Arsip untuk Juli, 2009

26
Jul
09

Siapa meneror siapa?

BANYAK orang akan sepakat jika ada yang mengatakan, bahwa tahun ini memberi harapan besar terhadap kententeraman dan kedamaian. Pesta politik paling masif –pemilihan anggota lagislatif dan pemilihan presiden– sejauh ini dilalui tanpa ketegangan berarti. Tanpa kerusuhan.

bomberAda harapan baru yang tumbuh dan makin berkembang, bahwa hari-hari berikut akan lebih baik. Kehidupan akan makin tenteram dan damai sehingga warga akan lebih tenang lagi menjalani kehidupannya, menjalankan aktivitasnya dengan kegairahan baru ke arah yang lebih maju.

Ketika tiba-tiba harapan indah itu tercerai-berai oleh dua ledakan bom di jantung Kota Jakarta, kita pun tersentak. Ada apa dengan negeri ini? Kita juga tersengat oleh kesadaran yang tibatiba muncul, apakah kita terlalu cepat lupa sehingga melalaikan hal-hal dasar yang seharusnya dilakukan?

Dan, itu berakibat fatal. Sembilan orang tewas. Puluhan lain cedera. Nama Indonesia yang selama tahun-tahun terakhir berusaha kita perbaiki, tercoreng lagi. Beberapa negara langsung mengingatkan warganya agar tidak ke Indonesia.

Insiden Marriott ‘Jilid II’ seolah meneguhkan anggapan sejumlah pihak (asing) selama ini, bahwa Indonesia adalah sarang yang nyaman bagi kaum teroris. Pengelola negara pun menerima teror balik dari pemerintahan mancanegara, berupa tekanan untuk membongkar habis teroris.

Orang yang meyakini teori persekongkolan, mungkin menganggap insiden itu adalah satu mata rantai dari persekutuan jahat tingkat global yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu sasaran.

Di lain pihak, orang juga makin yakin bahwa ternyata ada saja orang Indonesia yang rela mati bunuh diri sambil membunuh siapa saja dan sebanyak apa pun demi sesuatu yang diyakininya. Tak jelas mana yang lebih tepat.

Yang jelas, korban telah jatuh. Kita sadar, ternyata selama ini bertetangga dan bahkan berada di dalam kancah ‘republik teror’. Sebab, teror tetap terjadi meski orang-orang yang disebut sebagai pelaku peledakan sudah ditangkapi dan dihukum. Beberapa di antaranya dihukum mati.

Apalagi seperti luas diketahui, sejak insiden Bali I, aparat keamanan menjadi sedemikian siaga dan ekstra sensitif. Kini pengunjung mal, pusat perbelanjaan, dan hotel-hotel, sudah tak merasa terganggu lagi oleh pemeriksaan rinci sejak mereka memasuki areal parkir. Tapi, teror toh tetap terjadi.

Teror dalam bentuk lain pun, tetap marak. Kalau tidak di jalan raya, ya di pasar-pasar, di pelabuhan, di terminal, di hutan dan di tambang liar. Teror bisa muncul dari penjahat, bisa juga dari pejabat. Bagaimana –misalnya– mereka saling serang dan saling menjatuhkan. Tindakan mereka kadang meneror dan melecehkan akal sehat rakyat yang mereka pimpin dan mereka wakili.

Pemimpin, politisi dan pejabat tampaknya telah gagal menyelenggarakan komunikasi politik, baik di antara mereka sendiri maupun antara mereka dengan rakyatnya. Justru yang terjadi adalah, cara berkomunikasi mereka membuat rakyat terteror.

Bagaimana rakyat tidak terteror oleh pernyataan mereka yang demikian terbuka, telanjang, dan tanpa tedeng aling-aling tentang perkara-perkara yang semestinya hanya menjadi ‘domain’ mereka sendiri, bukan urusan rakyat awam?

Bagaimana mereka mengesankan diri menjadi subjek yang dizalimi dan dikeroyok lawan politiknya, sedangkan soal paling mendesak adalah bagaimana mengatasi kegiatan teroris yang senantiasa lolos. Padahal –konon– kegiatan intelijen sudah mampu mengendus gerakan sekecil apa pun yang mengancam keselamatan (calon) kepala negara?

Demikianlah, setelah dilibatkan untuk berpartisipasi penuh dalam pesta politik, rakyat masih diberi pekerjaan rumah yakni menata kembali perasaan dan kesabaran serta kebesaran hati untuk menghadapi sendiri kenyataan hidupnya. Termasuk menghadapi teror dalam aneka bentuk dan wajahnya. **

12
Jul
09

Akhirnya, Gigo Gigo!

coverbukugigo50AKHIRNYA Gigo-gigo pun rampung diedit oleh tim buku Banjarmasin Post.  Apa itu gigo-gigo? Ia  adalah satu istilah yang dipakai kalangan perempuan tertentu untuk menyebut lelaki pasangan yang disewanya. Fenomena per-gigo-an inilah yang jadi urat nadi tulisan pada kolom Curah di Tabloid Politik dan Perilaku BëBAS.

Tabloid itu mulai terbit 19 Mei 1999, atau setahun setelah rezim pembelenggu kebebasan pers jatuh. Untuk pertama kalinya sebagai suplemen Banjarmasin Post, kemudian terbit secara teratur setiap pekan. Penerbitan perdana itu sekaligus seakan meneriakkan semangat kebebasan yang sekian lama terimpit keangkuhan penguasa.

