MUDIK. Hari-hari ini, itulah yang menandai kesibukan di berbagai kota. Apalagi pemerintah memberi dispensasi cuti bersama –termasuk dua libur resmi– yang pada prakteknya mungkin bisa sampai 10 atau 15 hari. Atau malah seperti diramalkan banyak pihak, situasi akan betul- betul “pulih” baru selepas pergantian tahun nanti.
Hari-hari ini Semua potensi, berbagai sarana dan fasilitas pendukung dipersiapkan sedemikian rupa oleh pemerintah agar mereka bisa melayani masyarakat yang akan mudik dan kembalinya lagi nanti. Meski memang jadi tampak agak lucu, di saat rakyat butu pelayanan prima, pada saat yang sama para pegawai negeri menikmati libur panjang.
Bahkan presiden turun langsung ke Nagreg –jalur paling rawan antara Bandung- Garut/Tasikmalaya– mengecek kesiapan lapangan. Belakangan, mantan presiden juga ikut- ikutan meninjau lapangan. Alasannya sih –konon– untuk melihat berbagai kemungkinan karena pihaknya akan memberangkatkan pemudik dengan ratusan bus dari Jakarta.
Demikianlah, sekali dalam setahun penduduk Indonesia yang sudah telanjur bertumbuh kembang di hilir, mengalir balik ke arah hulu, ke titik udik. Entah untuk sekadar kangen-kangenan, atau memang memerlukan semangat baru dari pelataran budaya asal, dari negeri asal-usul, sebelum kembali melanjutkan perjuangan di kota besar tempat selama ini mereka berjibaku.
Kampung halaman, tempat di mana kultur kaum urban berakar, mungkin memang menyimpan nilai-nlai luar biasa besar pengaruhnya sehingga bisa membuat orang rela berdesak-desakan antre untuk sekedar mendapatkan tiket kereta api, bus, atau lainnya. Atau nekat bertarung dengan garangnya situasi jalanan demi menembus kerinduan ke sutgu titik di udik sana.
Ritus kembali ke kampung halaman ini kadang-kadang memunculkan fenomena yang bertentangan dengan akal sehat. Saban tahun kita selalu melihat bagaimana orang justru sudah tidak lagi peduli pada yang lain. Saling sikut, saling injak, berebut kesempatan lebih dulu di jalanan, atau saat masuk bus, kereta api, kapal laut, dan pesawat.
Di sisi lain, kegairahan mereka yang merayakan hari kemenangan pertempuran rohani lewat puasa sebulan penuh, dimanfaatkan dengan begitu baik oleh kalangan pebisnis untuk merangsang pola konsumtif yang meledak-ledak.
Suasana lebaran tampaknya selalu jadi ajang di mana orang merasa harus meningkatkan arus belanjanya secara berlipat. Tak cuma toko makanan dan pakaian yang mendadak laris setiap bulan ramadan, bahkan para penjual mobil, sepeda motor, alat elektronik yang kadang kegunaannya dalam hidup keseharian tidak berada pada urutan kebutuhan primer, mendadak jadi barang yang laris.
Inilah fenomena yang selalu terpampang di depan mata setiap saat ramadan hingga menjelang lebaran di sejumlah kota besar di negeri kita, yang selama ini membanggakan diri sebagai negeri dengan mayoritas penduduk muslim.
Bayangkan, jika saja potensi dana pemerintah dan dana dari masyarakat mayoritas yang begitu berlimpah ini dikelola dengan baik lalu dialirkan untuk pengembangan dan pembangunan masyarakat, hasilnya tentu akan sangat fantastis.
Tapi tampaknya yang namanya manusia tetap saja selalu terkurung oleh naluri dasar manusiawi kemanusiaannya yang kadang sangat tak peduli pada manusia lain. Bahkan pada saat tertentu, kalau perlu, memakan dan menindas manusia lain demi kepuasan duniawi sendiri.
Karena itulah hari-hari ini kita masih menyaksikan, bagaimana orang-orang kecil yang sudah tertindas justru makin berkembang jumlahnya dan makin terimpit keadaan. Bahkan sekadar untuk menerima belas kasihan orang kaya yang ingin berzakat pun, ia harus berada di celah pagar antara hidup dan mati sebagaimana terjadi di Pasuruan.
Atau bagaimana ribuan orang tertipu oleh iming-iming arisan lebaran sebagaimana terjadi di Bogor, Cimahi, dan Bandung sementara di senayan wakil mereka pating pelengos malu-malu (sekaligus memalukan), megakui atau menepis atau pura-pura tidak tahu ada uang milyaran rupiah mengalir ke pundi-pundi mereka.
Di tempat lain, jika rakyat baku himpit berebut sedekah puluhan ribu perak, atau bantuan langsung tunai ratusan ribu perak, maka para pembawa acara dini hari di televisi –sambil cengangas-cengenges– membagi-bagi uang jutaan rupiah lewat pertanyaan-pertanyaan bodoh.
Aneh atau tidak, itulah sepotong parodi di tanah air di antara segala tetek-bengek kesibukan menuju titik udik. (*)