Arsip untuk April, 2009

15
Apr
09

Sri Hayati dan Megawati

srigantung

HAMPIR semua media massa kemarin menyiarkan berita dan gambar pertemuan tokoh partai politik di kediaman Megawati Sukarnoputri. Mereka mengikrarkan persekutuan, menggugat hasil pemilihan umum, sekaligus menyatakan berada di seberang partai yang diperkirakan memenangi pemilu, yang juga akan bersekongkol dengan partai lain simpatisannya.

Pada potret yang disiarkan surat kabar, wanita ketua umum sekaligus calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu tampak tersenyum lebar. Bersama tokoh itu, Megawati bergenggam tangan dan mengangkatnya tinggi-tinggi, menyatakan persatuan dan kebersamaan.

Sementara itu di Banjar, Ciamis, Jawa Barat, Sri Hayati (23) caleg yang sedang hamil ditemukan tewas tergantung di sebuah gubuk di tengah sawah.  Banyak yang meyakini, Sri memilih bunuh diri daripada harus menanggung malu karena tidak akan terpilih sebagai anggota parlemen.

Ia memilih meninggalkan suami dan keluarga serta kerabatnya, daripada harus menghadapi kenyatan bahwa rakyat yang dia ingin wakili ternyata tak memilihnya.  Dua peristiwa itu menarik disimak untuk melihat bagaimana orang menyikapi hasil –sementara– pemilu kali ini.

Di Jakarta yang jadi episentrum gempa politik nasional, petinggi partai dan tokoh politik nasional menyikapi kekalahan dengan cara buru-buru membangun koalisi, persekutuan, persekongkolan, dan apa pun namanya, untuk secara bersama-sama menentang, menggugat, bahkan melakukan perlawanan, terhadap penyelenggara pemilu.

Bersamaan dengan itu mereka menjadikan ‘pemenang’ pemilu dan sekutunya sebagai musuh bersama. Lawan politik yang harus dihadapi pada posisi berlawanan (oposisi).  Tarik menarik pengaruh jadi makin kuat. Dua kubu yang berbeda makin terang-terangan menancapkan kesan bahwa mereka lah kelompok atau partai yang terbaik memimpin bangsa ini.

Apa yang dipentaskan aktor besar politik itu hanya makin memperkuat kesan publik, bahwa dalam politik tidak pernah ada persekutuan maupun permusuhan yang kekal. Tidak ada konsistensi sikap dan nyaris tidak ada kejujuran.

Hal seperti itu tampak jelas pada dua pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 1999 misalnya. Saat pemilihan presiden masih dilakukan MPR, muncul fraksi yang dengan amat militan menggalang koalisi untuk mengganjal Megawati -ketua partai pemenang pemilu- untuk menaikkan Gus Dur sebagai presiden. Koalisi itu pula yang membetot Kiai Ciganjur ini dari istana.

Demikian halnya pada Pemilu 2004. Pemimpin partai besar berangkulan dalam koalisi kebangsaan untuk menghadang laju Yudhoyono pada pemilihan presiden.

Toh, persekutuan ini buyar 45 hari kemudian, ketika aktor dari PPP tiba-tiba melakukan imkprovisasi politik persis pada saat yang menentukan siapa yang akan memimpin parlemen.

Intinya, aktor besar politik selalu menunjukkan kapasitas dan kepiawaiannya berakting manakala kepentingan mereka mulai terancam, memperlihatkan keahlian mereka mempraktikkan jurus silat lidah yang canggih. Tak peduli apakah jurus lidahnya itu menjilat ludah sendiri atau menjilat pihak lain yang dianggap bisa memperkuat posisinya.

Berbeda dengan Megawati, Prabowo, Wiranto, Yenny Wahid, maupun Puan Maharani. Politisi pemula seperti Sri Hayati dari dusun Langkaplancar, Ciamis, Jawa Barat itu tak punya keterampilan akting maupun jurus ampuh untuk melakukan akrobat politik manakala menyikapi kekalahannya.

