Arsip untuk Agustus, 2008

27
Agu
08

Isyarat dari Jorong

BANJIR melanda sejumlah tempat di Kabupaten Tanah Laut dan Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Kali ini, selain menggenangi dan merusak permukiman, tambak, dan mengganggu arus transportasi barang dan jasa, banjir ini juga menelan dua korban manusia.

Dari segi peristiwa, banjir ini –Selasa 26 Agustus 2008-rutin belaka. Warga di sekitar daerah genangan maupun para petinggi instansi terkait, menganggapnya sebagai hal yang biasa. Secara geografis, kawasan pesisir tempat bermuara belasan sungai ini memang rawan. Air pasang dan curah hujan, cukup membuat daerah-daerah landai itu tergenang.

Ketika sesuatu menjadi rutin, orang sering menganggapnya sebagai hal yang biasa. Bukan masalah. Demikian halnya dengan banjir di kawasan pesisir provinsi ini. Karena dianggap bukan masalah, tidak pula tampak ada langkah-langkah serius yang konkret untuk mengatasinya.

Semua seakan diserahkan kepada kebijaksanaan alam untuk mengatur. Bukankah banjir seperti itu akan surut dengan sendirinya jika hujan reda, atau pasang laut sedang surut? Bukankah musibah terjadi karena kelalaian manusia juga? Bukankah korban timbul juga karena orang kurang waspada?

Secara sekilas jalan pikiran seperti ini mungkin ada benarnya. Namun jika mau membaca dengan lebih dalam dan lebih cermat lagi gejala alam yang sudah dianggap rutin ini, sangat boleh jadi ia memberi pandangan lain yang memandu kita untuk bergerak dan bertindak secara lebih arif.

Sungai adalah urat nadi sekaligus jantung ekosistem kawasan ini dan seluruh wilayah daerah alirannya. Tapi kondisinya dari hari ke hari makin buruk saja bersamaan dengan hancurnya hutan dan rusaknya tanah oleh eksploitasi besar‑besaran yang seakan tanpa kendali.

Cadangan plasma nutfah habis terobrak‑abrik, flora dan fauna langka, ikut tergusur dan terbabat. Penduduk asli semakin merana karena hak‑hak ulayatnya raib dicaploki. Mereka yang sepanjang hidupnya bersatu padu dan jadi bagian dari ekosistem hutan, justru sering jadi kambing hitam, dituding sebagai perambah.

Padahal secara naluriah mereka mengembangkan apa yang disebut sebagai kearifan tradisional, larut dalam daur lingkungan yang saling memberi dan menerima satu sama lain. Perusakan justru dilakukan oleh tangan‑tangan industri yang dipompa modal besar, bahkan dari negara‑negara asing yang selama ini menuding Indonesia sebagai negara yang tak bisa merawat rimba.

Data Conservation International (CI), sebuah lembaga internasional yang khusus bergerak di bidang keanekaragaman hayati di dunia mencatat, setiap tahun Indonesia kehilangan hutan dengan tingkat kerusakan sekitar 2,5 persen. Di Kalimantan, tingkat kerusakan jauh lebih parah lagi karena hampir mendekati angka 70-80 persen.

Menurut data Save Our Borneo (SOB), 80 persen hutan di kawasan ini disebabkan oleh ekspansi besar-besaran industri sawit, dan Kalimantan Selatan tercatat sebagai daerah dengan laju kerusakan hutan paling cepat dibanding provinsi lain. Di sini, rata-rata 66,3 ribu hektare hutan musnah per tahun dari total luas wilayah hutan sekitar tiga juta hektare.

Hutan gundul. Lingkungan rusak. Sungai-sungai mendangkal dengan kecepatan yang luar biasa besar dan kita tak bisa lagi menanggulanginya sendiri, sehingga dalam kasus tertentu harus mengundang pihak asing untuk sekadar menggeruknya sebagaimana yang terjadi pada alur Sungai Barito.

Boleh jadi ini parodi paling konyol yang terjadi dalam penanganan masalah lingkungan. Atas nama pembangunan, kita memberi keleluasaan para pemodal untuk menggunduli hutan dan mengeruk habis apa pun yang bisa ditambang, menghancurkan ekosistem, mendangkalkan sungai. Lalu, kita bujuk rayu pihak asing menanamkan modalnya ‑‑ yang harus kita angsur selama bertahun‑tahun -‑ untuk merehabilitasi kerusakan itu.

