Arsip untuk Januari, 2010

25
Jan
10

Buruk Muka Vs Bukumuka

BERITA ini mungkin tak terlalu penting bagi orang-orang penting yang sedang memusatkan perhatian dan mengerahkan segala daya menghadapi pemilihan umum kepala daerah. Sangat boleh jadi, kabar itu tak pula cukup menarik bagi mereka yang sedang terpukau oleh sinetron politik Bank Century.

Di Kabupaten Tabalong, 19 pelajar Sekolah Menangah Atas (SMA) dihukum gara-gara mengkritik perilaku guru mereka. Hukuman fisik itu berupa kerja bakti membersihkan sekolah, sambil leher mereka digantungi karton bertuliskan pengakuan bahwa mereka diskorsing karena melecehkan guru.

Tak ada yang istimewa dalam peristiwa ini. Murid sesekali nakal, termasuk menggunjingkan guru, adalah hal biasa. Demikian pula guru menghukum murid yang dianggap bertindak keterlaluan, adalah wajar sepanjang hukuman itu masih dalam koridor pendidikan.

Peristiwa ini jadi menarik karena apa yang dilakukan para remaja itu, mempergunjingkan guru mereka melalui dinding percakapan tertulis di jejaring sosial bukumuka (facebook). Di kota yang sepi (kira-kira 5 jam perjalanan darat dari Banjarmasin) itu, rupanya para remaja menemukan keasyikan baru di dunia maya.

Dalam kesuntukan bercengkerama, mereka bergunjing tentang seorang gurunya. Sang guru marah dan menggunakan kekuasaannya untuk menghukum para pelajar itu, bahkan mengancam tidak meluluskan dan tidak menaikkelaskan mereka.Sejak itu, pihak sekolah juga melarang siswa membawa telepon genggam dan laptop ke sekolah.

Pada satu sisi, represi semacam ini tentu sah saja dilakukan oleh pihak sekolah sepanjang sesuai aturan internal mereka dan tidak dalam niatan nuntuk membungkam hak atas kebebasan memperoleh informasi dan hak atas kebebasan berpendapat para siswa. Di sisi lain, peristiwa ini juga menunjukkan tumbukan antara pesatnya perkembangan teknologi dengan cara dan sikap kita menghadapi serta memasuki dan larut di dalam perlkembangan itu.

Dalam tiga dekade ini perkembangan teknologi informasi telah membangkitkan optimisme menjadikan cyber-technology sebagai kekuatan alternatif yang mampu menciptakan kemajuan di berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan.

Enam tahun silam, Mark Zuckerberg seorang remaja putus sekolah memilih menekuni komputer di kamarnya, dan kini lebih 200 juta orang terhubung berkat facebook yang diciptakannya. Di Indonesia, pertumbuhan jumlah pengguna bukumuka ini adalah yang tertinggi dan tercepat setelah Amerika Serikat.

Menurut data, pada 1 Desember 2009 ada 13,8 juta pengguna bukumuka di Indonesia, sebulan kemudian yakni 1 Januari 2010 jumlahnya meningkat pesat jadi 15,3 juta pengguna.

Bisa dipastikan, 19 siswa SMA di Tanjung pun, termasuk dalam jumlah ini. Ini menunjukkan bahwa teknologi informatika telah membuka sekat-sekat yang di masa silam jadi penghambat komunikasi, yang sekaligus seharusnya membuka pula wawasan baru bagi para pelakunya, termasuk di dalamnya adalah para pendidik.

Arus informasi tidak bisa lagi dibendung hanya dengan arogansi jabatan seorang guru, misalnya, atau oleh keangkuhan kekuasaan sekolah sebagai institusi.

Ruang maya publik yang di dalamnya bertemu berbagai pihak untuk saling berkomunikasi, menjadi pilihan wacana ideal tatkala ketersediaan ruang publik makin terbatas. Mau tak mau, ruang maya publik kini telah ikut menggantikan fungsi-fungsi yang selama ini diemban oleh ruang kelas, aula, toko buku, mal, pusat informasi, gedung parlemen, galeri, museum serta taman bermain.

