SATU negara tiga mata uang. Mungkin Cuma satu-satunya di dunia, ya di China. Jika di daratan –demikian warga Hong Kong menyebut negara induknya– berlaku mata uang yen (RMB), di Macau, petacas (MOP) adalah mata uang yang sah, maka Hong Kong pun punya dolar (HK$).
Di Macau, dolar Hong Kong diterima dan berlaku sebagai alat transaksi. Sebaliknya, di Hong Kong hampir tak ada yang menerima uang Macau. Meski nilai nominalnya disebut sama, toh saat kita menukarnya, tetap saja uang Macau lebih rendah.
Saat jalan-jalan di sekitar Time Square, iseng-iseng saya tukar uang receh yang tersisa dari Macau (di Hong Kong, tempat penukaran uang tersebar di berbagi penjuru, nyaris seperti pedagang pulsa di kota kota kita). Empat puluh MOP ternyata dihargai 33 dolar Hong Kong.
Sangat boleh jadi, keangkuhan masing-masing dengan identitas ‘negara’-nya ini merupakan sisa kejayaan kolonial yang kemudian dipelihara melalui otonomi khusus. Portugis menguasai Macau lebih dari lima abad, hingga 20 Desember 1999. Hong Kong baru lepas dari Inggris 1 Juli 1997 setelah 156 tahun dijajah.
Sebagian peninggalan yang baik dari masa penjajahan di kedua wilayah ini masih dipertahankan dan disempurnakan serta disesuaikan dengan kebutuhan modern. Trem, contohnya. Angkutan yang menggunakan rel ini masih menjelajahi rute-rute penting kota dengan akurasi waktu yang terjaga.
Selain itu, trem yang semula digunakan untuk mengangkuti orang, material dan aneka keperluan pembangunan di puncak gunung Victoria, kini dioperasikan sebagai kereta wisata yang memberikan sensasi tersendiri bagi para penggunanya.
Puncak gunung Victoria, biasa cukup disebut The Peak adalah gunung di bagian barat Hong Kong. Ia adalah titik tertinggi (552 meter di atas muka laut), di Pulau Hong Kong. Dikunjungi sekitar 6 juta orang –dari total rata-rata 21 juta turis yang masuk– setiap tahun, kini ia merupakan objek wisata paling populer di Hong Kong.
The Peak bisa dicapai lewat jalan raya biasa dan trem. Kami memilih keduanya. Dari kota naik bus wisata sampai terminal trem
lalu membeli tiket sekali jalan sampai ke puncak. Nanti, bus menjemput kami di sana.
Jangan bayangkan seperti terminal bus atau stasiun kereta api di negeri kita, stasiun trem The Peak yang terletak di seberang Konsulat Jenderal Amerika Serikat ini tak jauh berbeda dengan mal.
Sensasi mendaki di dalam trem yang sudah dioperasikan sejak dua abad lalu inilah yang ditawarkan pengelola wisata Hong Kong. “Tak perlu khawatir, tiap saat kondisi kereta dan rel diperiksa dengan cermat. Kabel bajanya diganti setiap lima tahun…” kata pemandu wisata kami.
Dengan 22 dolar Hong Kong per orang sekali berangkat (33 dolar untuk bolak balik), kami pun bergabung dengan ratusan pelancong lain. Betul saja! Kereta ini melaju mulus mendaki gunung batu. Di sisi kiri, tebing bebatuan yang tampak pejal dihiasi tetumbuhan.
Di sisi kanan, nah ini dia! Entah berapa derajat kemiringan tebing yang didaki trem ini. Yang jelas, jendela trem jadi seperti pigura yang membingkai gambar bergerak puncak-puncak runcing gedung pencakar langit yang miring, nyaris diagonal memotong sudut-sudut bingkai.
Sampai di puncak kita bisa melihat kota Hong Kong dari ketinggian. Saya membayangkan, jika malam hari tentu pemandangannya lebih mengagumkan karena akan melihat taburan kerlip lampu dari gedung-gedung tinggi yang bersitonjolan menonjoki awan malam.
Peak Tower adalah sebuah menara di Victoria Peak, sekaligus sebagai terminal akhir trem. Perancangnya menginginkan desain yang secara jelas menarik perhatian namun tak mengganggu pemandangan sekitar. Arsiteknya, Terry Farrell merancang menara ini dengan bentuk wajan dan memiliki tujuh lantai dengan total luas 10,400 meter persegi.
Seperti di stasiun keberangkatan, di sini pun suasana persis seperti di mal paling modern di tengah kota. Bayangkan, di puncak gunung batu ada mal! Ramai dan lengkap pula. Mau makan, tinggal pilih restoran apa apa saja sesuai selera.
Mau belanja, ya konter-konter produk khas Hong Kong sampai gerai-gerai produk bermerek internasional, tersedia di sini. Mau bertemu dan foto bersama ortang-orang terkenal? Singgahi saja museum lilin Madame Tussaud’s.
Pulang ke Banjarmasin, saya jadi teringat di sini pun tak kurang lokasi wisata yang eksotis. Tapi kita tidak bisa merawat dan mengelolanya dengan baik. Jangankan menikmati sarana transportasi dan jalan yang memadai, mencari rambu-rambu untuk memandu orang ke Pasar Terapung saja sama sulitnya dengan mencari jarum dalam jerami! (*)
0 Tanggapan to “Jadi Ingat Pasar Terapung”