Ia merasa tak berharga ketika warga tidak percaya kepadanya. Ia tak punya kemampuan retoris untuk menjelaskan kegagalan itu kepada suami, orangtua, saudara dan tetangga. Ia malu karena ternyata tidak terpilih.

Rasa malu. Inilah yang membedakan Sri dengan para politisi  tingkat tinggi. ***

13
Apr
09

pemenang = pecundang

centangz

SEBAGIAN rakyat telah memberikan hak pilih mereka. Pemilihan umum (pemilu) legislatif sudah terselenggara dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Hasilnya secara bertahap telah diumumkan dan publik bisa memperkirakan partai apa yang memperoleh suara terbanyak, siapa saja calon legislatif yang akan mewakili mereka di parlemen.

Partai yang gambarnya paling banyak dicontreng, itulah yang menang. Nama calon anggota legislatif yang paling banyak dicentang, itulah wakil mereka. Gambar calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang ditandai, itulah ‘senator’ mereka.

Bahwa ada keluhan, ketidakpuasan, kekecewaan, dan ketaksempurnaan di sana-sini, dapatlah disebut sebagai bagian dari sebuah pesta besar yang melibatkan jutaan orang, namun si empunya hajat tak cermat menyiapkan daftar tamu. Akibatnya, banyak yang tak terundang. Banyak pula nama ganda, tak kurang pula nama yang manusianya sudah dikubuir, masih masuk dalam daftar.

Rakyat yang sudah ikut pesta, dengan tulus melaksanakan haknya memilih partai dan calon wakil mereka. Meski tak sedahysat euforia di awal reformasi, pesta demokrasi kemarin itu tetap menjadi perhatian dan harus diikuti dengan seksama sampai ke tahap berikutnya, yakni pemilihan presiden.

Rakyat sangat berharap terjadi perubahan ke arah yang lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Memang ada yang berpendapat, bahwa terlalu muluk kalau berharap hasil pemilu akan langsung membawa perubahan signifikan terutama bagi rakyat.

Dari dari era yang satu ke era pemerintahan lain, dari ordo yang baru ke ordo lain, rakyat selalu saja sekadar jadi penonton di luar panggung pesta. Mereka baru dirangkul manakala menjelang pemilu.

Ya, di negeri ini rakyat kecil tetap saja berdesak-desak di permukiman kumuh atau bahkan tanpa rumah sehingga harus gentayangan di kolong jembatan. Tapi, wakil mereka menghuni rumah dinas dan segala kebutuhannya dibiayai negara dari uang rakyat.

Rakyat kecil tetap saja bergelantungan di bus, berhimpitan di dalam kapal, berdesakan di angkutan kota, atau berjudi dengan maut di atas sepeda motor yang berubah fungsi menjadi alat angkut keluarga. Wakilnya? Pastilah meluncur dengan mobil baru.

Di masa silam, suara wakil rakyat itu kadang bertolak belakang dengan suara rakyat yang sesungguhnya. Itu dulu, kini tak terlalu jauh berbeda. Setidaknya dari dinamika yang terekam selama ini dari gedung DPRD sampai Senayan, suara wakil rakyat itu masih lebih dominan mencerminkan suara kelompoknya.

Suara rakyat yang sesungguhnya, entah masih tersimpan di mana. Timbul pertanyaan, apa guna memilih partai dan mengirim wakil jika di kemudian hari mereka tak mampu menyerap aspirasi rakyat dan menyuarakannya di gedung parlemen agar mewarnai berbagai kebijakan yang dikeluarkan demi penyempurnaan penyelanggaraan negara yang berpihak pada rakyat?

Bagaimana rakyat bisa percaya jika pada saat berkampanye, para (calon) anggota dewan itu berjanji membabat habis korupsi kolusi dan nepotisme. Padahal publik pun tahu, bahwa dia merupakan bagian dari apa yang akan diberantasnya itu. Dan, dari gedung itu pula Komisi Pemberantasan Korupsi menangkapi sebagian koruptor?