Dari sisi inilah akan lebih bijak andai para pendidik memanfaatkan betul ruang maya itu untuk mempercepat sekaligus mempererat interaksi dan interelasi mereka dengan peserta didik. Pada ruang itu, baik murid maupun guru, terbebas dari sekat-sekat psikologis yang mungkin terdapat manakala bertatap muka secara langsung.

Dinamika pendidikan bisa jadi lebih semarak karena tidak hanya berlangsung di lingkungan kampus atau kompleks sekolah, dan tidak lagi dibatasi waktu.

Guru bisa bercengkerama secara lebih akrab dengan murid-muridnya melalui jejaring sosial bukumuka, demikian pula murid-murid. Tugas-tugas sekolah, pekerjaan rumah, bisa dibicarakn dan dikonsultasikan dengan lebih rileks melalui media seperti itu.

Membatasi apalagi memberangus kesempatan para murid untuk berinteraksi di dalam arus informasi adalah tindakan percuma dan kontraprodukitif. Sekolah bisa saja melarang murid membawa telepon genggam atau komputer jinjing (laptop) ke sekolah, tapi pencarian dan petualangan ingtelektual para siswa tak akan pernah bisa dibatasi.

Penjelajahan terhadap semesta pengetahuan yang kini makin dipermudah tekonolgi informasdi itu pula yang membuat Mark Zuckerberg jadi orang termuda (pada usia 23) paling kaya di dunia atas usahanya sendiri.

Artinya, guru dan para pengelola sekolah seharusnya lebih cerdas dalam membaca dan menindaklanjuti perkembangan teknologi. Bukan malah menutup diri dengan memamerkan kekuasaan.**

18
Jan
10

Hasrat Berkuasa

HOROR itu tiba-tiba menyentak kembali. Lima potongan tubuh manusia ditemukan bercecer di tempat terpisah di Jakarta. Ibu kota geger.  Jika para juru berita televisi tidak sedang ‘menggoreng’ skandal Bank Century, sudah bisa dipastikan berita horor itu akan jadi topik besar dan menasional, yang akan terus menerus disajikan kepada publik sebagaimana kasus serupa yang terjadi dua tahun lalu.

Saat itu publik dikejutkan berita penemuan mayat terpotong tujuh di dua lokasi di Jakarta. Belakangan terungkap, ia adalah korban pembunuhan yang diikuti mutilasi. Pelakunya, Veri Idham Heniansyah alias Ryan, ternyata pula telah membunuh 10 korban lain. Semua mayat korban dikubur di pekarangan belakang rumah orangtua pelaku di Jombang, Jawa Timur.

Peristiwa terbaru di Jakarta juga menampilkan pola yang mirip, yakni keberuntunan. Korban bukanlah yang pertama, sebab sebelumnya sang pelaku telah menghabisi tujuh korban lain. Berbeda dengan kasus Ryan yang korbannya orang-orang dewasa, pada kasus terakhir korbannya adalah anak-anak berusia 9-12 tahun. Selain dibunuh dan kemudian dicincang, anak-anak lelaki itu juga mendapat kekerasan seksual, sebagaimana yang pernah terjadi pada kasus Robot Gedek beberapa tahun lalu.

Merujuk pada catatan yang ada, pembunuhan yang diikuti mutilasi mulai jadi berita di Tanah Air sejak 1960-an. Pelakunya, Aminah akhirnya mendekam di LP Bukit Duri. Ia membunuh korban kemudian menyembunyikannya di bawah tempat tidur dan dipotong sedikit demi sedikit dijadikan bahan dasar sayur sop yang dijual di kedainya. Satu dasawarsa kemudian, Nurdin Kotto, seorang pejabat swasta jadi korban pembunuhan dan mutilasi.