Karena itulah, peristiwa banjir di Jorong dan sekitarnya kali ini tak bisa lagi dipandang sebagai sesuatu yang rutin. Ini merupakan sinyal bagaimana seharusnya kita berrada –dan jadi bagian– di tengah daur lingkungan.(*)

25
Agu
08

Parade Politisi Culun

SAMPAI akhir pekan lalu, hampir 12.000 orang telah mendaftarkan diri — atau didaftarkan– sebagi calon anggota lembaga legislatif untuk Pemilihan Umum 2009. Secara nasional, mereka akan berebut 560 kursi Dewan Perwakilan Rakyat yang tersebar di 77 daerah pemilihan di tanah air.

Di Kalimantan Selatan, menurut data sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU), setidaknya sudah 978 orang untuk 55 kursi DPRD bagi enam daerah pemilihan. Jumlah ini masih sangat mungkin berubah karena parpol masih diberi kesempatan mengubahnya.

Sejauh ini publik belumlah mengenal betul para calon yang akan mewakili mereka itu. Jika pun ada, tentu sebatas yang diumumkan media atau yang beredar di kalangan terdekat. Di antaranya tentu saja nama-nama yang memang sudah dikenal publik, tapi tak kurang pula merupakan tokoh baru yang belum jelas rekam jejaknya.

Kemunculan dan bertambahnya partai baru peserta pemilu, telah membuka kemungkinan dan peluang bagi banyak orang untuk jadi kader partai atau sekadar belajar mengembangkan diri di pentas politik.

Tak perlu heran jika hari-hari ini publik melihat ada orang yang tanpa latar belakang memadai, mendadak jadi penggiat partai, pengurus, atau bahkan tiba-tiba namanya tercantum pada daftar calon anggota legislatif.

Di samping politisi ‘culun’ seperti itu, banyak pula politisi instan yang dicomot oleh partai dari panggung hiburan lebih karena keterkenalannya. Ketenaran ini dibayangkan bisa berpengaruh pada sikap politik para pemilih.

Selain politisi ingusan dan artis yang dikenai seragam partai, tentu tetap ada calon wakil rakyat yang memang sudah karatan sebagai politisi di partai tertentu. Ada pula politisi ‘kutu loncat’ yang tiap menjelang pemilu hinggap di partai berbeda atau membentuk partai baru.

Hadirnya sosok-sosok baru tentu menerbitkan harapan baru berkenaan dengan terjadinya regenerasi. Publik sangat berharap bahwa wakil mereka di parlemen nanti, lebih baik dibanding dengan sebelum-sebelumnya.

Persoalannya kemudian, apakah parlemen hasil Pemilu 2009 nanti benar-benar menghasilkan para wakil yang betul-betul mampu memenuhi harapan dan aspirasi rakyat? Apakah para wakil itu betul-betul berperan sebagaimana mestinya? Atau semata mengulangi dan sekadar melanjutkan patron yang sudah ada?

Jawaban atas pertanyaan ini tentu ada pada mereka yang nanti terpilih. Terbongkarnya skandal korupsi dan kolusi yang melibatkan wakil rakyat baik di tingkat pusat maupun di sejumlah daerah telah menunjukkan betapa rapuhnya basis moral mereka.

Rakyat sangat tidak menghendaki hal itu terjadi lagi terhadap wakil-wakil mereka di kemudian hari. Rakyat sangat berharap akan terjadi perubahan ke arah yang lebih baik dari hari-sebelumnya.

Rakyat tak akan percaya pada orang yang gembar-gembor akan membabat habis korupsi kolusi dan nepotisme, jika yang bersangkutan merupakan bagian dari sistem yang korup dan ia sendiri turut menjalankannya selama ini.

Soal janji tak berbeda jauh, sebab hampir di setiap kampanye, masalah pendidikan, kesehatan, kesejahteraan rakyat, selalu jadi tema para juru kampanye. Namun kenyataannya, hingga hari ini menunjukkan sekolah tetap mahal. Layanan kesehatan adalah kemewahan. Kemiskinan tak juga tuntas.

Rakyat sudah sangat kritis dan cerdas. Mereka akan tahu siapa sesungguhnya orang-orang yang layak mewakilinya duduk sama tinggi dengan pemerintah nanti.

