08
Mar
10

Barito, Siapa Peduli?

SUNGAI Barito yang jadi urat nadi lingkungan terutama untuk wilayah Kalimatan Tengah dan Kalimatan Selatan, sudah tercemar. Hasil pengujian oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) menunjukkan, pencemaran di beberapa lokasi di sepanjang aliran sungai itu telah melebihi ambang batas. Singkatnya, sudah sampai pada titik membahayakan.

Berita mengenai hal itu seharusnya menjadi perhatian serius yang diikuti oleh langkah konkret penanggulangan, sebelum menimbulkan dampak yang lebih luas. Betul, hal itu sempat jadi topik pernyataan pejabat tinggi di wilayah ini, tapi baru sebatas retorika birokrat.

Jika sungai sebesar Barito sudah tercemar, bagaimana kita bisa membayangkan akibat lanjut yang akan ditimbulkannya, mengingat demikian banyak hal tergantung dan saling terkait dengan air sungai itu.

Apalagi zat yang mencemari sungai itu adalah merkuri dan arsenik. Dua jenis unsur logam berat yang membahayakan kelangsungan makhluk hidup. Tidak hanya berakibat buruk bagi hewan dan manusia, melainkan juga bagi tumbuhan.

Seharusnya, kondisi lingkungan yang ditandai oleh tercemarnya air Sungai Barito itu menyentak kesadaran banyak orang yang diikuti kepedulian serentak untuk segera bertindak melakukan penyelamatan, jangan sampai menunggu ada korban.

Efek pencemaran itu memang tidak seketika. Sekadar menyegarkan ingatan, tragedi minamata di Jepang terjadi sekitar 20 tahun sejak pertama kali merkuri –air raksa– mencemari teluk itu setiap hari. Kandungan zat air raksa di dalam air, terkonsumsi ikan. Ikan-ikan itu ditangkap dan dikonsumsi manusia serta hewan. Akibatnya, sungguh mengerikan.

Awal 1950-an bencana itu mulai menyambar. Perlahan tapi pasti, lingkungan berubah jadi tidak ramah lagi kepada para nelayan yang selama ini hidup menyatu dalam kearifan daur lingkungan teluk kaya ikan tersebut.

Tiba-tiba saja lebih 120 orang keracunan akibat mengonsumsi ikan yang sehari-hari adalah makanan dan nafkah pokok mereka. Secara beruntun korban mulai jatuh. Dalam tempo singkat 46 orang tewas. Jika tak mati, cacat seumur hidup. Bayi-bayi yang sedang dikandung, lahir tak sempurna.

Hewan piaran seperti anjing, kucing, babi, bahkan burung dan tikus yang hidup di sekitar teluk menunjukkan tanda-tanda keracunan yang sama dan satu per satu bergelimpangan, mati. Pencemaran serupa minamata pernah terjadi di Minahasa (Sulawesi Utara).

Sebagai negara kepulauan yang kaya sumber daya alam, laut maupun darat, hampir tiap jengkal bumi kita kaya kandungan alam. Lihat, berton-ton emas sudah digali dari perut Buyat, Busang, Cikotok, Tembagapura dan lain-lain, mengalirkan uang bermiliar dolar yang sepanjang hari ikut mendenyutkan bursa saham Wallstreet di New York dan pengaruhnya bisa langsung terasa di Bloomberg – London, Hangseng Hongkong, Nikkei Tokyo, dan bursa-bursa saham seantero dunia lewat transaksi elektonik serta satelit.

Tapi, lihatlah Barito mulai dicemari racun merkuri. Lihat pula warga Papua, warga pedalaman Kalimantan, mereka masih tetap marginal, dan bayi-bayinya tetap kekurangan gizi, dan –seperti di Minahasa– kini perlahan-lahan menuju kepunahan akibat pencemaran racun.

Ya, tragedi itu tidak tiba-tiba datang. Muncul sebagai akibat ketamakan manusia saat memburu peluang bisnis karena memperoleh respon luar biasa besar dari mekanisme yang kita sebut pasar.

Tambang emas di sepanjang alur Barito yang menjadikan sungai itu sebagai keranjang sampah terbesar, hari-hari ini mungkin belum menghadirkan akibat yang ‘berarti’. Namun bisa dipastikan kandungan racun pada zat pencemar itu perlahan-lahan menggerogoti kehidupan.

Bumi Borneo yang kaya raya tampaknya akan segera tinggal sejarah jika tidak segera ada alangkah konkret dan serius untuk mengatasinya. Tekanan pembangunan telah membuat kawasan ini berada dalam proses pemiskinan yang luar biasa, karena sebagian di antaranya dilakukan tanpa konsep yang berpihak pada pelestarian lingkungan.

Hari-hari ini dan ke depan kita masih akan menyaksikan, hutan Borneo terus dikupas. Buminya digerus untuk ditambang dan sungai- sungainya dicemari aneka zat mengandung racun. Mudah-mudahan warga Banua ini segera terhindar dari mimpi buruk itu. **


2 Tanggapan to “Barito, Siapa Peduli?”


  1. Maret 8, 2010 pukul 2:14 pm

    pemerintah harus tegas dalam masalah ini, memang kerugiannya tidak terasa sekarang namun nanti anak cucu kita yang merasakan

  2. Maret 8, 2010 pukul 2:16 pm

    saya sebagai warga banjarmasin merasakan betapa pentingnya air sungai tersebut walaupun PDAM Banjarmasin airnya di ambil dari sungai tabuk tapi lama-kelamaan pencemaran nya bisa merambah ke aliran sungai lain juga


Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s


%d blogger menyukai ini: