Arsip untuk Juli, 2008

29
Jul
08

The Silence of Ryan

BISA dipastikan Verry Idam Henyansyah alias Ryan tak punya hubungan apa pun dengan Francis Dolarhyde, Jame Gumb, dan Doktor Hannibal Lecter. Kecuali kalau dia mengikuti trilogi karya Thomas Harris, Red Dragon, The Silence of the Lambs, dan Hannibal.

Hannibal adalah gabungan dari semua ‘kekejaman yang dingin dan cerdas’. Ia ditiru, dijadikan panutan, dipelajari, dan jadi patron bagi orang semacam Dolarhyde. Ia pun jadi rujukan bagi Clarice Starling dan Will Graham, agen FBI yang ketiban tugas memecahkan kasus pembunuhan berantai yang disertai kanibalisme Dolarhyde (Red Dragon), dan Gumb (The Silence of the Lambs).

Ya, Hannibal adalah ikon kekejaman modern.

Itu dalam novel dan di film.

Di dunia nyata, orang pun bertanya-tanya, benarkah ada sosok kriminal yang sedemikian kejam, keji, dingin, cerdas, dan suka memakan sesama seperti Lecter, Gumb, dan Dolarhyde?

Ternyata memang ada. Hannibal Lecter adalah gambaran dari tokoh seperti William Coyne. Pembunuh berantai ini melarikan diri dari penjara berpengamanan maksimum di Claveland tahun 1934. Coyne dikenal sebagai penjagal yang bahkan tak segan-segan menyantap korban yang dibunuhnya.

Dari sisi lain, karakter Lecter juga ada miripnya dengan Jaffrey Dahmer, pembunuh berantai yang suka mencicipi daging korbannya. Atau dengan dengan Tsutomu Miyazaki dari Tokyo yang antara tahun 1988-1989 menculik, membunuh, dan menyantap anak-anak prasekolah.

Di tempat terpisah pada masa yang berbeda, Ted Bundy menghabisi perempuan-perempuan yang jatuh iba kepadanya –karena cacat (pura-pura). Kadang, ia mengenakan ‘wig’ dari kulit kepala dan rambut asli korbannya. Dua karakter ini seperti mengilhami Harris menciptakan Jame Gumb dalam The Silence of the Lambs dan Dolarhyde dalam Red Dragon.

Coyne, Bundy, dan Dahmer dan tokoh-tokoh penjagal itu hanyalah sebagian di antara ratusan, mungkin ribuan orang yang tercatat dalam arsip kriminal dunia sebagai pembunuh berantai dengan kekejaman tingkat tinggi.

Melalui buku-bukunya Harris seolah ingin mengatakan, kekejaman bisa muncul begitu saja dan menjalari karakter seseorang di antara sekelompok manusia. Perilaku macam itu bisa diidap siapa pun yang dalam kehidupan sehari-hari adalah sosok manusia normal menurut pandangan umum.

Sangat boleh jadi, di sinilah “persinggungan” Ryan dengan tokoh-tokoh fiktif dan tokoh-tokoh nyata di atas. Lelaki asal Dusun Maijo, Desa Jatiwates, Kecamatan Tembelang, Jombang ini seakan jelmaan Dahmer, dan mirip Gumb dalamthe Lambs.

Masyarakat pun geger. Publik seakan bertemu dengan monster, makhluk aneh yang dengan dingin menghabisi sesama lalu menanamnya di halaman belakang rumah. Atau mencincangnya dan memasukkannya ke dalam koper lalu meletakkannya begitu saja di sembarang tempat. Orang boleh saja bergidik, ngeri dan jijik. Bisa pula takut. Jangan-jangan ada juga orang di dekatnya yang berperilaku seperti Ryan.

Tapi bila coba menelusuri agak ke belakang dan mencoba menatap realitas kekinian, rasanya kita tak perlu kaget benar. Apalagi takut. Bukankah di dalam diri tiap manusia pun ada unsur genetik yang mewarisi kecenderungan hewani seperti itu? Hanya saja, kekejian dan spirit membunuh tidak dipraktekkan langsung dengan mencincang sesama, melainkan dengan “membunuh” peluang dan memakan hak-haknya.

Kenyataan sehari-hari menunjukkan dengan jelas, bahwa makin hari kita melihat kian banyak saja orang yang rakus dan buas. Mereka tak segan-segan “membunuh” kawan, menipu teman, memeras orang lain, dan menghisap hak- hak mereka.

Jadi, Ryan mungkin belum apa-apa dibanding sebian di antara kita yang kadang ternyata lebih keji dan lebih kejam. Entah itu di kamar-kamar birokrasi, di gedung bursa, di kantor penegak hukum, di gedung wakil rakyat, di jalan, di pelabuhan, di pasar, dan tempat-tempat lain.