Jadi, mumpung belum memasuki ingar-bingar kampanye, sebaiknya para politisi kembali menatap diri dahulu. Berkaca pada diri sendiri, benarkah ia akan sanggup jadi wakil rakyat sejati. Jika menilai diri saja belum mampu, apalagi mengukur getar aspirasi rakyat. (*)

20
Agu
08

Rame-rame Pamer Citra

SUASANA hangat mulai menjalari pesta demokrasi di tanah air. Sampai Rabu ( 19/8 ) malam menjelang pergantian hari, Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) di pusat maupun di daerah dibanjiri para pengurus partai politik. Para pengurus partai itu mengajukan daftar nama calon-calon anggota legislatif yang akan disodorkan kepada pemilih pada saatnya nanti.

Di lain pihak, jauh sebelum masa kampanye dimulai, beberapa tokoh telah mempromosikan diri mereka melalui berbagai cara dan media. Entah di televisi, surat kabar dan majalah, maupun melalui media luar ruang. Aktivitas beriklan ini makin gencar setelah masa kampanye resmi dimulai.
Tokoh-tokoh politik mengiklankan diri memang bukan hal yang baru. Di negara- negara maju hal ini lazim dilakukan, dan di negara kita gejalanya berkembang lebih semarak pada pelaksanaan pemilu kali ini.
Tentang apakah cara berkomunikasi politik seperti ini efektif atau tidak untuk mempengaruhi massa, itu soal lain. Yang jelas, tokoh-tokoh politik sudah mulai menyejajarkan diri dengan mata dagangan, dan karena itu perlu diiklankan agar orang makin mengenal dan kian merasa dekat.
Era informasi telah dengan cerdik dimanfaatkan para politisi untuk membangun persepsi publik melalui pencitraan. Setidaknya, ada tujuh tokoh yang sudah terus terang pasang badan mengiklankan diri. Besok, lusa, dan seterusnya sampai mendekati masa pemilihhan presiden, mungkin akan lebih bayak lagi.
Komunikasi politik melalui iklan ini tentu saja menggembirakan para pebisnis media massa. Sebab mereka mendapatkan sumber baru pendapatan dari orang-orang politik yang sedang gandrung-gandrungnya meminta kepercayaan rakyat.
Tentang apakah rakyat nanti akan percaya dan memberikan amanat serta aspirasinya dengan cara memilih tokoh-tokoh itu sebagai pemimpin mereka, itu soal lain. Apalagi semakin hari rakyat Indonesia semakin cerdas dan kian kritis. Mereka akan bergerak mengikuti suara hatinya yang belum tentu bisa dipengaruhi oleh politik pencitraan.
Para politisi boleh saja mencitrakan diri sebagai paling bersih, paling tepat, paling cocok, paling berpengalaman untuk memimpin, tapi rakyat punya mata dan telinga yang tajam untuk menyimak perilaku para politisi. Keterbukaan informasi masa kini telah membuat rakyat bisa dengan mudah menyaksikan wajah asli para politisinya di parlemen maupun di kepengurusan partai.
Para pemimpin politik dan aktivis partai boleh saja mengklaim memiliki basis massa yang besar dan kuat di daerah-daerah. Namun realitas yang ditampilkan — setidaknya melalui pemilihan kepala daerah di berbagai wilayah di tanah air– dengan jelas menunjukkan banyak partai telah kehilangan loyalitas dan militansi kadernya.
Selama ini rakyat selalu dibius dengan ideologi nasionalis maupun agama, namun mereka sadar bahwa para politisi hanya menggunakannya sebagai tangga untuk mencapai kursi empuk kekuasaan.
Karenanya, perdebatan antara ideologi agama versus nasionalis itu sendiri sekarang sudah kehilangan roh. Tak heran kalau kita makin sulit menemukan nilai-nilai keagamaan ataupun nasionalisme di kalangan politisi. Buktinya, politik jadi penuh amarah, korupsi jalan terus, komunikasi politik sarat dengan bagi-bagi kursi.
Di tengah himpitan situasi seperti sekarang ini, tentu saja perlu kearifan dan kedewasaan para tokoh dari berbagai lapisan untuk terus-menerus mendampingi rakytat agar praktek kekerasan dan intoleransi yang mulai muncul di berbagai tempat tidak berkembang apalagi sampai meledakkan konflik sosial yang membuat kita terpuruk kembali ke titik nadir.  ***
11
Agu
08

Bandung, 10-08-08

MINGGU, tanggal 10 Agustus 2008 warga Kota Bandung untuk pertama kalinya memilih langsung wali kota dan wakil walikotanya. Ada tiga pasang calon yang maju dalam pemilihan umum di ibu kota provinsi Jawa Barat ini.

