Arsip untuk Mei, 2008

12
Mei
08

12, 13 dan 23

HARI merangkak terik. Udara kering. Sang Merah Putih terkulai layu di tiang bambu yang berdiri tegak, bisu. Sekuntum anggrek bulan ungu tergeletak di atas batu nisan keramik hitam. Empat anak muda berjongkok, tepekur mengelilingi nisan dalam perenungan masing-masing.

Wajah-wajah mereka kuyu. Tampak letih, mereka berbisik satu sama lain. Tangan-tangan mereka memungut dedaunan dan rantingranting kering di sekeliling nisan. Sejenak kemudian, mulut mereka komat-kamit merapal doa. Begitu khusyuk di tengah keheningan Pemakaman Umum Padasuka, di sisi timur kota Bandung.

Sabtu, 12 Mei 2001. Tiga tahun sudah Hafidhin Royan terbaring di sana. Ya, Oyan –demikian ia biasa disapa– adalah satu di antara empat mahasiswa Universitas Trisakti yang jadi korban ‘revolusi’ Mei 1998. Pada saat yang sama, di Jakarta berlangsung peringatan tiga tahun tragedi itu. Oyan, Herry Hartanto, Elang Mulia Lesmana dan Hendriawan Sie, tewas ditembak aparat keamanan di tengah kekacauan di kampus Trisakti pada 12 Mei 1998.

Peristiwa itu memicu kerusuhan paling brutal dan gelap dalam sejarah pergantian rezim di negeri kita selama ini. Sehari kemudian, huru-hara menelan ibu kota, menewaskan setidaknya 1.000 orang dalam aksi penjarahan, pembakaran, pemerkosaan dan pembunuhan. Hingga kini ratusan orang masih dicekam trauma, ratusan lainnya mencari-cari kejelasan tentang nasib anak, suami, istri, sanak-famili mereka yang hilang sejak kerusuhan itu.

Mengenang tragedi Mei, orang hanya ingat Insiden Trisakti. Bahkan DPR RI membentuk panitia khusus (Pansus) untuk itu. Tapi tak ada yang mengingat ratusan korban yang terpanggang hidup-hidup di dalam mal yang berkobar, atau yang terkapar di pojok gang, dibunuh setelah habis-habisan diperkosa. Kecuali keluarga mereka.

Ada peminggiran, diskriminasi yang tampak sistematis, untuk mengubur mereka dari panggung ingatan sejarah, karena mereka hanyalah orang biasa dan ‘bukan mahasiswa’.

Ya. Diskriminasi. Tak hanya hukum, bahkan sikap masyarakat pun tampaknya dibentuk untuk membangun diskriminasi itu. “Mereka mati terbakar karena –salah sendiri– menjarah. Mereka dijarah dan diperkosa karena –salah sendiri.” Dan seterusya.

Kalau setarap Pansus DPR saja tak bisa berkutik menghadapi tembok-tembok tebal yang menutup dan memagari Tragedi Trisakti, apalagi cuma tangan Ny Ruminah dan Ny Ruyati yang kehilangan anak-anak mereka dalam kebakaran hebat di mal di Klender. Apa pula daya Ny Tan Kian Seng yang kehilangan putrinya yang bunuh diri setelah tiga bulan dirawat di rumah sakit jiwa. Putri bungsunya, berusia 17, itu kacau balau setelah diperkosa dan susunya disayat silet di tengah huru-hara.

Rezim telah berganti. Tapi tak ada upaya serius untuk membuka kasus itu, mengusutnya tuntas hingga jelas siapa yang bersalah, dan siapa di balik semua kekacauan yang memalukan itu.

Jika ibu kota negeri punya luka 12 Mei yang kini berubah jadi borok ketidakjelasan, maka ibu kota Kalimatan Selatan pun seharusnya masih menderitakan luka sosial yang ditorehkan –entah oleh siapa– pada hari Jumat 23 Mei 1997.

Ya, Lebih dari 130 orang tewas dalam amuk massa yang mencabik Banjarmasin. Sebagian besar mayat tak bisa dikenali. Jasadjasad yang sebelumnya berakal budi, bertatakrama, bercita-cita, berkeluarga, dan sebagainya, saat itu berubah jadi onggokan-onggokan hangus atau setengah hangus yang cuma ditandai dengan angka: Nomor 81 sudah diambil, juga nomor 45. Jenazah nomor 48 cuma dikenali dari sabuk dan kolornya yang gosong sebagian.

Saya tidak tahu, apakah Pak Aswin melakukan tabur bunga di gedung Plaza Mitra sekadar untuk mengenang kepergian anak pertamanya yang hilang sejak 23 Mei 1997 itu, sebagaimana Bu Ruyati berziarah di tengah gemerlap komplek pertokoan Citra di Klender Jakarta, juga sekadar pelipur lara mengenang putranya yang hilang ketika mencari anak-anak jalanan asuhannya pada 14 Mei 1998 silam. (http://curahbebas.wordpress.com)

Jika DPR RI membentuk pansus untuk meneliti Tragedi Trisakti, maka saya tidak dengar DPRD Kalsel dan DPRD Banjarmasin membentuk panitia serupa untuk meneliti kembali huru-hara Jumat Kelabu untuk mendudukkan masalah itu pada porsi yang semestinya dalam sejarah kemanusiaan provinsi ini, dan menyeret pihak-pihak yang terlibat untuk mempertanggungjawabkannya secara hukum.