Selama enam tahun, berarti enam kali 52 pekan, setidaknya sama dengan 312 kali BëBAS menunjungi pembaca. Curah adalah satu di antara rubrik-rubrik BëBAS. Isinya berupa celotehan, tuturan, atau sekadar curhat mengenai situasi apa saja yang sedang tren, yang menarik penulisnya.

Semula, curah merupakan kolom bagi segenap pengelola BëBAS, namun sejak tabloid itu terbit saya lebih banyak mengisi. Setidaknya, ada 306 judul curah yang tersimpan di arsip saya.  Sayang sekali kalau arsip itu terbuang begitu saja. Betapa pun ia pernah mewarnai dinamika –meskipun tentu sangat kecil– kehidupan pers.

Karenanya, saya memberanikan diri memilih kembali naskah-naskah Curah yang ada pada arsip itu, dan menerbitkannya dalam bentuk buku, tentu setelah melalui editing ulang dan penyesuaian konteks. 

Saya berterima kasih kepada sang maha guru, Mas Trias Kuncahyono yang bersedia terus mengajari saya. Juga untuk waktunya yang saya curi agar dia menulis pengantar bagi kumpulan tulisan ini.  Saya harus berterima kasih kepada begitu banyak orang. Tanpa mereka tak mungkin saya bisa menulis, dan mengumpulkan tulisan-tulisan ini untuk dibukukan.

Orang-orang yang mengawaki  BëBAS yakni Budhi Rifani, H Nor Ifansyah, Agus Suprapto, dan Mulyadi Danu Saputra,  adalah yang paling berjasa menguber-uber saya setiap pecan selama kurang lebih enam tahun. Beerkat pergulatan pikiran dengan merekalah ide-ide untuk sebagian besar tulisan ini hadir.

cover_back_gigogigoSelain itu, saya juga harus berterima kasih kepada para perempuan luar biasa, yang bersedia membacai naskah-naskah saya sebelum diterbitkan jadi buku. Mereka adalah Syaharani ( Jakarta), Esti Rahayu ( Washington DC), Jullya Vigneshvara ( Banda Aceh), Florence I Pattipeilohy (KBRI, Timor Leste), Luki Aulia (Jakarta), Femmi Adi Soempeno (Jakarta),  Rosita Suwardi Wibawa (Surabaya), dan Fransisca Ria Susanti (Hongkong), yang dengan sukarela  memberikan penilaian subjektifnya.

Tentu pula saya harus berterima kasih kepada Bapak H Gusti Rusdi Effendi selaku Pemimpin Umum Banjarmasin Post, yang memberi saya keluangan waktu menyiapkan buku ini di sela-sela kegiatan rutin pekerjaan . Saya harus mengacungkan jempol kepada Dwie Sudarlan, Ribut Raharjo, dan Dade Syamsul Rais yang dengan telaten mengedit serta mempekokoh tulisan-tulisan ini sehingga  layak dibukukan.  Yang tak kalah penting adalah tim artistic “jarak jauh” yang terlibat dalam proyek buku ini. Mereka adalah Aris Sukmaijaya (Bandung) dan Ganjar Witriana (Batam) yang secara khusus menyiapkan karikatur untuk cover rancangan Dhuan (Banjarmasin). Luar biasa!

Pasti  masih banyak kekurangan pada tulisan-tulisan yang dibukukan ini. Biarlah itu  menjadi tanggung jawab saya.

Banjarmasin, 29 Juni 2009

Yusran Pare

12
Jul
09

Dengan Hati

trias* Trias Kuncayhono – Pengantar untuk kumpulan tulisan Gigo Gigo

Humanas actiones non ridere, non lugere,
neque destari, sed intelligere
(Kehidupan manusia itu jangan ditertawakan, jangan diratapi,
dan jangan dikutuk, tetapi hendaknya dimengerti )
Pepatah Latin

DUNIA konsumsi dan komunikasi massa merupakan dunia mimpi yang menjadi kenyataan. Komunikasi massa menuntut kecepatan, instan. Komunikasi massa hanya kenal satu dimensi waktu yakni urgensi. Informasi yang terlambat adalah komunikasi yang sudah basi. Sudah tidak enak lagi dikunyah-kunyah, apalagi ditelan. Karena itu, ia-informasi yang terlambat itu-tidak memiliki nilai aktualitas lagi.

Budaya urgensi , menurut Haryatmoko (BASIS, Nomor 05-06, Tahun Ke-58, Mei-Juni 2009) inilah yan menyebabkan sulitnya membedakan antara yang pokok dan yang sekadar tempelan. Semua seakan serba urgen, mendesak, penting, dan bahkan seakan harus dikerjakan dalam waktu segera.

Orang tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengambil jarak atas apa yang dilakukannya. Tidak mungkin lagi bertanya, apalagi memberi makna atas tindakannya atau mencoba kritis atas kegiatannya (apalagi terhadap tindakan dan kegiatan orang lain). Orang ditempatkan selalu dalam situasi instan terus-menerus. Padahal, di balik kejadian selalu ada makna atau sekurang-kurangnya dapat dimaknai.

Memberi makna. Itulah yang telah dilakukan oleh Kang Yusran lewat tulisan-tulisannya yang dijadikan satu menjadi buku yang sekarang tengah Anda baca ini. Lewat tulisan-tulisan ini, Kang Yusran memaknai atau sekurang-kurangnya berusaha memaknai fakta di lapangan, fakta di sekitar, fenomena yang ada di tengah masyarakat. Ia tidak membiarkan peristiwa berlalu  begitu saja.

