Arsip untuk Juni, 2008

24
Jun
08

Rumah Sang Pelayan

HARI pertama berdinas sebagai Presiden Iran, sebelum pergi ngantor, Mahmoud Ahmadinejad menatap cermin, “Saya melihat orang di cermin itu dan berkata kepadanya: Ingat, kau tak lebih dari seorang pelayan. Hari di depanmu penuh dengan tanggung jawab yang berat, yaitu melayani rakyat!”

Melayani. Inilah kata kunci terpenting bagi semua pejabat di tingkat apa pun dan di mana pun, yang negaranya berdiri atas daulat rakyat dan para pemimpinnya dipilih oleh dan untuk melayani rakyat.

Mungkin karena itu pula Ahmadinejad merasa gerah ketika pada hari pertama memasuki kantornya. Gerah karena tidak semua pelayan rakyat memiliki sarana dan fasilitas mewah seperti dirinya, gelisah karena mungkin masih banyak di antara rakyatnya yang hidup melarat.

Bagaimana bisa melayani dengan baik jika sebagai pelayan dia berada pada tempat kerja dan tempat tinggal yang jauh lebih tinggi dari rakyat yang justru jadi majikannya. Suara rakyatlah yang membuat seeorang terpilih sebagai pelayan.

Jika suara rakyat identik dengan suara Tuhan —vox populi vox Dei– maka betapa mulia keputusan yang dihasilkan oleh suara itu. Betapa tidak mulia pula jika yang bersangkutan justru bertindak sebaliknya, berlaku sebagai baginda tuan terhadap rakyat yang telah memberinya kemuliaan.

Petikan kisah nyata Ahmadinejad ini terasa menggelitik ketika disandingkan dengan realitas di Tanah Air. Di satu sisi, otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat telah memperkukuh pelaksanaan demokrasi, namun di sisi lain pada kasus-kasus tertentu juga membangkitkan semangat penguasa -bukan pelayan-baru yang kadang berlaku sebagai Baginda Raja Kecil.

Di sebuah daerah yang baru dimekarkan, kepala daerah yang terpilih langsung oleh rakyat segera saja membangun gedung kantor demikian megah. Begitu pula tempat tinggal dinasnya yang menyerupai istana, sehingga tampak sangat bertolak belakang dengan kehidupan sehari-hari masyarakat di sekitarnya yang masih miskin

Di tempat lain ada kepala daerah yang segera saja membangun tempat tinggal dinas baru, dengan alasan “bekas” tempat tinggal yang dihuni orang sebelumnya dianggap tidak lagi memadai. Penyediaan tempat tinggal ini tentu saja menyedot anggaran yang sesungguhnya akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk menyempurnakan pelayanan kepada rakyatnya.

Di Jawa Barat, gubernur dan wakil gubernur sekarang adalah hasil pemilihan langsung rakyat, kerena itu perlu tempat tinggal yang representatif, kata Dede Yusuf ketika ada yang mempersoalkan permintaannya atas rumah dinas.

Rakyat memilih orang-orang untuk melayani mereka tentu bukan tanpa alasan dan tanpa harapan. Representasi dari harapan dan keinginan rakyat tentu tak semata berupa kemewahan dan kemegahan yang menjadi kebanggaan bersama, tapi yang lebih penting adalah kemudahan akses.

Sebagai pelayan yang dipilih langsung oleh rakyat, tentu saja rakyat sangat berharap mereka bisa mudah menemui atau sekadar menghubungi pelayannya di mana pun dan kapan pun. Bukan sebaliknya, sang pelayan memerlukan tempat yang memadai karena akan sering memanggil majikannya dari seluruh penjuru. Lagi pula, berapa puluh, ratus, ribu, orangkah rakyat yang akan datang berkumpul di kediaman sang pelayan pada suatu saat? Untuk apa?

Tentu saja pasangan gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat kali ini bukanlah jenis orang-orang yang menempatkan diri sebagai raja kecil, melainkan orang yang betul-betul mendengar dan merasakan denyut harapan rakyat yang memilihnya.

Karena itu, mereka akan lebih banyak berada di tengah rakyatnya dibanding dengan di tempat tinggalnya. Bahkan mungkin sesekali tidur di gubuk mereka, makan bersama di ladang mereka untuk lebih bisa mendengar, merasakan dan meresapi suara rakyat dari jarak sangat dekat dan dari lubuk hati yang paling dalam.