Saya tidak tahu, apakah mereka masih ingat pada peristiwa gelap itu. Peristiwa yang –mestinya– turut pula mengantar mereka ke gedung parlemen saat ini, menduduki kursi empuk di ruangan sejuk. Saya cuma berharap, mudah-mudahan mereka tidak sekadar duduk manis sambil saling berbisik soal fasilitas dan bagibagi kekuasaan.

Saya pun tidak mendengar ada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Kalsel –yang biasa getol protes ini-itu– yang coba mendampingi keluarga para korban, memperjuangkan hak-hak hukum dan hak-hak kemanusiaan mereka, menggalang solidaritas, menghimpun kekuatan dalam suatu ikatan untuk terus menerus mengingatkan pemerintah dan para elit setempat bahwa masih ada luka yang harus disembuhkan.

Sebaliknya, tidak di ibu kota, tak juga di daerah, saya melihat kecenderungan yang hampir sama. Saling dorong dan baku tarik pengaruh di antara para elit politik, dan antara elit politik dengan pelaksana pemerintahan melalui isu-isu yang tidak langsung menyentuh kepentingan rakyat. Saya melihat periode pascareformasi ini digunakan dengan sangat baik oleh ordo para pendosa untuk menghapus jejak-jejak kesalahannya.

Rakyat dilarutkan dalam situasi sedemikian rupa sehingga perhatiannya teralih dari agenda reformasi, dan hanya melihat bahwa penguasa saat ini linglung, bobrok, uzur, tak mampu, dan sebagainya, sehingga harus dibetot paksa.

Keriuhrendahan yang mereka bikin, telah membuat kita lupa pada para arsitek politik kerusuhan. Hiruk pikuk yang mereka timbulkan, telah membuat kita lupa tentang siapa sesungguhnya yang bertanggungjawab atas tragedi 12 Mei 1998, tentang tokoh di balik Jumat kelabu 1997, tentang sutradara sinting drama penyerbuan kantor PDI pada 27 Juli.

Buih-buih omong kosong yang mereka pompakan telah membuat kita lupa tentang dosa-dosa kemanusiaan rezim sebelumnya berikut antek, kroni, dan partai berkuasanya.

Ya, kita mungkin bisa dibuat lupa, tapi ingatan sejarah akan tetap mencatatnya. ***

 

Bandung 140501

12
Mei
08

Pesta Besar, Reuni Kecil

PEREMPUAN itu menatap sekilas. Kemudian berlalu bersama rombongan kecilnya mencari-cari tempat duduk di antara ribuan tamu resepsi pernikahan agung di Keraton Yogyakarta, Jumat 9 Mei 2009 malam.

Bergaun kuning, anggun. Tampak feminin. Sekali lagi ia menatap sekilas seakan mengenal. Setelah kira-kira delapan langkah memunggungi kami di sela-sela tetamu yang sudah duduk nyaman, ia menoleh lagi. “Mas Yusran, ya?” begitu yang terbaca dari gelak bibirnya. Femiiiiii…..!!!

Dasar! Saya sendiri pangling. Lha, wong anak tomboy yang biasanya cuma berjins kumal dan kaosan tanpa rias wajah itu, kali ini tampil “normal”. Rupanya, dia sendiri pangling atau lebih tepat tak menduga bakal bersua dengan saya di tempat itu. Wakakakaka…

Dan, kami pun bercakaplah satu-dua jenak, sekaligus saya perkenalkan dia pada mamanya anak-anak. Begitulah, pesta besar dan kolosal yang dihadiri lima ribuan orang itu telah mempertemukan kami yang selama ini hanya berkomunikasi lewat internet.

Femi (http://femiadi.wordpress.com dan  http://kancutmerah.wordpress.com) adalah jurnalis dan penulis buku. Dua buku –satu di antaranya ditulis bersama seniornya di GEMA, AA Kunto A— laris di pasaran. Di tengah pesta akbar itu pula saya bertemu dengan Mas Ignatius Sawabi (Abi), Mas Trias Kuncahyono dan adiknya, Mas Probo (perjumpaan terakhir dengan Mas Probo, ya kira-kira awal tahun 1993 lah).

Kalau saja malam itu Kunto jadi ikut, mungkin pertemuan kecil itu akan lebih meriah lagi. Semula, Kunto yang ketiban sibuk menjemput saya dan mengantar ke hotel, saya ajak serta ke perhelatan raja Jawa itu. Namun rupanya ia sangat sibuk –atau malas—menghadiri pesta besar-besaran di tengah situasi yang mestinya disikapi dengan prihatin dan sederhana.

Reuni saya jadi tambah lengkap seusai pesta. Mas Agoes Widhartono bergabung, lalu kami ngariung sejenak di Jalan Suroto. Di situ ada Mas Trias, Mas Bambang Sigap Sumantri, Mas Bondan Nusantara, dan Mas Krisno “Inus” Wibowo dengan gayanya yang khas. Nah, yang istimewa, malam itu kami diajak Mas Sigap santap malam di Gudeg Pawon.

