HAMPIR semua media massa kemarin menyiarkan berita dan gambar pertemuan tokoh partai politik di kediaman Megawati Sukarnoputri. Mereka mengikrarkan persekutuan, menggugat hasil pemilihan umum, sekaligus menyatakan berada di seberang partai yang diperkirakan memenangi pemilu, yang juga akan bersekongkol dengan partai lain simpatisannya.
Pada potret yang disiarkan surat kabar, wanita ketua umum sekaligus calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu tampak tersenyum lebar. Bersama tokoh itu, Megawati bergenggam tangan dan mengangkatnya tinggi-tinggi, menyatakan persatuan dan kebersamaan.
Sementara itu di Banjar, Ciamis, Jawa Barat, Sri Hayati (23) caleg yang sedang hamil ditemukan tewas tergantung di sebuah gubuk di tengah sawah. Banyak yang meyakini, Sri memilih bunuh diri daripada harus menanggung malu karena tidak akan terpilih sebagai anggota parlemen.
Ia memilih meninggalkan suami dan keluarga serta kerabatnya, daripada harus menghadapi kenyatan bahwa rakyat yang dia ingin wakili ternyata tak memilihnya. Dua peristiwa itu menarik disimak untuk melihat bagaimana orang menyikapi hasil –sementara– pemilu kali ini.
Di Jakarta yang jadi episentrum gempa politik nasional, petinggi partai dan tokoh politik nasional menyikapi kekalahan dengan cara buru-buru membangun koalisi, persekutuan, persekongkolan, dan apa pun namanya, untuk secara bersama-sama menentang, menggugat, bahkan melakukan perlawanan, terhadap penyelenggara pemilu.
Bersamaan dengan itu mereka menjadikan ‘pemenang’ pemilu dan sekutunya sebagai musuh bersama. Lawan politik yang harus dihadapi pada posisi berlawanan (oposisi). Tarik menarik pengaruh jadi makin kuat. Dua kubu yang berbeda makin terang-terangan menancapkan kesan bahwa mereka lah kelompok atau partai yang terbaik memimpin bangsa ini.
Apa yang dipentaskan aktor besar politik itu hanya makin memperkuat kesan publik, bahwa dalam politik tidak pernah ada persekutuan maupun permusuhan yang kekal. Tidak ada konsistensi sikap dan nyaris tidak ada kejujuran.
Hal seperti itu tampak jelas pada dua pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 1999 misalnya. Saat pemilihan presiden masih dilakukan MPR, muncul fraksi yang dengan amat militan menggalang koalisi untuk mengganjal Megawati -ketua partai pemenang pemilu- untuk menaikkan Gus Dur sebagai presiden. Koalisi itu pula yang membetot Kiai Ciganjur ini dari istana.
Demikian halnya pada Pemilu 2004. Pemimpin partai besar berangkulan dalam koalisi kebangsaan untuk menghadang laju Yudhoyono pada pemilihan presiden.
Toh, persekutuan ini buyar 45 hari kemudian, ketika aktor dari PPP tiba-tiba melakukan imkprovisasi politik persis pada saat yang menentukan siapa yang akan memimpin parlemen.
Intinya, aktor besar politik selalu menunjukkan kapasitas dan kepiawaiannya berakting manakala kepentingan mereka mulai terancam, memperlihatkan keahlian mereka mempraktikkan jurus silat lidah yang canggih. Tak peduli apakah jurus lidahnya itu menjilat ludah sendiri atau menjilat pihak lain yang dianggap bisa memperkuat posisinya.
Berbeda dengan Megawati, Prabowo, Wiranto, Yenny Wahid, maupun Puan Maharani. Politisi pemula seperti Sri Hayati dari dusun Langkaplancar, Ciamis, Jawa Barat itu tak punya keterampilan akting maupun jurus ampuh untuk melakukan akrobat politik manakala menyikapi kekalahannya.
Ia merasa tak berharga ketika warga tidak percaya kepadanya. Ia tak punya kemampuan retoris untuk menjelaskan kegagalan itu kepada suami, orangtua, saudara dan tetangga. Ia malu karena ternyata tidak terpilih.
Rasa malu. Inilah yang membedakan Sri dengan para politisi tingkat tinggi. ***