Arsip untuk Maret 26th, 2008

26
Mar
08

Republik Dangdut

audisi_20080322aya01-071.jpgkdi-juri-20080325aya03-171.jpg kdi1.jpg

SEJAK Sabtu sampai Selasa 22-26 Maret 2008 ratusan orang, laki perempuan, dan hampir seluruhnya kawula muda, antre mengikuti audisi Kontes Dangdut Indonesia (KDI). Heboh abis!! Suasana Hotel Victoria di tepi Sungai Martapura Banjarmasin, ibarat sedang terkena demam hebat. Demam dangdut.

Konon di kota-kota lain juga terjadi hal serupa manakala berlangsung audisi KDI, sebagaimana pula gegap gempitanya audisi Indonesian Idol yang — entah kenapa– seolah-olah membuat Indonesia jadi bagian dari Amerika.

Dangdut memang sudah jadi arus musik “asli Indonesia” yang menjangkau hampir semua lapisan dan strata warga di tanah air. Itu sebabnya, meski dari segi mobilisasi massa sedikit berada di bawah Indonesian Idol, namun KDI –yang sudah memasuki tahun ke lima– terasa lebih “mempribumi”.

Dangdut nmusik pribumi? Ya, dangdut ‑‑bermula dari istilah sinis dan mengejek untuk irama musik Melayu yang menggelitik‑‑ kini bisa dibilang merajai musik di berbagai lapisan masyarakat di tanah air.

Dulu, “Dangdut itu musik tahi kucing!” pekik seorang rocker saat itu (pertengahan 1970‑an). Kalau tak salah, yang menghujat musik Oma itu adalah pentolan Giant Step, grup rock ternama dari Bandung.

Boleh jadi, Giant Step pun rocker sejati made‑in republik. Sebab grup inilah yang pertama kali berani manggung dengan lagu‑lagu rock gubahan sendiri ketika publik musik rock didemami Deep Purple, Led Zeppelin dan Rolling Stone.

Polemik yang disulut ‘tahi kucing!’ itu akhirnya berpuncak pada dialog yang memperhadapkan Benny Soebardja, pentolan Giant Step dengan Oma Irama, komandan Soneta.

Dan, polemik itu berpuncak di Senayan dalam sebuah duel sungguhan antara dua kelompok musik. Saat itu tahun 1979. Inilah sesengguhnya duel maut pertama dalam pentas musik kita, dan hingga kini mungkin belum tertandingi.

Itu terjadi di Istana Olahraga (Istora) ‑‑kini Gelora Bung Karno‑‑ hampir 30 tahun silam. Berdiri di satu sisi adalah God Bless, dengan Achmad Albar sebagai komandan. Di kubu berlawanan, tegaklah Oma Irama memimpin pasukan Orkes Melayu‑nya, Soneta.

Ini duel paling spektakuler di ujung dekade itu, sekaligus sebagai puncak perseteruan panas dan tajam lewat polemik yang meluas di antara para seniman. Di situ pula revolusi musik dangdut di tanah air mencapai titik ledak, dan virusnya menjalar serta mendemami hampir setiap orang hingga saat ini, (http://curahbebas.wordpress.com).

Kini, rasa‑rasanya tak satu pun orang Indonesia tak kenal dangdut. “Sejak rapat‑rapat raksasa di masa Demokrasi Terpimpin, acara panggung yang paling banyak dibanjiri massa adalah panggung dangdut Oma Irama,” tulis William H Frederick, doktor sosiologi Universitas Ohio, AS, yang pada 1980‑an meneliti Oma dan fenomenanya.

“Kemampuannya” mengundang massa itu pula yang kemudian membuat Oma jadi rebutan partai politik, sampai kemudian ia jadi anggota parlemen. Ia juga loncat dari PPP ke Golkar dan balik lagi ke PPP, ketika angin perubahan mulai terasa.