Ia juga tidak membiarkan fakta yang ditemui di lapangan diam dan mati tak berarti. Tetapi, semuanya berusaha dihidupkan, semua berusa diberi makna sehingga menjadi berarti bagi semua orang, sehingga tidak begitu saja berlalu dilupakan orang, dan tidak membekas dalam hati dan pikiran orang.

Dengan imajinasinya, Kang Yusran menghidupkan dan member makna fakta dan fenomena yang ditemuinya. Imanjinasi-meminjam pendapat Emanuel Kant-adalah penghubung antara kategori-kategori pengertian yang abstrak itu dengan sense-impressions. Dengan kata lain, imajinasi berada di antara pengertian dan sensasi. Imajinasi hanyalah alat untuk membuat sebuah konsep menjadi grafis (menjadi skema) agar konsep itu dekat dengan kenyataan.

Daya imajinasi itulah yang telah membuat fakta dan fenomena yang ditemui Kang Yusran di lapangan menjadi bermakna. Makna butuh pengambilan jarak. Itu berarti mengandaikan perlu waktu. Hal itu tentu saja bertentangan denga komunikasi massa yang menuntut kecepatan, instan, urgensi.

cover_gigogigoMengapa hal itu bisa terjadi? Karena Kang Yusran menulis dengan hati. Ia tidak sekadar menuangkan apa yang ada dalam pikirannya tanpa lewat sebuah perenungan, tanpa lewat sebuah pengendapan.  Tetapi, semua tulisan yang ada dalam kumpulan tulisan ini adalah hasil dari sebuah perenungan yang mendalam.

Dengan kata lain, saya hendak mengatakan bahwa Kang Yusran menulis dengan hati nuraninya. Apakah hati nurani itu?

Dengan sengaja saya meminjam pendapat Gerson Poyk-sastrawan dari Pulau Rote-untuk menjawab pertanyaan di atas. Gerson Poyk berpendapat, hati nurani kemanusiaan adalah wadah spiritual bagi suatu roh yang paling suci, roh Tuhan, roh cinta kasih. Apakah ini iman? Mungkin saja.

Yang jelas, saya menangkap dan merasakan bahwa nurani kemanusiaan sangat terasa dalam tulisan-tulisan yang dikumpulkan menjadi buku ini. Kumpulan tulisan ini mengungkapkan atau menjadi bukti bahwa penghargaan Kang Yusran terhadap nilai-nilai kemanusiaan begitu kuat.

Inilah yang sering dilupakan orang. Ketika orang sudah mengejar pragmatisme, maka yang namanya nilai-nilai kemanusiaan itu dikesampingkan. Ke bahagiaan pribadi cenderung menggantikan tindakan kolektif atau bahkan kebahagiaan kolektif. Kita saksikan apa yang sekarang ini di depan mata kita, orang cenderung mengejar kepentingan diri di dalam semua aspek kehidupan. Contoh yang paling mudah adalah di dunia politik. Dengan uang orang mengejar segala-galanya, termasuk kedudukan, dan dengan uang orang dibuat tak berdaya, menjadi makluk yang bisa dibeli.

Di zaman seperti sekarang ini, orang cenderung sulit untuk memahami penderitaan orang lain; memahami manusia lain. Memahami penderitaan berarti membangun kedekatan dengan “yang lain”. Bagaimana mungkin memahami “yang lain” kalau yang diutamakan adalah kepentingan diri. Lewat buku inilah, Kang Yusran, berusaha memahami “yang lain.”

Pada akhirnya, lewat tulisan pendek ini, saya ingin mengatakan apa yang ditulis Kang Yusran ini hasil dari sebuah kreativitas yang dilandasi hati. Daya kreativitas, sifat kreatif adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari wartawan. Ia menyatu dalam diri. Seorang wartawan yang sudah tidak kreatif lagi, sudah kehilangan daya kreativitasnya, ia sudah kehilangan “kewartawanannya.”

Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin pula mengutip pendapat banyak orang selama ini bahwa mahkota seorang wartawan adalah buku. Dan, inilah mahkota Kang Yusran. Dengan buku ini, Kang Yusran berusaha memahami kehidupan manusia di sekitarnya.

Selamat Kang.

Palmerah Selatan, 29 Juni 2009

12
Jul
09

Datuk Tangkal

n1165350894_8263TULISAN di bawah ini adalah  kata penutup, epilog, atau apa pun namanya untuk mengakhiri kumpulan tulisan saya yang dibukukan dengan judul “Gigo Gigo”. Penulisnya, Budhi Riffani, pelaksana harian pemipin redaksi tabloid BeBAS, tempat tulisan saya muncul setiap pekan pada kolom CURAH.  Ini tulisan aslinya sebelum disunting untuk memenuhi keterbatsan ruang pada edisi cetak.

BEBERAPA waktu  lalu, saya berjumpa dengan teman-teman mantan crew Tabloid BeBAS (‘anak’ pertama Harian Banjarmasin Post). Sebagian teman masih mengabdikan dirinya di Almamater Banjarmasin Post Group, beberapa merintis karier di ladang lain, sebagian sudah sukses, yang lainnya masih terseok-seok, termasuk orang macam saya.

Dalam pertemuan yang  tidak disengaja itu. Tentu saja yang dikenang-kenang adalah kerja jurnalistik yang penuh dengan seloroh, saling gojlok, dan lucu-lucu . Yang pahit-pahit sengaja untuk tak diceritakan karena ‘reuni kecil’ itu tidak boleh ternoda oleh hal-hal melow kayak gitu.