Sebagian di antara kita yang bertabiat jagal itu seringkali tampil sedemikian elegan di balik jas dan dasi berkelas, bermobil mengkilap, beristri (dan selingkuhan) cantik, molek, dan seksi. Lebih hebat lagi, seringkali orang-orang macam itu merasa tidak sedang melakukan kekejaman dan kekejian, meski hampir saban waktu dia “memakan” sesama.

Hiyyy!!! ***

23
Jul
08

Jovi, 17 Tahun Kemudian

          

“MAS, aku udah di kantormu…” suara Jovi di seberang telepon.Eh, 13 meteran dari tempat saya duduk. Saya langsung menghambur ke lift dan meluncur ke lobi. Astaga! Dia masih seperti 17 tahun lalu, saat masih berseragam putih-abu. Tetap kinyis-kinyis. 

Sebelumnya, kami sudah kontak-kontak. Telpon dan SMS. Rupanya, Senin ( 21/7/08 ) itu sebenarnya kami berada di tempat yang sama pada waktu yang bersamaan. Saya di terminal B Soekarno-Hatta. Dia –dan temannya– di terminal A.

Waktu keberangkatan ke Banjarmasin, juga hanya berselisih beberapa menit. Beda pesawat. Kami mendarat di Syamsuddin Noor, malam hari pukul 20-an waktu setempat. Kalau saja kami saling kontak lebih siang, mungkin pertemuan bisa terjadi lebih cepat di Cengkareng.

Maka reuni kecil pertama setelah 17 tahun itu pun terjadi di ruang tamu kantor Banjarmasin Post. Ya, Jovi –nama pendek dari Jullya Vigneshvara — adalah satu di antara alumni GEMA-Bernas  ( https://yusranpare.wordpress.com/gema/ ) yang saya asuh bersama mas Trias Kuncahyono dan mas Agoes Widhartono di Yogya, duluuu.. sekali.

Beberapa menit sebelumnya, Ria (Fransiska Ria Susanti rekan seangkatan Jovi), nongol di messenger, dengan “bangga” melaporkan bahwa dua hari sebelumnya ia reuni kecil –setelah 17 tahun– dengan Kristupa Saragih (http://www.kristupa.com). Maka, tak mau kalah, saya pun balas pesannya di kotak messenger itu, “sori… aku pun mau reunian dengan Jovi. Ini sedang menunggu dia.”

Ria sudah beberapa tahun terakhir ini mukim di Hongkong. Kris mungkin dalam perjalanan pulang dari Beijing dan singgah ke koloni itu. Lalu mereka kontak-kontakan, lalu bertemu. begitu pula Jovi. Begitu pula yang biasa dilakukan teman-teman lain para “pensiunan” Gema.

Kalau komunikasi sih, rasanya relatif sering lah. Setidakya via messenger atau pesan pendek. Tapi pertemuan tatap wajah langsung mah, iraha teuing…Maka, jika ada kesempatan, meskipun itu sangat sempit, biasanya para veteran Gema selalu mengusahakannya untuk bertemu.

Demikian pula Jovi. Selama ini kami kontak-kontakan via sms. Kadang –dan sangat jarang– telepon. Termasuk ketika dia bilang mau bertugas di Aceh. Kini, ia sedang cuti dari tempat kerjanya di USAID, dan memilih Banjarmasin sebagai satu di antara kota-kota yang ada dalam rencana kunjungannya. Ia memang  senang jalan-jalan. Perjalanannya ke Tahiland, Laos dan kamboja< sempat dicatat dan dikirim ke Tribun Jabar (http://www.tribunjabar.co.id/post/postView.php?id=97).

Karena saya tak bisa menemaninya, maka saya mita bantuan Apung, redaktur foto yang kebetulan puya waktu dan tahu betul seluk-beluk kota kelahirannya ini. Selain itu, Jovi pun bersama temannya Fauzan, redaktur foto AMI (Aceh Masa Kini) sekaligus kontrobutor foto Asociated Press (AP). Jadi klop lah!

Sebenarnya dalam dua hari itu terjadi reuni pula dalam bentuk lain, via messenger dan sms. Selain dengan Ria di Hongkong, Emmy Kuswandari yang mukim di Jakarta ujug-ujug pula masuk di kotak pesan. Seperti biasa, pesannya muncul satu kata satu kata.

Intinya, mengabarkan hari itu (23 Agustus) Hengky ulang tahun. Jadilah kami saling kontak. Hengky cerita sempat ketemu Vierna Suryaningsih, beberapa hari sebelumnya. Ia juga menyesal tak bisa hadir di pernikahan AA Kunto A di Solo akhir Juni 2008.

Jadi, meski secara fisik saya cuma “reuni” dengan Jovi, hari-hari itu saya juga bertemu kembali dengan teman-teman yang pada tahun 90-an memberi saya pelajaran tentang bagaimana berhadapan dengan anak-anak usia SMA. Pelajaran itu sungguh sangat berguna sammpai kini.

