SEJAK Sabtu sampai Selasa 22-26 Maret 2008 ratusan orang, laki perempuan, dan hampir seluruhnya kawula muda, antre mengikuti audisi Kontes Dangdut Indonesia (KDI). Heboh abis!! Suasana Hotel Victoria di tepi Sungai Martapura Banjarmasin, ibarat sedang terkena demam hebat. Demam dangdut.
Konon di kota-kota lain juga terjadi hal serupa manakala berlangsung audisi KDI, sebagaimana pula gegap gempitanya audisi Indonesian Idol yang — entah kenapa– seolah-olah membuat Indonesia jadi bagian dari Amerika.
Dangdut memang sudah jadi arus musik “asli Indonesia” yang menjangkau hampir semua lapisan dan strata warga di tanah air. Itu sebabnya, meski dari segi mobilisasi massa sedikit berada di bawah Indonesian Idol, namun KDI –yang sudah memasuki tahun ke lima– terasa lebih “mempribumi”.
Dangdut nmusik pribumi? Ya, dangdut ‑‑bermula dari istilah sinis dan mengejek untuk irama musik Melayu yang menggelitik‑‑ kini bisa dibilang merajai musik di berbagai lapisan masyarakat di tanah air.
Dulu, “Dangdut itu musik tahi kucing!” pekik seorang rocker saat itu (pertengahan 1970‑an). Kalau tak salah, yang menghujat musik Oma itu adalah pentolan Giant Step, grup rock ternama dari Bandung.
Boleh jadi, Giant Step pun rocker sejati made‑in republik. Sebab grup inilah yang pertama kali berani manggung dengan lagu‑lagu rock gubahan sendiri ketika publik musik rock didemami Deep Purple, Led Zeppelin dan Rolling Stone.
Polemik yang disulut ‘tahi kucing!’ itu akhirnya berpuncak pada dialog yang memperhadapkan Benny Soebardja, pentolan Giant Step dengan Oma Irama, komandan Soneta.
Dan, polemik itu berpuncak di Senayan dalam sebuah duel sungguhan antara dua kelompok musik. Saat itu tahun 1979. Inilah sesengguhnya duel maut pertama dalam pentas musik kita, dan hingga kini mungkin belum tertandingi.
Itu terjadi di Istana Olahraga (Istora) ‑‑kini Gelora Bung Karno‑‑ hampir 30 tahun silam. Berdiri di satu sisi adalah God Bless, dengan Achmad Albar sebagai komandan. Di kubu berlawanan, tegaklah Oma Irama memimpin pasukan Orkes Melayu‑nya, Soneta.
Ini duel paling spektakuler di ujung dekade itu, sekaligus sebagai puncak perseteruan panas dan tajam lewat polemik yang meluas di antara para seniman. Di situ pula revolusi musik dangdut di tanah air mencapai titik ledak, dan virusnya menjalar serta mendemami hampir setiap orang hingga saat ini, (http://curahbebas.wordpress.com).
Kini, rasa‑rasanya tak satu pun orang Indonesia tak kenal dangdut. “Sejak rapat‑rapat raksasa di masa Demokrasi Terpimpin, acara panggung yang paling banyak dibanjiri massa adalah panggung dangdut Oma Irama,” tulis William H Frederick, doktor sosiologi Universitas Ohio, AS, yang pada 1980‑an meneliti Oma dan fenomenanya.
“Kemampuannya” mengundang massa itu pula yang kemudian membuat Oma jadi rebutan partai politik, sampai kemudian ia jadi anggota parlemen. Ia juga loncat dari PPP ke Golkar dan balik lagi ke PPP, ketika angin perubahan mulai terasa.
Kini, rasa-rasanya tak pernah ada acara hiburan yang tanpa dangdut. Mulai dari perhelatan khitanan di lorong kampung, hingga acara kaum elit di hotel berbintang. Mulai dari kedai karaoke di tepi-tepi jalan sekitar kawasan pertambangan di pedalaman, hingga resepsi pergantian petinggi negeri di republik ini. ***
“Kayapa Habar Sabarataan?”
BAGI dangdut mania pasti tak asing lagi dengan artis dangdut pendatang baru, Lita Lia di gelaran KDI 4 lalu. Dengan dangdut keroncong dan seriosanya, dia berhasil memukau pedangdut senior yang jadi juri KDI. Bahkan bintang muda KDI duta Banjarmasin masuk di jajaran 6 besar KDI 4.
Sekian lama tak muncul ke Kota Seribu Sungai, tiba-tiba saja Lita memberikan surprise dengan mengunjungi redaksi Banjarmasin Post bersama dua staf Media Relation TPI, Suska dan Pipit. Tak ayal, ketiganya disambut antusias meriah awak redaksi.
Dengan senyum khasnya dibalut baju terusan abu-abu, Lita menyapa pimpinan redaksi BPost, Yusran Pare, Umi Sriwahyuni, Harry Prihanto dan lainnya.
“Senang banget bisa ke Banjarmasin setelah setahun lebih di Jakarta dan Samarinda. Kayapa habar pian sabarataan, baik-baik aja kalo,” sapanya kepada awak redaksi BPost dalam Bahasa Banjar.
Demikian halnya staf Media Relation TPI, Suska Dianingka. Menurutnya sagat terkesan dengan kerjasama bersama BPost sejak mulai digelar KDI di Banjarmasin, beberapa tahun lalu.
“Semoga kerjasama kita bisa berlanjut di masa mendatang,” papar Suska sambil menikmati wadai Banjar yang katanya baru pertama kali ditemui di BPost.
Di sela-sela acara, Lita dan Suska menerima cinderamata berupa boneka Bekantan dan Kamus Bahasa Banjar. Tak ketinggalan koran kecil berbingkai yang jadi cinderamata khusus BPost. “Kok korannya cepat sekali jadi ya? Bagus banget,” kata Lita dengan seang bercampur kaget.
Lita yang juga penyanyi kelahiran Samarinda, April 1988 tak hanya piawai membawakan tembang dangdut dengan gaya keroncong dan seriosanya lho. Pengagum Rita Sugiarto ini juga piawai menyanyikan lagu-lagu Banjar.
Seperti ditunjukkanya saat bertandang di koran terbesar di Kalimantan ini, Lita menyanyikan lagu Rita Sugiarto dan lagu Banjar dengan hebohnya. Bahkan, kalam melantunkan Lagu Banjar, Lita duet dengan awak redaksi, Martini. (ncu)