Sebagaimana disiarkan Tribun Jabar, pasangan calon wali kota/wakil wali kota Bandung Dada Rosada-Ayi Vivananda meraup suara terbanyak dan unggul telak berdasarkan hasil penghitungan cepat Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Jaringan Informasi Publik (JIP).

Jumlah pemilih tetap di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Bandung 1.537.074 orang, dengan rincian pemilih laki-laki 773.557 orang dan perempuan 763.517 orang. Jumlah tempat pemungutan suara (TPS) 3.865. Jumlah penduduk Kota Bandung 2,7 juta jiwa.

Pasangan nomor urut satu yang diusung Partai Golkar-PDIP ini meraup 64,37 persen suara berdasar penghitungan cepat di 320 TPS di semua kecamatan Kota Bandung. Di urutan kedua pasangan Taufikurahman-Deni Triesnahadi (Trendi), yang diusung PKS, meraih 26,07 persen suara.

Posisi ketiga ditempati pasangan dari jalur perseorangan, HE Hudaya-Nahadi (Hadi), dengan raihan 9,56 persen suara. Tingkat partisipasi pemilih sekitar 66,61 persen. Sisanya, atau 33,4 persen, tidak menggunakan hak pilih dengan

Berdasarkan tabulasi suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandung, hingga pukul 20.00 baru masuk 63.815 suara. Menurut Ketua Divisi Sosialisasi KPU Kota Bandung Heri Sapari, pasangan Dada-Ayi memimpin dengan perolehan suara 40.381 (63 %). Pasangan Trendi meraih 17.781 (28%), dan pasangan Hadi memperoleh 5.653 (9 %).

Desk Pilkada Pemkot Bandung juga ikut menghitung hasil pemilihan kepala daerah. Hingga  pukul 20.00, menurut Kepala Badan Infokom Bulgan Alamin, total suara yang masuk 785.042. Pasangan Dada-Ayi di urutan pertama dengan raihan 512.422 (65,25 %), disusul Trendi 200.455 (25,52 %), dan Hadi 72.165 (9,23).

Adapun menurut penghitungan internal DPD PKS Kota Bandung hingga pukul 17.00 selisih persentase suara Trendi dengan Dada-Ayi tak begitu jauh. Menurut Ketua Tim Kampanye Trendi, Tedi Rusmawan, dari 20 persen sampel TPS, perolehan sementara 49,5 persen untuk Dada-Ayi, 38,5 persen untuk Trendi, dan 12 persen untuk Hadi. Ketua DPD PKSKota Bandung Haru Suandharu menyatakan siap memberi selamat ke pasangan pemenang.

Mengenai pilkada ini, rekan sekaligus guru saya Kang Cecep Burdansyah bilang, dalam sebuah kompetisi, menang kalah itu biasa. Untuk kandidat yang menang, ia harus membuka mata dan hati bahwa ia diberi jalan oleh pesaingnya yang kalah untuk mengemban amanah. Maka kemenangan itu jangan disia-siakan karena rakyat akan menilainya lima tahun kemudian.

Sebaliknya, untuk kandidat yang kalah, tidak perlu merasa putus harapan karena jalan untuk menjadi wali kota tidak berarti tertutup. Justru kekalahan itu harus dijadikan pelajaran untuk meraih kemenangan di masa datang. Bukankah pemeo mengatakan, kekalahan itu merupakan pelajaran terbaik dalam hidup seseorang.

Jabatan wali kota memang jabatan politik, tetapi tak berarti jabatan politik itu harus diraih dengan intrik. Jabatan wali kota itu jabatan yang penuh amanah karena harus mendarmakan baktinya bagi sekitar dua juta warganya di Kota Bandung, dengan cara menyejahterakannya. Tentunya ini bukan pekerjaan ringan. Butuh keuletan, kesabaran, ketegaran, dan kecerdasan.

Bagi warga Kota Bandung,  pada akhirnya siapa pun yang terpilih jadi wali kota, hanya satu yang diharapkannya, bisakah masyarakat Kota Bandung menjadi lebih sejahtera,segala kebutuhan terpenuhi, serta aman dan nyaman hidup di kota kembang ini.

Ya, akhirnya Bandung kembali dipimpin Dada Rosada. Kini ia didampingi Ayi Vivananda sebagi wakil. Selama periode sebelumnya, Dada memimpin “sendiri” karena wakilnya, Jusep, meninggal karena sakit beberapa saat setelah dilantik.