Pada 1980, seorang perempuan dicincang jadi 13 bagian. Potongan tubuhnya ditemukan di Jalan Sudirman Jakarta. Setelah itu, hampir tiap tahun terjadi horor serupa di berbagai tempat di Tanah Air.

Kian hari,  peristiwa serupa makin sering terjadi, dari lima kasus (2007) menjadi 12 kasus (2008). Dan, awal tahun ini dibuka oleh horor keji yang menimpa delapan anak. Pelakunya juga lelaki jalanan yang sangat boleh jadi, tiap hari jadi ‘pelindung’ atau bapak jalanan bagi anak-anak tersebut.

Fakta-fakta di atas tampaknya sekadar gambaran permukaan,  bahwa diam-diam sesungguhnya kita semua memiliki naluri keji yang bisa saja tiba-tiba terpancar tak terkendali di tengah suatu situasi.

Dari rangkaian peristiwa itu kita melihat kecenderungan, jika tidak karena dipicu orientasi materi, maka peristiwa itu dipicu oleh keinginan balas dendam atas masa silam dan hasrat untuk menunjukkan kekuasaan tak terhingga atas pihak lain.

Bagi sebagian orang, orientasi yang demikian tinggi atas materi bisa membuatnya tidak lagi menghargai (nyawa) orang lain. Bagi sebagian lain,  balas dendam atas kekalahan masa lalu bisa saja menjadi pemicu utama tindakannya menghalalkan segala cara, termasuk membunuh, untuk mengekspresikan bahwa dirinya mampu berkuasa atas pihak lain.

Peristiwa-peristiwa itu seakan meneguhkan keyakinan, bahwa kekejaman bisa muncul begitu saja dan menjalari karakter seseorang di antara sekelompok manusia. Perilaku macam itu bisa diidap siapa pun. Orang boleh saja bergidik, ngeri dan jijik. Bisa pula takut, jangan-jangan ada juga orang di dekatnya yang berperilaku seperti pembunuh kejam itu.

Tapi kalau ditelusuri ke belakang dan mencoba menatap realitas kekinian, rasanya kita tak perlu kaget benar. Apalagi takut. Bukankah di dalam diri tiap manusia pun ada unsur genetik yang mewarisi kecenderungan hewani seperti itu? Hanya saja, kekejian dan spirit membunuh tidak dipraktikkan langsung dengan mencincang sesama, melainkan dengan ‘membunuh’ peluang dan ‘memakan’ pihak lain.

Kenyataan sehari-hari menunjukkan dengan jelas, bahwa makin hari kita melihat kian banyak saja orang yang rakus dan buas. Mereka tak segan-segan ‘membunuh’ kawan, menipu teman, memeras orang lain, dan mengisap hak mereka.

Jadi, para pembunuh dan pelaku mutilasi itu mungkin belum apa-apa dibanding sebagian di antara kita yang kadang ternyata lebih keji dan kejam. Di gedung parlemen, misalnya, hari-hari ini kita menyaksikan bagaimana para politisi mencecar, menguliti, mencincang, dan –kalau perlu– menghabisi lawan politik atau pihak lain yang menurut mereka layak dihabisi.

Kita juga masih menyaksikan kekejaman serupa, entah itu di kamar-kamar birokrasi, gedung bursa, kantor penegak hukum, jalan, pelabuhan, pasar, dan di tempat lain.

Sebagian di antara kita yang bertabiat jagal itu seringkali tampil sedemikian elegan di balik jas dan dasi berkelas, bermobil mengkilap, beristri (dan selingkuhan) cantik, molek, dan seksi. Lebih hebat lagi, seringkali orang-orang macam itu merasa tidak sedang melakukan kekejaman dan kekejian, meski hampir tiap waktu ‘memakan’ sesama. ***

13
Jan
10

Mulutmu!

SKANDAL Bank Century terus menggelinding sebagai isu panas yang hari-hari ini disodorkan kepada publik sebagai tontonan siaran langsung televisi. Melalui siaran itu publik di seluruh pelosok tanah air bisa menyaksikan, mengikuti, dan menyimak, bagaimana para wakil rakyat mengupas, meneliti, mencari jawaban, menuntut penjelasan dari berbagai pihak terkait.

