Arsip untuk Oktober, 2008

26
Okt
08

Bogem di Kota Ketupat

KANDANGAN, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Kalimantan Selatan, dikenal karena dodolnya yang lezat dan ketupat berkuahnya yang gurih. Tapi, justru bogem mentah yang menyambut Riduan, pada hari pertama penugasannya di kota itu.

Hari itu, Sabtu ( 25/10/08 ) sekitar pukul 12.00 Wita, Ridwan, wartawan Banjarmasin Post, bersama Khairil Rahim, rekannya hendak meliput demosntrasi mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darul Ulum Kandangan.

Aksi mahasiswa berlangsung di sekitar kediaman Ketua Yayasan STAI Darul Ulum, H Asnawi Syihabubbin, di Desa Gambah Dalam, Kecamatan Kandangan, Hulu Sungai Selatan.

Ketika dua wartawan ini tibe di tempat kejadian, ternyata demo sudah selesai. Di tempat itu hanya ada para pendukung ketua yayasan. Sebagai jurnalis, keduanya tetap mencari informasi. Namun orang-orang yang saat itu ada di sana tampak tidak senang.

“Kalian wartawan? Mau mempermalukan kami, ya!” hardik satu di antara mereka. Tanpa menunggu jawaban, orang-orang itu langsung menghajar keduanya.

Riduan dan Khairil berusaha menyelamatkan diri menggunakan sepeda motor masing-masing. Nahas, Riduan tidak sempat menyelamatkan diri. Dia terjatuh dari sepeda motor, sehingga tubuhnya jadi bulan-bulanan oleh dua orang pelaku. Sementara Khairil yang sempat lolos langsung meminta bantuan ke Polres HSS.

“Sebelum dipukul, kami sudah memperkenalkan diri, bahwa kami ini wartawan. Namun pelaku langsung memukul. Saya sempat mau lari, namun mereka keburu mencengkeram baju saya. Saya sempat jatuh dari motor dan mereka langsung menghajar,” terang Riduan.

Polisi kemudian menciduk para pelaku dan memerika mereka. Kapolres HSS, AKBP Suherman, mengatakan pihaknya menangani seacara serius kasus ini. Para pelaku diancam pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan.

Akibat pemukulan itu, Riduan mengalami lebam di muka dan punggung. Sedangkan Khairil mengalami luka di bibir.

KETUA Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Kalimantan Selatan, Fathurahman, mengatakan kasus ini harus diusut tuntas. Dalam hal ini, polisi harus bertindak cepat dan profesional.

Menurutnya, semua orang harus menghargai dan menghormati tugas-tugas jurnalistik. Sesuai undang-undang, seorang jurnalis yang sedang menjalankan tugas harus dilindungi, apalagi yang bersangkutan sudah menyebut identitasnya.

“Itu harus dibawa ke kasus hukum. Polisi harus bertindak cepat karena tugas jurnalistik dilindungi undang-undang. Apalagi, wartawan yang bersangkutan sudah menyebut identitas, tidak meliput secara sembunyi-sembunyi,” katanya. (B.Post, 25/10/08)

15
Okt
08

Suatu Malam di UGD

MALAM lebaran tahun ini rada istimewa. Bukan di mesjid, tidak pula di rumah, melainkan di Unit Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit Santo Yusup, Bandung. Ya, sudah empat hari menjelang lebaran Laras kambuh sakit asmanya. Pas malam lebaran tambah parah. Akhirnya, pukul 11 malam lewat dikit, kami boyong dia ke rumah sakit.

Ruang UGD relatif tenang. Ada tiga pasien yang mendahuli Laras. Seorang ibu meringkuk di tempat tidur di sebelah kiri Laras. Di seberang, dua perawat sedang sibuk menangani pemuda gempal. Mereka sedang berusaha menjahit dada kanan pemuda itu yang robek. Katanya sih, dibacok/ditusuk. Ia bersebelahan dengan seorang pemuda yang terbaring dengan cedera di kepala.

Tak sampai sepuluh menit kemudian, suasana berubah jadi super sibuk. Seorang remaja digotong. Matanya membeliak. Badan kaku. “Tolong….. tolong. Tak bisa bernapas, sus…!” kata orang yang mengantarnya.

“Habis minum ya?” Kata suster yang dengan sigap menangani pasien baru ini. Tak terlihat perdarahan. Namun tampaknya cedera di dalam. Menurut pengantarnya, anak ini korban kecelakaan tunggal. Naik sepeda motor kencang, mau masuk halaman rumah, malah menabrak benteng. Bisa jadi, karena mabuk, pandangannya jadi nggak beres. Dinding beton, mungkin terlihat kosong…..

Baru saja para perawat mempersiapkan penanganan lanjut, raungan sirene di luar menandai tibanya ambulan. “Empat korban!!” pekik satpam dari luar UGD. Maka, kesibukan pun meledak bersamaan dengan tibanya empat pemuda di atas kereta dorong. Semua berdarah-darah. Dua di antaranya masih mengenakan helm. Tapi wajahnya sudah tertutup darah.

Kontan bau minuman keras bercampur dengan bau kreolin dan bau amis darah memenuhi ruang UGD. Rupanya, empat orang ini korban tabrakan sepeda motor yang mereka kendarai. “Adu bagong, keras sekali..” ujar seorang yang mengantar mereka. Maksudanya, tabrakan frontal antarsepeda motor.

“Waahh… kalian baru pada minum-minum ya…!” kata suster yang menangani satu korban. Ada luka menganga di jidatnya. Darah tampak merembes dari balik baju dan celana jinsnya.

“Tidak bu…. Ini kan malam lebaran, masa saya minum-minum” kata si korban dengan suara merintih. “Tidak? Oke, soalnya obatnya pun beda kalau kalian habis minum. Berapa botol…? Kata suster. “Tidak, bu….. Cuma dua botol..” katanya dengan suara engantuk. “Euhhhhhh……!” Dasar.

Belum selesai satu pasien, tiba-tioba muncul lagi seormbongn orang menggotong seorang remaja. Juga berdarah-darah. Sisi kanan belakang kepalanya meganga seperti bekas bacokan. Darah tak henti mengalir. “Dikeroyok dan dibacok…” kata lelaki paro baya yang mengantarnya.

Astaga, lagi! Suasana lebaran rupanya tak membuat orang riang gembira dan berhati lapang serta berkepala dingin. Amarah dan kekerasan dijadikan panglima untuk menyelesaikan persoalan.

Di sisi lain, entah apa pula makna lebaran bagi para pemuda yang kemudian bergelimpangan dengan luka-luka serius akibat kecelakaan lalu lintas, gara-gara memacu sepeda motor sambil mabuk minuman keras. Satu di antara pemuda yang tadi tabrakan itu, tampaknya gawat betul karena segera dirujuk ke ruang rawat intensif.

Selang sesaat ruang UGD bertambah sibuk oleh datangnya para polisi. Beberapa di antaranya berseragam. Selebihnya, berpakaian sipil. Dari percakapan mereka tertangkap kesan, para reserse ini sedang mengusut kasus kriminal, pengeryokan dan penusukan. Dan, di antara yang dirawat itu terdapat korban (mungkin juga di antara pelakunya)…

Malam lebaran, euy!!