Saya pernah lama tinggal di Yogya, setidaknya dua kali dua tahun (1990/1993 – 1996/1998), tapi sungguh baru tahu malam itu ada tempat santap yang khas. Pelanggan mengambil santapan langsung dari dapur. Dan di dapur ini sang tuan rumah (penjual) sibuk mengolah dan menyiapkan makanan.

Jadi, suasananya seperti di rumah sendiri ketika kita sudah tak kuat lagi menunggu makanan tesaji di meja. Lapar, langsung ke dapur, ambil sendiri makanan yang kita inginkan. Lalu bersantaplah.

Karena rumah itu terlalu sempit (ruang tamu sekaligus ruang makan dan dapur), maka cari sendiri lah tempat nyaman untuk makan. Boleh di beranda –ada meja panjang dan sederet kursi di sana. Boleh, di lorong gang, lesehan di atas tikar. Bebas. Yang unik lagi, “kedai dapur” ini baru buka setengah dua belas malam!

Di sini, terjadi pula reuni tak terduga. Satu di antara penghuni ruma itu ternyata Mas Bambang Sukoco, satu di antara wartawan kami ketika saya bekerja di Harian Bernas. Saat itu, mas bbs –kami biasa memanggilnya begitu, sesuai insialnya—lebih banyak meliput peristiwa-peristiwa hukum dan kriminal. (**)

12
Mei
08

Wisata Rasa Ala Pelukis

ADA lagi yang istimewa pada kunjungan saya ke Yogya kali ini. Mas Hari Budiono dan istrinya, mBak Titiek yang cantik, sejak hari pertama sudah ikut jadi repot. Gopoh-gapah kedua pasangan ini melayani kami habis-habisan, sampai saya dan mamanya anak-anak tak kuasa lagi harus bilang apa.

Jumat 9/5/2008 mereka memboyong kami ke Pakem – terletak di antara Kota Yogya dan Kaliurang– untuk makan siang. Di situ ada sebuah kedai sederhana di tepi jalan. Namanya, Sego Abang Lombok Ijo. Luar biasa! Menunya sederhana tapi membuat selera terpacu.

Nasi dari beras merah disajikan hangat, ditemani kuah pedas lodeh tempe dengan potongan-potongan lombok hijau masih melotot. Pendampingnya “salad”  daun pepaya yang –entah megapa— terasa begitu gurih dan tak sedikit pun ada rasa pahit. Sambal pedas dan empal goreng serta krupuk kampung membuat kami tambah lahap.

Siang berikutnya, saya diajak ke sebuah tempat dekat stadion baru Yogyakarta, tak jauh dari kawasan Ambarukmo agak ke atas. Kali ini santap siangnya istimewa bagi saya,  karena untuk pertama kali itulah saya mencicipi rujak cingur. Dan, ternyata enak betul.

Rujak cingur sudah sangat populer, namun saya tak pernah berani mencicipi karena membayangkan cingurnya itu. Ternyata, Mas Hari sang pelukis yang karya-karyanya saya kagumi itu membalik kesan saya. Rujak cingur ternyata mengugah selera.

Malam berikutnya, bersama Mas Agus saya diajak Mas Hari dan mBak Titiek santap malam di tengah pasar Jejeran, Wonokromo, Pleret, Bantul (kira-kira 12 Km dari Yogya). Di dalam pasar itu ada beberapa warung sate klatak yang buka.  Satu di antaranya adalah tempat  yang biasa dikunjungi Mas Hari, dan tampaknya merupakan yang paling ramai pengunjungnya.

Sate klatak sangat sederhana. Irisan-irisan daging kambing muda ditusuk dengan sebilah kawat baja jeruji sepeda. Tanpa bumbu apa-apa, daging ini dipanggang setelah dilumuri serbuk garam dan merica. Saat dipanggang di atas bara, bubuk garam yang berjatuhan dan terbakar menimbulkan bunyi gemeretak, klatak…klatak..klatak!!. Konon, karena itulah ia disebut sate klatak.

Satenya empuk sekali, dan sama sekali tak menguarkan bau kambing. Hebat, dan… enaaaak…!! Malam itu kami habiskan di rumah  Mas Hari di kawasan Jambusari. Rumah yang asri dan menyatu dengan lingkungan. Nyaman sekali. Terima kasih, Mas Hari. Terima kasih mBak Titiek. (*)

12
Mei
08

Pernikahan Ageung, eh Agung!

KAMI hadir di Keraton Yogyakarta bukan semata memenuhi undangan Ngarsa Dalem, Sri Sultan Hamengku Buwono X ,  tapi lebih karena ingin tahu peristiwa yang belum tentu bisa disaksikan sembarang waktu. Hari itu Sultan Yogya menikahkan putri ketiganya, GRAj Nurkamnari Dewi yang kini bergelar GKR Maduretno.

Sang putri disunting Yun Prasetyo yang digelari Dalem Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Purbodiningrat. Ijab kabul berlangsung Jumat 9/5/08 pagi pukul 06.35 di Masjid Panepen Kraton Ngayogyakarta. Resepsi dilaksanakan malam  harinya di Bangsal Kencana di dalam lingkungan keraton.

