Arsip untuk November, 2009

25
Nov
09

untuk siapa?

MAHKAMAH Agung (MA) melarang ujian nasional (UN) yang digelar Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Padahal, pemerihtah dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional sudah menerbitkan peraturan tentang pelaksanaan dan jadwal ujian nasional, yakni Maret 2010.

Jadwal UN itu tertuang dalam Permendiknas Nomor 75 Tahun 2009 tentang UN SMP/Madrasah Tsanawiyah, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, SMA/Madrasah Aliyah (MA), SMA Luar Biasa (LB), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tahun Ajaran 2009/2010.

Permendiknas itu ditetapkan di Jakarta, 13 Oktober 2009, oleh Mendiknas Bambang Sudibyo. Pelaksanaan UN utama untuk siswa SMA, MA, SMA LB, dan SMK dilaksanakan minggu ketiga Maret 2010. Untuk siswa SMP, MTs, dan SMP LB, ujian diselenggarakan minggu keempat Maret 2010. UN susulan dilaksanakan seminggu setelah UN utama. Ujian praktik kejuruan siswa SMK dilaksanakan sebelum UN utama.

Keputusan MA merupakan jawaban final atas gugatan yang diajukan warga (citizen lawsuit) melalui Tim Advokasi Korban UN dan Forum Pendidikan. Hal itu menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta 6 Desember 2007 yang juga menolak permohonan banding pemerintah atas putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat.

Sebelumnya, warga menggugat pemerintah dalam hal ini presiden, wakil presiden, menteri pendidikan nasional, dan ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, yang dianggap lalai dalam memberikan pemenuhan hak asasi manusia terhadap warga negara yang menjadi korban ujian nasional.

Pemerintah juga dinilai lalai meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah sebelum melaksanakan kebijakan ujian nasional. Dengan putusan MA tersebut, berarti pemerintah harus segera mengambil langkah konkret sesuai dengan pokok gugatan.

Ujian nasional adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antardaerah. Dalam pelaksanaannya, timbul berbagai persoalan yang antara lain bertumpu pada ketimpangan dan ketidakmerataan kemampuan serta infrastruktur di tiap daerah.

Sejak UU No 20 Tahun 2003 dilaksanakan dalam praktik UN, mutu hasil pendidikan nasional di Tanah Air tak begitu banyak berubah. Malah ada yang berpendapat, bahwa UN sama sekali tidak berpengaruh pada mutu pendidikan nasional.

Bahkan dalam beberapa kasus, UN justru ‘memproduksi’ sikap koruptif dan manipulatif, serta menghalalkan segala cara. UN bukan lagi arena uji intelektualitas peserta didik, melainkan jadi taruhan reputasi pendidik dan lembaga pendidikan.

Fakta di lapangan menunjukkan, UN telah jadi ajang persekongkolan antara guru, murid, kepala sekolah, kepala dinas, kepala daerah demi mengangkat citra sekolah/daerahnya. Segala cara dilakukan agar sekolah dan daerah masing-masing tidak masuk dalam daftar daerah dengan kualitas pendidikan rendah.

Sangat boleh jadi, itulah yang jadi satu di antara faktor penyebab munculnya kecurangan dan penyimpangan dalam tiap pelaksnaan UN bukan lagi sebagai alat atau sarana peningkatan mutu pendidikan, melainkan justru menjadi tujuan itu sendiri. Inilah yang membuat masyarakat gelisah. Kini, kegelisahaan itu sudah terjawab. Ketetapan MA menolak kasasi yang diajukan pemerintah.

Pemerintah harus meningkatkan kualitas guru secara menyeluruh, menyempurnakan kelengkapan sarana prasarana, serta akses informasi di seluruh daerah sebelum melaksanakan ujian nasional.

Persoalannya kemudian, seberapa cepat pemerintah bisa bergerak melaksanakan putusan MA tersebut jika tetap berkehendak melaksanakan UN sesuai jadwal yang sudah ditetapkan? Kita tentu sependapat, bahwa waktu yang tinggal tiga bulan tidak cukup untuk memenuhi keputusan tersebut.

Di sisi lain, masyarakat tak ingin lagi anak-anaknya menjadi kelinci percobaan atas kebijakan pendidikan akibat tiap ganti rezim ganti pula kebijakan. ***

24
Nov
09

Tragedi Minah


MAJELIS hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, Jawa Tengah, menjatuhkan vonis pidana 1,5 bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan kepada Minah (55). Perempuan miskin dan buta huruf ini dinyatakan bersalah, mencuri tiga butir buah kakao dari kebun sebuah perusahaan perkebunan di desanya, awal Agustus lalu.

Saat ini harga kakao basah di pasaran sekitar Rp 7.500. Tiga butir buah kakao seperti yang dicuri Minah akan menghasilkan tiga puluh gram biji kakao basah. Jika dijual, harganya sekitar Rp 2.100. Dalam dakwaan, jaksa menyebutkan nilai dari buah yang dicuri itu Rp 30.000.

