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi. Tiap instansi pun memiliki badan atau pengawasan internal sendiri.
Toh, korupsi jalan terus, malah makin menjadi-jadi dan menajalar bahkan lembaga perwakilan rakyat. Dari pusat, hingga ke daerah.
Mungkin betul kata Kapolda, pers bisa turut mengontrol dan mengingatkan masyarakat serta aparat mengenai hal itu. Namun realitas menunjukkan, pers pun nyaris tak pernah bisa steril dari kepentingan-kepentingan bisnis dan mungkin kepentingan politik para pelakunya.
Setidaknya, masyarakat masih melihat ada di antara pers yang tidak memegang teguh komitmen dan integritas profesinya. Alih-alih mengontrol perilaku korup, malah terhanyut dan jadi bagian dari kultur itu.
Betapa pun, Kapolda telah membuka diri dan menyatakan tekadnyna. Kita semua tentu saja berharap tekad seperti itu tidak hanya menyala dari satu pihak, melainkan juga dari seluruh pimpinan dan segenap elemen masyarakat.
Kecuali, kalau kita memang lebih suka hidup dalam budaya korup! ***
Bandung, 190208
0 Tanggapan to “Korupsi dan Janji Kepala Polisi”