Sempat terlontar pertanyaan berbau seloroh, apa yang membedakan Tabloid BeBAS kala itu dengan tabloid-tabloid lainnya pada saat booming tabloid melanda Indonesia di era tahun 1998 hingga 2000.  Kelakar yang keluar dan spontan terucap adalah Rubrik Curah dan Datuk Tangkal.

Untuk Rubrik pertama membuat saya jadi terkenang-kenang dengan Kang Yusran Pare.  Si Akang  berinisial JPX ini – di antara inisial para wartawan kala itu, akronim ini yang paling saya demeni. Karena dia lah penulis tetap rubrik Curah yang diletakkan persis di halaman 15 atau satu halaman sebelum cover belakang. Curah lebih tepatnya disebut Kolom, esai dengan rasa 2B, Bandung – Basirih (Si Akang ini urang  Basirih, namun lahir dan besar di Bandung).

Akang waktu itu sudah bertugas kembali ke Mabes holding company di Palmerah Selatan, Jakarta saat Tabloid BeBAS pertama kali diterbitkan, setelah membrainstorming rekan-rekan Banjarmasin Post.  Meski setelah itu Akang tetap bolak balik Jakarta-Banjarmasin sekadar buat supervisi. Sampai kemudian dia menjadi Pemimpin Redaksi Harian Metro Bandung (sebelum berubah menjadi Tribun Jabar).

Kumpulan tulisan di Curah itu  lantas diterbitkan dalam sebuah buku.  Sebuah cita-cita yang akhirnya terwujudkan, karena dulu,  saya dan teman-teman sempat berniat menerbitkannya. Sebuah niat yang akhirnya kesampaian.  Tabik Akang!

Untuk Rubrik kedua, bukan saja membuat saya dan teman terpingkal pingkal dibuatnya. Tapi, sedikit muncul rasa kagum pada sang tokoh, Si Datuk Tangkal (DT). Datuk mungkin banyak orang yang tahu apa artinya itu, apalagi setelah kasus Manohara meledak-ledak ke seantero Bangsa Melayu. Tapi Tangkal… hmmm…hanya sedikit orang yang tahu artinya (pun demikian dengan Urang Banjar, di mana setting rubrik ini berlangsung).

Lucunya lagi, si pencipta tokoh, tidak bisa menjelaskan apa makna di balik nama itu. Dia kayaknya bukan Shakespeare Minded dengan jargon What is a name itu.

“Pokoknya bertangkal-tangkal, tidak ada habisnya,” ujar H Fachrudin Nor Ifansyah (waktu itu dia belum Hajji), si creator tokoh DT yang juga adalah Wakil Redaktur Pelaksana Tabloid BeBAS ketika itu. Tangkal, dalam Bahasa Banjar berarti pokok pangkal, lapisan, ruas (lehernya Bertangkal: Bertingkat, berlapis; Menjadi tidak lucu kalau ditranslatekan satu per satu).

Rubrik DT – jangan salah – , hanyalah sebuah rubrik dadakan di Tabloid BeBAS yang ‘Cuma’ berisi tulisan atau lebih tepatnya ramalan angka-angka keberuntungan. Letaknya pun hanya nyempil di pojok kanan bawah di entah halaman mana yang kosong iklan. Supaya kemasannya lebih menarik, angka-angka itu dikasih sedikit ilustrasi kartun atau foto..

Siapa yang meramal dan mengkalkulasi nomor-nomor itu? Ya si tokoh imajiner bernama Si Datuk Tangkal itu yang dalam realitasnya dipegang oleh H Fachruddin Nor Ifansyah (kami sering memanggilnya Iffan).

Rubrik ini terinspirasi dari tabloid atau koran-koran lain yang juga memuat angka-angka serupa.. Padahal rubrik ini adalah ramalan terselubung untuk sebuah judi yang bernama Judi Buntut atau Togel yang begitu mewabah dan sangat digemari saat itu. Karenanya ini adalah rubrik public service dalam tanda petik, ramalan angka yang bakal keluar, tapi secara sembunyi-sembunyi.

Tidak dinyana, DT, ternyata begitu digemari… bahkan survei kecil-kecilan saya ke pembaca dan  loper, tak sedikit pembaca yang membeli dengan alasan hanya untuk melihat (lebih tepatnya memakai) ramalan Datuk Tangkal. Digemari karena ramalan Datuk ternyata jarang yang meleset. Bahkan, ramalan Datuk sering menjadi acuan para penembak Buntut. Terkadang angka yang dikeluarkan Datuk (biasanya kombinasi antara dua hingga empat angka).. tepat semua, tapi bisa pula,  kombinasi dari angka-angka itu. Heran saya, dari mana Iffan mendapatkan ilmu ‘rumus merumus; itu.

Nah, DT ini membikin kita geli, disebabkan ramalan jitu itulah, kru BeBAS menjadi ketularan, ikut-ikutan memasang angka. Dan celakanya lagi, ternyata lebih sering kena. Dalam seminggu, urusan 1 -2 juta rupiah menjadi kecil karenanya. Bahkan suatu kali, ‘pasangan’ kita pernah mendapat lebih dari 25 juta perak, Bandarnya sampai bangkrut dan minta ampun karena tidak sanggup bayar.  Meski uang itu kita gunakan hanya buat rame-rame, toh bagaimanapun, kita akui, DT sudah menjadi fenomenal dalam segmen yang dia sasar.

desain2lihatMohon maaf….Sengaja saya tidak bercerita banyak dan panjang lebar tentang Curah yang menjadi tema sentral penerbitan buku ini. Karena saya sudah ‘bosan’ dan nyaris hafal betul setiap tulisan Kang Yusran itu, bahkan sampai titik komanya. Setiap minggu, saya lah yang melakukan editing. Bukan karena saya hebat –sehingga pantas mengedit esai seorang Empu – melainkan karena saya memang tidak ingin pada kesempatan pertama Curah dikirim via email, terlewatkan begitu saja.