Berbagai hal yang oleh banyak kalangan dinilai sebagai keganjilan dalam proses pengucuran dana talangan pemerintah terhadap bank kecil yang kolaps karena salah urus itu, dipertanyakan oleh para anggota Panita Khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada orang-orang yang dianggap terlibat.

Hal yang paling ingin ditekahui publik adalah bagaimanakah nasib duit rakyat sebesar Rp 6,7 triliun? Mengapa dana sebesar itu dengan mudah diberikan oleh pemerintah? Atas pertimbangan apakah Bank Indonesia merekomendasi untuk memberi dana talangan kepada institusi bodong seperti Bank Century.

Seputar itulah tanya jawab para wakil rakyat dengan orang-orang yang dianggap terlibat dalam skandal ini. Dewan telah memanggil dan memintai keterangan para pejabat tinggi baik yang sudah tidak lagi menjabat, maupun yang justru telah menduduki jabatan lebih tinggi dari sebelummya.

Publik belum bisa menangkap arah penyelesaian kasus tersebut, karena memang masih dalam proses yang kali ini sudah masuk ke parlemen, sudah di lembaga tertinggi, lembaga wakil rakyat. Artinya, persoalan ini betul betul serius, menyangkut kepentingan bangsa dan negara, menyangkut kepentingan rakyat dan kelangsungan hidupnya. Jika tidak, tak mungkin masalah ini sampai ditangani DPR.

Sebagai lembaga tertinggi, DPR tentu merupakan lembaga terhormat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukannya pun, pasti menggunakan tata cara yang bersandarkan pada kaidah-kaidah moral dan budi pekerti sebagaimana yang lazim berlaku dalam forum terhormat. Orang-orang yang hadir mengikuti agendanya tentu juga terikat –sertidaknya harus bisa menyesuaikan diri– dengan kehormatan forum dan lembaga tersebut.

Di luar penting dan seriusnya masalah yang dibahas, publik beruntung dapat menyaksikan juga pola perilaku para pembahas, dan mereka yang –dengan berbagai status dan jabatannya– turut hadir dalam forum yang seharusnya terhormat itu. Publik dengan leluasa menyaksikan debat antara wakil-wakil rakyat dengan orang-orang yang dimintainya keterangan. Atau, juga di antara mereka sendiri, maupun perilaku orang yang hadir dalam forum tersebut.

Peristiwa pertama yang sangat mengejutkan dan seharusnya mencederai perasaan publik adalah ketika seroang wakil rakyat memaki dengan kata-kata amat kasar, ketua sidang. Kata-kata yang hanya pantas diucapkan di jalanan dalam konteks orang jalanan, tentu tak layak digunakan seorang wakil rakyat dalam forum terhormat yang sedang membahas persoalan besar bangsa dan negara.

Peristiwa berikut adalah ketika seorang yang turut hadir langsung –meski bukan peserta– dalam sidang parlemen itu memaki dan menghujat seorang wakil presiden. Betul bahawa yang bersangkutan hadir sebagai mantan gubernur BI, bukan sebagai wakil presiden, namun hal itu tak membuat siapa pun bebas memaki, menghujat, melontarkan kata-kata kotor. Insiden serupa, terjadi hari berikutnya di tempat sama kepada menteri keuangan.

Jangankan kepada orang yang telah dipercaya –dipilih rakyat– untuk jadi (wakil) pemimpin negeri atau kepada menteri, kepada sesama rakyat biasa pun, hujatan dan hinaan adalah perbuatan yang tidak patut. Jangankan di ngedung  dewan, yang jadi simbol kehormatan rakyat atas kedaulatannya, di jalanan pun baku-maki tentulah bukan hal yang pantas.