Dengan demikian, representatif atau tidak, memadai atau tidak, megah atau sederhana, tempat tinggal itu tidak lagi jadi soal.(*)

15
Jun
08

Angka 13 dan Gedung Merdeka

KEBETULAN atau tidak, Danny Setiawan – Nu’man Abdul Hakim, dan Ahmad Heryawan – Dede Yusuf, dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur pada hari dan tanggal yang sama, di tempat yang sama, pada jam yang juga hampir sama.

Jumat 13 Juni 2003, Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno, melantik Danny-Nu’man di Gedung Merdeka Jalan Asia Afrika Bandung, sekitar pukul 09.00. Lima tahun kemudian, Jumat 13 Juni 2008 Ahmad-Dede dilantik Mendagri Mardiyanto, pada pukul 09.13, juga di Gedung Merdeka.

Saya masih ingat betul, saat melantik Danny-Nu’man, Mendagri sempat berkelakar dalam pidatonya. Kala itu ia menyampaikan terima kasih kepada tiga wakil gubernur (boleh jadi cuma Jabar yang wagubnya sampai tiga!) yang habis masa jabatannya dan digantikan oleh satu wakil gubernur satu paket dengan gubernrur pilihan rakyat, eh pilihan DPRD setempat.

Kepada wagub yang berasal dari sipil, ia sampaikan terima kasih yang sebanyak-banyaknya. Khusus kepada wagub yang berasal dari angkatan darat, katanya, dia ucapkan terima kasih yang seluas-luasnya.

Lho, kok?

“Ya, angkatan darat kan semangatanya teritorial. Jadi, seluas-luasnya. Kalau kepada angkatan udara, saya akan ucapkan terima kasih setinggi-tingginya. Kalau untuk angkatan laut, terima kasih sedalam-dalamnya,” kata dia.

Kalau polisi? “Ya, terima kasih sebesar-besarnya. Kalau nggak ada, ya… seadanya saja deh,” katanya sambil terkekeh, disambut tawa hadirin.

Betul, mungkin ia cuma bercanda. Tapi canda politik itu sangat boleh jadi menyiratkan realitas yang diam-diam terjadi, atau setidaknya menggejala, di dalam pelaksanaan politik kekuasaan di negara kita.

Di balik candanya itu, tersirat pembenaran, pengakuan, sekaligus mungkin megingatkan bahwa semangat keterkotak-kotakan seperti itulah yang selama ini terjadi. Saking perseginya kotak itu, bahkan ucapan terima kasih pun harus berbeda.

Dan, sangat boleh jadi, sebagai wakil dari pemerintah pusat, hari-hari itu Hari Sabarno menyampaikan ucapan terima kasih kepada banyak orang yang telah menjabat –setidaknya dalam lima tahun terakhir– sebagai kepala daerah.

Maklum, saat itu adalah ‘musim’ pergantian kepala daerah, tingkat satu, maupun tingkat dua. Mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara (Barat dan Timur).

Iklim politik di berbagai daerah kini sedang panas-panasnya oleh aneka manuver dan taktik para politisi mulai pencalonan sampai pengegolannya pada pemilihan. Bersamaan dengan itu publik bisa pula menilai dengan cermat, partai mana sajakah yang tampak siap dan canggih bermain politik.

Mencuatnya isu-isu politik duit di beberapa tempat, tampaknya boleh dikelompokkan ke dalam salah satu dari aneka macam taktik politik itu. Penyelesaiannya pun, kadang merupakan jurus lain yang dipraktekkan para pendekar politik, entah di daerah entah di pusat. Nyaris sama.

Akibatnya, ada ketua DPRD yang dijebolskan ke penjara. Ada gubernrur terpilih yang dicokok dan diadili. Ada juga yang ramai- ramai dilengeserkan oleh DPRD-nya, namun ternyata para wakil rakyat itu kalah awu, dan sang gubernur tetap pada singgasananya.

Di Jawa Barat, irama politik lokal sempat gonjang-ganjing -belum sampai tahap ngebor, heh!– oleh meledaknya skandal pembagian dana kavling bagi 100 anggota dewan.

