MACAM-macam kehebohan meningkahi hura-hura kampanye kali ini. Mulai dari geger Abdul Hadi Djamal (PAN) yang diseret KPK, pembunuhan brutal atas Nasrudin Zulkarnain (Direktur sebuah BUMN), kontroversi yang diledakkan memoar Sintong Panjaitan, sampai ke urusan esek-esek: Mulai dari perselingkuhan artis seksi Julia Perez, hingga foto-foto adegan sangat intim alumnus IPDN!!
Nah, di tengah seliweran gosip politik hingga gosip para seleberiti itu, perhatian publik dibetot ke kampanye terbuka. Konon, aktivitas para aktivis partai maupun para calon anggota legislatif sebelumnya, adalah kampanye tertup. Padahal, ya nyaris tak ada bedanya. Tertutup bagaimana? Wong semua caleg buka-bukaan minta dukungan.
Begitulah, genderang kampanye terbuka sudah ditabuh sejak Senin 16 Maret 2009. Sudah sepantasnya jika para aktivis partai dan para acalon anggota legislatif, makin mengintensifkan jualan kecapnya –pasti kecap nomor satu– di mana-mana, dengan berbagai cara yang sah.
Sebelumnya, selama masa kampanye tertutup, warga di setiap kota di tanah air sudah dijejali aneka macam benda yang segera akan jadi sampah setelahg masa kampanye selesai. Selain atribut partai politik dalam berbagai ukuran, entah itu bendera, umbul-umbul, poster, kain rentang sampai baliho, kota-kota semarak oleh potret-potret diri.
Ada yang memasang poster-poster foto diri seukuran surat kabar. Ada yang memasangnya sebagai ikon melengkapi tulisan pada kain rentang berisi ajakan memilih dirinya. Ada yang menyebarkannya berupa kartu nama bergambar, atau kartu pos.
Wajah-wajah itu mendadak seperti mengepung kota. Ke mana pun pandangan di arahkan, mata tertumbuk pada kumis tebal, pada wanita berkebaya, pada wajah garang seorang mirip pendekar, pada wajah manis perempuan muda, pada sosok tua tapi imut-imut. Pada wajah entah siapa.
Saking banyaknya wajah bertebaran, sulit sekali publik mengenalnya. Apalagi kebanyakan di antara mereka bukanlah tokoh yang kerap tampil di televisi dan koran. Bukan pesohor.
Pesan yang ditulisnya pun relatif sama. Ada yang santun, ada yang provokatif, ada yang mengajak, ada yang menggurui, dan banyak juga yang tak jelas. Seolah-olah politik hanyalah keterampilan menyusun slogan. Seakan-akan politik cuma kecanggihan mengolah kata menjadi slogan, sekaligus mantra ajaib yang diharapkan bisa menghipnotis publik agar memilih mereka.
Para politisi tampaknya tidak terlalu cerdik mencuri perhatian. Mereka berpikir sederhana saja, pasang gambar wajah di mana-mana maka orang pun akan mengingatnya di hari pemilihan dan mencontreng gambar atau nama mereka.
Menoleh ke pemilu lima tahun silam dan menyimak pemilihan kepala daerah secara langsung selama kurun itu di berbagai tempat, tampak dengan jelas bawha unsur prominensia alias ketokohan dan keterkenalan masih sangat mempengaruhi para pemilih. Itu sebabnya wajah dan nama yang relatif sudah akrab sajalah yang memperoleh banyak pemilih.
Apa yang kita saksikan selama masa kampanyhe tertutup ternyata tidak jauh berbeda dengan kampanye lima tahun silam. Setidaknya belum tampak ada partai atau calon anggota legislatif yang melakukan terobosan –keluar dari kebiasaan– dengan melakukan kampanye yang lebih kreatif dan efektif.
Begitu halnya dalam kampanye terbuka. Ditandai dengan ikrar kampanyhe damai kampanye dalam bentuk pengerahan massa dimulai.
Di beberaqpa tempat, bahkan di pusat, pencanangan kampannye damai ini dicederai bentrokan terbuka baik di antara pengurus iternal partai yang masih dalam kemelut namun telanjur dinyatakan sebagai peserta, maupun antar peserta di tengah hura-hura kemeriahan semu massa yang dikerahkan untuk mengelu-elukan para juru kampanye.
Sejauh ini, belum terlihat ada partai yang menggelar bentuk lain kampanye terbuka selain mengumpulkan orang, menampilkan hiburan di panggung, lalu memompakan slogan dan janji-janji seolah diri dan partainyalah yang paling mampu mengelola negara.
Di sisi lain, Komisi Pemilihan Umum (KPU) jadi bulan-bulan. Sebagai sohibul bait dengan personel terbatas, mereka menerima ledakan puncak pesta demokrasi yang harus manggungkan 44 partai (secara nasional) dan entah berapa puluh ribu calon anggota legislatif di seantero negeri, sehingga terjadi kekacauan mulai mulai dari penyaluran logistik, hingga pengaturan jadwal.
Semua kekonyolan dan kacauan di masa kampanye ini tentu tak akan terjadi andai sejak semua mulai melangkahkan kaki ke arena pemilu, segenap pihak menatap ke depan dan memegang teguh komitemen bersama tentang suskesnya pesta demokrasi.
Dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, semua bergandeng tangan memasuki pesta yang tidak semata hura-hura, melainkan sebagai ekspresi murni dari spirit demokrasi. Dengan spirit seperti ini tentu tidak akan ada cerita baku tuding salah menyalahkan apalagi sampai baku hantam.
Rakyat hanya akan menonton dengan kritis. Mereka melihat dan akan menilai dengan sangat arif para peserta pemilu. Jika mengatur dan mengelola kampanye saja tidak terampil dan tidak kreatif, bagaimana para politisi itu akan mengatur negara? (*)