Saya tak ikut memilih, karena sedang bertugas di Banjarmsin!! Wakakakakakak…

01
Agu
08

Riwayat Sehelai Jaket

bpostprint.jpg

SEHELAI jaket tergantung di balik rak kaca pada bagian atas dinding depan dalam ruang redaksi di gedung lama Banjarmasin Post. Sekilas mirip jaket satuan tugas (satgas) ormas yang biasanya marak di saat kampanye. Tapi jika dicermati dengan lebih teliti, jaket itu adalah jaket `almamater’ gerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).

Jelas, penempatan jaket itu di sana bukan tanpa maksud. Bukan sekadar hiasan dan kenang-kenangan romantisme perjuangan mahasiswa, karena mereka yang hilir-mudik berlalu-lalang dan beraktivitas di dalam ruangan itu, hampir semuanya bukan mahasiswa lagi. Sebagian di antaranya malah berusia lebih muda daripada umur jaket tersebut.Bila diurut lagi dari usia pergerakan mahasiswa Indonesia, sangat mungkin pula jaket –yang tampak kusam, tua, dan berdebu karena tak pernah tersentuh oleh petugas pembersih– itu lebih tua empat atau lima tahun dari umur harian ini, Banjarmasin Post: harian terbesar pertama di Kalimantan dan satu di antara sedikit perintis pers nasional yang bisa bertahan hingga kini.

Usia koran ini jelas bukan kanak-kanak lagi, bukan pula remaja yang meledak-ledakkan romantisme perjuangannya secara gegabah. Kalau manusia, pada usia sekarang ini ia sudah mencapai tahap kematangan kedewasaannya, meski mungkin belum sampai pada tahap kebijakan pandita.

Sedangkan untuk sebuah media massa, usia itu adalah perjalanan panjang dari sebuah siklus kerja harian tanpa henti nyaris 24 jam setiap hari dan tujuh hari kerja setiap pekan, saban bulan, sepanjang tahun.

Konsistensi. Itulah salah satu kunci keberhasilan sebuah media, termasuk di dalamnya konsisten terhadap komitmennya untuk melayani khalayak pembaca, konsisten terhadap sikapnya sebagai salah satu pilar demokrasi masyarakat. Hal ini berlaku pula dalam kasus Banjarmasin Post.

Melalui usianya itu pula terlihat bahwa surat kabar ini lahir pada tempo yang nyaris bersamaan dengan bangkitnya kesadaran untuk merombak sebuah tatanan, sebuah ordo yang dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan kebutuhan masyarakatnya.

Ya, harian ini boleh dikata lahir dari sebuah ordo yang menjungkirbalikkan tatanan lama, sekaligus memposisikan diri sebagai pengontrol ordo yang baru itu sendiri. Namun, celakanya ordo yang melahirkannya itu berkembang tanpa kendali, berubah jadi rezim penindas yang secara otoriter selama sekitar dua pertiga dari 32 tahun usia kekuasaannya.

Apa mau dikata, jangankan Banjarmasin Post — media di daerah yang jauh dari pusat kekuasaan– pada masa itu bahkan media raksasa pun kelimpungan dan kadang harus cerdik berkelit mencari celah aman agar tidak diinjak remuk oleh rezim yang secara sistematis memberangus kebebasan dan memanipulasinya sedemikian rupa lewat aneka regulasi dan `semangat kemitraan’ yang sesungguhnya hanya menguntungkan dan memperkokoh cengkeraman kekuasaan.

Bahwa selama sekian tahun Banjarmasin Post larut dalam kompromi yang kadang `tampak’ begitu intim dengan kekuasaan, itu hanyalah cara agar tidak diberangus dan dengan demikian bisa tetap bernapas supaya dapat terus secara konsisten mengunjungi pembacanya, mendampingi mereka dengan gambaran-gambaran mengenai realitas yang sedang tumbuh dan berkembang melalui kacamata yang tentu beda dengan kacamata penguasa.

Bagaimanapun, dalam beberapa hal, surat kabar ini tetap menjalankan fungsinya mengkritisi perkembangan sosial politik dan budaya yang terjadi di lingkungan di mana ia terbit dan beredar. Sikap kritis yang tampaknya pula dijalankan dengan sangat hati-hati, dengan cara yang tidak langsung menuding dan menonjok, bahkan mencubit pun tampaknya sungkan. Cukup dengan bisik-bisik, toh tetap ada hasilnya.