Orang jadi ribut karena DPRD sudah punya 100 lebih rumah dinas bagi para anggotanya. Belakangan ujug-ujug ada lagi dana kavling masing-masing 250 juta rupiah per kepala. Yang lebih parah lagi, duit itu digelontorkan dari pos anggaran dana APBD yang dicadangkan untuk bencana alam, kegiatan sosial, dan sejenisnya.

Nah, saat itu calon gubernur yang kemudian terpilih –dan akhirnya dilantik juga oleh Mendagri–  disebut-sebut ikut berperan dalam pencairan dana tersebut. Maklum, saat itu yang bersangkutan masih menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda).

Ada atau tidak keterkaitan antara terpilihnya yang bersangkutan dengan proses pencairan dana –yang mulai dikucurkan sejak tahun 2000– itu? Entahlah. Yang jelas, urusannya kemudian ditangani Kejaksaan Tinggi. Yang pasti, gubernur dan wakilnya sudah terpilih dan sudah dilantik dan sudah pula menyelesaikan masa baktinya. Ia sempat mencalonkan lagi sebagai gubernur pada Pilkada 2008, tapi kalah.

Kini, kasus itu sudah berlalu. Tak begitu jelas, apakah memang dianggap sudah berlalu dan tidak ada masalah lagi, atau tergilas oleh isu-isu lain yang lebih panas dan lebih menyita perhatian publik.

Yang jelas, sejak 13 Juni 2008, Jawa Barat dipimpin dua tokoh muda yang dipilih langsung pada 13 April 2008. Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf. Keduanya baru saja melewati usia 40.  (*)

13
Jun
08

Heboh Rumah Dinas Dede

SELANG sehari menjelang pelantikan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf sebagai Gubernur Jawa Barat, Tribun Jabar merilis berita mengenai kasak-kusuk orang-orang di lingkaran Dede Yusuf tentang fasilitas rumah dinas yang “layak” bagi wakil gubernur baru ini:

SEBUAH rumah besar di kawasan Rancabentang dikabarkan tengah disiapkan untuk rumah jabatan (rujab) wakil gubernur Jabar terpilih, Dede Yusuf. Rumah itu aset Dinas Pendidikan (Disdik) Jabar, yang selama ini ditempati para kepala Disdik.

Dari penelusuran Tribun, Kepala Disdik Jabar Dadang Dally pekan lalu sudah boyongan dari bangunan berarsitektur modern itu ke rumah jabatan baru di kawasan Cilaki. Dadang tak membantah atau mengiyakan jika rumah di Rancabentang akan didiami wagub.

“Itu kan milik pemprov, jadi terserah pemerintah, dan mungkin saja akan ditempati beliau (Dede Yusuf, Red),” kata Dadang saat dihubungi via telepon, Rabu (11/6). Dia pun enggan membicarakan lebih jauh tentang status rumah itu setelah dia tinggalkan.

“Coba tanyakan ke biro umum, jangan ke saya. Karena saya hanya pindah saja,” tegas Dadang. Kepala Biro Umum Setda Jabar Daud Ahmad, Senin (9/6) mengaku belum menerima perintah menyiapkan rumah dinas wagub, selain di Dago 148 yang selama ini disediakan untuk Nu’man Abdul Hakim.

Ihwal rumah dinas Kadisdik di Rancabentang yang telah dikosongkan dan disiapkan untuk Dede Yusuf, Daud pun mengaku tak tahu menahu. “Justru saya juga ingin menanyakan siapa yang mengatakan Pak Dede tidak bersedia ditempatkan di Dago,” imbuhnya.

Sekretaris Daerah Provinsi Jabar Lex Laksamana kemarin juga mengaku belum tahu rencana itu. “Nggak bener itu. Masih pakai yang di Dago,” kata Lex sambil berlalu.

Kakak kandung Dede Yusuf, Bob Sulaiman yang ikut berperan di balik layar ketika adiknya bertempur merebut kursi wagub dalam pilgub Jabar menyebutkan rumah jabatan di Rancabentang merupakan opsi pemerintah (provinsi). Tribun Jabar 12 Juni 2008.

