Arsip untuk Maret, 2009

18
Mar
09

Katanya sih Pesta

kampanyelotajuve

MACAM-macam kehebohan meningkahi hura-hura kampanye kali ini. Mulai dari geger Abdul Hadi Djamal (PAN) yang diseret KPK, pembunuhan brutal atas Nasrudin Zulkarnain (Direktur sebuah BUMN), kontroversi yang diledakkan memoar Sintong Panjaitan, sampai ke urusan esek-esek: Mulai dari perselingkuhan artis seksi Julia Perez, hingga foto-foto adegan sangat intim alumnus IPDN!!

Nah, di tengah seliweran gosip politik hingga gosip para seleberiti itu, perhatian publik dibetot ke kampanye terbuka. Konon, aktivitas para aktivis partai maupun para calon anggota legislatif sebelumnya, adalah kampanye tertup. Padahal, ya nyaris tak ada bedanya. Tertutup bagaimana? Wong semua caleg buka-bukaan minta dukungan.

Begitulah, genderang kampanye terbuka sudah ditabuh sejak Senin 16 Maret 2009. Sudah sepantasnya jika para aktivis partai dan para acalon anggota legislatif, makin mengintensifkan jualan kecapnya –pasti kecap nomor satu– di mana-mana, dengan berbagai cara yang sah.

Sebelumnya, selama masa kampanye tertutup, warga di setiap kota di tanah air sudah dijejali aneka macam benda yang segera akan jadi sampah setelahg masa kampanye selesai. Selain atribut partai politik dalam berbagai ukuran, entah itu bendera, umbul-umbul, poster, kain rentang sampai baliho, kota-kota semarak oleh potret-potret diri.

Ada yang memasang poster-poster foto diri seukuran surat kabar. Ada yang memasangnya sebagai ikon melengkapi tulisan pada kain rentang berisi ajakan memilih dirinya. Ada yang menyebarkannya berupa kartu nama bergambar, atau kartu pos.

Wajah-wajah itu mendadak seperti mengepung kota. Ke mana pun pandangan di arahkan, mata tertumbuk pada kumis tebal, pada wanita berkebaya, pada wajah garang seorang mirip pendekar, pada wajah manis perempuan muda, pada sosok tua tapi imut-imut. Pada wajah entah siapa.

Saking banyaknya wajah bertebaran, sulit sekali publik mengenalnya. Apalagi kebanyakan di antara mereka bukanlah tokoh yang kerap tampil di televisi dan koran. Bukan pesohor.

Pesan yang ditulisnya pun relatif sama. Ada yang santun, ada yang provokatif, ada yang mengajak, ada yang menggurui, dan banyak juga yang tak jelas. Seolah-olah politik hanyalah keterampilan menyusun slogan. Seakan-akan politik cuma kecanggihan mengolah kata menjadi slogan, sekaligus mantra ajaib yang diharapkan bisa menghipnotis publik agar memilih mereka.

Para politisi tampaknya tidak terlalu cerdik mencuri perhatian. Mereka berpikir sederhana saja, pasang gambar wajah di mana-mana maka orang pun akan mengingatnya di hari pemilihan dan mencontreng gambar atau nama mereka.

Menoleh ke pemilu lima tahun silam dan menyimak pemilihan kepala daerah secara langsung selama kurun itu di berbagai tempat, tampak dengan jelas bawha unsur prominensia alias ketokohan dan keterkenalan masih sangat mempengaruhi para pemilih. Itu sebabnya wajah dan nama yang relatif sudah akrab sajalah yang memperoleh banyak pemilih.

Apa yang kita saksikan selama masa kampanyhe tertutup ternyata tidak jauh berbeda dengan kampanye lima tahun silam. Setidaknya belum tampak ada partai atau calon anggota legislatif yang melakukan terobosan –keluar dari kebiasaan– dengan melakukan kampanye yang lebih kreatif dan efektif.

Begitu halnya dalam kampanye terbuka. Ditandai dengan ikrar kampanyhe damai kampanye dalam bentuk pengerahan massa dimulai.

Di beberaqpa tempat, bahkan di pusat, pencanangan kampannye damai ini dicederai bentrokan terbuka baik di antara pengurus iternal partai yang masih dalam kemelut namun telanjur dinyatakan sebagai peserta, maupun antar peserta di tengah hura-hura kemeriahan semu massa yang dikerahkan untuk mengelu-elukan para juru kampanye.

Sejauh ini, belum terlihat ada partai yang menggelar bentuk lain kampanye terbuka selain mengumpulkan orang, menampilkan hiburan di panggung, lalu memompakan slogan dan janji-janji seolah diri dan partainyalah yang paling mampu mengelola negara.

Di sisi lain, Komisi Pemilihan Umum (KPU) jadi bulan-bulan. Sebagai sohibul bait dengan personel terbatas, mereka menerima ledakan puncak pesta demokrasi yang harus manggungkan 44 partai (secara nasional) dan entah berapa puluh ribu calon anggota legislatif di seantero negeri, sehingga terjadi kekacauan mulai mulai dari penyaluran logistik, hingga pengaturan jadwal.

Semua kekonyolan dan kacauan di masa kampanye ini tentu tak akan terjadi andai sejak semua mulai melangkahkan kaki ke arena pemilu, segenap pihak menatap ke depan dan memegang teguh komitemen bersama tentang suskesnya pesta demokrasi.

Dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, semua bergandeng tangan memasuki pesta yang tidak semata hura-hura, melainkan sebagai ekspresi murni dari spirit demokrasi. Dengan spirit seperti ini tentu tidak akan ada cerita baku tuding salah menyalahkan apalagi sampai baku hantam.

Rakyat hanya akan menonton dengan kritis. Mereka melihat dan akan menilai dengan sangat arif para peserta pemilu. Jika mengatur dan mengelola kampanye saja tidak terampil dan tidak kreatif, bagaimana para politisi itu akan mengatur negara? (*)

02
Mar
09

Antara Maling dan Wakil Rakyat

politisi_maling

BARU-baru ini diberitakan, seorang calon anggota legislatif  (caleg) untuk Dewan Perwakilan Rakyat di sebuah kabupaten di Banten ditangkap polisi. Calon wakil rakyat itu digelandang ke kantor polisi karena mengotaki penjarahan ladang kelapa sawit. Sang caleg kehabisan dana untuk kampanye. Bisa juga kehabisan akal untuk mencarinya, sehingga menempuh jalan pintas.

Sebelelumnya diberitakan pula, warga dan polisi menangkap pencuri sepeda motor. Setelah diselidiki, sang maling ternyata seorang calon anggota legislatif dari sebuah partai ternama.

Januari lalu, terungkap juga kasus penipuan yang melibatkan seorang caleg dengan modus penggandaan uang. Korbannya menderita kerugian lebih dari lima puluh juta rupiah, dan sang caleg akhirnya ditangkap polisi. Dalam pemeriksaan, sang caleg mengaku sangat memerlukan uang untuk membiayai kampanye.

Tiga peristiwa itu, tentu saja tidak bisa dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan bahwa para caleg adalah maling. Tapi bahwa di antara sekian ribu calon anggota legislatif ada tiga yang ditangkap polisi karena terlibat perkara pencurian, itulah fakta yang dikutip lalu disiarkan media.

Fakta itu –sejauh yang terungkap– menunjukkan ada tiga calon anggota legislatif yang betul-betul tidak siap secara materi maupun secara mental. Masa kampanye sudah tiba, sementara mereka sudah kehabisan dana untuk membiayai ambisinya menjadi wakil rakyat.

Pertanyaannya kemudian, jika sejak awal memang tidak siap, mengapa mereka maju atau mengajukan diri untuk mewakili rakyat? Padahal, semua orang tahu bahwa untuk itu diperlukan ongkos yang tidak sedikit. Baik ongkos politik maupun biaya sosial.

Di sisi lain, fakta itu juga menguak kian jelas mengenai sosok calon anggota legislatif kita. Dari olah data di berbagai daerah, tampaklah bahwa banyak sekali calon anggota legislatif yang tidak jelas pekerjaannya.

Di sebuah provinsi di Jawa, lebih 60 persen caleg tak punya pekerjaan tetap meski pada kartu tanda penduduk mereka tercantum pekerjaan sebagai swasta, atau wiraswasta. Di provinsi lain di Kalimantan, ada data yang menyebutkan 63 persen caleg tak jelas pekerjaan dan profesinya. Bahkan di provinsi lain lagi, ada data yang menyebutkan angka 71 persen!

Itu sebuah fenomena. Sebuah kecenderungan yang sangat boleh jadi mencerminkan keadaan sesungguhnya, apa yang sedang terjadi dan berlangsung di tengah masyarakat kita.

Politik –dalam hal ini berdirinya partai-partai baru yang diikuti ledakan jumlah ‘politisi’– seolah menjadi jawaban atas persoalan besar di tengah lesunya pertumbuhan ekonomi di Tanah Air yang berdampak pada tingginya angka pengangguran.

Bagi penganggur intelek (intelek penganggur?), memasuki ‘bisnis politik’ dengan mendirikan dan terlibat di dalam partai tampaknya jauh lebih bergengsi dan realistis ketimbang membangun usaha sendiri sebagai wiraswasta dengan berjualan di kaki lima, misalnya.

Melalui partai dia bisa memperoleh kekuasaan. Kekuasaan memungkinkannya memperoleh jabatan dan dengan jabatan itu dia memperoleh penghasilan. Jika setiap pemilu bisa menyerap 25.000 orang untuk anggota DPRD, DPR dan DPD, maka setidaknya sejumlah itu pula ‘tenaga kerja’ terserap –mengutip istilah seorang cendekiawan– industri politik.

Dalam kerangka itu pula tampaknya, mengapa begitu banyak aktivis politik yang gencar memelopori –jika bukan memprovokasi– pengembangan wilayah melalui pembentukan kota/kabupaten maupun provinsi baru, karena melalui cara itulah terbuka ‘kesempatan kerja’ baru untuk menjadi anggota dewan, birokrat, dan gubernur atau bupati.

Persoalannya kemudian, sampai kapankah kita akan larut dalam situasi seperti itu? Ketidaksiapan segenap pihak untuk memasuki kemudian menata kehidupan politik di Tanah Air, hanya akan membuahkan kebingungan rakyat sebagaimana yang dengan mudah kita lihat dari hasil dua pemilu sebelumnya (1999 dan 2004) dan pemilihan kepala daerah hingga hari-hari ini.

Kebingungan itu antara lain tampak pada makin banyaknya pemilih yang tidak menggunakan haknya untuk memilih. Kebingungan rakyat bisa berubah menjadi ketidakpuasan dan ketidakpedulian, apalagi jika mereka dihadapkan pada fakta bahwa di antara wakil yang akan mereka pilih itu ternyata ada maling dan penipu. (*)