Sejak mulai diperiksa polisi akhir Agustus lalu sampai tuntas persidangan 19 November, perempuan ini dengan patuh mengikuti proses hukum. Tak ada barisan pengacara mendampingi, tentu tak pula ia bertelepon dengan aparat penegak hukum, untuk menghadapi perkaranya. Jaksa mendakwanya melanggar Pasal 362 Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Ia diancam hukuman enam bulan penjara.

Memang, vonis 1,5 bulan penjara dengan percobaan tiga bulan itu tak membuatnya masuk penjara, kecuali ia melakukan tindak pidana selama masa percobaan. Namun kasus ini tentu saja mengusik rasa keadailan masyarakat.

Di tengah kontroversi penegakan hukum yang dipicu kasus Chandra- Bibit, tersingkapnya praktik-praktik pembengkokan hukum, mafia peradilan dan makelar kasus-kasus besar, maka kasus Minah seakan kian meneguhkan betapa hukum di Tanah Air ini ibarat jaring laba- laba yang hanya menjerat mahluk kecil.

Tragedi Minah mengingatkan kembali kasus Sengkon-Karta di pertengahan 1970-an. Dua lelaki ini dituding merampok dan membunuh pasangan suami-istri di Bekasi. Majelis hakim memvonis masing-masing dihukum 7 tahun dan 12 tahun penjara.

Belakangan terbukti, ada orang lain pelaku sebenarnya. Akhirnya Mahkamah Agung menyatakan mereka bukan pelaku kejahatan dan membebaskan keduanya setelah bertahun-tahun dipenjara. Setelah bebas, Sengkon tewas kecelakaan. Karta meninggal akibat menderita sakit TBC.

Jika dirunut dari kasus Sengkon-Karta hingga kontroversi kasus Chandra-Bibit dan terakhir tragedi Minah, kita melihat betapa selama 35 tahun wajah pelaksanaan penegakan hukum di negeri ini belum juga mampu menerjemahkan apalagi memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Enam tahun lalu seorang warga Banjarmasin dihukum empat tahun penjara dan denda Rp 150 juta karena menguasai sepotong pil ekstasi. Di pengadilan yang sama seorang pemilik 1.400 butir ekstasi dipidana sembilan bulan penjara potong masa tahanan dan denda Rp 200 juta.

Nalar sederhana saja bisa dengan cepat menangkap keganjilan dalam proses hukum pada dua kasus ini. Rasa keadilan masyarakat pasti terusik. Jika orang yang membawa seperempat butir pil ekstasi dihukum empat tahun penjara, seharusnya orang yang menguasai 1.400 butir pil yang sama dihukum 5.600 tahun penjara. Tapi, itu tak terjadi.

Kasus Prita yang harus mendekam di balik jeruji besi, karena surat elektroniknya sebagai pelanggan rumah sakit dianggap mencemarkan nama baik. Atau, kasus Aguswandi yang harus meringkuk di sel hanya karena mencuri listrik untuk mengisi batere telepon genggam, adalah contoh mutakhir sistem hukum kita bekerja.

Sejak kasus Sengkon-Karta, jika dirinci dari tahun ke tahun selalu ada kasus yang serupa, mirip, yang esensinya sama, yakni terselenggaranya proses peradilan yang jutru tak mencerminkan rasa keadilan. Hanya saja, banyak yang tak jadi pembicaraan masyarakat. Bisa jadi, masyarakat sudah tak punya harapan lagi untuk mempersoalkannya karena memang sudah kehilangan kepercayaan.

Masyarakat sudah sangat sangsi bahwa hukum bisa ditegakkan. Pengalaman demi pengalaman membuktikan bahwa hukum di negeri ini mengalir seperti layaknya dongeng yang bisa direka sesuai selera sang pendongeng. Pengalaman menunjukkan, hukum seakan bisa dipelintir sejak dalam penyidikan, penuntutan, pembelaan, hingga ke pengadilan.

Kini momentum itu sudah tiba. Persoalannya kemudian, apakah rezim ini betul-betul memiliki komitmen untuk melakukan perubahan besar-besaran dalam proses penegakan hukum, atau hanya akan melanjutkan kebobrokan? Masyarakat hanya bisa menunggu. (*) Lanjutkan membaca ‘Tragedi Minah’

18
Nov
09

Khayalan dan Fatwa Haram

MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) Malang Jawa Timur mengeluarkan fatwa haram atas film “2012 Doomsday” atau Kiamat 2012. Keberatan atas peredaran film ini juga disampaikan Ketua Komisi Fatwa MUI Kalsel yang meminta instansi terkait segera menghentikan pemutaran film itu. Para ulama beralasan, film tersebut bisa menggiring masyarakat untuk percaya bahwa kiamat terjadi pada 2012.

Terkait dengan sikapnya itu, para ulama di dua daerah ini akan dimintai keterangan MUI pusat. Ketua Koordinasi Fatwa MUI pusat menegaskan, tiap MUI daerah berwenang mengeluarkan fatwa namun sebaiknya berkoordinasi dengan pusat.  Sebelumnya MUI pusat menyatakan tak ada rencana mengharamkan bagi film 2012, karena isinya hanya khayalan dan tidak menyesatkan.

Sejatinya film arahan sutradara Roland Emmerich itu memang fiksi semata. Ceritanya diilhami mitos suku Maya Amerika Tengah, bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi di akhir kalender. Ketika dicocokkan ke penaggalan Masehi, akhir zaman versi Maya itu jatuh pada 21 Desember 2012.

Sebagai khayalan, fiksi, tak ada yang istimewa dengan fim ini. Seseorang boleh saja mengkhayal dan menyampaikan khayalannya kepada banyak orang. Secara sinematik, film ini pun tak jauh beda dengan film fiksi ilmiah lain yang memanfaatkan betul teknologi digital untuk menciptakan efek-efek visual yang lebih dramatis.

Sejumlah film dengan tema sejenis pernah pula dibuat dan diputar di bioskop dan disiarkan televisi di tanah air, namun tak pernah ada fatwa yang menyatakannya haram. Para ulama berpendapat film Kiamat 2012 patut diharamkan karena seolah mendahului ketentuan dan rahasia Tuhan.

Publik –terutama kalangan umat Islam– di Indonesia tentu sepakat bahwa para ulama adalah penjaga akhlak dan lembaga pedoman bertauhid. Belakangan, peran majelis ulama ini juga melebar jadi lembaga yang mengikuti dan mengontrol penerapan syariah, bahkan dalam beberapa kasus memasuki ranah kontrol budaya dan politik.

Di masa ordo silam, majelis ini pernah memfatwakan haram merayaan Natal bersama, bunga bank, dan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Beberapa waktu lalu MUI juga mengeluarkan fatwa bahwa merokok itu haram, demikian juga golput (tidak ikut memilih pada pemilihan umum). Bahkan, sempat santer akan ada fatwa haram menggunakan jejaring sosial bukumuka (facebook).

Kita tentu tidak dalam posisi menolak atau menerima fatwa, dan tidak hendak mencampuri peran majelis ulama sebab fatwa adalah produk hukum yang memang sangat dikenal dalam masyarakat Islam. Tiap negara Islam (dan yang mayoritas penduduknya muslim) memiliki lembaga fatwa tersendiri, dan ada proses serta mekanisme yang ketat yang mengawali terbitnya suatu fatwa.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah sedemikian genting dan bingung umat Islam di tanah air, sehingga tidak lagi bisa membedakan anatara khayalan yang dipertontonkan dengan realitas, dan oleh karena itu perlu panduan para mufti dengan fatwanya untuk memandu apa yang harus mereka tonton dan apa yang tidak?

Masyarakat saat ini telah makin cerdas dan tidak akan mudah terpengaruh cuma oleh film. Mereka dapat membedakan mana yang nyata dan mana yang sekadar angan-angan atau khayalan. Karenanya, ketergesa-gesaan mengeluarkan fatwa hanya akan mempercepat kemandulannya. Dengan atau tanpa difatwakan, masyarakat sudah bisa menarik sendiri kesimpulan untuk dirinya.
Kehadiran para ulama masih sangat diperlukan di tengah masyarakat.

Di tengah situasi yang dari hari ke hari makin menunjukkan dekadensi, kita memerlukan polisi moral yang ujaran dan fatwa-fatwanya makin hari kian berwibawa dan bahkan bisa dijadikan landasan untuk suatu kebijakan.

Apa yang tampak dari sederet fatwa yang sudah diserukan kaum ulama, menunjukkan bahwa kekuatannya tidak lagi signifikan untuk mengikat perilaku. Contoh konkret adalah haram Golput dan rokok, yang ternyata tak berpengaruh banyak. Jumlah Golput tetap naik, jumlah perokok tetap bertambah.

Kita tidak berharap bahwa suatu saat masyarakat tak lagi mau mendengar dan tak mau peduli kepada para ulama karena fatwanya tidak lagi menjawab persoalan kontemporer umat. Kita khawatir, suatu saat masyarakat mengabaiakan sama-sekali fatwa MUI, padahal itu bersifat darurat dan sesuai syariah.**

16
Nov
09

Bincang-bincang Gigo Gigo

bincang-bincang donny

choiruman bincang gigo 05BANJARMASIN, BPOST – Santai, serius dan penuh keakraban. Itulah suasana dalam talkshow buku Gigo-gigo bersama penulis buku yang juga pemimpin redaksi (Pimred) Banjarmasin Post Group, Yusran Pare di Toko Buku (TB) Gramedia Jalan Veteran, Minggu (15/11) siang.

Para undangan dan pengunjung toko buku terbesar di Banjarmasin  itu, terlihat antusias mengikuti pemaparan isi buku langsung dari sang penulis.  Dipandu Diana Rosianti yang juga Manajer Area Smart FM Banjarmasin, acara yang bertajuk Bincang-bincang Bersama Yusran Pare, banyak diimbuhi guyon-guyon  segar.