Soal janji, tak pula perlu jauh mengingat sebab hampir di setiap kampanye –sejak negeri kita mulai melaksanakan pemilu– pendidikan selalu jadi tema, jadi jualan, jadi kecap dapur juru kampanye.

Sekolah gratislah, anggaran pendidikan naiklah, kesejahteraan guru lebih baiklah, gedung sekolah dibangunlah, fasilitas akan dilengkapilah dan ‘tetek bengek’ macam itu. Nyatanya, biaya pendidikan bermutu untuk rakyat kecil tetap saja terbilang mahal. Sarjana dan lulusan sekolah terus diproduksi saban menambah panjang antrean penganggur terdidik, karena janji pembukaan lapangan kerja tak kunjung imbang dengan jumlah pencari kerja.

Mandat telah diberikan. Hasilnya sudah dihitung dan ditabulasi. Pemenang dan pecundang sudah bisa ditebak. Ancang-pancang, manuver, dan jurus silat politik, dan segala macam cara, ramai- ramai dikerahkan. Rakyat sih kembali pada tempatnya, semata sebagai penonton…..

Dalam demokrasi yang sehat, pemenang menjalankan amanat rakyat dengan penuh tanggungjawab dan pecundang menerima kekalahan dengan lapang dada. Pemenang dan pecundang bahu-membahu berjuang memajukan bangsa tanpa melihat lagi siapa kalah siapa menang.

Indah sekali kalau begitu. ***

12
Apr
09

“Say No to ….”

KAMIS 9 April 2009, sejak pagi hingga lepas tengah hari, pemilih menentukan pilihannya di bilik suara. Ada juga yang tidak, baik karena hambatan administratif maupun mereka yang memang secara sengaja tidak menggunakan haknya.

sayno2Sampai menjelang detik-detik pemilihan umum, situasi relatif tenang. Suhu politik pun sejuk-sejuk saja tidak ekstrem sebagaimana dikhawatirkan banyak pihak. Bahwa ada riak-riak hangat, sejauh ini masih dalam konteks kewajaran di tengah pesta akbar demokrasi.

Ada beberapa peristiwa cukup menarik yang kali ini turut menambah semarak hura-hura politik, yang membedakannya dari pemilu di masa lalu. Pertama, berita menyangkut putra presiden yang disiarkan media online yang kemudian berdampak hukum. Kedua, hujatan dan dukungan terhadap tokoh tertentu melalui internet. Ketiga, tokoh yang diam-diam menggunakan internet untuk tetap berkampanye di masa tenang.

Tiga cuplikan peristiwa itu sengaja diambil sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa media alam maya telah betul-betul menjadi bagian dari kehidupan –sosial, politik, ekonomi, budaya– di Tanah Air. Ia juga sekaligus memperlihatkan bahwa ruang maya publik (internet) itu besar dan ampuh pengaruhnya.

Kemajuan teknologi informatika yang membawa lompatan jauh –dan kepraktisan– dalam pola komunikasi di dunia maya, telah mengambil alih fungsi yang selama ini diemban ruang publik konvensional, entah itu mall, pasar, gedung parlemen, atau taman kota.

Perbincangan, diskusi atau sekadar bergosip, keintiman atau bahkan kemarahan, sebagian kini telah berpindah saluran ke alam maya. Wacana kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan politik, tak lagi hanya di gedung parlemen dan kampus, malainkan juga di dinding percakapan ruang maya.

Internet telah jadi ruang yang betul-betul terbuka dan bebas — dimasuki atau ditinggalkan– siapa pun. Bebas bicara dan tidak bicara apa pun. Bebas digunakan –dan tidak digunakan– untuk keperluan apa pun, termasuk kepentingan politik.

