Arsip untuk April 3rd, 2009

03
Apr
09

Dan, Sandiwara pun Usai

panggungsandiwara1q

PANGGUNG sandiwara kampanye sudah mencapai titik akhir. Calon anggota legislatif, juru kampanye, petinggi partai politik, sudah terjun menemui massa di berbagai kota. Berbagai slogan sudah dipekikkan, aneka janji diteriakkan, bersamaan dengan berbagai manuver di luar panggung kampanye.

Semua perhatian pemimpin negeri dari pusat hingga daerah seolah tercurah hanya untuk kampanye sesuai kepentingan masing-masing, yang kadang harus merampas kenyamanan dan acapkali mengganggu kelancaran proses pelayanan publik.

Menyimak pelaksanaan kampanye terbuka selama sepekan lalu, publik akan dengan mudah menangkap bahwa apa yang dilakukan elit politik belumlah beranjak dari pola lama.

Pertama, mengintensifkan kampanye tertutup, mulai dari menggelar pertemuan tidak resmi, mendatangi warga dari pintu ke pintu, hingga memperbanyak atribut dan memperluas lokasi persebarannya. Kedua, menebar janji dan pesona melalui pidato politik yang disampaikan petinggi dan juru kampanye partai.

Memang banyak cara dan manuver yang mereka lakukan, namun umumnya dua model itulah nyang paling menonjol sebagaimana yang bisa diamati dari laporan media massa.

Jika saja publik memiliki waktu dan minat untuk mencermati dengan sedikit lebih teliti, mungkin mereka akan menangkap kesan bahwa di samping tidak kreatif dan tidak inovatif, kampanye itu pun tak lebih dari pameran keangkuhan dan parade hal-hal yang bertolak belakang.

Hampir semua juru kampanye –di luar pendukung pemerintah– meneriakkan keburukan, kelemahan, dan ketakberhasilan pemerintah. Dengan angkuh mereka mengklaim diri sebagai yang terbaik bagi Indonesia masa depan.

Arogansi yang sama juga dilakukan juru kampanye partai yang tokohnya sedang berada di dalam pemerintahan. Tanpa rasa malu mereka mengklaim berbagai hal yang disebutnya sebagai keberhasilan, dan mengakuinya sebagai keberhasilan partai mereka.

Jika masyarakat tak cermat mencernanya, mereka bisa terjebak oleh logika semu yang sesungguhnya menipu. Seolah masuk akal, padahal tidak nalar. Seolah logis, padahal gombal.

Selama sepekan lalu publik menangkap bahwa kampanye hanyalah arena untuk saling caci dan baku maki. Kampanye hanyalah wadah untuk menunjuk diri sendiri sebagai yang terbaik. Kampanye adalah kesempatan sangat terbuka untuk menuding pihak lain dan memburukkannya.

Keangkuhan tidak saja tersirat dan tersurat serta terucapkan pada pidato juru kampanye, melainkan juga tampak dari cara mereka — antara lain melalui pengerahan massa– yang ‘menindas’ masyarakat di jalan raya maupun di tempat umum. Rakyat dipaksa mengalah dan memberi jalan serta menyediakan ruang bagi arak-arakan massa dan aktivitas kampanye mereka.

Sisi lain yang bertolak belakang, juga tampak sejak kampanye tertutup dimulai dan makin parah pada kampanye terbuka. Simak saja atribut dan pameran narsisisme para politisi (dan calon politisi) itu.

Intinya, semua menyatakan akan turut menciptakan pemerintahan yang bersih, membela rakyat kecil, dan lain sebagainya. Namun bersamaan dengan itu pula mereka ramai-ramai mengotori kota dan merusak keindahan tata ruang, dengan tindakannya memasang atribut di sembarang tempat.

Biasanya, makin dekat ke hari pemilihan umum kian kencang dan gencar aktivitas peserta pesta demokrasi, makin runcing pula benih-benih perseteruan maupun keintiman politik mereka.

Masyarakat berharap, meskipun tensi politik makin tinggi, tak perlulah diiringi peningkatan ketegangan dan permusuhan. Sebab semua yang sedang kita lakukan dalam pesta politik ini semata demi keselamatan dan kesejahteraan bangsa.

Dan, kita sadari betul, semua ini cuma panggung sandiwara kehidupan. ***