Gelak tawa pun membahana, ketika sang pemandu acara melontarkan pertanyaan terkait judul buku yang mendekati penjualan lima ribu eksemplar tersebut. “Kenapa judulnya Gigo-gigo, kok tidak sekalian Gigolo biar jelas. Anehnya, isi dalam buku ini lebih banyak mengulas perempuan,” kata Diana.

bincang1Sambil tersenyum, Yusran Pare menjelaskan, buku tersebut merupakan kumpulan dari esai yang penah diterbitkan di Tabloid BëBAS.  Tulisan tersebut, mengupas sisi lain dari peristiwa besar yang terjadi saat itu. Namun, dari peristiwa besar itulah banyak hal-hal kecil yang sering terlena dari perhatian masyarakat. Padahal memiliki nilai lebih.

“Misalnya persoalan prostitusi mudah dijumpai di setiap daerah, selain perkembangan pembangunan. Sering kali hal itu terabaikan oleh masyarakat,”  terangnya.

Selain itu persoalan hukum, seperti yang terjadi sekarang ini. Menurut mantan Pemred Tribun Jabar ini, persoalan tersebut pernah mewarnai dunia hukum di Banjarmasin.  Masyarakat disuguhi ketidakpastian dan “rekayasa” mengenai penegakan hukum.

“Dalam tulisan Negeri Sakau, itu pernah terjadi enam tahun lalu di Banjarmasin. Artinya, sebelum Jakarta geger dengan persoalan hukum itu, di Banjarmasin sudah pernah terjadi,” tegasnya.

Menurut pakar komunikasi Unlam Banjarmasin Fachriannoor, buku Gigo-gigo tidak ketinggalan zaman. Artinya, isinya sesuai dengan perkembangan zaman meskipun tulisan itu dibuat sekitar enam tahun lalu.

Kelebihan buku tersebut sangat dekat dengan pembaca, karena memberikan gambaran tentang hal-hal yang kerap ditemui di masyarakat.   “Apalagi buku tersebut dengan bahasa yang lugas disertai fakta-fakta dengan gaya dialog. Itulah yang menjadi kekuatan buku ini,” terangnya sambil mengangkat buku Gigo-gigo. (coi)

Ngobrol Gigo-Gigo Bersama Yusran Pare

DOKUMENTASI

Selasa, 9 Februari 2010 | 00:31 WIB

BANDUNG, TRIBUN – Mantan Pemimpin Redaksi Harian Pagi Tribun Jabar yang kini menjabat Pemimpin Redaksi Harian Umum Banjarmasin Post, Yusran Pare, akan hadir dalam acara bincang- bincang mengulas bukunya Gigo-Gigo di Toko Buku Gramedia Bandung Supermal, Rabu (10/2) pukul 14.00.

Selain diulas penulisnya, akan hadir pembahas pakar ilmu komunikasi dari Universitas Islam Nusantara (Uninus) Dr Yosal Iriantara. Buku Gigo-Gigo, yang diterbitkan oleh PT Grafika Wangi dan diberi pengantar oleh Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Trias Kuncahyono, merupakan kumpulan tulisan Yusran Pare yang menyoroti isu-isu aktual yang terjadi di tanah air. Gigo-Gigo berisi 61 judul tulisan yang dikupas mulai dari politisi, pelacur, pelawak, santri, rahib, penyanyi, semuanya hadir dalam bahasa yang renyah.

Gigo-Gigo terbit pertama kali pada Agustus 2009, diluncurkan di Kota Banjarmasin dan langsung diserbu para kutu buku, termasuk artis yang saat itu hadir di Banjarmasin. Hingga Februari 2010 ini Gigo-Gigo sudah cetak ulang. (cep)

Gigo Gigo, Buku Wajib Bagi yang Ingin Berubah

Foto: Agung Yulianto Wibowo
Penulis Buku Gigo Gigo, Yusran Pare (kanan) didampingi Dosen Fikom Uninus, Dr Yosal Iriantara, saat bedah buku Gigo Gigo di Bandungsupermal (BSM) pada Rabu (10/2).

Rabu, 10 Februari 2010 | 21:10 WIB

GILA dan cerdas! Itulah komentar yang diungkapkan seorang pakar komunikasi, Soni Sonjaya, seusai menjadi pembawa acara bedah buku Gigo Gigo karya Yusran Pare, di Toko Buku Gramedia, Bandung Supermal, Rabu (10/2). Menurutnya, buku itu lahir dari seorang penulis yang berpenampilan apa adanya, sesuai dengan karyanya.

“Tulisannya itu juga disajikan lebih kepada personal, apalagi bisa memungkinkan seseorang mengubah cara pandangnya. Pokoknya buku luar biasa yang mengangkat realita masyarakat sesuai fakta,” ujarnya. Karena bersifat sentilan secara personal, buku ini patut untuk dijadikan referensi bagi yang ingin berubah secara pola pikir dan perilaku.

Soni juga mengatakan, selain tulisan yang dikemas ringan agar mudah dimengerti dan dipahami, kumpulan fakta itu juga menyentil karut-marut politik dan sosial yang ada di negara ini, yang terkadang malu untuk diungkapkan pemerintah.