Terima kasih, Jovi, Kris, Emmy, Ria, Hengky “Saruman”, Vierna, Kunto, dan lain-lain. (*)

23
Jul
08

Bobotoh, Aduh…!!!

AKHIRNYA Komisi Disiplin (Komdis) PSSI menjatuhkan sanksi. Mereka melarang bobotoh (suporter) Persib menggunakan atribut Persib dalam semua laga klub legendaris dari Bandung ini, baik kandang maupun tandang. Larangan itu berlaku selama setahun!

Sanksi diputuskan Selasa ( 22/7/08 ) menyusul aksi anarkis yang dilakukan ribuan bobotoh di dalam maupun di luar Stadion Siliwangi ketika Persib menjamu Persija, Minggu (20/7) malam. Pertandingan berakhir 3-2 untuk keunggulan tim tamu berjulukan Macan Kemayoran itu.
Selain pelarangan penggunaan atribut Persib, Komdis PSSI juga mengeluarkan larangan penggunaan segala atribut, kaus, poster, stiker, pamflet, spanduk, yang bertuliskan kata-kata yang menghina, rasis, dan bernada permusuhan dengan pendukung lain.
Jika dalam waktu enam bulan ke depan masih tetap ditemukan pelanggaran atas larangan penggunaan atribut klub dan keberadaan atribut bernada permusuhan ini, klub akan didenda Rp 200 juta.
Pelarangan berlaku sejak pertandingan away ke kandang Persipura di Jayapura, Minggu (27/7). “Meski wasit tidak melihat kejadian tersebut tapi berdasarkan rekaman, Haryono memang terlihat menginjak Robertinho,” kata Hinca seusai sidang di Sekretariat PSSI, kemarin.
Di pihak lain, bobotoh menampik tudingan bahwa mereka memicu kerusuhan yang merusak pertandingan Persib-Persija itu. Sebaliknya bobotoh menunjuk wasit Alil Rinenggo sebagai biang keladi kerusuhan karena dinilai tidak adil dalam memimpin pertandingan.

Yana Bool, salah seorang pendiri Viking, meminta semua pihak tidak terlalu menyalahkan bobotoh terkait kerusuhan tersebut. “Kita ini sudah sabar tapi karena wasitnya kurang ajar, maka terjadi lah kerusuhan itu. Kalau kita mau rusuh mah, mungkin sejak awal kita hajar aja pemain Persija, tapi kan ini tidak dilakukan,” kata Yana, Senin (21/7).

Ketua Viking Heru Joko menyesalkan terjdinya kerusuhan itu. Namun Heru menggaris bawahi bahwa wasit yang diturunkan untuk pertandingan Persib-Persija, adalah wasit yang harus mengetahui atmosfir pendukung sepakbola di Bandung.

“Bukan berarti kami meminta wasit memberi kemenangan kepada Persib. Tapi wasit harus lebih jeli pada pertandingan big match seperti Persib lawan Persija,” ujar Heru. Ketua The Bomber Asep Abdul yang saat pertandingan Persib-Persija menonton di tribun selatan bersama anggotanya mengatakan, selain buruknya kepemimpinan wasit, kerusuhan itu juga diakibatkan tidak nyamannya menonton di dalam stadion.

“Geus mah tiketnya mahal, nyarinya susah., terus di dalam stadion pasedek-sedek (berdesakan, Red),” ujar Asep. Menurut Asep, di tribun selatan, ia sudah berusaha meredam emosi penonton. Asep menurutkan, dia dan rekan-rekannya dari Bomber akhirnya memilih keluar Stadion karena penonton justru makin beringas, demikian diberitakan Tribun Jabar.

Jika disimak dari apa yang tersirat pada berita itu, panitia pun tidak terlalu siap mengelola pertandingan “panas” tersebut sehingga muncul peluang-peluang yang lebih memicu emosi dan mendidihkan amarah. Apa boleh buat. Hukuman telah dijatuhkan. (*) 

 

 

 

09
Jul
08

Partai Kuburan

SANGAT boleh jadi hanya di Indonesia ada partai politik berkantor di kuburan. Ini bukan omong kosong politik sebagaimana biasa digembar-gembor para politisi, melainkan kenyataan. Karena tidak mungkin penghuni kuburan jadi anggota partai, maka tak perlu heran kalau partai itu tak lolos seleksi sebagai partai peserta pemilu sebagaimana diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Selain ada partai yang kantornya beralamat di pemakaman seperti yang terjadi di Pare-pare Sulawesi Selatan itu, ada juga parti politik yang alamat kantor pengurus pusatnya di ibu kota, ternyata fiktif, alias menggunakan alamat palsu. Atau, alamat itu sesungguhnya milik orang atau lembaga lain.