Kini, rasa-rasanya tak pernah ada acara hiburan yang tanpa dangdut. Mulai dari perhelatan khitanan di lorong kampung, hingga acara kaum elit di hotel berbintang. Mulai dari kedai karaoke di tepi-tepi jalan sekitar kawasan pertambangan di pedalaman, hingga resepsi pergantian petinggi negeri di republik ini. ***

kdi.jpg

“Kayapa Habar Sabarataan?”

BAGI dangdut mania pasti tak asing lagi dengan artis dangdut pendatang baru, Lita Lia di gelaran KDI 4 lalu. Dengan dangdut keroncong dan seriosanya, dia berhasil memukau pedangdut senior yang jadi juri KDI. Bahkan bintang muda KDI duta Banjarmasin masuk di jajaran 6 besar KDI 4.

Sekian lama tak muncul ke Kota Seribu Sungai, tiba-tiba saja Lita memberikan surprise dengan mengunjungi redaksi Banjarmasin Post bersama dua staf Media Relation TPI, Suska dan Pipit. Tak ayal, ketiganya disambut antusias meriah awak redaksi.

Dengan senyum khasnya dibalut baju terusan abu-abu, Lita menyapa pimpinan redaksi BPost, Yusran Pare, Umi Sriwahyuni, Harry Prihanto dan lainnya.

“Senang banget bisa ke Banjarmasin setelah setahun lebih di Jakarta dan Samarinda. Kayapa habar pian sabarataan, baik-baik aja kalo,” sapanya kepada awak redaksi BPost dalam Bahasa Banjar.

Demikian halnya staf Media Relation TPI, Suska Dianingka. Menurutnya sagat terkesan dengan kerjasama bersama BPost sejak mulai digelar KDI di Banjarmasin, beberapa tahun lalu.

“Semoga kerjasama kita bisa berlanjut di masa mendatang,” papar Suska sambil menikmati wadai Banjar yang katanya baru pertama kali ditemui di BPost.

Di sela-sela acara, Lita dan Suska menerima cinderamata berupa boneka Bekantan dan Kamus Bahasa Banjar. Tak ketinggalan koran kecil berbingkai yang jadi cinderamata khusus BPost. “Kok korannya cepat sekali jadi ya? Bagus banget,” kata Lita dengan seang bercampur kaget.

Lita yang juga penyanyi kelahiran Samarinda, April 1988 tak hanya piawai membawakan tembang dangdut dengan gaya keroncong dan seriosanya lho. Pengagum Rita Sugiarto ini juga piawai menyanyikan lagu-lagu Banjar.

Seperti ditunjukkanya saat bertandang di koran terbesar di Kalimantan ini, Lita menyanyikan lagu Rita Sugiarto dan lagu Banjar dengan hebohnya. Bahkan, kalam melantunkan Lagu Banjar, Lita duet dengan awak redaksi, Martini. (ncu)

26
Mar
08

Menguji Kedewasaan

 20082003_antara-rabu190308-132-simulasi_pengamanan_pilkada.jpg

KERUSUHAN di sekitar pemilihan kepala daerah (Pilkada) kembali terjadi. Kali ini di Gorontalo, Sulawesi. Kamis (20/3) massa menyerbu dan merusak Kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) setempat. Diberitakan, seorang peserta aksi tewas kena tembak aparat yang mengamankan huru-hara tersebut, sejumlah lainnya cedera.

Insiden ini menambah panjang daftar kerusuhan terkait dengan pemilihan umum di daerah. Sebelumnya, Makassar diharu-biru aksi massa menyusul pemilihan gubernur Sulawesi Selatan. Sejumlah insiden serupa dengan skala berbeda, terjadi di beberapa daerah, baik sebelum maupun setelah pemilihan berlangsung.

Peristiwa Gorontalo dipicu ketidakpuasan para pendukung pasangan calon walikota dan wakil walikota yang dianulir oleh KPUD terkait persyaratan administratif. Massa marah karena sebelumnya KPUD telah mengesahkan pencalonan tersebut.

Belakangan, atas rekomendasi Panitia Pengawas (Panwas), pencalonan itu dibatalkan. Alasannya, surat pengajuan dari satu di antara tiga partai politik yang mengusung calon itu ditandatangani bukan oleh pengurus definitif partai bersangkutan.

Dari mana pun pemicunya, kerusuhan sudah meletus. Kerusakan sudah terjadi, dan korban sudah jatuh. Sangat boleh jadi, korban maupun keluarganya bukanlah politisi maupun orang yang berkepentigan langusung dengan terpilih atau tidaknya sepasang calon kepala daerah, melainkan warga biasa yang sama sekali tak memahami konstelasi politik dengan segala omong kosong dan taktik serta aneka siasatnya yang kadang licik.

Apa yang terjadi di Gorontalo, dan beberapa daerah lain makin memperkuat bukti-bukti bahwa konflik seputar pilkada kini bukan lagi kecenderungan, tapi nsudah jadi kenyataan dan bisa terjadi di mana saja di tanah air. Apalagi sepanjang tahun ini hingga 2009 berlangsung pilkada di berbagai daerah.

Dalam waktu dekat, sebulan lagi, dua kabupaten di Kalimantan Selatan juga memasuki kemeriahan pesta demokrasi. Hari-hari ini pasangan-pasangan calon bupati dan wakil bupati di kedua ndaerah itu sudah menampilkan diri. Para pendukung dan tim suskes mereka juga terus bergerilya menjaring simpati para pemilih.

Di Jawa Barat pun demikian halnya. Hari-hari ini tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur sedang berpacu merebut perhatian massa memasuki pemilihan langsung, pertengahan April 2008. Dinamika sudah terasa meningkat. Para pendukung dan tim sukses ketiga pasangan calon pemimpin itu melesat ke berbagai penjuru menjaring simpati.

Menyimak apa yang terjadi di Gorontalo, juga di daerah-daerah lain yang dilanda kerusuhan terakit dengan pemilihan kepala daerah, tampak dengan jelas bahwa konflik –yang begitu mudah meletus jadi kerusuhan– bisa dipicu oleh masalah apa saja. Mulai dari penetapan pasangan calon, urusan internal Parpol yang berimbas pada persoalan KPUD, sampai masalah dana dan pendataan pemilih.

Dalam hal data pemilih, misalnya, banyak daerah masih menghadapi persoalan. Belum lagi soal dana, masalah internal partai, dan lain sebagainya. Jika masalah-masalah itu tidak ditangani secara serius sejak awal, sangat mungkin ia jadi pemicu konflik yang berujung pada kerusuhan. Kerusuhan hanya akan merugikan masyarakat yang mungkin tak ada sangkut paut langsung dengan terpenuhi atau tidaknya syahwat politik para politisi.

Belajar dari peristiwa-peristiwa di daerah lain terkait dengan pilkada, para politisi, tokoh-tokoh masyarakat di daerah yang sedang memasuki pesta demokrasi sudah sepatutnya terus menerus mengupayakan –mulai dari sekadar mengajak, hingga memberikan contoh– bagaimana seharusnya berpolitik secara dewasa.

Masyarakat harus sudah terbiasa mengedepankan prinsip‑prinsip demokrasi dalam pemilu di daerah, sebab prinsip itu sejatinya telah melekat dan jadi bagian hidup mereka. Jika rakyat sudah dewasa dan menunjukkan kedewasaannya, proses pemilihan kepala daerah pun niscaya berlangsung aman dan damai.

Semua tentu berharap situasi aman dan damai terus terjaga sejak mulai pencalonan hingga penghitungan suara betul‑betul rampung. Setelah itu pemenang menjalankan amanat rakyat dengan penuh tanggungjawab, pecundang menerima kekalahannya dengan lapang dada. Pemenang dan pecundang bersama‑sama bahu‑membahu berjuang memajukan daerahnya tanpa melihat lagi siapa kalah siapa menang. ***