13
Jun
08

Pekikan dari Tengah Rimba

SENIN 2 Juni 2008, saya diminta jadi panelis pada Konferensi Meja Bundar Inisiatif Kalimantan Pertama yang digelar Selasa 3 Juni. Acara digagas The Agustin Teras Narang (ATN) Center. Organisasi ini didirikan sebagai think tank Teras Narang saat maju sebagai calon gubernur Kalimantan Tengah, dan hingga kini tetap dipertahankan.

Tentu saja ini kesempatan menarik karena konferensi ini membahas persoalan-persoalan dasar Kalimatan sebagai satu kesatuan wilayah mandiri di tengah konstelasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dijalari spirit otonomi daerah.

Menarik dan sekaligus penting, karena di pulau yang penduduknya serumpun ini ada otoritas tiga negara yakni Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Acara ini digelar di Pendopo Muhammad Subuh Center, kira-kira 30 kilometer dari Palangka Raya.
Konferensi ini merupakan sebuah diskusi dengan seluruh stakeholder mulai dari masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, pebisnis dan pejabat pemerintah. Tujuannya untuk mempercepat pembangunan di Kalimantan, dengan memperhatikan kondisi lokal, baik masyarakat dan lingkungannya.

Masalah yang didiskusikan meliputi ekonomi, lingkungan hidup, industri, ekoturisme dan pemerintahan yang baik. Selain itu juga pengembangan dan pemasaran kawasan di Kalimantan sebagai tujuan penanaman modal utama lokal, nasional, regional dan internasional.

Agenda ini juga untuk mencari terobosan dalam menciptakan sinergi dengan daerah-daerah di negara tetangga seperti Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam. Dengan demikian akan sangat mendukung pengembangan ekonomi daerah.

Yang menarik lagi, dari empat gubernur di tanah Borneo, hanya tuan rumah (Teras Narang) yang hadir dan dengan intensitas tinggi mengikuti serta larut dalam konferensi dari pagi hingga menjelang malam. Gubernru Kabar, Kalsel. dan Kaltim tak tampak hadir. Malah tamu dari jiran, Asistant Minister Sabah, Datuk Wilfred Bumburing, hadir bersama timnya.

Di deretan pembicara, hadir antara lain Indra J Piliang, Denny Indrayana, Padang Wicaksono, Berry Nahdian Furqan, William Chang, Aloe Dohong (tokoh Dayak), dan lain-lain, termasuk Teras Narang yang tak surut semangatnya sejak membuka konferensi sampai konpferensi berakhir.

Luas wilayah Kalimantan mencapai 507.412 km2 atau 27,27 persen dari total wilayah Indonesia yang seluas 1.860.360 km2. Sumber daya alam yang dimiliki sangat berlimpah mulai dari hasil hutan, pertanian, perikanan dan pertambangan.

Pertumbuhan ekonomi Kalimantan 2004 mencapai 3,84 persen dan meningkat menjadi 4,06 persen pada 2005, sedangkan pada 2006 mencapai 3,74 persen. Sementara angka pengangguran Pulau Kalimantan 8,88 persen, sedangkan secara nasional mencapai 10,3 persen pada 2006.

Kalimatan itu tanah kaya. Ya! Tapi, banyak rakyat pulau ini yang miskin. Pembangunan pun tidak segencar di Jawa. Mengapa? Kebijakan pusat menjadi salah satu penyebab.

“Belum ada keberpihakan dan perhatian nasional secara fokus kepada Kalimantan. Sumber daya alam kita dipakai tapi tidak ada nilai plus bagi daerah kita. Sebut saja kayu, seandainya 23 tahun ada perhatian pusat maka kita akan menikmati hasilnya,” kata Teras Narang.

Keberpihakan yang diinginkan, bukan semata dalam bentuk anggaran, tetapi juga dalam hal kebijakan yang berpihak pada Kalimantan. Pasalnya, pembangunan di Kalimantan masih sangat memprihatinkan dan tidak berbanding dengan sumber daya alam yang sudah dikeruk.

Tuntutan serupa juga terungkap dalam deklarasi Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) sepekan sebelumnya. Peserta menuntut otonomi khusus bagi Kalimantan. Tujuannya, pengelolaan sumber daya alam benar-benar dinikmati masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan tetap terjaga. Selain masalah infrastruktur, ekonomi dan pemerintahan, peserta KMB juga membahas masalah lingkungan yang kian rusak.

