MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) Malang Jawa Timur mengeluarkan fatwa haram atas film “2012 Doomsday” atau Kiamat 2012. Keberatan atas peredaran film ini juga disampaikan Ketua Komisi Fatwa MUI Kalsel yang meminta instansi terkait segera menghentikan pemutaran film itu. Para ulama beralasan, film tersebut bisa menggiring masyarakat untuk percaya bahwa kiamat terjadi pada 2012.
Terkait dengan sikapnya itu, para ulama di dua daerah ini akan dimintai keterangan MUI pusat. Ketua Koordinasi Fatwa MUI pusat menegaskan, tiap MUI daerah berwenang mengeluarkan fatwa namun sebaiknya berkoordinasi dengan pusat. Sebelumnya MUI pusat menyatakan tak ada rencana mengharamkan bagi film 2012, karena isinya hanya khayalan dan tidak menyesatkan.
Sejatinya film arahan sutradara Roland Emmerich itu memang fiksi semata. Ceritanya diilhami mitos suku Maya Amerika Tengah, bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi di akhir kalender. Ketika dicocokkan ke penaggalan Masehi, akhir zaman versi Maya itu jatuh pada 21 Desember 2012.
Sebagai khayalan, fiksi, tak ada yang istimewa dengan fim ini. Seseorang boleh saja mengkhayal dan menyampaikan khayalannya kepada banyak orang. Secara sinematik, film ini pun tak jauh beda dengan film fiksi ilmiah lain yang memanfaatkan betul teknologi digital untuk menciptakan efek-efek visual yang lebih dramatis.
Sejumlah film dengan tema sejenis pernah pula dibuat dan diputar di bioskop dan disiarkan televisi di tanah air, namun tak pernah ada fatwa yang menyatakannya haram. Para ulama berpendapat film Kiamat 2012 patut diharamkan karena seolah mendahului ketentuan dan rahasia Tuhan.
Publik –terutama kalangan umat Islam– di Indonesia tentu sepakat bahwa para ulama adalah penjaga akhlak dan lembaga pedoman bertauhid. Belakangan, peran majelis ulama ini juga melebar jadi lembaga yang mengikuti dan mengontrol penerapan syariah, bahkan dalam beberapa kasus memasuki ranah kontrol budaya dan politik.
Di masa ordo silam, majelis ini pernah memfatwakan haram merayaan Natal bersama, bunga bank, dan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Beberapa waktu lalu MUI juga mengeluarkan fatwa bahwa merokok itu haram, demikian juga golput (tidak ikut memilih pada pemilihan umum). Bahkan, sempat santer akan ada fatwa haram menggunakan jejaring sosial bukumuka (facebook).
Kita tentu tidak dalam posisi menolak atau menerima fatwa, dan tidak hendak mencampuri peran majelis ulama sebab fatwa adalah produk hukum yang memang sangat dikenal dalam masyarakat Islam. Tiap negara Islam (dan yang mayoritas penduduknya muslim) memiliki lembaga fatwa tersendiri, dan ada proses serta mekanisme yang ketat yang mengawali terbitnya suatu fatwa.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah sedemikian genting dan bingung umat Islam di tanah air, sehingga tidak lagi bisa membedakan anatara khayalan yang dipertontonkan dengan realitas, dan oleh karena itu perlu panduan para mufti dengan fatwanya untuk memandu apa yang harus mereka tonton dan apa yang tidak?
Masyarakat saat ini telah makin cerdas dan tidak akan mudah terpengaruh cuma oleh film. Mereka dapat membedakan mana yang nyata dan mana yang sekadar angan-angan atau khayalan. Karenanya, ketergesa-gesaan mengeluarkan fatwa hanya akan mempercepat kemandulannya. Dengan atau tanpa difatwakan, masyarakat sudah bisa menarik sendiri kesimpulan untuk dirinya.
Kehadiran para ulama masih sangat diperlukan di tengah masyarakat.
Di tengah situasi yang dari hari ke hari makin menunjukkan dekadensi, kita memerlukan polisi moral yang ujaran dan fatwa-fatwanya makin hari kian berwibawa dan bahkan bisa dijadikan landasan untuk suatu kebijakan.
Apa yang tampak dari sederet fatwa yang sudah diserukan kaum ulama, menunjukkan bahwa kekuatannya tidak lagi signifikan untuk mengikat perilaku. Contoh konkret adalah haram Golput dan rokok, yang ternyata tak berpengaruh banyak. Jumlah Golput tetap naik, jumlah perokok tetap bertambah.
Kita tidak berharap bahwa suatu saat masyarakat tak lagi mau mendengar dan tak mau peduli kepada para ulama karena fatwanya tidak lagi menjawab persoalan kontemporer umat. Kita khawatir, suatu saat masyarakat mengabaiakan sama-sekali fatwa MUI, padahal itu bersifat darurat dan sesuai syariah.**