Pesta pernikahan itu diliput dan disiarkan secara luas oleh berbagai media. Cetak maupun elektronik. Jadi, tak perlulah diceritakan lagi di sini. Sekadar melengkapi, berikut adalah cuplikan berita yang dikutip dari Kedaulatan Rakyat, surat kabar pertama dan terbesar di Yogyakarta. Begini:

JUMAT kemarin adalah puncak dari apa yang selama ini diharapkan pasangan Yun Prasetyo dan GRAj Nurkamnari Dewi, yang telah menjalin hubungan cukup lama. Rangkaian upacara adat pernikahan di Kraton, penuh simbol bermakna.

Namun tidak seperti biasa, rangkaian upacara adat kali ini lebih banyak dilakukan secara tertutup untuk pers. Hanya upacara adat panggih yang dilaksanakan secara terbuka.

Di dalam adat panggih inilah ‘digelar’ pelbagai upacara dengan simbol-simbol tertentu. Balang-balangan gantal, mijiki serta mecah tigan oleh GKR Pembayun serta pondhongan (menggendong, ngabopong – Sunda).

Pondhongan adalah upacara yang sangat spesifik dalam perkawinan di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Upacara ini menjadi simbol, bahwa pengantin putri adalah putri Sri Sultan Hamengku Buwono, memiliki derajat lebih tinggi daripada pengantin laki-laki. Zaman dulu kala, pondhongan dilakukan dari kuncung Kagungan Dalem Bangsal Kencana hingga Emper Kagungan Dalem Bangsal Prabayeksa.

Perjalanan waktu, pelaksanaan pondhongan tidaklah harus menempuh sepanjang itu. Pengantin laki-laki dan paman pengantin putri, biasanya memondhong pengantin putri dari kuncung Kagungan Dalem Bangsal Kencana hingga Emper Bangsal Kencana sebelah Utara.

Tetapi dalam pelaksanaan pernikahan GRAj Nurkamnari Dewi dengan Yun Prasetyo SE MBA betul-betul hanya disimbolkan saja.

Karena kondisi badannya, GKR Maduningrat tidak dipangku, melainkan hanya sepintas duduk di atas tangan suami yang bertautan dengan tangan pamannya GBPH Cakraningrat, yang seolah mau memondhong-nya. (www.kr.co.id)

Wakakakakak….. koran yang terkenal santun dan sangat patuh pada tata-titi adat Yogya ini rupanya tak mampu menahan untuk tidak menulis sosok sang pengantin putri. Padahal, tanpa dijelaskan dengan “kondisi badan” pun, publik tahulah, betapa ageung Sang Putri. Justru dengan penyebutan –meski bermaksud jujur—rasa-rasanya agak kurang patutlah. Apalagi yang dilaporkan itu adalah pesta perkawinan, kebahagian, sukacita. Ada-ada saja. (*)

11
Mei
08

Guru, Bantu-bantu

TANGGAL 2 MEI 2005:

JAKARTA garang seperti biasa. Terik. Tentu saja. Kendaraan merambat perlahan. Umum atau pribadi. Dinas atawa partikelir, sama saja. Pokoknya, semua terhambat. Senin, hari kerja pertama, ditandai dengan pemandangan serupa hari-hari sebelumnya.

Arus lalu lintas macet. Kalau tidak, ya merambat lah. Kali ini –seperti biasa pula– ruas jalan di sekitar gedung DPR/MPR disibuki para petugas yang mengamankan aksi unjuk rasa.

Karena nyaris saban hari terjadi, aksi demo itu seperti sudah bukan lagi berita. Orang tak tampak lagi tertarik. Sebaliknya, malah ada yang merasa terganggu.

Begitu pula Senin lalu yang terik itu.

“Dema-demo, dema-demo. Bosan! Macet. Lagi pula, yang di atas-atas sana sudah kagak mau lagi dengerin,” kata seorang gendut di sebelah saya di dalam angkutan kota.

“Kasihan, sih. Mereka nuntut hak, kok. Tapi, ya begitu-begitu juga,” kata penumpang lain di seberang saya. Dengkul kami beradu. Suhu di dalam, gerah luar biasa. Di luar, apa lagi.

Hati itu ratusan guru sedang beraksi menuntut hak dan kejelasan nasib. Guru bantu.

Bantu atau bukan, mereka tetaplah guru yang menjalankan fungsi yang sama sebagai pendidik. Berdiri di depan kelas, pada jam yang sudah ditetapkan. Mengajar para murid, menyejajarkan materi ajarnya dengan kurikulum. Pokoknya, sama plek! Guru. Pendidik.

Tapi status mereka tidak sama.

Gajinya juga.

Tunjangannya juga.

Aneh?

Tidak. Ini rekiblik, bung!

Orang seperti Khalisa (38), sarjana lulusan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Sumatera Utara, misalnya. Sudah 15 tahun mengabdi, menjalankan fungsi, dan secara de facto –sebenarnya–sudah menyandang status guru. Tapi, status administratifnya, status kepegawaiannya, tidak.

Seumur-umur mengajar, ia “cuma” guru bantu. Guru yang bukan pegawai negeri. Celakanya, bukan pula pegawai swasta yang biasanya bergaji lebih baik.

Bolak-balik ia ikut testing, bolak-balik pula ditolak. Tapi ia terus mengajar. Sekolah menganggapnya cakap menjadi pendidik, tapi negara tidak cakap menyerapnya sebagai tenaga profesional. Aneh.

