PEMILIHAN umum Kepala Daerah di Kalimantan Selatan berlangsung Juni 2010. Dalam tempo yang relatif bersamaan pula, berlangsung hal sama di Kalimantan Tengah.
Secara formal, pemilu belum dimulai karena proses resminya baru akan diawali sekitar akhir Maret. Namun sejak akhir tahun lalu gema pesta demokrasi ini sudah terasa. Bahkan kini para kandidat tanpa malu-malu jor-joran berkampanye mengumbar syahwat politik melalu aneka macam cara.
Ada tujuh pemilu kepala daerah yang serentak digelar pada bulan yang sama di Kalsel, yakni pemilihan gubernur dan wakil gubernur, dua pemilihan walikota dan wakil walikota, serta empat pemilihan bupati dan wakil bupati. Semantara di Kalteng ada empat pemilihan kepala daerah.
Bisa dipastikan, dinamika sosial selama enam bulan ke depan akan sangat dijalari gejolak politik di dua provinsi bertetangga ini. Pengerahan sumber daya dan sumber dana daerah akan tercurah pada agenda rutin lima tahunan ini, demi memenuhi hasrat politik para pelakunya.
Pengaruhnya akan langung dirasakan oleh masyarakat umum, dan oleh kalangan dunia usaha. Masyarakat umum di beberapa daerah akan merasakan, pada skala tertentu, layanan terhadap mereka akan terganggu oleh aktivitas kepala daerahnya yang maju lagi ke arena pemilihan.
Sulit memisahkan peran antara dia sebagai calon kepala daerah, dengan dia sebagai pemangku jabatan yang kepadanya melekat berbagai keistimewaan perlakuan. Diakui atau tidak, hal ini tetap akan membawa implikasi terhadap kelancarana dan kenyamanan pelayanan terhadap warga.
Di sisi lain, dunia usaha akan terpengaruh oleh perputaran dana yang terkonsentrasi pada bisnis politik, atau bisnis yang terkait dengan aktivitas politik. Dalam periode tertentu, sektor bisnis lain bisa jadi mengalami stagnasi atau bahkan penurunan.
Namun proses ini tetap harus dijalani karena sudah jadi kesepakatan bersama bahwa demokrasi adalah jalan terbaik saat ini bagi bangsa kita yang baru lahir kembali melalui pembedahan total reformasi sebelas tahun silam.
Idealnya, pemilihan langsung bisa jadi obat mujarab bagi borok- borok demokrasi. Dengan catatan, pemilihannya berlangsung jujur, adil, lurus, polos, tanpa tekanan, tanpa politik uang. Meski kita semua paham bahwa mesin politik saat ini tak pernah bisa bergerak tanpa bahan bakar bernama uang.
Kita tentu pula maklum, pemilihan kepala daerah secara langsung memerlukan dana sangat besar, mulai dari ongkos sosialisasi, kampanye para calon, biaya penyelenggaraan, upah para penyelenggara, dan lain sebagainya. Padahal pemerintah tidak cukup makmur untuk menggelontorkan dana tanpa batas bagi terselenggaranya demokrasi seperti ini.
Pemerintah –pusat dan daerah– tentu saja sudah menyusun anggaran untuk membiayai perhelatan demokrasi ini. Namun sudah bisa dipastikan dana itu tidak akan mencukupi. Di sinilah celah itu terbuka. Orang atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan kebijakan-kebijakan yang mungkin diambil oleh kepala daerah terpilih, tentu tak akan menyia-nyiakan celah itu.
Taruhlah juragan tambang liar, pengelola judi, pelacuran, bisnis kayu curian atau mereka yang selalu berlindung di balik bisnis “Spanyol” alias separo nyolong, pasti akan mengerahkan segala sumberdaya dan dananya agar kepala daerah terpilih merupakan orang yang tidak akan mengusik bisnis mereka.
Jika kalangan ini –yang menguasai uang– bisa mengongkosi seorang calon kepala daerah supaya terpilih, tentunya sang kepala daerah terpilih akan memihak mereka. Bagaimanapun, kebijakan mereka nanti tidak akan bisa terlepas dari balas budi sang pemodal.
Jika sudah sampai pada tahap demikian, semangat demokratisasi yang terkandung dalam pemilihan langsung kepala daerah, tentu hanya akan jadi bungkus yang akan membuat kita “seolah-olah” demokratis. Padahal semua dari kita tentu sepakat, pemilihan langsung kepala daerah adalah wujud sejati kedaulatan rakyat dalam menentukan pemimpinnya.
Jika berlangsung secara tepat sesuai dengan semangatnya, momentum ini tentu merupakan peningkatan kualitas demokrasi. Setidaknya, keinginan rakyat untuk memilih pemimpin mereka tidak lagi dialirkan melalui wakil yang selama ini justru tampak lebih sering mendustai pihak yang diwakilinya.
Apalagi rakyat masa kini di mana pun sudah tidak sudi lagi terus menerus dikibuli. Mereka pasti akan memilih pemimpin yang paling sesuai aspirasinya, dan tidak akan menjatuhkan pilihan pada orang yang cuma berkoar-koar mengobral janji dan sibuk memoles diri.