Betul bahwa kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat dijamin serta dilindungi undang- undang. Namun dalam konteks kebebasan itu pula seharusnya kita menjunjung tinggi kehormatan dan penghargaan atas sesama. Apa yang dipertontonkan seorang wakil rakyat yang memaki sejawatnya dalam forum terhormat yang terbuka untuk umum, tentu tidak mencerminkan penghormatan dan penghargaan tersebut.

Demikian pula apa yang ditunjukkan seorang aktivis yang neghujat  wakil presiden, dan dua mahasiswa yang memaki menteri di sela-sela forum terhormat di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, tentu bisa kita kelompokkan ke dalam perbbuatan yang tidak patut, tidak menunjukkan budi pekerti dan penghormatan atas sesama.

Predikat wakil rakyat, aktivis prorakyat, mahasiswa, tidak serta merta mengesahkan seseorang untuk bertindak-tanduk dan berperilaku sekehendak hati tanpa memperhatikan tata krama dan sopan santun. Predikat-predikat itu seharusnya justru mencerminkan sosok dan jatidirinya sebagai manusia, sebagai orang yang memang patut menyandang predikat tersebut.

Masyarakat tentu akan marah jika dikatakan bahwa sosok wakil rakyat, aktivis, mahasiswa  yang gampang memaki adalah, adalah cerminan dari karakter asli mereka. Perilaku seperti itu hanya menunjukkan bahwa orang-orang tersebut –meski sudah dibajui wakil rakyat, aktivis, maupun mahasiswa– ternyata belum bisa mengendalikan ucapannya, belum bisa mengendalikan dirinya sendiri.

Bagaimana mungkin seseorang diberi kepercayaan untuk mengendalikan urusan yang begitu besar seperti membongkar kasus skandal Bank Century,  jika mengurus diri sendiri saja tak becus. Jadi, sebelum membongkar tuntas kasus itu, sebelum menggerakan dinamika mengelola negara dan bangsa, ada baiknya kita semua bercermin untuk meneropong diri kita masing- masing. Sudah patutkah atau belum? ***

07
Jan
10

Tradisi Cendekia

BOLA api skandal Bank Century masih terus menggelinding, dan panasnya menjalari pihak- pihak yang dindikasikan terkait. Di Senayan, para wakil rakyat sibuk membedah dan berusaha menguarai misteri di balik kasus itu. Sejumlah (mantan) petinggi Bank Indonesia (BI) sudah dipanggili dan dimintai keterangan. Diskusi dan debat mengenai hal itu juga berlangsung dalam berbagai forum, remsi maupun tidak.

Di luar persoalan inti, heboh yang meledak menyusul terbitnya buku Membongkar Gurita Cikeas, di Balik Skandal Bank Century juga masih berbuntut. Selain diskusi yang membahas isi buku karya George Junus Aditjondro itu, muncul pula kasus hukum yang melibatkan sang pengarang menyusul tindakannya menampar seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam sebuah diskusi.

Di tengah keramaian itu muncul pula pihak-pihak yang memanfaatkan situasi. Mulai dari pembajak buku dengan cepat memanfatkan promosi gratis liputan media atas kontroversi dan langkanya buku tersebut di pasaran, penjual buku yang melipatgandakan harga, sampai penulis yang dengan segera menerbitkan publikasi yang berbau Cikeas, Bank Century, maupun George J Aditjondro.

Satu di antara publikasi itu, kemarin diluncurkan. Judulnya Hanya Fitnah & Cari Sensasi, George Revisi Buku. Bentuknya seperti buku, tebalnya 31 halaman, dicetak di atas kertas putih mengilap, menampilkan foto dan ilustrasi berwarna. Meski penulisnya menepis jika karyanya itu disebut sebagai tandingan atas buku George, orang justru  menganggap sebaliknya. Karena, publikasi itu dilakukan di tengah serunya kontroversi atas isi buku tersebut.