Lihat pula Yandi. Umurnya sudah dekat 40 tahun. Sudah mengajar sejak 1987 atau kira-kira 18 tahun, di daerah terpencil pula. Tapi nasibnya sama dengan Bu Khalisa. Statusnya mandek sebagai guru tanpa status.

Padahal, ada muridnya –yang dia ajar pada awal-awal tugasnya sebagai pendidik– sudah jadi orang. Sementara Yandi sendiri belum juga jadi guru beneran. Masih guru bantu.

Aneh tak aneh, itulah yang terjadi pada Khalisa, Yandi, Nurzah, Emon, Siswanto, Markus, dan ribuan lainnya, di Jawa, Kalimantan, Maluku, Papua, Sumatera, Nusa Tenggara dan lain sebagainya.

Kehidupan mereka, terutama yang di daerah terpencil seperti Yandi sangatlah makmur oleh kesengsaraan. Dengan upah Rp 460 ribu, ia harus mengeluarkan ongkos rata-rata antara 10 ribu sampai 15 ribu perak sehari. Belum makan. Belum minum.

Bahwa dia masih bisa hidup untuk menjalankan tugasnya sebagai guru –meski negara tak mau mengakuinya– pun anggap saja sebuah mukjizat atau malah keganjilan negeri antah-berantah.

“Saya sudah 12 kali ikut tes CPNS tapi saya tidak masuk terus. Sekarang umur saya sudah melewati batas, lalu bagaimana apakah saya harus terus mengabdi,” kata Yandi.

Boleh jadi, karena itulah tanggal 2 Mei itu mereka turun ke jalan. Berbondong-bondong mengadu kepada para wakil rakyat. Mereka mendesak DPR agar juga mendesak pemerintah untuk meningkatkan status mereka menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Mereka protes. Sebagai guru bantu yang telah mengabdi puluhan tahun, mereka tidak juga diangkat sebagai PNS. Setidaknya, ada 197.917 guru bantu se-Indonesia nasibnya terkatung-katung. Sementara pemerintah justru mengangkat ribuan guru baru bukan dari yang sudah ada dan sudah menjalankan tugfas profesonalnya selama belasan tahun.

Apa kata wakil rakyat? Biasalah. mereka janji akan meneruskan masalah itu kepada pemerintah. Mereka janji akan mendesak pemeritah untuk memperhatikan nasib para guru bantu. Mereka janji. Ditepati atau tidak, terlaksana atau tidak, itu urusan lain.

Apa kata pemerintah?

Tenang, tenang! “Pengembangan guru sebagai profesi akan dijamin secara legal dalam RUU tentang guru. Sebab peran guru sangat menentukan keberhasilan pendidikan nasional,” kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo.

Karena itu, kata dia, para pendidik diminta terus‑menerus meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan agar memenuhi kebutuhan pengembangan masyarakat dan pembangunan pendidikan yang lebih baik di masa mendatang.

Ha! Kalau soal macam begitu mah kagak usah diomongin lagi Pak. Wong tanpa status yang jelas saja para guru itu tetap menjalankan tugas dengan penuh dedikasi dan loyalitas.

Mereka berkorban tentu dengan harapan bahwa negara mbok ya melirik lah. Meski memang bukan semata itu tujuannya, tapi alangkah tidak wajar jika negara tidak memperhatikan kepentingan para guru. Bantu atau bukan.

Soalnya, kualitas kehidupan guru akan turut mempengaruhi kualitas perannya sebagai pen­didik, peletak dasar-dasar peradaban pada sebuah generasi suatu bangsa.

Ya, “Pemerintah perlu menyempurnakan rencana strategis kebijakan pendidikan, khususnya memprioritaskan peningkatan kualitas SDM tenaga guru,” kata Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ – dulu IKIP).

Betul, Pak Rektor. Tapi pening­katan ku­alitas kehidupan para guru tak akan ter­jadi tanpa dukungan pe­ning­­­katan kese­jah­teraan. Peningkatan kese­jahteraan tak bisa ter­jadi tanpa pe­nyempurnaan perimbalan. Pokok­nya, saling terkait.

Guru bisa meningkatkan kualitas, misalnya dengan mengikuti berbgai pen­didikan tambahan maupun lanjutan, tentu jika kebutuhan kese­jahteraan dasarnya sudah tercukupi.

TANGGAL 2 MEI 2008:

AKSI para guru tak semasif tiga tahun sebelumnya. Namun tak berarti nasib mereka sudah lebih baik. Hari-hari ini, para guru sedang dihadapkan pada kriminalisasi budi pekerti.

Mereka terketuk nuraninya membela para murid yang jadi korban ketakadilan sistem pendidikan, meski untuk itu mereka diperhadapkan dengan pasukan antiteror yang menangkapi dan mengurungnya sebagai penjahat. Diperiksa, diberkas, untuk kemudian diadili.

Lihat! Sejak rezim ordo baru (yang kini sudah usang), hingga ordo pasca perubahan, nasib Oemar Bakri tak pernah berubah. Alih-alih lebih baik, malah lebih parah. Kasihan pemerintah, tak juga mampu mengurusi guru. ***

11
Mei
08

Mimpi Anak Hampang


Anak-anak Bukit” di sekolahnya ketika ditengok para petiggi Kabupaten Balangan (kiri). Anak bukit adalah sebutan bagi anak-anak Dayak Meratus. Dengan jalan seperti ini sepanjang hampir 7 kilo, Hampang bisa ditembus sekitar satu jam dari Halong (Kanan) — foto: anjar wulandari/B.Post

HALONG adalah sebuah kecamatan di ujung utara Kalimantan Selatan. Letaknya di lereng selatan Pegunungan Meratus. Mendaki lagi ke dinding lereng kira-kira tujuh kilo meter, terdapat sebuah kampung bernama Hampang.

