PEKAN kedua Juni 2009 dibuka dan ditutup –lagi-lagi– oleh berita duka gugurnya putra-putri terbaik Tentara Nasional Indonesia (TNI). Senin (8/6), helikopter jenis Bolkow-105 TNI AD jatuh di Cianjur, Jawa Barat, menewaskan tiga orang. Pada Jumat (12/6) siang, Helikopter Puma SA 330 TNI, jatuh di Lanud Atang Sendjaja, Bogor.
Dua insiden itu menambah panjang daftar musibah yang dialami dan melibatkan TNI. Dalam kurun empat bulan terakhir saja, setidaknya sudah tujuh kecelakaan menimpa pesawat TNI. Lebih memprihatinkan lagi, semua pesawat itu termasuk dalam alat utama sistem senjata (alutsista).
Hal itu makin membawa dampak terhadap kian berkurangnya kemampuan sistem persenjataan dan petahanan kita. Itu terjadi, justru di tengah makin tingginya tuntutan pertanahan keamanan terkait dengan makin meningkatnya ancaman terhadap kedaulatan, baik yang berkenaan dengan batas teritori negara maupun ancaman dalam bentuk lain.
Bisa dibayangkan, dari tujuh peristiwa kecelakaan itu, setidaknya sudah ada 131 korban meninggal dunia. Jumlah itu selayaknya tidak dipandang sebagai sekadar angka statistik dalam daftar korban musibah, sebab satu pun jiwa manusia sangat berharga.
Kecelakaan beruntun yang menimpa pesawat TNI sudah lebih dari mengundang keprihatinan, karena banyak insiden disebabkan kondisi pesawat yang sudah tua dan tidak laik terbang. Hal itu sudah sering diingatkan pada setiap terjadi musibah, namun tampaknya belum juga ada langkah konkret untuk mengatasi. Akhirnya, musibah serupa terjadi lagi.
Mengutip laporan Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso, bahwa hanya 40-45 persen pesawat mili1k militer Indonesia yang laik terbang, segeralah kita memperoleh gambaran bahwa kondisi itu sudah sangat tidak masuk akal. Jumlah alutsista yang ada saja tidak seimbang dengan kebutuhan, ditambah lagi dari jumlah itu cuma kurang separonya yang layak guna.
Kita sepakat dengan pendapat berbagai pihak, bahwa berjatuhannya korban akibat kecelakaan pesawat atau helikopter TNI merupakan tanda waspada terhadap kondisi alutsista yang dimiliki Indonesia. Ia sudah bukan lagi sekadar peringatan bagi pemerintah untuk secara serius melaksanakan –bukan lagi sekadar memikirkan– langkah-langkah strategis modernisasi alutsista, sebelum terjadi lagi musibah demi musibah yang sesungguhnya disebabkan oleh kelalaian kita sendiri.
Memang dalam berbagai musibah yang memperhadapkan manusia pada situasi antara hidup dan mati seperti dalam insiden di atas, selalu saja ada unsur yang di luar jangkauan nalar manusiawi manusia sehingga sering dianggap sebagai keajaiban. Atau bahkan ada yang mempersamakan dengan mukjizat, meski ada pula yang melihatnya dengan enteng, kebetulan.
Ada sedikit yang selamat dalam arti secara fisik lolos dari maut, tapi lebih banyak yang tak tertolong dalam berbagai musibah jatuhnya pesawat. Teknologi telah menciptakan matra angkutan yang serba cepat dari segi waktu, sekaligus meningkatkan risiko yang harus dihadapi penggunanya. Tapi karena ada risiko itu pulalah, hidup menjadi berarti.
Inovasi pun muncul karena manusia sangat sadar bahwa langkah apa pun yang dilakukannya, selalu akan berhadapan dengan dua sisi ekstrem yang saling bertentangan. Sukses-gagal, selamat-celaka, hidup-mati, dan seterusnya.
Dalam perspektif itulah kita harus membaca pernyataan Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono, yang mengaku tidak berambisi untuk mengembangkan alutsista canggih seperti pesawat tempur dan kapal selam untuk beberapa puluh tahun mendatang.
Artinya, TNI perlu segera melakukan inovasi teknologi mandiri untuk memperkokoh alutsistanya. Tidak saja dalam bentuk pengadaan alat, tapi juga inovasi dan modernisasi sistem pengelolaannya. Tanpa itu, kita hanya akan kembali kehilangan putra-putri terbaik kita dan tetap menggantungkan pengelolaan tekonolgi alutsista kepada negara yang lebih maju. ***
0 Tanggapan to “Lagi-lagi Berita Duka”