Buku Gurita Cikeas memancing pro-kontra yang keras dan tajam. Selain karena menyentuh isu aktual yakni skandal Bank Century, juga karena memuat hal yang menyangkut tokoh-tokoh yang sedang berkuasa dan yang berada di lingkaran kekuasaan. Banyak pihak menganggap buku itu sekadar sensasi, sampah, bahkan fitnah. Namun tak kurang pula pihak yang menganggap isi buku itu menguak apa yang selama ini tak tersingkap kepada publik.

Tiga tahun sebelum ini, George menulis buku Korupsi Kepresidenan Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa. Sebelum itu, dia menulis Dari Soeharto ke Habibie. Buku-buku itu, juga sebagian besar buku yang ditulisnya, berisi tentang saling-silang gurita korupsi menjalari hampir semua sendi kehidupan bangsa Indonesia.

Ada atau tidak kontroversi mengenai buku itu, sikap kita terhadap korupsi tentu sudah jelas. Kita telah menyaksikan dan merasakan bagaimana korupsi dan kronisme telah menghancurkan ekonomi negara. Di masa lalu, dengan sokongan dari partai penguasa dan militer, istana seakan dikelilingi koruptor yang mencari keuntungan buat diri mereka sendiri.

Kita tentu harus sepakat bahwa pemberantasan korupsi hendaknya tidak terfokus pada tokoh, melainkan pada sistem. Sistem kapitalis secara otomatis dapat menciptakan peluang korupsi dan suap, karena di dalamnya terjadi tawar menawar antara penguasa dan pemilik modal. Apalagi ketika hukum ternyata tidak bisa menuntaskan korupsi, melainkan justru jadi ajang korupsi pula.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, banyak pihak menganggap Gurita Cikeas tak bisa dihadapkan langsung dengan Hanya Fitnah. Jika banyak pihak menganggap isi buku pertama adalah picisan dan sampah karena cuma gabungan dari berbagai sumber sekunder, seperti internet, jurnal, dan koran, maka buku kedua adalah tanggapan penulisnya terhadap penggalan- penggalan isi buku pertama.

Kita tentu tidak dalam posisi menilai kedua buku itu baik atau buruk, sempurna atau tidak, serius atau asal-asalan, sahih atau daif,  sebab yang paling penting adalah apa manfaat yang bisa direguk oleh masyarakat dari keduanya dan dari keriuhrendahan kontroversi, diskusi, dan debat –yang kadang melenceng menjadi debat kusir itu.

Hal paling utama tentu saja manfaat intelektual. Jika semua kontroversi itu berlangsung dalam semangat kecendekiaan, maka masyarakat makin diajak memasuki ruang terbuka bagi dialog yang cerdas. Dialog yang mengetengahkan argumen logis. Dialog yang menjunjung tinggi kehormatan nalar, menghormati perbedaan pandangan, dan lebih mengutamakan otak daripada otot. Lebih mendahulukan pikiran daripada pukulan.

Pendapat dihadapkan dengan pendapat, pemikiran dilawan oleh pemikiran, gagasan diadu dengan gagasan, fakta dibandingkan dengan fakta. Tradisi kecendekiaan seperti itu perlu terus ditumbuhkan dan makin dikembangkan untuk mengisi dan memaknai era keterbukaan yang hari- hari ini sudah dinikmati.

Tanpa tradisi kecendekiaan yang disertai kedewasaan, keterbukaan hanya akan menghasilkan kebebasan tanpa batas. Di mana orang seakan bebas mencaci-maki, bebas memfitnah, bebas berbuat seenaknya. Hal itu tentu sangat tidak diharapkan siapa pun, karena hanya akan menyeret kita pada konflik yang meluas. Tidak saja konflik ‘pemikiran’ tapi konflik fisik antarindividu, bahkan antarkelompok dan antargolongan.**

07
Jan
10

membaca wasiat

KEPERGIAN KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggalkan warisan yang tak ternilai. Wasiat tak tertulisnya dia utarakan melalui sepak terjang dan lontaran-lontaran pemikiran. Wasiat itu harus dibaca dan dimaknai sebagai spirit kebhinnekaan, ruh demokrasi, bagi kehidupan anak-anak bangsa yang ditinggalkannya.