Kampung ini boleh dibilang merupakan “benteng” terakhir komunitas Dayak di Pegunungan Meratus saat berhadapan dengan gemuruh pembangunan sosial ekonomi dan politik.

Hampang bias ditempuh kira-kira satu jam perjalanan berkendaraan roda empat (harus dobel gardan!!) dari Halong. Menuju Halong dari Paringin –ibukota Kabupaten Balangan, Kalsel— kita diajak menerobos hutan karet selama kurang lebih satu jam juga. Sedangkan Paringin, biasa ditempuh antara 4-5 jam dari Banjarmasin.

Rabu 29 April 2008 lalu, berlangsung peringatan HUT ke-5 Kabupaten Balangan, sekaligus peringatan Hari Pers Nasional tingkat Porvinsi Kalsel. Ya, baru lima tahun lalu wilayah ini memisahkan diri dari induknya, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU).

Nah, pada kesempatan itu para pejabat dan undangan dari “pusat” pemerintahan diajak menengok Hampang, sekaligus diajak merasakan betapa beratnya jalan yang harus ditempuh warga setempat sekadar –misalnya- untuk turun memporelh bahan bakar dan kebutuhan sehari-hari.

Sejak tahun 2007, Pemkab Balangan membangun enam sekolah dasar (SD) kecil. Salah satunya SD kecil di Desa Hampang. “Gedung” SD itu berupa bangunan kayu memanjang sekitar 2×6 meter persegi, terdiri atas dua kelas, kelas satu dan kelas dua.

Untuk keperluan belajar ada sejumlah meja dan kursi kayu serta papan tulis ukuran 1×1,5 meter persegi. Saat ini ada 20 siswa kelas satu dan 25 siswa kelas dua.

Mendirikan bangunan sekolah dasar (SD) kecil di daerah terpencil yang masuk kawasan Pegunungan Meratus seperti di Kecamatan Halong mungkin bagi pemerintah sekadar kebijakan di bidang pendidikan. Tapi bagi anak-anak Suku Dayak yang tinggal di daerah perbukitan terpencil, hal itu sangat berarti.

Mereka dapat mengecap pendidikan lebih layak. Tidak kepanasan atau kehujanan lagi seperti saat harus belajar di bawah pohon bambu dulu. Jarak yang ditempuh untuk ke sekolah juga lebih dekat.

“Dulu belajarnya di bawah tenda dekat pohon bambu di belakang sekolah. Kalau siang kepanasan, tapi kalau hujan tidak sekolah. Sekarang di kelas, jadi lebih enak belajarnya,” kata Ibis (16) siswa kelas dua SD kecil Hampang.

Sama dengan Ibis, Ulih (14), siswa SD kecil di Libaru Sungkai menyatakan senang dengan gedung sekolah yang baru karena membuat kerasan dan semangat bersekolah. Sebelumnya, ia dan teman-temannya juga harus rela belajar di bawah tenda.

SD kecil Hampang dan SD kecil Libaru Sungkai merupakan dua dari enam SD kecil yang telah dibangun tahun 2007 silam. (jpx-anjar)

11
Mei
08

“Demokrasi Blangkon” Pelaihari


PETUGAS di tempat pemungutan suara (TPS) Desa Karang Taruna Pelaihari, Tanah Laut, Kalimantan Selatan, mengenakan busana adat Jawa. Di TPS itu banyak pula pemilih yang secara khusus mengenakan busana Jawa ketika melaksanakan hak pilihnya. Sebagian penduduk daerah ini memang berasal dari Jawa dan bermukim sebagai transmigran. Banyak di antara mereka yang sudah berhasil secara ekonomi. foto: idda royani/BPost

JIKA di Jawa Barat, pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf menggunakan “taktik” tanpa peci untuk menandai penampilan mereka agar berbeda dengan dua pesaingnya dalam pemilihan gubernur (dan kemudian mereka menang), maka di Tanah Laut Kalimantan Selatan, ada praktek “demokrasi blangkon”.

Sejatinya, kabupaten beribukota Pelaihari (kira-kira 60 Km dari Banjarmasin) ini ada di Kalimantan dengan latar kultur banjar. Tapi sebagian di antara penduduknya lebih dekat dengan akar budaya Jawa karena memang dari sanalah mereka berasal. Program transmigrasi yang digalakkan sejak ordo soeharto berkuasa, telah membuahkan hasil berupa populasi etnis Jawa di luar Jawa, termasuk di Kalimantan.

Begitu pula di Tanah Laut. Proses akulturasi yang sudah berlangsung lama telah memberikan warna atau sekadar aksen budaya Jawa pada pola pergaulan warganya. Juga saat melaksanakan proses demokrasi seperti yang tampak pada hari Minggu 27 April 2008.

