Arsip untuk Januari 23rd, 2009

23
Jan
09

Antara Kupang dan Yogya

tikus-uang

KOMISI Pemberantasan Koprusi(KPK)tak henti menggempur para koruptor dan memenjarakan mereka. Sudah banyak pejabat, wakil rakyat, bahkan jaksa yang diadili dan dipenjarakan. Namun korupsi tetap menjalari sendi-sendi kehidupan di tanah air.

Hasil survei yang dilakukan Transparency International (TI) di Indonesia yang dipublikasikan Rabu (21/01), menunjukkan negeri ini belum juga bisa melepaskan diri ringkusan gurita korupsi.

Survei yang dilakukan di 50 kota menunjukkan betapa para koruptor masih gentayangan di berbagai kota, kecil maupun besar. Survei ini dilakukan terhadap 2.371 pelaku bisnis, 396 tokoh masyarakat, dan 1.074 anggota masyarakat, antara September- Desember 2008.

Indikator yang mereka gunakan adalah soal biaya siluman (penyuapan) kepada aparat-aparat birokrasi dalam rangka investasi seperti izin usaha, ekspor-impor, pajak, keamanan, litigasi, dan biaya-biaya hantu lainnya. Skor yang digunakan adalah 0-10, nilai 0 untuk yang terbersih, dan angka 10 bagi yang paling korup.

Dari survei itu diperoleh data yang setelah diolah, ditariklah kesimpulan sesuai dengan indikator-indikator yang ditetapkan. Kupang di Nusa Tenggara Timur, misalnya, dinilai sebagai kota paling korup di Indonesia. Yogyakarta paling bersih di antara yang korup, Palangkaraya nomor dua “terbersih” setelah Yogya.

Paling bersih di antara kota-kota yang korup, belum berarti betul-betul bersih dari korupsi. Nilai “kebersihan” Yogya memang tertinggi dibanding kota-kota lain, yakni 6,43. Namun nilai paling ideal adalah 10. Ini berarti, Yogya pun belum bebas dari praktek-praktek korupsi.

Betapa pun, pemeringkatan –yang didasari survei– Lembaga yang berpusat di Jerman dengan cabang di 99 negara, ini patutlah disikapi posiitif nsebagai cara kita untuk melihat tanda-tanda, isyarat, atau bahkan sekadar indikasi seberapa berhasilnyakah kita melawan korupsi.

Dalam konteks yang lebih besar, “indeks prestasi” korupsi kota- kota di tanah air itu juga akan menjadi cermin bagi kebersihan negara kita dari kotoran korupsi. Dibanding tiga tahun lalu, hari-hari ini Indonesia juga memperbaiki posisinya dari negara terkorup pada ntahun 2005 menjadi negara yang “agak” paling korup.

Tahun ini Indonesia berada di peringkat 126 dari 180 negara, sejajar dengan Eriteria, Honduras, Guyana, Mozambik, dan Uganda, atau lebih tinggi sedikit dibanding Myanmar. Negara dengan IPK tertinggi adalah Denmark dengan nilai IPK 9,3 sementara negara dengan IPK terendah adalah Somalia dengan 1,0.

Melihat angka-angka ini tentu saja kita masih harus mengurut dada dan prihatin, sebab gerakan serempak melawan korupsi tampaknya belum membuahkan hasil yang bsignifikan. Posisi ini membuat Indonesia masih dihadapkan pada risiko besar yang harus dihadapi, yakni sulitnya investasi asing masuk.

Mengapa? Maklumlah, korupsi itu merupakan faktor utama terjadinya ketidakpastian hukum. Padahal, tinggi-rendahnya pertumbuhan investasi sangat ditentukan oleh kepastian hukum, di samping faktor stabilitas keamanan.

Indikator utama kepastian hukum itu sendiri sangat ditentukan oleh tinggi-rendahnya tingkat korupsi. Semakin tinggi tingkat korupsi di suatu negara, maka semakin rendah pula tingkat investasi ke negara yang bersangkutan.

Di Indonesia sendiri memang belum ada penelitian yang menghubungkan antara korupsi dengan pertumbuhan investasi. Namun, dapat dipastikan penyebab utama lambannya pertumbuhan investasi belakangan ini adalah karena korupsi di tanah air kita masih juga merajalela. (*)