Ibarat agora (pasar) dalam sistem demokrasi di Athena, internet tidak saja merupakan tempat berjualan, melainkan berfungsi ganda sebagai wahana masyarakat untuk bertemu, berdebat, mencari berbagai, membuat konsensus atau menemukan titik-titik lemah gagasan politik dengan cara memperdebatkannya.

Dalam wacana politik, kondisi itu memberikan optimisme bahwa peran besar teknologi dunia maya tersebut merupakan alternatif kekuatan baru yang dapat menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik. Jelas, ia pun merupakan saluran komunikasi yang potensial dalam menyalurkan berbagai opini dan gagasan politik yang seringkali tersumbat atau terkendala kesungkanan.

Penyaluran informasi yang baik dan jernih adalah satu di antara syarat utama demokrasi yang sehat, karena informasi yang terang dan baik, pasti berasal dan dialirkan lewat kejernihan pikiran dan ketulusan hati. Tanpa pikiran jernih dan ketulusan, demokrasi hanya akan bermakna sebagai kebebasan mutlak yang mendorong anarkisme.

Lebih sepuluh tahun lalu, Wakil Presiden Amerikan Serikat, Al Gore meyakinkan warganya bahwa teknologi informatika membuat warga negara bisa terlibat langsung dalam berbagai keputusan politik. Tahun lalu, Barack Husein Obama membuktikan keampuhan internet dalam perjalanannya menuju Gedung Putih.

Tiga contoh yang dicuplik di atas, yakni penyebaran berita mengenai dugaan kecurangan politik yang dilakukan anak presiden, dan kemurkaan ketua partai besar atas munculnya kelompok jejaring “Say No to …” dan “Say Yes to …” di dinding facebook hanyalah  petunjuk kecil tentang seberapa jauh bangsa kita memanfaatkan keterbukaan informasi itu secara bijak dan cerdas dalam proses demokratisasi.

Makna yang bisa ditangkap adalah: pemanfaatan ruang maya publik untuk komunikasi politik seyogyanyalah disertai persyaratan, di antaranya membangun sikap politik yang matang dan budaya politik yang dewasa.

Komunikasi politik tidak dapat dipisahkan dari berbagai aspek budaya politik seperti sikap mental, etika politik, dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat.

Apa yang terjadi dengan penggunaan kecanggihan teknologi dengan proses politik di tanah air, masih seperti atau sebatas itulah budaya dan sikap mental politik kita.

Mudah-mudahan pemilu kali ini menjadi awal kehidupan demokrasi yang lebih baik lagi.

Contreng!***

04
Apr
09

Negarawan vs Pramugari

pramugarivsnegarawan

HIRUK-pikuk kampanye yang menyita perhatian publik segera berakhir. Hari ini dan besok, dapat dipastikan para pesertta pemilu akan memanfaatkan kesempatan terakhir mereka untuk membujuk, merayu, dan –kalau perlu– memaksa rakyat, memilih partai dan para calon anggota legislatif mereka.

Di antara ingar-bingar pesta demokrasi yang beritanya menjejali aneka media massa, ada satu peristiwa kecil di negeri tetangga yang mungkin luput dari perhatian karena dianggap “tidak relevan” dengan isu utama di tanah air.

Harian Sydney Morning Herald Australia, dalam terbitan Jumat kemarin mewartakan, Perdana Menteri (PM) Negeri Kanguru itu, Kevin Rudd, meminta maaf pada seorang pramugari yang pernah dibentaknya Januari lalu.

Diberitakan, insiden kecil terjadi dalam sebuah perjalanan seusai muhibah dari Port Moresby (Papua Nugini) ke Canberra dengan menggunakan pesawat resmi milik Angkatan Udara Australia (RAAF – Royal Australia Air Force).