Bagi saya, selain diskusi sepanjang konferensi, yang tak kalah menarik adalah lokasinya. Pendopo yang jelas-jelas mencirikan warna kultur Jawa ini konon dibangun oleh Muhammad Subuh, penganjur gerakan kerohanian Subud, yang anggotanya kini sudah tersebar di berbagai negara.

Fasilitas hotel berkelas, tersedia di komplek yang terletak di tengah hutan di tepi Sungai Rungan ini. Suasana alam bebas rimba raya yang membingkai pondok-pondok (cottage) membawa pengunjung/penghuni seolah terlepas dari belitan rutinitas keseharian.

Dengan lingkungan seperti ini, tukar pikiran yang terjadi sepanjang diskusi-diskusi di dalam konferensi jadi terasa lebih intens dan terfokus karena konsentrasi tetap terjaga. Dari tengah rimba ini pula, peserta konferensi memekikkan tunutan, harapan, gagasan, inisiatif, dan pikiran-pikiran demi kemajuan Tanah Borneo beserta penghuninya.

Apakah pekikan itu terderngar atau tidak, itu persoalan lain. (*)

12
Jun
08

Tung, dan Fenomena Lihan

HARGA bahan bakar meroket. Rakyat menjerit. Pemerihtah bagi-bagi bantuan langsung tunai. Banyak yang protes, tak setuju. Tapi para penerima tetap antre. Demontrasi nyaris tanpa henti, setiap hari, menolak kenaikan harga BBM. Seiring dengan itu meledak pula heboh “temuan” energi alternatif, blue energy, bahan bakar berbahan baku air!

Di Bandung, muncul Ahmad Zaini yang tiba-tiba jadi perbincangan banyak kalangan. Tokoh ini tanpa tedeng aling-aling mengaku memiliki harta warisan yang nilainya brpuluh kali lipat dari nilai anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Harta itu dalam bentuk emas lantakan tersimpan di sejumlah bank di luar negeri. Dia merelakan hartanya untuk dijadikan modal usaha. Syaratnya para pengusaha harus mengajukan proposal proyek, dia akan mengucurkan dana.

Maka orang pun berbondong-bondong mengajukan proposal, lalu menanti penjelasan teknis yang kemudian disampaikan dalam sebuah forum di sebuah kawasan wisat di Cihideung, Bandung. Berita pun meluas, diikuti pro-kontra yang ramai. Tapi belakangan surut sendiri, seperti berlalu begitu saja. Mungkin melanjutkan mimpi memperoleh dana secara cepat dan mudah.

Di Kalimantan Selatan, dalam dua tahun terakhir ini kalangan pebisnis sedang terkaget-kaget oleh munculnya seorang pengusaha muda (baru 32-an tahun), yang namanya berkibar sebagai pengusaha lintas-bidang.

Pria asal Martapura ini, mulai berbisnis dalam perdagangan permata, intan, dan berlian. Belum lama ini dia membeli tunai sebutir intan temuan penambang di sana, dengan harga tiga milyar, tanpa proses berbelit, seperti orang beli sepotong pisang goreng saja layaknya.

Kini dia mengklaim menguasai jaringan bisnis tidak saja di Kalsel, melainkan juga di Jawa dan Sumatera. Disebut-sebut dia memiliki persewaan helikopter di Jakarta, menguasai bisnis perkapalan di Tanjungpriok, perkebunan di Lampung, properti di Yogyakarta.

Belakangan, dia mengejutkan kalangan bisnis kelas tinggi Kalimantan, ketika mendadak ikut menanamkan modal di Merpati Nusantara Airlines yang sedang megap-megap. Keinginanya sederhana saja, agar Merpati bisa lagi mengisi rute Jakarta-Banjarmasin-Jakarta.

Tidak –atau setidaknya, belum– ada yang tahu persis profil dan anatomi bisnis yang dikelola Lihan ini. Yang jelas,  banyak orang turut berinvestasi dan menyerahkan modalnya untuk dibiakkan Lihan. Ia juga tergolong sangat dermawan. Aneka kegiatan sosial, selalu disokongnya.

Di tengah hiruk-pikuk ini, muncul pula Tung Desem Waringin, seorang praktisi pemasaran yang mengundang orang pada seminarnya dengan cara menabur uang dari atas langit Jakarta. Untung saja, loksi tabur duit itu digeser ke kawasan Banten. Kalau tidak, tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi.