Hal yang juga saya rasakan waktu pertama menyusun rubrikasi, yang terlintas di benak, hanya Kang Yusran seorang yang pantas menghuni dan mengisi kolom itu. Meski di awal penerbitannya (dan beberapa nomor berikut), saya sempat mengisi Curah  bergantian dengan Agus Widhartono (Redpel Harian Bernas,Yogya).

Saya hanya ingin menyatakan bahwa baik DT ataupun Curah memiliki kesamaan makna, tugas dan misi. Sama-sama menjadi selling point sebuah tabloid, tapi sebenarnya dua-duanya adalah paradoks yang kontradiktif. DT bermain di wilayah abu-abu yang saru.  Sementara Curah, boleh dikata, bacaan berkelas, penuh dengan pencerahan, kaya referensi dengan kemasan sastra yang easy reading,  tapi sama-sama banyak dibaca orang, dicari-cari pembaca.  Kalau kita dulu, mengistilahkan secara ekstrem,DT bersifat destruktif, maka Curah sarat makna konstruktif. Namun, ya di sanalah kedua selling point ini bersinergi.

Dan itulah sebenarnya filosofis dari diterbitkannya Tabloid BeBAS. Setiap rubrik harus menjadi selling point. Karena kalau melihat periodisasi penerbitan yang sekali seminggu, kalau tidak pandai-pandai meramu menu, akan habislah kita digilas  kompetitor, terutama oleh koran-koran yang terbitnya harian, di mana semua berita telah mereka sajikan, tak ada yang tersisa buat media mingguan seperti BeBAS.

Bahwa, melahirkan atau menerbitkan sebuah media cetak itu, sangatlah mudah. Tapi hanya sedikit media yang bisa bertahan di tengah hantaman dan deraan persaingan. Nah, sedikit media yang bertahan itu, resepnya adalah membikin content yang dingini pembaca, yang dimaui pembaca dan memuaskan keingintahuan pembaca. Di sanalah DT, CUrah atau rubrik lainnya yang layak jual itu, bertahta.

Bahwa, DT adalah potret kehidupan kita yang paling realistis. Kita bukanlah bangsa penjudi, tapi tdak sedikit juga yang suka berjudi, atau menyerahkan nasibnya pada angka-angka. Buntut, atau Togel (atau SDSB di masa2 Orde Baru dulu).. DT adalah jelmaan diri kita yang puritan, menentang tapi diam-diam menggunakan.

Sama dengan Tabloid BeBAS itu sendiri. Tabloid yang dalam perjalanannya sebenarnya berisi berita-berita umum yang didephnewskan, sehingga selalu menjadi update…content awalnya adalah berita-berita politik yang sangat booming ketika itu pasca Gerakan Reformasi 1998 (tagline nya saja Tabloid Kriminalitas & Politik). Kemudian dikombinasi dengan berita kriminalitas yang sebenarnya menjadi salah satu ‘jualan’ induknya Banjarmasin Post.

BeBAS hadir untuk bukan saja menjadi media reformis, dengan jurnalisme gaya baru, namun juga menjadi tempat penampungan bagi berita-berita yang ‘tak layak muat’ di induk semangnya. Tak layak muat bukan saja karena segmentasi BPost, melainkan pula karena kalkulasi sensitivitas, Itulah niche yang ingin disasar dan dihuni BeBAS. Tidak berbenturan dengan sang induk semang, melainkan justru memanfaatkan.

Pendalaman atas dua jenis berita itu (politik & kriminalitas), menjadi racikan jitu, bagaimana BeBAS menembus pasar media lokal. Namun dalam perjalanannya, di awal era keterbukaan dan kebebasan, menu BeBAS pun di dan termodifikasi beradaptasi dengan selera pembaca. BeBAS juga memuat berita-berita yang pada era itu dinilai masih ‘tabu’ bagi wilayah adat sosio kultural Urang Banjar yang terkenal sangat agamis-religius.

BeBAS mulai meliput berita tentang perselingkuhan (pejabat, tokoh, public figur), gaya bergaul anak muda yang nyaris tanpa rem,  tempat-tempat pelesir lelaki hidung belang, (lokalisasi, tempat hiburan malam) dan segala pernak pernik serta para pelaku di dalamnya, Bahkan, dari cover yang tadinya kaku (dengan ilustrasi berbau politis), berubah menjadi ‘seksi’.

BeBAS mengubah tampilan depannya dengan model-model cantik, seksi dan sedikit terbuka. Semua model, aslinya, justru produk lokal.  BeBAS juga menampilkan berita-berita berbau klenik alam gaib, (satu mainstream baru dunia jurnalistik yang waktu itu masih jarang digunakan)  … BeBAS benar benar berubah wujud , bukan hanya menjadi genit, tapi juga penuh misteri.

Disinilah awal bermula BeBAS menuai reaksi pembacanya. Reaksi pro kontra tentu saja. Pro karena peristiwa terselubung yang jadi buah bibir dan tabu untuk dibicarakan, justru terungkap secara gamblang. Kontra karena berita-berita itu digolongkan saru dan tak layak untuk dibaca oleh Urang Banjar.  BeBAS dituduh sebagai tabloid Kuning, tabloid yang mengumbar sensualitas, yang menampakan hal hal metafisika non logika jauh sebelum istilah ‘penampakan’ itu populer.

