HARI pertama berdinas sebagai Presiden Iran, sebelum pergi ngantor, Mahmoud Ahmadinejad menatap cermin, “Saya melihat orang di cermin itu dan berkata kepadanya: Ingat, kau tak lebih dari seorang pelayan. Hari di depanmu penuh dengan tanggung jawab yang berat, yaitu melayani rakyat!”
Melayani. Inilah kata kunci terpenting bagi semua pejabat di tingkat apa pun dan di mana pun, yang negaranya berdiri atas daulat rakyat dan para pemimpinnya dipilih oleh dan untuk melayani rakyat.
Mungkin karena itu pula Ahmadinejad merasa gerah ketika pada hari pertama memasuki kantornya. Gerah karena tidak semua pelayan rakyat memiliki sarana dan fasilitas mewah seperti dirinya, gelisah karena mungkin masih banyak di antara rakyatnya yang hidup melarat.
Bagaimana bisa melayani dengan baik jika sebagai pelayan dia berada pada tempat kerja dan tempat tinggal yang jauh lebih tinggi dari rakyat yang justru jadi majikannya. Suara rakyatlah yang membuat seeorang terpilih sebagai pelayan.
Jika suara rakyat identik dengan suara Tuhan —vox populi vox Dei– maka betapa mulia keputusan yang dihasilkan oleh suara itu. Betapa tidak mulia pula jika yang bersangkutan justru bertindak sebaliknya, berlaku sebagai baginda tuan terhadap rakyat yang telah memberinya kemuliaan.
Petikan kisah nyata Ahmadinejad ini terasa menggelitik ketika disandingkan dengan realitas di Tanah Air. Di satu sisi, otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat telah memperkukuh pelaksanaan demokrasi, namun di sisi lain pada kasus-kasus tertentu juga membangkitkan semangat penguasa -bukan pelayan-baru yang kadang berlaku sebagai Baginda Raja Kecil.
Di sebuah daerah yang baru dimekarkan, kepala daerah yang terpilih langsung oleh rakyat segera saja membangun gedung kantor demikian megah. Begitu pula tempat tinggal dinasnya yang menyerupai istana, sehingga tampak sangat bertolak belakang dengan kehidupan sehari-hari masyarakat di sekitarnya yang masih miskin
Di tempat lain ada kepala daerah yang segera saja membangun tempat tinggal dinas baru, dengan alasan “bekas” tempat tinggal yang dihuni orang sebelumnya dianggap tidak lagi memadai. Penyediaan tempat tinggal ini tentu saja menyedot anggaran yang sesungguhnya akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk menyempurnakan pelayanan kepada rakyatnya.
Di Jawa Barat, gubernur dan wakil gubernur sekarang adalah hasil pemilihan langsung rakyat, kerena itu perlu tempat tinggal yang representatif, kata Dede Yusuf ketika ada yang mempersoalkan permintaannya atas rumah dinas.
Rakyat memilih orang-orang untuk melayani mereka tentu bukan tanpa alasan dan tanpa harapan. Representasi dari harapan dan keinginan rakyat tentu tak semata berupa kemewahan dan kemegahan yang menjadi kebanggaan bersama, tapi yang lebih penting adalah kemudahan akses.
Sebagai pelayan yang dipilih langsung oleh rakyat, tentu saja rakyat sangat berharap mereka bisa mudah menemui atau sekadar menghubungi pelayannya di mana pun dan kapan pun. Bukan sebaliknya, sang pelayan memerlukan tempat yang memadai karena akan sering memanggil majikannya dari seluruh penjuru. Lagi pula, berapa puluh, ratus, ribu, orangkah rakyat yang akan datang berkumpul di kediaman sang pelayan pada suatu saat? Untuk apa?
Tentu saja pasangan gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat kali ini bukanlah jenis orang-orang yang menempatkan diri sebagai raja kecil, melainkan orang yang betul-betul mendengar dan merasakan denyut harapan rakyat yang memilihnya.
Karena itu, mereka akan lebih banyak berada di tengah rakyatnya dibanding dengan di tempat tinggalnya. Bahkan mungkin sesekali tidur di gubuk mereka, makan bersama di ladang mereka untuk lebih bisa mendengar, merasakan dan meresapi suara rakyat dari jarak sangat dekat dan dari lubuk hati yang paling dalam.
Dengan demikian, representatif atau tidak, memadai atau tidak, megah atau sederhana, tempat tinggal itu tidak lagi jadi soal.(*)