Lain halnya komentar dari Dr Yosal Iriantara dari Fikom Universitas Islam Nusantara (Uninus). Menurutnya, hanya ada beberapa buku yang menyerupai kumpulan tulisan fakta yang dijadikan buku oleh Yusran, yakni Catatan Pinggir karya Gunawan Muhammad dan Kompasiana karya PK Ojong.

“Gigo Gigo bisa disandingkan dengan kedua buku tersebut. Namun, yang menyajikan fakta dengan derajat perenungan hanya ada di karya Yusran Pare,” ujarnya. Yosal juga menegaskan, Gigo Gigo bisa memiliki kekuatan untuk mengubah nilai yang paling dasar, yang berhadapan dengan manusia itu sendiri.

Komentar pun datang mantan rekan sekantor Yusran Pare, Ummy Latifah. Menurut perempuan yang mengenakan jilbab ini, buku ini menceritakan unsur budaya lokal di beberapa tempat di Indonesia. Ada yang dari Kupang, Aceh, Banjarmasin, dan Bandung. “Kata-katanya ringan, tetapi tidak vulgar,” ujar Ummy. Namun, kata karyawan sebuah penerbitan ini, tulisan itu belum sepenuhnya mendeskripsikan Yusran yang jahil.

Gigo Gigo adalah kumpulan tulisan Yusran Pare, mantan Pemimpin Redaksi Harian Pagi Tribun Jabar, yang kini menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Banjarmasin Post. Tulisan itu menyoroti isu-isu aktual, dari kehidupan sosial hingga bencana alam yang terjadi, seperti gunung sampah Leuwigajah dan tsunami Aceh.

Buku ini menyajikan 61 judul tulisan yang mengupas mulai soal politisi, pelacur, pelawak, santri, rahib, hingga artis. Semuanya dikemas dengan tulisan yang bermakna sekaligus menghibur.

Pria kelahiran Sumedang 5 Juli 1958 ini mengatakan, ia hanya mengumpulkan fakta yang pernah diberitakan, yang juga merupakan karya jurnalisme.

“Saya hanya mengumpulkan dari perspektif yang baru,” ujarnya. Gigo Gigo diterbitkan PT Grafika Wangi pada Agustus 2009, dengan harga Rp 40 ribu. (zz)

16
Nov
09

Sekarang!!

keadilan

KEPALA Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri menyatakan, citra, harga diri, dan kehormatan polisi di Tanah Air sedang diuji. Opini negatif yang terus berkembang di masyarakat seakan mengubur pengabdian Polri kepada negara selama 64 tahun dan menutup segala prestasi yang telah dicapai.

Saat menyampaikan amanat pada peringatan HUT ke-64 Korps Brimob Sabtu (14/11/09), Kapolri mengemukakan bahwa hari-hari ini tiap gerak langkah polisi mendapat sorotan publik. Mereka menyangsikan profesionalisme polisi dalam menjalankan tugas penegakan hukum.

Apa yang dikemukakan kapolri tentu erat kaitannya dengan perkembangan yang terjadi dan sedang membelit institusi peradilan. Masyarakat sedang merasa mendapat konfirmasi dan peneguhan atas apa yang selama ini berlangsung dalam proses penegakan hukum, yang hanya dibicarakan melalui bisik-bisik, rumor, dan desas desus.

Setidaknya, saat ini polisi menghadapi tudingan melakukan rekayasa kasus dalam mengusut petinggi komisi pemberantasan korupsi (KPK). Tudingan serupa muncul pula dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnain. Bahwa, petinggi polisi mengondisikan untuk menjerat Antasari Azhar.

Tentu saja pihak kepolisian membantah. Namun segera timbul kesan di masyarakat bahwa bantahan itu justru memperkuat dugaan bahwa hal yang dibantah itulah yang sebenarnya terjadi. Ada kesangsian, keraguan, bahkan ketidakpercayaan terhadap apa yang dikemukakan polisi.

Berbeda –misalnya– dengan ketika polisi mengumumkan keberhasilannya membongkar sindikat narkotika, dan melumpuhkan dua gembong teroris. Meski semula ada keraguan, polisi berhasil meyakinkan bahwa memang seperti itulah adanya. Bahwa gembong narkoba itu ada. Gembong teroris itu nyata.

Timbul pertanyaan, mengapa dalam kasus KPK dan Antasari Azhar, masyarakat justru cenderung tidak percaya kepada polisi. Publik merasa ada yang tidak beres dalam kedua kasus itu sejak awal. Klarifikasi, bantahan, dan penjelasan dari pihak kepolisian terhadap opini yang berkembang, seolah tak ada artinya.

Sangat boleh jadi, sikap masyarakat itu sangat dipengaruhi oleh pengalaman nyata tiap mereka berurusan dengan aparat penegak hukum. Pengalaman demi pengalaman itu terekam dalam ingatan kolektif dan jadi latar belakang cara pandang ketika menghadapi persoalan yang sama. Padahal, publik sangat berharap terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik.

Demikian pula dalam melihat dua kasus di atas. Publik merasakan dan membaca bahwa pola yang lebih kurang sama, pasti akan dipertontonkan oleh pihak yang terkait masalah tersebut. Jadi ketika pola itu dipertontonkan, publik menerimanya sebagai peneguhan terhadap apa yang mereka pikirkan.

Masyarakat terikat dan terhubungkan oleh kesadaran kolektif. Mereka akan melakukan hal sama secara serentak ketika terjadi peristiwa yang mencederai rasa keadilannya. Keprihatinan bersama atas situasi yang melanda dunia peradilan itulah yang kemudian membangkitkan gerakan massa yang demikian besar.

Mereka menyuarakannya melalui berbagai cara dan media. Masyarakat tidak lagi tidur dan dapat dikelabui. Sebagai warga negara, mereka makin sadar akan hak dan kewajibannya. Kesadaran itu mendorong mereka untuk menunjukkan sikap, keinginan, serta harapannya. Dan, kian hari gerakan itu makin matang.

Saat seperti itu sebenarnya merupakan momentum untuk mereformasi dan melakukan perubahan. Ini adalah waktu yang tepat untuk membuat perubahan substansial pada dunia peradilan yang arahnya adalah pemenuhan rasa keadilan publik dan pemenuhan hak dasar warga negara. ***

12
Nov
09

Skenario Kebenaran

PENGAKUAN Mantan Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Wiliardi Wizar membuat banyak pihak terenyak. Ia menyatakan bahwa keterangan di dalam berita acara pemeriksaan (BAP) sudah dikondisikan untuk menjerat Antasari Azhar, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Perwira polisi ini adalah satu di antara terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana terhadp Nasarudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran. Ia dimintai kesaksian di depan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang tengah mengadili Antasari Azhar dengan dakwaan mendalangi kasus tersebut.

Dengan suara lantang dan bergetar, perwira polisi –yang diadili secara terpisah dalam kasus sama– itu menjelaskan, keterangan yang tertuang dan kemudian ditandatanganinya pada berkas BAP itu dibuat agar bisa menjerat Antasari. Hal itu dilakukan atas tekanan para petinggi di institusinya.

Wiliardi adalah titik hubung Antasari dengan kasus pembunuhan tersebut. Kesaksian dia sesuai dengan yang tertera pada BAP yang ‘dikondisikan’ untuk membuat petinggi (kini mantan) KPK itu ditahan dan kemudian dihadapkan ke pengadilan.

Posisinya itu membuat dia tidak layak memimpin KPK dan harus segera digantikan. Namun penggantinya pun diseret ke ruang tahanan atas sangkaan penyalahgunaan wewenang dan pemerasan.

Belakangan, publik terbuka mata dan telinganya bahwa sangkaan pemerasan yang ditudingkan kepada dua petinggi KPK itu, mirip dengan apa yang terungkap dari rekaman percakapan adik tersangka koruptor dengan sejumlah petinggi penegak hukum.

Di tengah hiruk-pikuk kontroversi yang disusul gelombang keprihatinan publik terhadap bayang-bayang kebobrokan proses penegakan hukum di Tanah Air, apa yang terungkap di persidangan itu makin meneguhkan keyakinan publik tentang ketidakberesan dalam tubuh institusi hukum kita.

Jika apa yang dikemukakan perwira polisi itu benar adanya, tentu saja itu makin melengkapi dugaan sementara pihak mengenai adanya skenario untuk melumpuhkan KPK.

Kita tentu saja tidak dalam posisi menyatakan hal itu benar atau salah. Pernyataan Williardi bisa saja dikesampingkan dan dianggap sebagai pembelaan diri atau apa pun. Tiap orang berhak menyatakan apa yang diyakininya dan apa yang telah dialaminya.

Kita hanya mencoba menangkap fakta yang terungkap di persidangan itu untuk melengkapi keping-keping informasi yang terputus pada mozaik penegakan hukum yang kini sedang jadi sorotan masyarakat.

Bahwa ternyata ada orang sipil yang –dengan kemampuan uangnya– bisa mengakses para petinggi hukum kita. Bahwa ternyata –dengan kekuasaan jabatannya– seorang perwira tinggi bisa membuat perwira bawahannya menyusun kesaksian untuk menjerat orang lain. Bahwa mafia peradilan –yang jadi pergunjingan sejak 30 tahun lalu– bukan lagi isapan jempol, melainkan nyata adanya, teraba indikasi dan tanda-tandanya.

Dalam keadaan seperti itu, rakyat hanya berharap bisa menyalurkan aspirasi kepada dan melalui wakil mereka di lembaga legislatif. Namun, sebagai lembaga politik ternyata lembaga ini belum berpegang pada keadilan, karena tidak bersikap netral dan abai dengan rasa keadilan yang dialami masyarakat, dan seringkali berpihak pada kepentingannya sendiri.

Jika demikian adanya, makin jauhlah bangsa kita ini untuk memperoleh keadilan, karena kebenaran dapat dibeli dan penegak hukum pun disuap.