Karenanya, ya menjadi tidak aneh, kalau kemudian, setiap hari selalu saja ada yang protes, menebar ancaman bahkan kecaman. Entah itu melalui Surat Pembaca, telepon, obrolan pinggiran dan bahkan tak sedikit kelompok organisasi masyarakat yang melayangkan complainnya, mengadukan ke DPRD, tak keinggalan juga LSM-LSM yang sengaja menggelar hearing dengan awak redaksi…, untuk menyampaikan keberatannya.  Reaksi pro kontra itu, bukanlah sebuah kebanggaan bagi kita.

BeBAS, memang sensasional. Tirasnya, kian minggu kian meningkat, dan mencapai puncaknya ketika terjadi kerusuhan etnis di Sampit. Harga BeBAS menjadi 3 kali lipat, dengan tiras yang juga tiga kali lebih besar dari induknya. Bahkan fotokopian tabloid ini menjadi laku jual, ludes dalam beberapa jam pasca terbit setiap Selasa pagi. BeBAS, diistilahkan para loper, sebagai “gempa kecil saban Selasa”, karena begitu terbit, oplah media lainnya menurun drastis. Semua tersedot pada BeBAS.

Kenapa itu bisa terjadi? Kenapa, di tengah masyarakat yang katanya agamis-religius ini, BeBAS justru bertumbuh kembang dengan sangat fenomenal. Meski saya bisa menjawabnya, namun pertanyaan ini saya kembalikan kepada pembacanya dulu. Sebab pembaca lah yang membuat media cetak hidup atau mematikannya.

Curah hadir di tengah segala kontradiksi pro kontra itu. Curah berisi segala potret tentang sgala hal yang terjadi ketika itu di masyarakat Urang Banjar. Curah adalah rekaman Kang Yusran yang dipotret justru dari kota seberang (Bandung dan Jakarta).

Kang JPX adalah salah satu dari sedikit kolomnis  yang saya kagumi (dan terkadang saya curi-curi gaya penulisannya) selain Goenawan Muhammad, Emha Ainun Najib, Arswendo Atmowiloto, Sumohadi Marsis, Budiarto Shambazy dan Agus Widhartono.

Kang JPX adalah seorang tokoh kompleks-reformis… (berangkat dari nol  banget dalam huruf kapital semua), yang karena itulah dia menjadi egalitarian. Bertemu kang JPX dari dulu dan sekarang nyaris ga ada bedanya, Masih suka bergaya Men In Black (tidak ada yang pernah melihat dia memakai baju celana warna lain selain hitam) yang menurut saya meniru-niru  gaya hitam-hitamnya The Matrix.

Masih suka kongkow- kongkow, dengan sohib-sohib lamanya, masih suka bertamu ke gubuk saya di Banjarbaru meski saya sendiri tidak pernah baelang ke istana dia di dekat Waterboom Banjarmasin itu. Akang yang  tidak merasa tinggi hati hanya karena saat ini dia adalah seorang Pemimpin Redaksi dari sebuah media cetak terbesar, terkenal, tertua dan paling berpengaruh di Bumi Borneo, Harian Banjarmasin Post.

Karenanya, di dalam Curah (di dalam buku ini) Anda akan menemukan Jusran Pare Xaverius (menurut dia inilah kepanjangan dari akronim JPX) yang apa adanya, yang sederhana. Karena Curah adalah JPX .. Curah ya dia, Si Akang akyu itu…… ***

09
Jul
09

Berkat Angka-angka

angka-angka

BETAPA besar jasa penemu angka. Coba kalau umat manusia tak menemukannya, hari-hari ini tak akan ada yang terus dipelototi, dikomentari dan dianalisa.

Ada sekian ratus juta pemilih yang 8 Juli 2009 memilih satu di antara tiga pasang calon presiden dan wakil presien. Hasil akhir dari kalkulasi angka-angka itu menentukan siapa yang jadi pemimpin negara. Luar biasa!

Setiap warga negara yang memenuhi syarat memilih, bebas menentukan pilihannya. Mungkin ada yang memilih lebih dari satu. Malah, siapa tahu ada yang sengaja tidak memilih. Namanya juga demokrasi. Nah, jumlah pemilih yang telah menentukan pilihannya itulah yang kini sedang ditunggu-tunggu.

sempoaHari ke hari, jam demi jam, angkanya berubah terus. Hampir semua stasiun televisi menyajikan angka-angka itu sebagai menu khusus dan sedemikian penting, sehingga ditampilkan dalam bentuk running text, ditayangkan secara berkala.

Media cetak tak mau ketinggalan, juga memuat angka-angka (jumlah pemilih) yang diperoleh calon pemimpin bangsa ini. Sampai Rabu senja, beberapa jam setelah pemilihan berlangsung, angka-angka itu terus jadi bahan perbincangan.

Sementara, angka untuk pasangan Susilo Bambang Yudhoyono – Budiono berada di urutan teratas. Angka bagi dua pasangan lainnya hampir imbang saling susul.  Sejauh ini pemilihan presiden berlangsung lancar, aman dan damai.

Dilihat dari peta perolehan suara yang tercermin pada angka-angka hasil hitung cepat sejumlah lembaga independen, tampaknya pemilihan presiden tidak perlu sampai dua putaran. Meski tentu saja hasil hitung cepat bukanlah hasil sesungguhnya.