Demikianlah, dagelan politik di tanah air menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, memasuki babak-babak terkocaknya. Sebagaimana menjelang pemilu lima tahun silam, para elit tak bosan-bosannya mengumbar libido politik mereka. Mendirikan partai, menggalang massa, menghimpun kekuatan untuk –siapa tahu– lolos, dan boleh ikut pemilu. Jika beruntung, jadilah anggota parlemen.

Dari 34 partai politik (lama dan baru) yang sudah diperiksa secara cermat dan dinyatakan memenuhi syarat sebagai peserta pemilu, tampaknya tak ada partai yang berbasis penganggur. Padahal, jika ada, partai ini memiliki potensi massa yang besar sekali.

Kalau saja para penganggur bersatu membangun sebuah partai, maka dalam sekali gebrak, Partai Penganggur Nasional (atau apapun namanya) bisa menghimpun lebih dari 40 juta pemilih. Bahwa kemudian jadi tidak relevan lagi –sebab mereka bukan lagi penganggur, melainkan anggota partai. Atau bekerja di kantor partai, entah juru ketik, entah jongos. Pokoknya, tidak menganggur– itu lain soal dan bisa dibahas kemudian di parlemen.

Toh, urusan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pun yang demikian ruwet, atau masalah alihfungsi hutan lindung maupun pengadaan kapal patroli laut, bisa dengan mudah dibantu penyelesaiannya oleh para anggota parlemen. Paling tidak, setelah sukses jadi jadi anggora parlemen, mereka bisa menghuni hotel prodeo!

Demam partai tampaknya akan segera menjalar ke lapisan terbawah masyarakat kita menjelang pemilihan umum yang tinggal berbilang bulan. Entah di pusat, entah di daerah. Partai-partai baru bermunculan –termasuk sempalan dari partai-partai lama– bersaing dengan partai yang sudah punya pemilih fanatik.

Makin banyak partai mestinya kian banyak pula kader yang magang jadi pemimpin. Entah memimpin partai itu, entah memimpin unit kerja yang jadi bagian dari organisasi partai, atau sekadar magang sebagai kordinator lapangan di masa kampanye.

Namun, berkaca dari pengalaman-pengelaman sebelumnya, banyaknya partai tidak serta-merta melahirkan tokoh-tokoh pemimpin berkualitas. Sejauh ini, bangsa kita tetap sulit “memilih” sosok yang paling tepat dan bisa diandalkan untuk memimpin sekaligus melayani mereka. Di pusat maupun di daerah, sama saja.

Sebaliknya, tokoh-tokoh yang semula diharapkan bisa turut memperkokoh kehidupan demokrasi bangsa ini melalui kiprahnya di lembaga perwakilan rakyat, justru banyak yang terjebak oleh narkotika politik dan bius korupsi.

Jika kecenderungan seperti ini terus menerus terjadi, jangan salahkan rakyat jika pada saatnya nanti mereka “mengubur” partai-partai dan politisinya dengan cara menggunakan hak pilih mereka untuk tidak memilih apa pun. (*)

08
Jul
08

Polisi Kehormatan

KEPOLISIAN  Wilayah (Polwil) Priangan di Garut, Selasa (1/7), menganugerahkan penghargaan gelar Polisi Kehormatan kepada 117 tokoh dari berbagai kalangan di Jawa Barat. Sesepuh Jawa Barat Solichin Gautama Purwanegara (GP) atau yang akrab dipanggil Mang Ihin, merupakan satu di antara tokoh yang dianugerahi gelar itu.

Penghargaan diserahkan langsung Kapolwil Priangan Komisaris Besar Polisi Drs Anton Charliyan MPKN pada upacara peringatan Hari Ulang Tahun ke-62 Bhayangkara di halaman Mapolwil Priangan, Jalan Jenderal Sudirman, Garut.

Tokoh-tokoh dan pejabat Jabar yang menerima penghargaan sebagai Polisi Kehormatan antara lain mantan gubernur H Danny Setiawan dan mantan wakil gubernur Nu’man A Hakim, Bupati Bandung H Obar Sobarna, dan Bupati Tasikmalaya Tatang Farhanul Hakim.

Kemudian Bupati Sumedang Don Murdono, Danrem 062 Tarumanagara Kolonel Inf Adang Rahmat Sujana, Kepala Bakorwil Priangan Dedi Gurnadi, Dandim 0611 Garut Letkol Inf Urip Wahyudi, serta sejumlah pengusaha serta tokoh masyarakat lainnya.

Anugerah serupa diberikan kepada para pemimpin media massa di Bandung dan wilayah Priangan, termasuk di antaranya Pemimpin Redaksi Tribun Jabar Yusran Pare.

Seusai apel, Kombes Pol Anton Charliyan mengatakan, pemberian anugerah Polisi Kehormatan kepada sejumlah tokoh dimaksudkan sebagai tanda terima kasih Polri terhadap jasa-jasa mereka yang selama ini telah ikut serta membantu tugas polisi dalam menciptakan lingkungan yang aman atau kondusif.