Jika di tingkat markas besar dan gedung bundar, hal itu bisa terjadi, apalagi di daerah. Kondisi hukum seperti itulah yang memungkinkan segalanya jadi terbalik, pihak yang benar masuk penjara, orang bersalah justru bebas.

Tentu saja hal seperti itu tak boleh dibiarkan berlarut. Diperlukan ketegasan dan keberanian politik dari pemimpin tertinggi negara ini untuk segera menyelesaikannya agar rakyat tidak tambah bingung.

Atau, kita tunggu saja kebenaran itu datang dengan sendirinya.*****

09
Nov
09

Demokrasi Ruang Maya

parlemen-online

KISRUH antara aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi) telah memancing gelombang reaksi yang besar dari masyarakat. Perlawanan publik yang dipicu oleh terkoyaknya rasa keadilan, menjalar dengan cepat melalui berbagai bentuk dan cara.

Ketika partai politik dianggap mandul dan parlemen dirasakan tidak lagi peka menyerap dan memperjuangkan aspirasi, rakyat menyuarakan getaran hatinya melalui media massa. Dan, ketika beragam media massa hanya menyajikan informasi yang seragam, rakyat pun berpaling ke media alternatif: Parlemen jalanan!

Kini, saluran baru untuk menyampaikan aspirasi itu bertambah lagi ketika ruang maya publik (public cyberspace) memberi peluang lebih besar untuk membangun jejaring dalam tempo singkat. Tak sampai dua pekan, lebih sejuta pengguna ‘bukumuka’ (facebook) telah terhubung dan bersekutu dalam sebuah aksi perlawanan. Belum lagi mereka yang menggunakan twitter, blog, dan milis, untuk tujuan sama.

Demokrasi ala ruang maya ini dengan sendirinya telah melengkapi dan memperkuat kecenderungan parlemen jalanan yang sebelumnya sudah jadi wahana penyalur aspirasi ketika saluran-saluran formal dianggap mampat. Ia terbebas dari berbagai tekanan pemerintah, ekonomi, dan partisan politik tertentu lantaran tidak ada yang dapat mengendalikannya.

Ruang maya publik ini telah menunjukkan perannya dalam mengambil alih fungsi-fungsi yang selama ini ini diemban oleh ruang nyata publik seperti gedung parlemen, pasar, toko buku, mal, pusat informasi, galeri, museum serta taman bermain. Dalam kasus Bibit- Chandra dan kisruh seputar penanganannya ini kita melihat bahwa ‘parlemen online’ tidak bisa lagi diabaikan.

Kemampuan dan kecepatannya membangun jejaring, telah memungkinkan aksi-aksi perwalanan dan dukungan terhadap suatu persoalan masyarakat secara lebih besar dan serentak, karena “ruang sidang maya” ini menerobos batas-batas administratif geografis. Ia bisa membuat sebuah gerakan menjadi jauh lebih besar dan meluas dalam tempo yang serentak.

Ya, ruang maya publik telah memungkinklan bertemunya berbagai pihak untuk saling berkomunikasi, menjadi pilihan wacana yang ideal tatkala ketersediaan ruang nyata publik kian menghilang oleh berbagai sebab. Persoalannya kemudian adalah sejauhmana dan bagaimana sebaiknya kita melihat, dan sekaligus terlibat sebagai bagian dari masyarakat ruang maya?

Dalam wacana politik, hal ini mungkin memunculkan optimisme akan peran besarnya sebagai alternatif kekuatan baru yang dapat menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik. Optimisme itu tidak berlebihan karena dari sudut pandang komunikasi politik, internet merupakan saluran komunikasi yang potensial dalam menyalurkan berbagai opini dan gagasan politik yang selama ini tersumbat.

Jika digunakan secara dewasa dan proporsional ia bisa menjadi obat yang mujarab bagi penyembuhan kembali sistem demokrasi yang sedang sakit dalam masyarakat kita. Tentu saja dengan sejumlah persyaratan, di antaranya membangun sikap politik
yang matang dan budaya politik yang dewasa.

Komunikasi politik itu tidak dapat dipisahkan dari berbagai aspek budaya politik seperti sikap mental, etika politik, dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat. Namun berbagai peristiwa yang kita lihat akhir-akhir ini, seringkali menunjukkan bahwa budaya politik para elite masyarakat kita masih jauh dari kata matang dan dewasa.

Dalam kondisi seperti ini bila ruang maya digunakan oleh kelompok masyarakat yang masih sering menafsirkan kata demokrasi sebagai kebebasan mutlak (anarchic democracy) dan boleh melakukan apapun, maka kekuatan alternatif itu bisa berubah wujud menjadi sosok yang mengerikan.

Mengapa? karena wacana alternatif itu akan berubah fungsi menjadi neraka elektronik, tempat orang saling memaki, mengutuk, mengumpat, menghujat, menuduh, dan memfitnah, seperti halnya neraka politik yang telah melanda dunia politik kita sejak tiga dekade silam.

Dalam konteks inilah sebaiknya kita melihat bagaimana seharusnya memanfaatkan ruang maya publik itu dengan lebih bijak, agar betul-betul menjadi saluran alternatif masyarakat dalam proses pencariaannya akan makna kehidupan demokrasi yang lebih baik. (*)

04
Nov
09

Antiklimaks Buaya Vs Cicak

cicak-vs-buaya

AKHIRNYA dua unsur pimpinan (nonaktif) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah,  dikeluarkan dari tahanan, Selasa (3/11) malam. Itu adalah antiklimaks tragedi hukum cicak melawan buaya yang selama dua bulan terakhir digelar di hadapan publik.

Klimaksnya  terjadi siang harinya di Gedung Mahkamah Konstitusi yang hari itu membuka dan memperdengarkan rekaman telepon hasil sadapan KPK atas telepon Anggodo Widjojo, adik kandung Anggoro Widjojo tersangka yang buron dalam kasus korupsi pengadaan alat komunikasi Departemen Kehutanan.

Banyak orang terpana di depan televisi yang menyiarkan langsung sidang MK hari itu. Rekaman itu terdengar vulgar dan menggambarkan bagaimana sebuah kasus dirancang hingga tawar menawar imbalan kepada pihak-pihak yang terkait dalam sebuah rekayasa hukum atas para petinggi KPK.

Isi rekaman itu meneguhkan dugaan tentang adanya persekutuan jahat untuk membungkam petinggi KPK, sekaligus memaparkan kepada kita bagaimana petinggi di lembaga penegakan hukum –dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan– bermain mata dengan pihak yang berkepentingan dengan suatu perkara hukum.

Hal itu sekaligus mengonfirmasi dugaan, kecurigaan, juga keyakinan bahwa selama ini aparat penegak hukum tidak pernah benar-benar menegakkan hukum, melainkan bersekutu dengan pihak yang beperkara untuk menyiasati hukum demi keuntungan pribadi.

Rekaman percakapan itu menambah keyakinan kepada kita semua bahwa praktik mafia peradilan yang selama ini jadi isu dan selalu dibantah penegak hukum, ternyata benar-benar hadir dan nyata adanya.

Tergambar di sana, bagaimana orang seperti Anggodo bisa memainkan peran demikian besar dengan melibatkan para petinggi di kepolisian dan kejaksaan, juga pengacara. Terlukis dengan jelas bagamana dana dikeluarkan dan dialirkan, demi menyelamatkan orang yang seharusnya dipidana dan mencelakakan orang yang justru sedang menegakkan hukum.

Kita terperangah ketika tahun lalu seorang perempuan bisa dengan mudah bermain mata dan bertransaksi perkara dengan orang-orang di Kejaksaan Agung. Kasus jaksa Urip Tri Gunawan mestinya bisa jadi tonggak untuk membersihkan institusi penegakan hukum dari buaya- buaya korup, namun ternyata keadaan justru lebih parah.

Sangat boleh jadi, itulah tamparan paling keras terhadap rezim yang sedang berkuasa. Bahwa selama ini mereka tidak berhasil mengelola institusi penegakan hukum. Bahwa hukum hanya berpihak kepada mereka yang beruang. Reformasi hukum hanya sebatas retorika, tidak pada realita. Dan, hanya menghasilkan oknum-oknum korup yang tak punya rasa malu.

Jika di level atas, para petinggi KPK saja bisa ditelikung oleh rekayasa bertabur uang sehingga kebenaran dijungkirbalikkan, maka bisa dibayangkan apa yang akan terjadi manakala rakyat biasa yang –sengaja atau tidak– harus berurusan dengan hukum?

Dalam masyarakat normal, aparat hukum merupakan sosok yang disegani dan ditakuti karena bisa mengancam orang lain yang mau bertindak di luar hukum. Di Tanah Air kita sebaliknya.

Di sini penyidikan, penuntutan, advokassi, dan keputusan pengadilan dalam setiap kasus, justru sering dijadikan celah terjadinya tindak kriminal di atas perkara kriminal, sepeti korupsi dan kolusi sebagaimana tampak pada kasus Bibit-Chandra maupun kasus Urip Tri Gunawan.

Seharusnya para penegak hukum itu menyadari posisi mereka hari- hari ini di tengah masyarakat yang makin kritis. Dia tak lagi bisa ditipu dan dikibuli oleh aneka rekayasa. Saat mereka tak menemukan kebenaran dari institusi hukum, mereka akan mencari dengan caranya sendiri entah di ruang publik nyata maupun di ruang maya, dan efeknya bisa luar biasa massif dibanding yang bisa diperkirakan.

Kasus Bibit-Chandra versus persekongkolan polisi-jaksa-Anggodo seharusnya menjadi tonggak reformasi hukum yang sebenar-benarnya. Apa yang terungkap dari kasus itu hanya permukaan kecil dari gunung es pemutarbalikan hukum di Tanah Air.

Karena itu, perlu langkah besar kekuasaan untuk membongkar dan membenahinya. Pada titik itulah, presiden –dengan kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya secara konstitusional– bisa melakukan hal itu. Kita tunggu saja! ***