Saat ditawari makan, sang perdana menteri meminta santapan yang tidak mengandung daging. Sang pramugari menjelaskan, saat itu menu yang dikehendaki perdana menteri tidak tersedia. Kepala pemerintahan ini berang, ia membentak sang pramugari. Sang pramugari beringsut dan menangis di kabinnya lalu melapor pada seniornya.

Sekilas tak ada yang istimewa dalam insiden ini. Adalah wajar jika seorang pemimpin pemnerintahan menegur staf  yang sedang melayani perjalanan kenegaraannya. Bahwa staf itu merasa tersinggung, itu pun sah-sah saja dan sangat biasa.

Hal yang menarik dalam insiden ini adalah, baru tiga bulan kemudian sang kepala negara mengetahui bahwa sikapnya telah membuat sang pramugari tersinggung, bersedih, menangis. Karena itu dia meminta maaf.

Pada sisi inilah kita melihat mengapa insiden ini penting disimak dan dijadikan cermin. Ada persoalan menyangkut sikap seseorang terkait dengan posisi dan kedudukannya, manakala berhubungan dengan pihak lain yang jaraknya sangatlah jauh. Seorang kepala pemerihtahan, berhadapan dengan soerang pesuruh. Seorang pemimin negara, terhadap satu di antara rakyatnya.

Dilihat dari posisi hirarkis, sang perdana menteri berhak saja menegur dan membentak pelayan yang dinilainya tidak patut. Namun sebagaimana diberitakan, Rudd segera menyadari bahwa ucapan dan tindakan itu telah melukai seorang pelayan di dalam penerbangan.

Dia mengatakan, sebagai manusia, dia tidak sempurna. Semua orang berbuat kesalahan, termasuk Perdana Menteri. Karena itu, ia menyesal dan minta maaf jika tindakannya telah membuat sedih seseorang.

Tentu saja tak ada tidak tahu, apakah sikap dan permintaan maafnya itu muncul dari lubuk hati yang paling dalam, atau sekadar retorika politik demi menampilkan citra sebagai pemimpin yang humanis. Yang jelas, hal seperti ini sebaiknya yang jadi ciri setiap orang, yakni secara kesatria bersedia mengakui kesalahan dan meminta maaf.

Peristiwa kecil dari negeri tetangga ini kemudian jadi terasa relevan di tengah riuh rendah pesta politik di tanah air hari- hari ini. Kita tengah dilarutkan dalam situasi harus memilih para pemimpin, para negarawan, mulai dari tingkat kabupaten dan kota, provinsi, hingga ke tinkat pusat.

Rakyat di tanah air sudah menyaksikan, bagaimana para pemimpin politik, para petinggi negara yang mendukung dan didukung partai, memamerkan jurus-jurus politik mereka. Kita pun sudah melihat bagaimana para politisi kawakan dan politikus karbitan berlomba jual kecap dan obral janji serta “rayuan gombal politik” untuk memperolah dukungan.

Masa kampanye telah memberi rakyat kesempatan untuk menilai, seberapa tinggi rasa kemanusiaan para politisi itu, seberapa besar sikap kesatria mereka, seberapa dalam komitmen mereka pada kepentingan rakyat.

Masa kampanye juga telah memberi pelajaran kepada halayak, bahwa rakyat tetap terpinggirkan manakala jalanan dikuasai massa partai. Bahwa para petinggi partai itu tetap lebih mementingkan diri dan kelompok mereka ketimbang kepentingan bangsa, kecuali dalam pidato-pidatonya.

Padahal yang sedang dibutuhkan rakyat Indonesia hari-hari ini dan ke depan adalah para pemimpin dan para negarawan sejati, bukan yang cuma pintar omong kosong di atas panggung. **

03
Apr
09

Dan, Sandiwara pun Usai

panggungsandiwara1q

PANGGUNG sandiwara kampanye sudah mencapai titik akhir. Calon anggota legislatif, juru kampanye, petinggi partai politik, sudah terjun menemui massa di berbagai kota. Berbagai slogan sudah dipekikkan, aneka janji diteriakkan, bersamaan dengan berbagai manuver di luar panggung kampanye.