Menurutnya, polisi tidak akan bisa secara sendiri-sendiri melakukan tugasnya untuk menciptakan lingkungan aman dan tertib tanpa bantuan masyarakat. Tugas itu bukan hanya mutlak menjadi kewajiban polisi, tapi juga merupakan tugas bersama antara masyarakat dan aparat kepolisian.

“Karenanya kami menilai, sangatlah pantas kalau dalam peringatan hari ulang tahun Bhayangkara ini kami bisa memberikan penghargaan kepada masyarakat yang sudah banyak membantu tugas polisi,” ujar Anton.

Anton kemarin juga memberikan penghargaan Polisi Kehormatan kepada pemimpin adat Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Selain menitipkan tongkat komando, Kapolwil juga minta sejumlah anak Kampung Naga menjadi polisi. (Tribun Jabar)

08
Jul
08

Beast and The Beauty

APA yang terjadi jika the beast seperti saya ditugasi menilai  15 perempuan yang beauty, cerdas dan elegan? Bingung lah! Lha wong semuanya cantik, semuanya berotak cerdas, semuanya (tampak) berperilaku baik.

 

Ya, kami sebagai juri grand final Pemilihan Putri Indonesia (PPI) Riau tahun 2008 diberi mandat oleh panitia penyelenggara untuk memilih dan menetapkan satu saja sebagai yang terbaik dan satu lagi sebagai pendamping (runner up).

 

Ada 16 –dari 25 orang— peserta yang ditetapkan sebagai finalis. Para peserta ini putri-putri cantik berusia antara 18 sampai 25 tahun, berasal dari kabupaten  dan kota di Provinsi Riau.

 

Kami –setidaknya saya– tidak tahu dan tidak mengikuti proses penilaian itu dari awal. Panitia telah memilih juri-juri tersendiri untuk  menyeleksi para peserta yang merupakan duta dari daerah masing-masing itu, dan memilihkan untuk kami 15 yang terbaik.

 

Nah, tugas kami sebagai dewan juri babak akhir, adalah memilih satu saja sebagai pemenang utama, satu pendamping dan satu lagi pemenang ketiga. Caranya, melalui wawancara mendalam. Kami, lima anggota dewan juri, dan seorang sekretaris bertindak sebagai panel penguji. Peserta sebagai subjek yang menjalani ujian itu.

 

“Ujian akhir” ini tampaknya sangat menentukan untuk menggali faktor brain dan behavior (faktor beauty sudah dinilai oleh tim juri awal). Itu sebabnya dewan juri di babak akhir pun bukan orang-orang sembarangan (kecuali saya, kalee!!  hehehehe..).

 

Mereka adalah pakar-pakar di bidangnya. Sebut saja, Drs Azfauri Aziz MBA (General manager Export – PT Mustika Ratu) yang mewakili Yayasan Putri Indonesia sebagai pemegang hak penyelenggaraan PPI. Peserta yang terpilih sebagai  putri Indonesia, sekaligus jadi duta RI ke pemilihan Miss Universe.

 

Pak Aziz –kami menyapanya demikian– lah yang “mengukur” kepatutan dan kelayakan seorang peserta untuk PPI. Mulai dari tinggi badan (mutlak minimal 170 Cm) bobot ideal dan ukuran-ukuran fisik lain, juga tingkat pengetahuan.

 

Untuk menguji bobot intelektual sekaligus wawasan kepariwisataan, adalah bagian Prof Dr H Detri Karya SE MA, akademisi Riau  yang juga jadi staf pengajar di sejumlah perguruan tinggi negeri di Tanah Air dan di Malaysia.

 

Ada lagi juri lain, yakni Rozalita Nasution, tokoh sekaligus perempuan aktifis yang brilyan putri Riau jebolan untiversitas di London, Inggris. Ia sangat teliti, cermat, dan memiliki pengamatan yang tajam. Lalu ada Eva Leoniza, pakar kecantikan di Pekanbaru yang sangat tegas namun penuh sikap keibuan.

 

Jadilah Jumat 27 Juni 2008 itu merupakan hari yang padat, baik bagi para peserta maupun dewan juri. Wawancara berlangsung dari pagi sampai malam.  Bagi saya sendiri, 15 dari 16 finalis itu semuanya memenuhi syarat Putri Indonesia (yakni memiliki (intelektualitas, kecantikan, dan perilaku layak).

 

Namun, pilihan memang harus dilakukan karena tak mungkin Riau mengirim seluruhnya –15 peserta—ke ajang pemilihan di tingkat nasional.

 

Usai sesi wawancara itu, sebenarnya dewan juri bisa dikatakan sudah mengantongi ancar-ancar tiga pemenang utama, tinggal saja peneguhan melalui penilaian pada saat mereka tampil di panggung di depan publik.