Soalnya, pada hari yang dijadwalkan itu, di kawasan Monas dan sekitarnya sedang berlangsung unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM, juga aliansi kebebasan kehidupan beragama (AKBB) yang kemudian dikepruk massa gabungan Komando Laskar Islam yang dipimpin Munarman.

Mantan ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) ini memobilisasi massa untuk bertindak keras terhadap kelompok lain yang hari itu berhimpun, berkumpul untuk merenung, menyatukan diri dalam spirit perdamaian.

Begitulah, negeri ini memang aneh. Absurd! (*)

12
Jun
08

Ayat-ayat amarah

INSIDEN di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta 1 Juni 2008, sungguh menyentak orang-orang berpikiran waras. Namun ia juga menunjukkan dengan tegas, betapa kebencian, permusuhan, dan kekerasan masih selalu menampilkan wajah aslinya, mengoyak ketenteraman dan ketenangan rohaniah bangsa kita.

Hari-hari ini, sejak dua tahun terakhir, para penganut Ahmadiyah jadi bulan-bulan. Mereka yang notabene saudara sebangsa, terus ditindas. Diberangus. Kalau perlu –mungkin— dimusnahkan karena keyakinan mereka dianggap menodai prinsip-prinsip dasar Islam.

Maka, ada yang diusir dari kampung tempat di mana mereka bermukim bertahun-tahun. Ada yang tempat ibadah dan rumah tinggal serta fasilitas pendidikannya dibakar dan dibumihanguskan, dan lain sebagainya. Puncak “kebencian” terhadap kaum Ahmadiyah akhirnya meledak 1 Juni 2008 justru kepada bukan orang-orang Ahmadiyah.

Kebendian itu tertupmahkan dalam serangan brutal massa antiahmadiyah terhadap kelompok yang dianggap bersimpati terhadap ahmadiyah. Korban pun jatuh. Persaudaraan anuatumat muslim retak, perdamaian antarsaudara sebangsa ternoda.

Saya jadi teringat pada peristiwa beberapa tahun sebelumnya, ketika ratusan orang di Cipayung, Bogor, mengobrak-abrik dan memusnahkan sebuah kompleks pendidikan serta panti rehabilitasi milik kaum Nasrani. Massa juga, menghajar dan membunuh penghuninya.

Kita tentu sepakat bahwa kekerasan bukanlah wajah agama mana pun, dan karena itu semangat silaturahmi yang dilandasi cinta kasih antarsesama mestinya akan selalu menjadi perekat utama pergaulan sosial masyarakat kita, kapan dan di mana pun.

Gloria Dei homo vivens, manusia hidup hanya demi kemuliaan Tuhan. Manusia diciptakan dalam kelompok, ras, suku, dan agama yang berbeda-beda justru agar bisa menikmati betapa indahnya rajutan yang tercipta dari pelangi perbedaan itu. Manusia diciptakan dengan berbangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai (Al-Hujarat : 13).

Kita bisa tidak setuju, tidak suka dan tidak mencintai pihak lain, tapi kita tak berhak menghancurkan dan membunuhnya. Biarlah Sang Pemilik Hidup dan Sang Penguasa Kebenaran bertindak sendiri dengan caranya. Kita tak berhak menentukan hidup-matinya orang lain hanya karena berbeda keyakinan.

Bukankah tokoh sekaliber Dr Amien Rais dan kalangan dari Nahdlatul Ulama (NU) –yang tentu tak kita ragukan keislamannya– mengecam keras praktek-praktek pemaksaan kehendak dan penindasan -dengan mengatasnamakan agama– itu, dengan mengatakan bahwa tak ada satu agama pun yang menganjurkan umatnya menindas kelompok lain.

Tapi, itulah yang terjadi. Kita kadang tak akan habis mengerti, mengapa ada saja orang atau kelompok yang tetap memaksakan kehendaknya atas orang atau kelompok lain, sehingga tak segan pula mereka mempraktekkan kekerasan untuk menunjukkan kesungguhannya dalam ritus pemaksaan itu.

Lebih parah lagi, yang juga kerap terjadi adalah pemaksaan kehendak yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan keyakinan agama atau idealisme. Bagaimana seseorang atau sekelompok orang memaksakan kehendaknya pada orang lain hanya karena dia atau kelompoknya ‘merasa’ berkuasa dan punya kekuatan untuk menindas dan mengintimidasi orang atau kelompok lain itu.