Angka-angka yang tampil semata merupakan indikasi dari sejumlah sample atau contoh yang dianggap relevan. Apa yang tampak dari angka-angka yang tiap saat berubah itu pada akhirnya adalah cermin nyata dari suara rakyat.

Bahwa ada ketidakpuasan dan ada insiden yang dianggap sebagai tanda kecurangan, tentu harus dibaca sebagai dinamika sebuah proses politik yang langsung melihat secara nyata rakyat di seluruh penujuru Tanah Air.

Tentang apakah hasil itu memuaskan atau mengecewakan elite politik, itu persoalan mereka sendiri. Hari-hari ini kedaulatan sepenuhnya milik rakyat, dan itu telah ditunjukkan di tempat pemungutan suara.

Kita belum tahu persis, apakah angka seperti yang tergambar pada hasil hitung cepat itu akan sejalan dengan hasil akhir perhitungan suara yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Yang jelas, publik menangkap ada gerak dan bentuk baru yang berbeda dari pemilu sebelumnya.

Ada kebebasan untuk memilih, dan keleluasaan untuk mengetahui –melalui angka-angka– peran mereka dalam menentukan pemimpinnya. Apa yang tampak dari angka-angka itu makin menegaskan bahwa rakyat kita kini lebih leluasa menentukan sendiri calon pilihannya tanpa harus terikat oleh loyalitas kepada partai.

Penegasan dukungan oleh elite parpol kepada pasangan capres tertentu, ternyata tidak serta merta diikuti konstituen di akar rumput. Jika mau mengalkulasi dengan hitungan matematis dan statistik, maka pilpres sudah selesai dan pemenangnya sudah jelas diketahui.

Tapi, politik di Indonesia tidak mudah dikalkulasi secara matematis, sebab ada begitu banyak variabel yang tak terduga dan bisa menjadi faktor penentu yang membuat 2×2 tidak mesti sama dengan 4.

Begitu pula dalam konteks pemilihan presiden kali ini. Segala gerak-gerik, taktik, tarian, akrobat, bahkan intrik politik sudah dilakukan jauh sebelum hari pemilihan. Namun rakyat toh tetap bebas melakukan apa yang mereka kehendaki, termasuk memilih pemimpinnya.

Tanda-tanda awal, sudah terbaca lewat angka-angka yang terus mengalir dari seluruh penjuru Tanah Air.  Siapa pun yang akhirnya terpilih sebagai presiden, itulah pilihan rakyat. ***

04
Jul
09

Cerdas Memilih

TINGGAL selangkah lagi pemilihan presiden dan wakil presiden. Hari-hari menjelang masa tenang dimanfaatkan para kandidat dan barisan pendukungnya untuk mempertajam pengaruh mereka terhadap calon pemilih. Harapannya, tentu saja rakyat pemilih memilih mereka untuk memimpin negeri ini lima tahun ke depan.

centangTiga kandidat presiden dan wakil presiden berlomba menyampaikan visi, misi, dan program mereka dalam berbagai kesempatan di depan publik. Mereka tampil di mimbar debat terbuka yang bisa disaksikan segenap rakyat di seluruh pelosok Tanah Air melalui layar televisi, juga pada saat kampanye terbuka di tempat yang menurut mereka strategis.

Di lain pihak, pendukung mereka juga tak kalah gencar menggempur persepsi masyarakat dengan berbagai cara. Mulai dari iklan di media, pemasangan baliho, spanduk, poster, dan selebaran hingga ‘silaturahmi’ dari rumah ke rumah.

Mencermati gerak-gerik komunikasi politik kandidat dan barisan pendukung mereka sejak mulai dicanangkannya kampanye terbuka hingga menjelang masa tenang, belumlah tampak ada model baru yang lebih kreatif selain dari yang digambarkan di atas.

Sedikit perbedaan dari kampanye di masa sebelumnya, adalah debat terbuka yang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum. Dari serangkaian debat antarkandidat itu tampaklah bahwa para politisi kita belum benar-benar mampu melibatkan diri dalam intensitas adu pendapat yang sesungguhnya.

Perdebatan atas topik-topik yang disajikan belum menyentuh inti persoalan dan bagaimana persoalan itu diselesaikan dalam kenyataan manakala mereka terpilih sebagai pemimpin. Adu argumentasi antarmereka, masih sebatas jargon normatif, tidak ada yang langsung menyentuh tataran konkret. Kalau pun ada saling sindir, tak lebih dari semacam sindiran politik bernuansa guyonan.

Debat capres — dalam format terbatas seperti yang dilgelar KPU– tidak akan berpengaruh banyak terhadap sikap calon pemilih. Sebab sangat formal, sehingga tidak akan mengubah pilihan sebagian besar publik karena publik juga sudah mengenal dan memiliki referensi calon yang ada.

Demikian halnya kampanye terbuka melalui pemasangan aneka atribut di tempat umum, semuanya masih sloganistik dan tidak mendidik masyarakat pemilih, karena materinya cuma omong kosong politik. Spanduk dan baliho kampanye itu sekadar menjadi alat bagi tim sukses untuk perang urat saraf. Materinya pun hanya untuk membantah atau bahkan menjatuhkan calon lain.

Pola kampanye sloganistik seperti itu hanya menunjukkan kekosongan visi atau ideologi pembuatnya, yakni masing-masing tim sukses pasangan calon presiden dan wakil presiden. Akibatnya, yang terjadi ialah perang slogan dan simbol. Sebab, hanya itu yang bisa mereka dilakukan di tengah-tengah ketidakpastian ideologi yang diperjuangkan masing-masing.