 

Dari 15 peserta, kami menyeleksi lagi menjadi tinggal 10, kemudian diseleksi lagi jadi tinggal lima, dan akhirnya kami memilih tiga. Dari tiga inilah, kami menetapkan satu yang paling baik di antara yang (sebenarnya semua sudah) terbaik, yang akan mewakili Riau.  (*)

 

08
Jul
08

Kisah Citra dan Yaumi

CITRA Ratu Pratama (20), finalis berjilbab asal Pekanbaru, akhirnya dinobatkan sebagai Duta Riau pada malam final Pemilihan Putri Indonesia (PPI) wilayah Riau di di Ballroom Hotel Pangeran, Pekanbaru, Sabtu (28/6) malam.

Di tiga besar, Citra menyisihkan Yaumil Syah Melia (Pekanbaru) dan Indah Paramita (Bangkinang). Dengan mata berkaca-kaca, mahasiswi teknik biocthemical Universiti Kebangsaan Malaysia itu menerima selempang bertuliskan Duta Riau dari juri Yayasan Putri Indonesia (YPI) Pusat, Asfauri Aziz.

“Saya terharu sekali, ucapan syukur pertama tentunya kepada Allah. Terima kasih Citra sampaikan kepada mama. Beliau selalu mendukung Citra,” ujarnya dengan suara lembut.

Citra pada malam penobatan nampak anggun memakai gaun pink. Dia berhasil meyakinkan kelima juri saat menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan solusi kelangkaan bahan bakar minyak.

“Ada solusi lain untuk menghemat bahan bakar, yaitu melalui blue ernergy, dengan menggunakan air sebagai sumber energinya. Di Jepang penemuan ini mulai digalakkan,” ujar putri dari Nursida Dewi Kartika.

Sebagai Duta Riau, Citra berhak ikut Pemilihan Putri Indonesia (PPI) 2008 di Jakarta, Agustus mendatang. Gadis yang pernah memenangkan juara 1 lomba cepat tepat ilmu lingkungan tingkat nasional tahun 2005 itu berjanji akan memperkenalkan songket Riau ke kancah nasional.

putri riau

putri riau

“Saya akan makin sering memaki songket Riau, selain tentunya saya akan memperkanalkan budaya Melayu dan pariwisatanya yang serba unik,” ujar Citra, pemilik tinggi 170 centi meter.

Sebagai juara, Citra pun berhak atas sepeda motor Yamaha Mio dan uang tunai Rp 3 juta. Sedangkan Yaumil (runner up 1) meraih uang Rp 2,5 juta dan Indah Paramita (runner up) berhak atas uang Rp 2 juta. Sementara itu pemenang harapan II, Desi Yulia, dinobatkan sebagai Putri Yaris.

Malam penobatan Duta Riau di Ballroom Hotel Pangeran kemarin malam berlangsung meriah dengan dihadiri ratusan undangan. Pentolan Kla Project, Katon Bagaskara menyanyikan 6 lagu untuk menyemarakkan suasana. (Tribun Pekanbaru/nng)

08
Jul
08

Lima Belas Terbaik

JUMAT 26 Juni 2008  merupakan hari yang sangat mendebarkan bagi 15 finalis Pemilihan Putri Indonesia (PPI) wilayah Riau. Usai melewati masa karantina selama tiga hari, mereka harus menghadapi 5 juri independen yang siap menguji wawasan.


Sejak pukul 10.00 WIB, para gadis cantik yang Sabtu, 28/6/08 akan dinobatkan sebagai Duta Budaya Riau sudah berkumpul di sebuah ruangan. Terlihat berbagai ekspresi para finalis yang terlihat gelisah. Ada yang mulutnya komat-kamit tak henti berdoa sambil memejamkan mata, ada pula yang memilih membaca buku.

Indah Paramitha misalnya. Finalis asal Bangkinang itu tak henti-hentinya bernyanyi sambil bergoyang. Sementara Citra Ratu Pratama lebih memilih membaca majalah. “Nervous sekali, makanya saya berusaha menghibur diri dengan membaca. Dari tadi malam, kalau nggak nonton Metro TV, ya baca majalah lingkungan biar nambah wawasan,” ujar si cewek berjilbab tersebut.

Irma Fariza Putri mendapat kesempatan pertama menghadapi dewan juri yang terdiri dari dua perwakilan dari Yayasan Putri Indonesia Pusat, Asfauri Aziz, dan Prof Dr Detri Karya SE MA. Selain itu juga ada tokoh perempuan Rozalita Nasution, pengurus Kelompok Sosial Masyarakat Tunas Bangsa.
Juri lainnya adalah perwakilan media yakni Yusran Pare, Pemimpin Redaksi Tribun Jabar . Terakhir adalah Eva Leomiza, mewakili tokoh kecantikan di Riau.