Suasana tempat pemungutan suara (TPS) 09 di Desa Karang Taruna terlihat lebih menarik, pasalnya para penjaga TPS memakai busana khas adat Jawa. Para pemilih yang mencoblos pun mengenakan busana serupa. Para lelaki, tak lupa melengkapi penampilan mereka dengan blangkon (penutup kepala ala Jawa Tengah).

Menurut Sukamto, warga setempat, ajang ini merupakan pesta pertama kalinya untuk menentukan kepala daerah sesuai keinginannya selama 43 tahun menetap di Tanah Laut. Warga berduyun-duyun memberikan hak suara mereka di berbagai TPS terdekat. Hari itu, suasana daerah yang biasanya sepi, jadi agak lebih semarak.

Apalagi di beberapa tempat pemungutan suara, ada warga yang mengisi kekosongan waktu menunggu penghitungan, dengan menggelar aneka atraksi. Dangdut, misalnya. Maka pilkada pun berlangsung dengan riang, tanpa otot-ototan tanpa panas memanasi. Setelah selesai penghitungan, pihak pememenang dan pecundang, menerimanya dengan lapang. Tak ada hiruk-pikuk, apalagi huru hara.

Tanah Laut yang berpenduduk 260.000 (setara dengan penduduk Kiaracondong dan Batununggal, Bandung, digabung) menetapkan pilihan mereka tanpa ribut-ribut. Ada empat pasang yang tampil sebagai kandidat, yakni Ardiansyah-Atmari; Ikhsanuddin-Asmiriyati; Danche-Iriansyah; dan Ali Rais-Abdi Rahman.

Hasil akhir penghitungan suara menunjukkan, pasangan Adriansyah dan Atmari unggul dengan mengantongi lebih dari 50 persen suara. Seusai pemilihan dan penghitungan suara, warga kembali menjalani rutinitas masing-masing. Damai, tenang, tenteram. Menyenangkan sekali jika proses politik di tiap daerah berlangsung seperti di Tanah Laut.

03
Mei
08

Kartini Abad Kini

 

PEREMPUAN itu melangkah dengan agak ragu sambil menyo­rong­kan tiket dan paspornya ke pramugari. Sang pramugari tersenyum, lalu memintanya menunjukkan boarding pass agar ia bisa atahu di kursi mana penumpang ini harus duduk. “Tiket dan paspornya di­simpan saja, mbak,” katanya.

Rambutnya lurus dengan ujung dibikin keriting, lipstiknya merah menyala, kacamata hitam menutup matanya sementara kabel walkman menjulur dari ku­ping kiri-kanannya. Ia mengenakan rok over-all dari bahan jins biru dengan kaos bulu tebal lengan pan­jang bermotif kulit macan. Sepatunya berhak sangat tebal, dengan kaos kaki warna hitam bergaris-garis merah setengah betis. Jam tangan dengan piringan tebal dan melotot beradu dengan gelang manik-manik warna warni.

Begitu duduk –kebetulan di sebelah saya– di dekat jendela, ditariknya dompet dari ransel kulit kecil, paspornya pun dicabut lagi dari saku ransel, dibukanya. “Aku dari luar negeri nih,” mung­kin itu yang hendak dikatakannya.

Dari dompet panjang dica­butnya amplop, dan ia menarik isinya. Selembar cek bertulisan Huruf Arab dari sebuah bank di Riyadh. Dibolak-baliknya cek itu, se­­­akan ingin menunjukkan, “Urusan gua sudah pakai cek, cing!”. Ia turun di Jakarta dan melanjutkan dengan penerbangan lain ke Surabaya.

Ini mungkin buruh yang baru mudik, pikir saya. Ternyata benar, dari perbincangan sekilas, ia menuturkan sudah setahun bekerja pada seorang saudagar di Riyadh. Ia dizinkan pulang untuk lebar­an, tapi tak akan kembali lagi.

“Kecuali kalau ada ponsor, ‘ana’ pasti berangkat lagi,” katanya. Yang dimaksud ponsor itu, ternya­ta sponsor, penghubung alias calo tenaga kerja yang biasa datang ke desa-desa. Juga ke desanya, katanya sih, di Kediri sana.

Adegan itu teringat kembali ketika beberapa waktu lalu media mas­sa kita dihebohkan oleh kasus Kartini. Kartini yang kita kenal saat ini, tentu saja bukan Putri Je­para yang pikiran-pikirannya dilukiskan –oleh Belanda– cemer­lang dan progresif namun tak berdaya melepaskan diri dari tin­dasan adat yang memberi kebebasan pada suaminya untuk mem­per­laku­kan dia seenak perut dan bawah perut. Lalu diharumkanlah namanya sebagai Putri Sejati.

Kartini abad-21 adalah Kartini dari kampung di Rengas­deng­klok Karawang yang –karena kemiskinan– lantas membiarkan diri diekspor ke tanah seberang, dan terdamparlah ia di Fujairah Uni Emirat Arab.

Kartini diekspor ke sana bersama ratusan, mungkin ribuan, perem­puan lain yang dibetot dari komunitasnya, keluarga, anak dan sua­minya, untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, kata la­in untuk memperhalus istilah babu dan jongos.

Kartini hamil, atau dihamili, seorang lelaki asal India, dan ia sendirian harus menanggung dosanya. Pengadilan setempat memper­­salahkannya atas kasus perzinaan, dan hukuman untuk tindak pidana itu adalah dirajam sampai mati, sesuai dengan undang-undang setem­pat.