Bukan hanya kinerja kampanye seperti itu yang membuat rakyat harus mengelus dada. Realitas politik hari-hari ini telah menunjukkan bahwa hubungan emosi antara rakyat dengan elitenya sudah terputus.

Mereka melupakan rakyat yang dengan segala kepolosan, keiklasan, ketidaktahuan, keluguan, dan segala harapannya telah memilihnya sebagai wakil mereka di parlemen. Namun manakala memasuki putaran pemilihan presiden, rakyat kembali dianggap tak tahu apa-apa dan disodori begitu saja materi kampanye yang sebagian besar justru melecehkan nalar dan nurani rakyat.

Tak apalah, seminggu lagi semuanya akan berakhir. Rakyatlah yang akan menentukan siapa yang mereka anggap paling layak memimpin. Mencontreng di balik bilik suara cuma perlu waktu tak sampai lima menit, dan hasilnya akan menentukan perjalanan bangsa ini, setidaknya untuk lima tahun ke depan.

Jadilah pemilih cerdas, dan tahu benar apa risikonya bila asal pilih.***

04
Jul
09

Membaca Vonis Pohan

palu

dan, vonis pun jatuh

MAJELIS hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, menghukum Aulia Pohan dengan pidana penjara 4,5 tahun. Sementara Bun-bunan Hutapea dan Aslim Tadjudin diganjar masing-masing empat tahun penjara. Majelis hakim menganggap ketiga orang itu terbukti bersalah.

Ketiga pejabat tinggi Bank Indonesia itu dianggap telah memperkaya orang lain dengan uang Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia sebesar Rp 100 miliar. Uang itu dialirkan untuk membiayai bantuan hukum pejabat BI yang kena perkara korupsi, dan menyuap anggota DPR untuk memuluskan proses pembahasan Rencana Undang-undang Bank Indonesia.

Dari peristiwa hukum itu, kembali masyarakat memperoleh gambaran bahwa praktik korupsi telah menjalar sedemikian rupa, kait mengait, melibatkan orang-orang yang seharusnya bersih dari noda korupsi.

Ketiga terpidana –yang kemudian naik banding– itu merupakan mata rantai dari kasus korupsi yang sebelumnya telah diungkap, disidangkan, dan sudah pula divonis. Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, terbukti menerima suap untuk melancarkan proses legislasi yang berkaitan dengan kepentingan Bank Indonesia.

Terlepas, apakah vonis itu memenuhi rasa keadilan masyarakat atau tidak, pada satu sisi merupakan angin segar sekaligus dukungan terhadap spirit pemberantasan korupsi yang dari hari ke hari selalu saja tampak ada yang berusaha meredamnya dengan berbagai cara.

Dengan menghukum orang-orang yang dianggap terlibat dalam jaring kejahatan korupsi, tanpa pandang bulu (bahkan besan presiden), rezim yang sedang berkuasa terkesan betul-betul memegang komitmennya untuk menegakkan hukum.

Langkah penegakan hukum itu tentu saja patut diapresiasi dan terus didukung agar bangsa kita segera terbebas dari ‘kultur” korup. Tentang seberapa besar atau seberapa jauh hasil yang dicapai kemudian, itu soal nanti.

Pemberantasan korupsi membutuhkan dukungan politik yang kuat, infrastruktur yang kokoh, komitmen yang bisa dipercaya, karena yang dihadapi bisa saja kawan sendiri. Contoh nyata, penanganan dugaan suap dan korupsi terkait dengan dana dari BI yang melibatkan pejabat tingginya dan wakil rakyat.

Pemberantasan korupsi di Indonesia sungguh suatu upaya luar biasa sulit, bahkan terkesan mustahil, sekalipun bukan berarti tak ada jalan keluar. Langkah dramatik KPK belakangan ini telah memberi harapan baru yang lebih baik, karenanya jangan sampai harapan itu padam lagi.

Korupsi di negeri ini memang sudah tidak bisa dilawan dengan cara biasa. Tantangan terberat pemerintah adalah membersihkan dahulu institusinya sebelum menyapu bersih seluruh praktik korupsi.

Salah satu caranya adalah mereformasi mental pegawai negeri, karena di situlah titik pokok korupsi di jajaran pemerintah. Mulai level paling rendah, hingga ke tingkat departemen. Sedemikian sistemik, terorganisir rapi, dan biasanya di antara ‘tikus-tikus’ itu terjalin komitmen tahu sama tahu.

Rakyat tentu saja boleh memandang dengan kacamata keraguan mengenai keseriusan pemerintah memberantas korupsi, meski sejumlah pejabat dan petinggi negara telah dipenjarakan karenanya.

Soalnya, segala upaya yang dilakukan untuk memberantas korupsi selama ini seolah tak berbekas. Jaring-jaring korupsi justru seperti kian melebar dan makin alot, menjalari segala aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.

Dan, perlu diingat, isu pemberantasan korupsi itu bukan isu baru. Sudah digembar-gemborkan amat kencang sejak era Soekarno, di masa Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, hingga era Yudhoyono yang tinggal berbilang hari.

Nyatanya, korupsi tetap merajalela. Bahkan –dalam beberapa bentuk– sudah diterima sebagai kelaziman dan keharusan yang tak perlu dipertanyakan lagi. Masyarakat sendiri seperti sudah tak berdaya menghindarinya, bahkan cenderung ikhlas melarutkan diri di dalam praktik yang seharusnya diperangi itu. Mungkin karena itu pula korupsi sulit diberantas. ***