“Lebih rumit daripada saat sidang skripsi. Saya disuruh mempresentasikan dengan memakai bahasa Inggris tentang aktivitas saya sekarang sebagai karyawan BP Migas dan berbagai pertanyaan lainnya,” ujar Noviani Fauzer, finalis yang bekerja pada BP Migas Sumbagut.

Berbeda dengan Novi yang keluar ruangan dengan tersenyum, Irma Fariza yang mengahabiskan waktu 15 menit di depan juri, begitu keluar ruangan terlihat syok. Mahasiswa Universitas Riau itu menangis dan tak mampu berkata-kata. Bahkan untuk menenangkan diri dia terpaksa beristirahat di kamarnya. 

“Mereka semua sangat tegang dan tidak rileks sehingga pertanyaan ringan dan sederhana menjadi teramat sulit karena mereka tidak konsentrasi. Satu hal lagi yang kurang, kemampuan mereka tentang pariwisata Riau masih minim sehingga tidak bisa meng-explorer secara dalam tentang keunggulan Riau,” ujar Eva Leomiza, wakil juri. 

Hingga pukul 17.00 WIB wawancara belum berakhir. Namun, agenda pawai peserta calon Putri Indonesia itu tetap dilangsungkan. Dengan menaiki Toyota Yaris, para finalis itu diajak berkonvoi mengelilingi jalan-jalan protokol.

Rombongan start dari halaman depan Hotel Pangeran. Puluhan anggota komunitas motor Yamaha juga ikut serta menjadi leader konvoi. Aksi ini ikut menyita perhatian pengguna jalan sehingga sejumlah titik jalan sempat macet.

“Ini salah satu bentuk sosialisasi calon Putri Indonesia kepada masyarakat Pekanbaru. Diharapkan masyarakat pun bisa memberi spiritnya, saat malam penobatan nanti,” ujar Pradonggo, panitia dari Jendela Promotion.

Penobatan Duta Budaya Riau yang akan dikirim ke Pemilihan Putri Indonesia 2008 di Jakarta berlangsung Sabtu malam mulai pukul 19.00, di Ballroom Hotel Pangeran Pekanbaru. (Tribun Pekanbaru/nng)

07
Jul
08

Pekanbaru, Wow…!!!

TELEPON bergetar. “Kang, ke Pekanbaru ya! Jumat 27 Juni 2008, rangkaian grand final Pemilihan Putri Indonesia (PPI). Anda jadi satu di antara lima juri,” kata Rosa Dharmasari, dari seberang sana. Perempuan energik ini, pemimpin perusahaan Tribun  Pekanbaru, dan koran itu jadi partner penyelenggaraan PPI 2008 untuk wilayah Riau.

 

Ups! Untuk kesekian kali, kembali saya harus turut menilai orang. Berat, memang. Apalah hak awak ini menilai cantik tidaknya seseorang, cerdas tidaknya orang lain, dan sebagainya. Saya sempat menolak dengan berbagai alasan.

 

Tapi, Rosa –seperti biasa—dengan cerdik mematahkan berbagai argumen. Maka saya pun tak bisa bilang apa-apa lagi selain oke. Jadilah, Kamis ( 26/6/08 ) sore saya bertolak dari Jakarta setelah bertemu dengan bos untuk suatu urusan.

 

Penerbangan sedang padat karena memasuki masa liburan. Untung masih dapat kursi di Batavia Air. Lumayan, meski agak deg-degan juga. Yang jelas, hari itu untuk pertama kali saya menginjakkan kaki di Pekanbaru.

 

Luar biasa. Bersih! Itu kesan pertama yang muncul ketika kami –saya dijemput Mas Piyanto dari Tribun Pekanbaru— keluar dari bandara menyusuri jalan memasuki kota. Pepohonan rindang meneduhi jalan. Tepi-tepi jalan terlihat rapi. Nyaris tak ada sepotong pun sampah yang tampak.

 

Aduh, saya jadi malu hati! Tinggal di Kota Bandung yang sudah telanjur terkenal sebagai Parijs van Java, dan Kota Kembang, tapi nyaris tak pernah lagi merasakan kenyamanan dan keindahan. Apalagi kebersihan. Jauh sekali dengan Pekanbaru.

 

Daripada studi banding jauh-jauh ke luar negeri (ke Jerman, ke Cina, dll), mestinya para pejabat dan wakil rakyat Kota Bandung itu datang saja ke Pekanbaru untuk mempelajari bagaimana membuat kota selalu bersih.

 

Selain bersih dan segalanya terasa seperti tertata rapi, simbol-simbol kultur lokal juga terasa sangat kuat, meski tetap saja kultur urban –sebagaimana yang menjalari kota besar di mana pun di tanah air—turut mewarnai kehidupan keseharian.

 

Malah, dalam beberapa segi, Pekanbaru tampaknya jauh lebih “berani” dibanding Bandung, atau bahkan Jakarta, mungkin. Ini saya tangkap dua hari kemudian, ketika seorang rekan menyodorkan selembar surat kabar lokal.