Periode malu-malu dan serba sungkan yang dijalarkan rezim dari ordo yang baru itu, kini telah berlalu. Dan, Banjarmasin Post lolos dari gulungan badai itu, meski sempat tampak kehilangan orientasi ketika reformasi meledak meluluhlantakkan ordo baru yang sudah lapuk itu. Kedekatan dengan kekuasaan –juga dengan partai yang paling berkuasa saat itu namun ogah disebut partai– membuat media ini sempat sempat agak serba kikuk.

Ini bisa dimaklumi, sebab selama tidak ada reformasi politik menuju ke arah demokratisasi — yang hanya dapat dicapai jika terjadi pelemahan kekuasaan di satu pihak dan terjadi penguatan masyarakat di pihak lain — maka pers juga tidak dapat mengekspresikan peran kontrol sosialnya secara efektif.

Dalam perspektif negara di zaman ordo Soeharto, kecenderungan yang kuat bahwa pers harus mendukung status quo kekuasaan telah mendorongnya memonopoli interpretasi atas regulasi yang diciptakan, bahkan memonopoli interpretasi atas fakta yang seharusnya secara telanjang disajikan. Dan yang lebih parah, memonopoli kebenaran.

Saat itu, perangkat regulasi yang jadi bagian inheren dalam sistem pers yang dibangun, sekaligus merupakan alat pemukul bagi pers yang dianggap merugikan kepentingan status quo. Karena itu, bisa dipahami jika ada masanya Banjarmasin Post seperti terpaksa lebih condong kepada kekuasaan.

Untunglah surat kabar ini segera menemukan kembali keseimbangan dirinya, menghidupkan kembali ruh perjuangan untuk pembebasan sebagaimana yang ditiupkan para perintis dan pendirinya .

Saat inilah kesempatan paling luas untuk segera menempa kembali ruh perjuangan itu agar tetap menggelenyar dalam urat nadi kehidupan para kerabat kerja dan generasi berikut dari pengelola harian ini.

Andai boleh membayangkan, suasana saat-saat ini -tahun-tahun awal pascareformasi– tampaknya tak terlalu jauh dengan saat-saat ketika bayi Banjarmasin Post lahir dari rahim militansi perjuangan para aktivis, menjelang, pada saat, dan setelah kejatuhan ordo yang lama.

Kini ia teah tumbuh dan berkembang dalam gelegak perjuangan menegakkan kebenaran dan memberantas sisa-sisa kezaliman rezim sebelumnya. Ia seharusnya tidak lagi mudah terjebak oleh kekuatan kekuasaan apa pun di luar dirinya, agar bisa dengan leluasa menjalankan fungsi sebagai pendamping masyarakat dalam menempuh arus perubahan, dengan senantiasa menyampaikan kabar, pandangan, dan gambaran yang jujur tanpa prasangka dan jernih tanpa dinodai kepentingan salah satu pihak.

Banjarmasin Post adalah milik masyarakatnya, bukan kepunyaan penguasa, bukan pula milik partai dan bukan, apalagi milik laskar –entah apa itu– yang banyak bermunculan belakangan ini.Karena ia milik masyarakatnya, maka ia akan memegang teguh komitmen pengabdiannya kepada khalayak umum, dari semua golongan, aliran, suku, agama dan ras. Pengabdian itu, juga berarti harus tetap mengkritisi tingkah laku, dan pola perilaku masyarakat serta penguasa yang menjalankan amanat rakyatnya. Pengabdian yang tulus tanpa pamrih, sebagaimana pengabdian para aktivis mahasiswa, ketika mencikalbakali berdirinya surat kabar ini.

Slogan, misi, dan visi pengabdian itulah `jaket almamater’ koran ini untuk menjalani proses di tengah Universitas Kehidupan. Jadi jelas, bukan tanpa maksud orang menaruh jaket KAMI pada dinding ruang redaksi Banjarmasin Post saat berkantor di gedung lama itu. Secara fisik, betul bahwa jaket tersebut sudah tua, kusam, layu dan berdebu. Tapi geletar ruh perjuangannya haruslah selalu menjadi inspirasi segenap pengelola harian ini.

Namun, sejak pindah kantor ke gedung baru berlantai lima, jaket tua “almamater KAMI” itu tak tampak lagi. Entah disimpan di mana. Mudah-mudahan saja spirit dan iman perjuangannya tetap menjalari seluruh awak harian ini. (*)

 

* Yusran Pare Pemimpin Redaksi Tribun Jabar, Bandung, Wakil Pemimpin Redaksi Banjarmasin Post (1998-2000) Catatan: Ditulis ulang dengan penyemuprnaan dari naskah yang dipublikasi 5 Agustus 2000