Kerancuan proses penempatan, minimnya mutu dan perlindungan serta kerentanan posisi buruh merupakan titik lemah program penempatan buruh ke Timur Tengah. Terlebih lagi masih ada citra di sebagian masyarakat Arab bahwa pembantu adalah budak yang bisa diperlakukan layaknya sesuka majikan. Oleh karena budak itu sudah dianggap miliknya, mereka bisa melakukan apa saja terhadap budaknya.

Sudah beberapa kali Departemen Tenaga Kerja mengusulkan ke­pada sejumlah negara Arab untuk menandatangani Nota Kesepahaman (MO­U) yang isinya antara lain menyatakan bahwa TKW itu adalah pekerja dan bukannya budak. Tapi negara‑negara Arab itu tidak mau me­nekennya. Artinya, kita tetap tunduk saja pada ketentuan yang mereka berlakukan.

Posisi tawar menawar kita dalam ekspor budak, eh ekspor buruh ini tetap lemah ketika dihadapkan pada kelangkaan kesem­pa­tan kerja di dalam negeri di satu pihak dan peningkatan devisa di pihak lain. Maka dengan penuh semangat kita kirim sebanyak mungkin orang, termasuk yang seperti Kartini, dan ketika kena kasus barulah ribut.

Kartini, dengan keterbatasan berbahasa dan pengetahuan hukum lokal, tentu tak bisa berbuat banyak saat diadili. Bisa jadi, dalam proses persidangan, ia tidak mengerti pertanyaan yang dia­juk­an jaksa karena saat itu ia tidak didampingi oleh penerjemah, dan ia manggut-manggut saja ketika dituding telah berzina.

Kita tentu sepakat, zina adalah perbuatan dosa, dan seorang pen­dosa harus dihukum. Namun kita masih belum mendapat kejelasan, apa­kah kehamilan Kartini me­mang merupakan buah dari perzinaan su­ka sama suka, atau oleh se­bab lain. Misalnya, Kartini tak kuasa menolak atau menghindar dari amuk birahi lelaki yang kemudian me­nye­babkannya hamil.

Persoalannya kemudian adalah, haruskah Kartini mati de­ngan cara dirajam atas ‘dosa’ yang diperbuatnya bersama lawan mainnya itu? Apakah ke­hamilan saja sudah cukup membuktikan bahwa ia berzina dan harus ma­ti karena itu? Apakah orang yang turut me­lakukan perbuatan dosa itu boleh bebas berkeliaran dan lepas dari hukuman?

Dan, masih ba­nyak lagi pertanyaan yang mung­kin muncul, sebelum kita bisa mene­­rima atau menolak pelak­sanaan proses hukum bagi Kartini.

Lepas dari dari legal atau tidaknya Kartini diekspor untuk bekerja di UEA, proses penempatan Kartini merupakan gambaran dari program penempatan buruh Indonesia di mancanegara, khususnya ke Timur Tengah.

Ini juga menguak fakta yang sesungguhnya, bahwa meski zaman per­budakan sudah tinggal sejarah, pada prakteknya kita malah sedang melegalkan perbudakan model baru. Celakanya, sebagaian besar di antara ‘budak-budak’ itu justru berasal dari kaum Kartini, yang –maaf saja– sebagian besar di antara mereka diposisikan sebagai jongos alias babu, atau istilah halusnya pembantu rumah tangga, lebih halus lagi pramuwisma.

Nah, ketika nasib buruk menimpa orang seperti Kartini dan juga Nasiroh, barulah kita tersentak. Pemerintah ribut seakan betul-betul ingin membela seluruh buruh kita yang dikemas dalam pa­ket-paket ekspor tenaga kerja. Namun persoalan sudah ter­lalu rumit sebab kita tidak menanganinya secara benar sejak awal. Ketika muncul kasus per kasus, barulah tindakan penanganan dilakukan sehingga terkesan pemerintah kita membela buruh yang tenaganya diperas untuk meningkatan devisa itu.

Hal yang agak menimbulkan pertanyaan adalah, mengapa pada saat-saat seperti ini para Kartini yang tergabung dalam berbagai lembaga swadaya masyarakat seperti tidak tergerak untuk menun­jukkan peran dan pembelaannya terhadap sesama kaumnya. Ingat ketika kerusuhan Mei, betapa militan para Kartini ini berjuang bahkan bergerilya menolong dan membela, memberi advokasi, dan berdemonstrasi meneriakkan penderitaan para perempuan yang jadi korban kebiadaban amuk massa.

Namun, ketika Kartini abad 21 terpojok di kursi pesakitan nun di negeri seberang sana, hanya sedikit orang di tanah air yang mau bersuara, apalagi memperjuangkannya. Atau ketika mengalami nasib sebagaimana yang menimpa Nirmala Bonat, ( http://curahbebas.wordpress.com)

Padahal, bukan cuma Kartini, Nirmala, dan Nasiroh yang nasibnya tak menentu di tanah seberang (antara 30 – 40 persen perempuan pekerja di sana dilaporkan mengalami perundungan seksual!), sebab di tanah air sendiri masih banyak Kartini lain yang nasibnya harus diper­juangkan. ***

 April 2000Bandung,