26
Jan
09

Gong Xi Fat Choi

gongxifatchoi

UMUR peradaban menurut penanggalan Cina, Senin ( 26/01/09 ) persis 2560 tahun. Tahun Baru Imlek, demikian pergantian kurun ini disebut. Warga Tionghoa merayakannya dengan penuh suka cita, sebagaimana warga lain merayakan pergantian tahun menurut perhitungan tarikh masing-masing.

Di tanah air kita, baru tahun-tahuh belakangan ini warga Tionghoa agak lebih leluasa merayakan pergantian tahunnya yang hampir dua kali lebih tua dari tarikh Islam, atau lima abad mendahului penanggalan Masehi, tapi lima ribu tahun lebih muda dari peradaban Mesir.

Hari ini perayaan itu berlangsung di tengah suasana yang sudah disesaki aroma kampanye, kasak-kusuk, parade wajah calon anggota legislatif, dan warna-warni bendera partai. Sebagian partai dan calon anggota legislatif, tampak pula memanfaatkan momentum ini untuk menarik simpati warga Tionghoa.

Keterbukaan telah memungkinkan interaksi dan komunikasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya di tengah kehidupan berbangsa, menjadi lebih intensif lagi. Meskipun demikian dalam beberapa hal kita masih kerap menemukan realitas yang bertolak belakang dengan spirit kebebasan itu sendiri.

Memang, sikap lebih terbuka pemerintah RI terhadap etnis Tionghoa telah dicanangkan sejak masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Namun pada prakteknya, perlakuan berbeda tetap saja masih dirasakan oleh komunitas ini hingga hari-hari ini.

Membicarakan etnis ini beserta segala pernak-perniknya terkadang masih selalu terasa sensitif. Usia keterbukaan ini memang sangat belum cukup untuk menghilangkan stigma yang terbentuk selama berabad lamanya.

Dalam sejarah negeri ini etnis Tionghoa sudah diperlakukan berbeda dengan etnis lain. Pemerintah Belanda selama 350 tahun masa penjajahannya, menempatkannya sebagai warga kelas dua atau satu tingkat di atas “inlander”.

Selama kurang lebih tiga abad, penggolongan warga negara atas dasar etnis ini telah membangun jarak yang kian hari bukannya semakin menyempit untuk kemudian melebur melainkan makin melebar.

Selepas masa penjajahan, pemerintahan negara ini sempat jatuh pada kepemimpinan yang justru memanfaatkan celah perbedaan dan sentimen itu sebagai alat politik kekuasaan. Lalu sekitar 32 tahun berikutnya sejak Soeharto memimpin Indonesia, perlakuan berbeda tetap saja diterima kaum Tionghoa.

Mereka ditekan sambil dimanfaatkan. Mereka hanya bisa mengekspresikan hidupnya dalam bidang-bidang tertentu terutama ekonomi, yang tetap dalam kerangkeng kepentingan kekuasaan. Keberhasilan bisnis dan kedekatan dengan kekuasaan, makin mengentalkan sentimen sosial yang tampaknya justru dipelihara untuk kepentingan para penguasa agar mereka bisa tetap mengendalikan dan memeras hasil bisnisnya.

Sentimen itu kadang meletus –atau sengaja diletuskan untuk kepentingan kekuasaan— dalam bentuk kerusuhan sosial seperti terjadi dalam beberapa insiden, sejak zaman kolonial, era orde lama dan orde baru. Juga pada masa-masa peralihan menuju reformasi.

Saat ini, membicarakan hubungan sosial, ekonomi, atau apa pun mengenai etnis Tionghoa, seringkali masih diselipi sensitifitas masa lalu. Itu sebabnya, mereka masih sering waswas, merasa selalu dianaktirikan dan tetap dimusuhi, tapi selalu pula dimanfaatkan.

Sebagai bangsa yang makin dewasa, seharusnya kita sudah meleburkan diri semangat kebersamaan yang selalu dilandasi kesertaraan, demokrasi, kasih sayang dan persahabatan dalam tingakatan toleransi tinggi. ***


0 Tanggapan to “Gong Xi Fat Choi”



  1. Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s


%d blogger menyukai ini: