MAHKAMAH Agung (MA) melarang ujian nasional (UN) yang digelar Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Padahal, pemerihtah dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional sudah menerbitkan peraturan tentang pelaksanaan dan jadwal ujian nasional, yakni Maret 2010.
Jadwal UN itu tertuang dalam Permendiknas Nomor 75 Tahun 2009 tentang UN SMP/Madrasah Tsanawiyah, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, SMA/Madrasah Aliyah (MA), SMA Luar Biasa (LB), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tahun Ajaran 2009/2010.
Permendiknas itu ditetapkan di Jakarta, 13 Oktober 2009, oleh Mendiknas Bambang Sudibyo. Pelaksanaan UN utama untuk siswa SMA, MA, SMA LB, dan SMK dilaksanakan minggu ketiga Maret 2010. Untuk siswa SMP, MTs, dan SMP LB, ujian diselenggarakan minggu keempat Maret 2010. UN susulan dilaksanakan seminggu setelah UN utama. Ujian praktik kejuruan siswa SMK dilaksanakan sebelum UN utama.
Keputusan MA merupakan jawaban final atas gugatan yang diajukan warga (citizen lawsuit) melalui Tim Advokasi Korban UN dan Forum Pendidikan. Hal itu menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta 6 Desember 2007 yang juga menolak permohonan banding pemerintah atas putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat.
Sebelumnya, warga menggugat pemerintah dalam hal ini presiden, wakil presiden, menteri pendidikan nasional, dan ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, yang dianggap lalai dalam memberikan pemenuhan hak asasi manusia terhadap warga negara yang menjadi korban ujian nasional.
Pemerintah juga dinilai lalai meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah sebelum melaksanakan kebijakan ujian nasional. Dengan putusan MA tersebut, berarti pemerintah harus segera mengambil langkah konkret sesuai dengan pokok gugatan.
Ujian nasional adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antardaerah. Dalam pelaksanaannya, timbul berbagai persoalan yang antara lain bertumpu pada ketimpangan dan ketidakmerataan kemampuan serta infrastruktur di tiap daerah.
Sejak UU No 20 Tahun 2003 dilaksanakan dalam praktik UN, mutu hasil pendidikan nasional di Tanah Air tak begitu banyak berubah. Malah ada yang berpendapat, bahwa UN sama sekali tidak berpengaruh pada mutu pendidikan nasional.
Bahkan dalam beberapa kasus, UN justru ‘memproduksi’ sikap koruptif dan manipulatif, serta menghalalkan segala cara. UN bukan lagi arena uji intelektualitas peserta didik, melainkan jadi taruhan reputasi pendidik dan lembaga pendidikan.
Fakta di lapangan menunjukkan, UN telah jadi ajang persekongkolan antara guru, murid, kepala sekolah, kepala dinas, kepala daerah demi mengangkat citra sekolah/daerahnya. Segala cara dilakukan agar sekolah dan daerah masing-masing tidak masuk dalam daftar daerah dengan kualitas pendidikan rendah.
Sangat boleh jadi, itulah yang jadi satu di antara faktor penyebab munculnya kecurangan dan penyimpangan dalam tiap pelaksnaan UN bukan lagi sebagai alat atau sarana peningkatan mutu pendidikan, melainkan justru menjadi tujuan itu sendiri. Inilah yang membuat masyarakat gelisah. Kini, kegelisahaan itu sudah terjawab. Ketetapan MA menolak kasasi yang diajukan pemerintah.
Pemerintah harus meningkatkan kualitas guru secara menyeluruh, menyempurnakan kelengkapan sarana prasarana, serta akses informasi di seluruh daerah sebelum melaksanakan ujian nasional.
Persoalannya kemudian, seberapa cepat pemerintah bisa bergerak melaksanakan putusan MA tersebut jika tetap berkehendak melaksanakan UN sesuai jadwal yang sudah ditetapkan? Kita tentu sependapat, bahwa waktu yang tinggal tiga bulan tidak cukup untuk memenuhi keputusan tersebut.
Di sisi lain, masyarakat tak ingin lagi anak-anaknya menjadi kelinci percobaan atas kebijakan pendidikan akibat tiap ganti rezim ganti pula kebijakan. ***