Begitulah. Hari-hari ini kita menyaksikan kekerasan mengalir deras ke beranda rumah, ke kamar tidur dan ke mana saja lewat surat kabar, televisi, mainan elektronik, komik dan berbagai medium lain yang kini makin canggih dan kian gampang diakses bahkan oleh anak yang belum bisa baca-tulis.

Bagi sebagian orang, kekerasan adalah komoditas. Bagi sebagian yang lain, ia adalah alat untuk mendapat kekuasaan dan dengan kekuasaan itu ia menghimpun kekuatan –termasuk uang– untuk membeli kekerasan agar bisa mempertahankan kekuasaannya atas kelompok atau pihak lain.

Orang bilang, pada dasarnya manusia masih menyimpan naluri purbanya yang tersisa dari ‘peradaban’ binatang yang sudah lama ditinggalkan lewat proses evolusi. Kekerasan adalah matra utama untuk melanggengkan kekuasaan, dan dengan kekuasaan itu ia bisa menindas kelompok yang lebih lembek, lebih lemah, sehingga dengan demikian bisa tetap dikuasai.

Rupanya, kekerasan itu diam-diam tetap bersemayam di salah satu relung paling tersembunyi dalam hati kita, bergentayangan di alam bawah sadar, dan seketika bisa muncul, lalu meledak sedemikian dahsyat kapan dan di mana saja. (*)

11
Jun
08

Kopi Wortel Johan Lee

SENIN, 26 Mei 2008 saya diajak teman-teman Banjarmasin Post bertandang ke Bati-bati (Tanahlaut), kira-kira 30 kilo meter dari Banjarmasin ke arah Pelaihari. Hari itu rombongan dari kantor sengaja mengunjungi pabrik Indofood Sukses Makmur. Semacam kunjungan balasan atau apalah.

Lagipula, mereka punya bos baru. Johan Lee, baru lima bulan menggantikan kepala cabang (branch manager) Indofood Banjarmasin yang pabriknya di Bati-bati itu. Orangnya energik, ramah dan terbuka. Perbincangan selama kunjungan itu jadi menarik dan hidup.

Saat menjelaskna bagaimana seharusnya bagian dari sebuah industri multi nasional berada di tengah lingkungan masyarakat, Johan mengutip amsal wortel, telur, dan kopi. “Wortel itu kan keras, tapi begitu digodok dalam air mendidih, dia jadi lunak. Sebaliknya, telur itu lunak, cair, tapi kala digodok di dalam air mendidih, dia jadi beku,” katanya.

Setelah proses godok menggodok itu, wortel dan telor tetap terpisah dari air. Dia memang berubah, melunak atau mengeras. Tapi tidak bias melebur. “Lain dengan kopi. Coba didihkan air lalu taburkan kopi. Kopi larut dan mengubah air yang berwarna bening jadi sewarna dengan kopi,” jelasnya.

Dengan amsal itu Johan ingin mengilustrasikan, seperti kopi itulah seharusnya sebuah institusi bisnis berada di tengah masyarakat. Bukan seperti wortel atau telur. “Ini juga saya kutip dari bacaaan-bacaan yang saya dapat di internet,” kata Johan.

Eantahlah, yang jelas Indofood memang produsen terdepan dan terbesar mi instan di tanah air.Kini malah sudah membangun pabrik di beberapa negara. Hingga kini, mi (terutama instan) seakan telah jadi kebutuhan hidup berjuta-juta orang tanpa mengenal kelas.

Di tengah situasi krisis seperti yang dialami sebagian besar rakyat kita hari-hari ini, mi instan mungkin malah jadi pilihan sementara sebagai pengganti, karena harganya relatif terjangkau dan prakrtis.

Johan mengatakan, di tengah melabungnya harga bahan baker, pihaknya juga masih bisa melakukan efisiensi, pabrik makanan instan ternama di Indonesia itu, telah menggunakan batu bara sebagai bahan bakar mesin produksi.

Dari pabrik Indofood cabang Banjarmasin ini jutaan bungkus mi instan tiap hari disalurkan ke pasaran di tiga provinsi, yakni Kalimantan Selatan, Tengah, dan Timur. Pabrik ini tiap hari memasok 60-70 ribu dus mi instant. Tiap dus berisi 40 bungkus.