 

Pada salah satu halaman, Koran itu memuat “iklan baris” yang khusus menawarkan jasa pijat plus-plus. Aduh…. Iklan itu terkesan dipasang oleh pemberi jasa, dengan menjanjikan layanan “wanita, muda, cantik, bersih…. Pasti memuaskan, dst..” Lalu, “on call 24 jam.  Wawww..!!

 

Di Jakarta dan di Bandung saja yang relatif lebih terbuka dan lebih “sekuler” saya tak menemukan iklan yang seberani itu. Apakah itu tanda keterbuakan dan kemajuan Pekanbaru dibanding kota lain, atau sebaliknya. Saya tak tahu.

 

Yang jelas, di antara simbol-simbol kultur Melayu yang (ingin) dikesankan sebagai kuat dan sangat kental nilai-nilai religi, kota ini tampaknya juga sangat permisif menerima unsur subkultur lain yang lahir dari pola hidup perkotaan dengan berbagai eksesnya.

 

Dua-duanya berusaha berdampingan, ya masing-masing seakan “tahu sama tahu lah!”  Begitu kira-kira. (*)

03
Jul
08

Hutan Jabar, Astaga!!

SETAHUN terakhir ini saya bolak-balik ke Kalimantan. Hari ke hari, selalu dilanda keprihatinan melihat hutan Tanah Borneo yang rasanya makin hancur saja. Di kawasan Meratus Kalimantan Selatan, di Kalimantan Tengah, di Kalimantan Barat.

 

Belum lagi di tanah Sumatera sebagaimana yang diberitakan berbagai media. Pembalakan liar sudah sedemikian parah. Menggerogoti jutaan hektar rimba yang seharusnya dirawat. Bahkan hutan lindung pun tak kalis jadi serbuan para pembalak liar. Kerusakan hutan di pulau-pulau itu terkesan begitu mengkhawatirkan dan mengancam kelangsungan masa depan.

 

Ternyata, bukan hanya di Kalimantan dan Sumatera. Saya terenyak mendengar fakta-fakta yang disampaikan para pembicara dalam Curah Pendapat (mengenai) Pembalakan Liar Hutan di Grha Kompas-Gramedia Bandung, Rabu (25/6/2008).

 

Kerusakan hutan di Jawa Barat — dilihat dari perbandingan luas lahan, hutan, kawasan terbangun dan populasi penduduk– jauh lebih parah dan lebih mengerikan. Menurut data Perhutani, dari 597.647 hektar hutan produksi dan hutan lindung yang mereka kelola, setidaknya 7.000 hektar dirambah dan dijarah.

 

Pada pertemuan itu terungkap pula (setidaknya, saya baru tahu) bahwa luas hutan di jawa barat tak kurang dari dua persen dari jumlah total luas hutan di tanah air. Cadangan air tanah di wilayah jawa barat juga cuma dua  persen dibanding cadangan ketersediaan secara nasional.

 

Tapi Jawa Barat menampung kurang lebih 20 persen dari populasi penduduk nasional. Kebutuhan kayu di Jawa Barat rata-rata lima juta meter kubik per tahun. Kemampuan sediaan hanya 250 ribu meter kubik saja. Jadi sisanya diperoleh dari pembalakan liar, entah dari hutan-hutan di Jawa Barat yang sudah makin tipis, entah dari daerah lain.

 

Dalam pertemuan curah pendapat itu, hadir tokoh-tokoh pemerhati lingkungan. Ada Acil Bimbo yang beberapa tahun terakhir ini aktif “keluar masuk hutan” dan mengkampanyekan pelestarian lingkungan. Ada Kepala Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Sobirin Supardiyono.

 

Dari kalangan akademisi dan  perwakilan lembaga swadaya masyarakat pun turut hadir serta memberikan urun rembuk. Ada juga dari pihak Perhutani, dan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Barat  Inspektur Jenderal Susno Duadji.

 

Beberapa hari sebelumnya, jajaran Polda Jabar menggelar operasi besar-besaran untuk menertibkan pembalakan liar di sekitar hutan di Ciamis Selatan. Dari operasi itu polisi  menyita 100 truk kayu gelondongan, alat potong kayu, dan bendera sebuah lembaga swadaya masyarakat.

 

Betul kata Sobirin, pemberantasan pembalakan liar perlu pendekatan holistik yang melibatkan para pemangku kepentingan. Hal itu dapat ditempuh dengan melakukan penegakan hukum yang tak pandang bulu serta penyuluhan dan advokasi kepada masyarakat terkait.

 

Apa pun  langkahnya, tampaknya harus segera dilakukan, sebab hari-hari ini kerusakan hutan di Jawa Barat sudah sedemikian parah. Perlu berapa ratus tahun lagi untuk mengembalikannya pada kondisi semula. Setidaknya, mengembalikan hutan ke kondisi ideal. (*)