SOSOKNYA tak banyak berubah, kecuali kini lebih gendut. “Sayah eureun ngaroko!” katanya.Lebih 20 tahun tak bertemu dan tak pernah kontak, Jumat (31/10) malam kami bertemu lagi di Rattan Inn, hotel ternyaman saat ini di Banjarmasin.
Donny Suhendra masihlah Donny yang kalem, tak banyak cakap. Lebih banyak diam menyimak saat ngobrol, tapi manakala jari-jarinya menyentuh dawai….. busyet!!! Ibarat seribu jari yang serempak memainkan nada dalam dinamika tinggi dan kompleks!
Malam itu ia bersama geng-nya, Syaharani & Quinfireworks tampil di Le Bistro, resto di Rattan Inn.Sejak pukul sembilan malam, area seukuran lapangan squash itu sudah disesaki pengunjung. Praktis, sebagian besar dari mereka berdiri di sela meja-meja yang dikelilingi kursi bagi para tamu undangan.
Daripada ikut berdesak dan tidak bisa menikmati musik mereka, saya memilih tempat di lantai atas. Tak bisa menyaksikan mereka, tapi lebih leluasa mendengar sajian musik “Ratu Kembangapi” itu, sambil menyesap Baccardi.
Donny memang luar biasa. Bagi saya dia adalah musisi tulen sampai ke tulang sumsumnya. “Tunggu, ntar gua pancing dia untuk nge-blues, biar keluar gilanya…” bisik Syaharani, beberapa saat sebelum tampil. Dan, betul saja.
Cabikan jemari Donny –di tengah tingkahan rekan-rekannya pada instrumen lain— saat itu seperti mendadak menjalarkan histeria nada yang rumit, tapi encer dan indah. Kompleks tapi simpel dan begitu akrab. Setidaknya bagi orang seperti saya yang awam musik.
Ingatan telontar ke awal-awal 80-an, saat Donny dan kawan-kawan musisinya “magang” sebagai band pengiring pada setiap ada fetival penyanyi lagu populer di Bandung, dan saya baru tahun-tahun pertama jadi wartawan. Bagaimana dengan sabar ia mengiringi penyanyi-penyanyi culun, yang sedang bermimpi jadi bintang.
Tempatnya adalah panggung bobrok di pojok lapangan Tegallega yang dijadikan markas Himpunan Artis dan Musisi Indonesia (HAPMI) Kota Bandung yang dimotori Djadjat “Paramour” Kusumadinata. Atau Gedung Saparua –gelanggang olah raga yang lebih sering jadi arena pertunjukan musik- atau di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan tempat pertunjukan wayang golek tiap malam minggu, yang kemudian sering jadi tempat pentas musik.
Atau bahkan di Gedung Kesenian Rumentang siang, tempat sandiwara Sunda dan teater modern biasa dipentaskan. Karena Bandung miskin gedung pertunjukan musik (sampai saat ini), maka gedung-gedung itulah yang terpaksa jadi tempat para musisi mengekspresikan gairah musiknya.
Wararaas, nya Don! (*)
1 Tanggapan to “Teringat Tegallega, Don!”