Tak jelas, apakah Indofood sudah seperti kopi, atau seperti wortel dan telur? (*)

11
Jun
08

Matdon

Matdon (http://matazibril.multiply.com/)

Oleh Hermawan Aksan *)

Beberapa hari lalu saya menerima sebuah buku kumpulan puisi dari Kang Yusran Pare, Pemimpin Redaksi Tribun Jabar. Kang Yusran menerimanya dari Matdon, sang penyair, dan meminta saya membuat ulasannya. Judul bukunya, yang ditulis dengan huruf-huruf putih dengan latar belakang blok hitam, terasa menghantam: Kepada Penyair Anjing.

Secara fisik, buku yang terbitan Ultimus ini menarik. Di bawah judul pada sampul, terpampang sebuah drawing karya Andi Sopiandi yang menggambarkan komposisi beberapa ekor anjing bergaya agak surealis. Secara keseluruhan, desain sampul depan oleh Ucok ini pun mengesankan sebuah upaya yang serius.
Buku ini, saya kira, terbit tidak dengan biaya sendiri, apalagi hanya dicetak dalam jumlah eksemplar yang bisa dihitung dengan jari. Ultimus adalah penerbit yang sudah menelurkan sejumlah buku bermutu. Karena itu, upaya Ultimus untuk menerbitkan buku kumpulan puisi sangat patut dihargai.
Bagaimana dengan puisi-puisinya? Hmm…
Buku setebal xviii + 90 halaman ini berisi 80 judul puisi.
Sebagian besar adalah puisi pendek, yang terdiri dari beberapa baris dan hanya mengisi kurang dari sepertiga halaman. Hanya enam puisi yang masing-masing mengisi lebih dari satu halaman. Tentu saja puisi pendek tidak berarti buruk dan puisi panjang tidak berarti indah. Sitor Situmorang pernah menciptakan puisi pendek yang hanya berisi satu baris, tapi terus bergema melewati tahun-tahun dan dasawarsa.
Dari sisi gaya, sebagian konvensional, sebagian berupaya mendobrak tradisi, meski belum benar-benar menghasilkan pengucapan baru.
Bahkan ada pula sejumlah puisi yang bergaya mbeling seperti yang pernah berkibar tahun 1970-an melalui Remy Sylado dan kawan-kawan.
Beberapa puisi dalam buku ini mengesankan sebuah proses pengendapan yang intens, beberapa berpeluang untuk menjadi puisi yang bagus, tapi banyak pula yang terkesan dibuat dengan tergesa-gesa–dan kemudian malah terjebak menjadi sekadar pamflet.
Menurut Afrizal Malna, puisi tercipta melalui proses yang berdarah-darah. Bagi Afrizal, puisi adalah sebuah posisi rawan kesenian. Untuk menulis sekaligus memahami dibutuhkan “pengorbanan” besar sehingga tak hanya sanggup mengubah pandangan seseorang, bahkan mungkin menggerakkan sebuah energi tak terlihat yang kelak membuat massa bergerak. Puisi dapat pula mencapai fungsinya yang paling sederhana sebagai jejak sang penyair yang menyeret setiap peristiwa dalam sejarah hidupnya. Ia lantas menjadi semacam kesaksian yang dapat menengarai perubahan zaman, menjadi petunjuk bagi generasi berikutnya, selain sebagai catatan sunyi peradaban.
Toto Sudarto, Rendra, Taufik Ismail pernah menempatkan diri pada posisi kesaksian. Sutardji lebih menekuni bongkar-pasang estetika, menggali yang terpendam dalam rahasia akar bahasa. Sapardi memberikan eksistensi pada ujaran sehari-hari menjadi “prasasti” monumental. Adapun Goenawan Mohamad dengan metafora mewahnya mengisi bagian elegan dalam sastra Indonesia.
Di mana posisi Kepada Penyair Anjing dalam peta puisi negeri ini? Ah, mungkin pertanyaan yang terlampau jauh. Kebanyakan puisi dalam buku ini belum mengesankan tercipta melalui proses yang berdarah-darah. (*)

*) Tulisan ini dimuat di kolom Kopi Pagi – Tribun Jabar