Belum genap sepekan, ibaratnya air mata duka belum kering dan tanah makam pun masih gembur sepeninggal Gus Dur, sudah muncul klaim, pengakuan sempit mengenai wasiat, restu, amanat, yang oleh masing-masing orang diterjemahkan sesuai dengan kepentingannya.

Sekadar contoh, tokoh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang sedang berseberangan sama-sama mengaku diwasiati untuk menyelamatkan partai yang didirikan Gus Dur itu. Satu pihak menyatakan mendapat amanat untuk memprakarsai islah, rekonsiliasi, rujuk.

Pihak lain menyatakan, kepadanyalah Gus Dur berwasiat agar membersihkan partai dari orang-orang yang perilaku politiknya kotor. Pihak lain lagi meyakinkan bahwa tak ada wasiat politik apa pun dari Gus Dur bagi kedua belah pihak yang berseteru itu. Di luar partai, ada pula orang yang dengan sangat percaya diri menyatakan memperoleh restu Gus Dur untuk maju ke pemilihan kepala daerah.

Terlepas dari benar atau tidaknya pengakuan-pengakuan tersebut — karena memang tak akan dapat dikonfirmasi– hal paling penting dicermati, adalah sedemikian mudahnya orang memanfaatkan kepergian tokoh besar itu untuk kepentingan individu dan kelompoknya.

Tidak adakah sedikit rasa hormat, sekadar untuk menunda pelepasan birahi politik? Atau sedemikian buta-tulinyakah tokoh-tokoh yang berkepentingan –dengan wasiat, restu, dan apa pun– itu sehingga tak kuasa menanti suasana duka berlalu dahulu? Bukankah akan lebih baik mempercakapkan hal itu manakala situasi sudah tenang, emosi sudah stabil, dan pikiran sudah jernih kembali?

Namun itulah yang sedang terjadi. Pelajaran, wasiat, dan warisan yang selama ini dipersembahkan Gus Dur, tampaknya belum juga bisa diterima, diserap, dan diterjemahkan dengan baik. Kita masih tetap berpikir untuk diri dan kelompok. Padahal, Gus Dur telah memberikan teladan konkret tentang bagaimana dia menghablurkan diri demi kepentingan kebersamaan sebagai bangsa. Meski untuk itu, dia harus melepaskan kepentingannya sendiri.

Harus kita akui, pemikiran Gus Dur yang tajam dan cemerlang terutama dalam soal soal kebangsaan khususnya tentang kesatuan dalam perbedaan dan kebedaan dalam persatuan, telah berperan besar bagi perjalanan bangsa. Sikap dan perilaku itulah yang mesti diikuti, ditiru, dan dilaksanakan dalam tindak-tanduk keseharian.

Wasiat dan warisan yang selama ini diamanatkan Gus Dur, haruslah dibaca sebagai sikap saling menghormati segala bentuk perbedaan demi tercapainya tatanan masyarakat yang demokratis. Perbedaan adalah kodrat yang menjadi rahmat bagi manusia, karena di antara perbedaan itu kita menemukan kesamaan untuk mengikat persatuan.

Sikap seperti itulah yang hari-hari ini diperlukan dalam kehidupan kita sebagai bangsa yang sedang memasuki –dan larut dalam eforia– kebebasan, karena tanpa toleransi dan tanpa penghormatan atas hak-hak dasar pihak lain, kebebasan justru bisa menimbulkan perpecahan. Tanpa adanya saling pengertian dan saling memahami, kebebasan satu pihak hanya akan bermakna sebagai ketidakbebasan bagi pihak lain.

Gejala ke arah perpecahan dengan mudah kita temukan di hampir semua segi kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya, bahkan dalam kehidupan keberagamaan. Karena itulah, sebelum telanjur mengumbar hasrat politik, alangkah baiknya jika politisi –dan semua anak bangsa– membaca dan merenungkan kembali wasiat sejati Gus Dur. ***