Semua perhatian pemimpin negeri dari pusat hingga daerah seolah tercurah hanya untuk kampanye sesuai kepentingan masing-masing, yang kadang harus merampas kenyamanan dan acapkali mengganggu kelancaran proses pelayanan publik.

Menyimak pelaksanaan kampanye terbuka selama sepekan lalu, publik akan dengan mudah menangkap bahwa apa yang dilakukan elit politik belumlah beranjak dari pola lama.

Pertama, mengintensifkan kampanye tertutup, mulai dari menggelar pertemuan tidak resmi, mendatangi warga dari pintu ke pintu, hingga memperbanyak atribut dan memperluas lokasi persebarannya. Kedua, menebar janji dan pesona melalui pidato politik yang disampaikan petinggi dan juru kampanye partai.

Memang banyak cara dan manuver yang mereka lakukan, namun umumnya dua model itulah nyang paling menonjol sebagaimana yang bisa diamati dari laporan media massa.

Jika saja publik memiliki waktu dan minat untuk mencermati dengan sedikit lebih teliti, mungkin mereka akan menangkap kesan bahwa di samping tidak kreatif dan tidak inovatif, kampanye itu pun tak lebih dari pameran keangkuhan dan parade hal-hal yang bertolak belakang.

Hampir semua juru kampanye –di luar pendukung pemerintah– meneriakkan keburukan, kelemahan, dan ketakberhasilan pemerintah. Dengan angkuh mereka mengklaim diri sebagai yang terbaik bagi Indonesia masa depan.

Arogansi yang sama juga dilakukan juru kampanye partai yang tokohnya sedang berada di dalam pemerintahan. Tanpa rasa malu mereka mengklaim berbagai hal yang disebutnya sebagai keberhasilan, dan mengakuinya sebagai keberhasilan partai mereka.

Jika masyarakat tak cermat mencernanya, mereka bisa terjebak oleh logika semu yang sesungguhnya menipu. Seolah masuk akal, padahal tidak nalar. Seolah logis, padahal gombal.

Selama sepekan lalu publik menangkap bahwa kampanye hanyalah arena untuk saling caci dan baku maki. Kampanye hanyalah wadah untuk menunjuk diri sendiri sebagai yang terbaik. Kampanye adalah kesempatan sangat terbuka untuk menuding pihak lain dan memburukkannya.

Keangkuhan tidak saja tersirat dan tersurat serta terucapkan pada pidato juru kampanye, melainkan juga tampak dari cara mereka — antara lain melalui pengerahan massa– yang ‘menindas’ masyarakat di jalan raya maupun di tempat umum. Rakyat dipaksa mengalah dan memberi jalan serta menyediakan ruang bagi arak-arakan massa dan aktivitas kampanye mereka.

Sisi lain yang bertolak belakang, juga tampak sejak kampanye tertutup dimulai dan makin parah pada kampanye terbuka. Simak saja atribut dan pameran narsisisme para politisi (dan calon politisi) itu.

Intinya, semua menyatakan akan turut menciptakan pemerintahan yang bersih, membela rakyat kecil, dan lain sebagainya. Namun bersamaan dengan itu pula mereka ramai-ramai mengotori kota dan merusak keindahan tata ruang, dengan tindakannya memasang atribut di sembarang tempat.

Biasanya, makin dekat ke hari pemilihan umum kian kencang dan gencar aktivitas peserta pesta demokrasi, makin runcing pula benih-benih perseteruan maupun keintiman politik mereka.

Masyarakat berharap, meskipun tensi politik makin tinggi, tak perlulah diiringi peningkatan ketegangan dan permusuhan. Sebab semua yang sedang kita lakukan dalam pesta politik ini semata demi keselamatan dan kesejahteraan bangsa.

Dan, kita sadari betul, semua ini cuma panggung sandiwara kehidupan. ***