Arsip untuk Oktober 7th, 2009

07
Okt
09

Riwayat Beringin

sang-beringin

BANYAK pihak berpendapat, saat inilah momentum paling penting dan menentukan bagi Partai Golongan Karya. Hasil Musyawarah Nasional (Munas) VIII partai warisan orde baru itu akan membawanya ke dua sudut paling ekstrem, bangkit sebagai kekuatan politik modern memasuki era baru masa depan, atau terkubur jadi bagian masa lalu.

Berlangsung di tengah keprihatinan akibat bencana dahsyat yang baru saja mengguncang tanah Sumatera, munas partai berlambang pohon beringin itu diselingi kericuhan yang hanya patut dilakukan orang-orang jalanan. Selain itu juga dicemari bau transaksi politik uang bermiliar rupiah demi meraih dukungan.

Munas kali ini juga dibingkai oleh penguasaan opini publik, di mana dua kandidat terkuat yakni Surya Paloh dan Aburizal Bakrie sama-sama menguasai jaringan televisi, dan dengan sadar kedua jaringan media massa itu menjadikan Munas Partai Golkar sebagai sajian utama, tentu dengan titik berat kepentingan pemiliknya.

Terlepas dari gonjang-ganjing dan friksi antarpendukung para kandidat calon ketua umum, polemik mengenai keberpihakan media massa, serta berbagai tetek bengek yang meramaikan, tampaknya kita harus sepakat dengan pendapat para pengamat bahwa pada munas kali inilah nasib Golkar ditentukan.

Apakah ia akan berhasil melakukan konsolidasi total untuk memasuki dan sekaligus mengambil alih peran pada 2014 dan seterusnya. Atau tetap seperti hari-hari ini, yang akan berarti membiarkan dirinya digerus perubahan, sampai akhirnya jadi kerdil dan kian mengecil untuk kemudian terkubur?

Pekerjaan besar pengurus baru hasil munas kali ini dengan tegas terpampang di depan mata, yakni fakta keruntuhan dukungan massa terhadap partai itu dari pemilu ke pemilu di era reformasi.

Fakta menunjukkan, pada pemilu 2004 suara Golkar merosot di 23 provinsi dibanding pemilu sebelumnya (1999), dengan besaran penurunan antara 1 – 26 persen. Pada 2009, Partai Golkar lebih terpuruk lagi, perolehan suaranya menukik tajam di 27 provinsi dengan besaran 2 – 24 persen.

Fakta lain yang tentu juga harus dicermati karena ia menunjukkan keampuhan atau kelumpuhan mesin partai itu dalam mengelola pendukungnya setelah era reformasi. Dalam dua kali pemilu berturut-turut (2004 dan 2009), partai itu gagal mengantarkan kadernya ke pemilihan presiden.

Hasil dua pemilu itu tentu saja lebih dari cukup untuk dijadikan cermin para elite dan kader di partai itu. Hasil pemilu 2004 saja, seharusnya sudah merupakan alarm peringatan gawat darurat yang seharusnya menyengat mereka dan membawanya pada kesadaran untuk melakukan perubahan radikal mengiringi perkembangan yang terjadi di tengah dinamika bangsa.

Kini, munas yang digelar setelah pemilu 2009 –yang makin menegaskan keterpurukan partai itu– seharusnya sudah membawa mereka pada satu kesepakatan bersama bahwa partai itu harus berubah. Tak cukup lagi hanya mengandalkan kekuatan modal dan kedekatan dengan kekuasaan, melainkan harus lebih mandiri sebagai partai independen yang penuh percaya diri.

Artinya, munas kali ini harus mampu menghasilkan pengurus yang terlepas dari kepentingan politik bisnis dan kekuasaan, sehingga bisa dengan serius menata ulang perilaku politik partai itu untuk menghidupkan kembali infrastruktur yang telah mereka punyai. Harus diakui, sejauh ini hanya Golkar yang memiliki infrastruktur politik sedemikian lengkap hingga ke tingkat pedesaan bahkan sampai ke tingkat kader.

Namun semua perubahan dan pembaharuan serta revitalisasi itu tak mungkin berjalan dengan baik tanpa sosok kepemimpinan yang kuat, berwibawa, dan diterima oleh semua pihak di seluruh lini partai. Nah, pada Munas VIII di Pekanbaru Riau itulah, nasib partai sisa orde silam itu ditentukan. Apakah akan menjadi partai lama dengan spirit baru yang bergelora, atau tetap berbaring tenang-tenang meanti kematian.