Arsip untuk Agustus, 2010

15
Agu
10

Negeri Apa Ini?

HAMPIR sepekan setelah insiden penyerangan terhadap sekelompok orang yang tengah melaksanakan ibadah, barulah presiden buka suara. Ia menginstruksikan para menteri terkait dan pemerintah daerah memperhatikan secara khusus tanda-tanda munculnya kembali ketakharmonisan antarumat beragama.


Insiden yang terjadi di Bekasi terhadap jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang sedang beribadah, maupun tindak kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah di sejumlah daerah sebelumnya, menunjukkan kecenderungan sebagaimana yang dimaksud presiden.

Demikian pula saat mencermati unjuk kekuatan sekelompok organisasi massa berbasis agama yang menekan pihak-pihak yang mereka anggap tidak sepaham dengan keyakinan yang mereka anut, belakangan ini makin sering tampak lagi ke permukaan.

Adalah beralasan jika ada sementara pihak yang mengungkapkan keprihatinannya dan menganggap insiden seperti itu sebagai gejala munculnya kembali dominasi orang yang mengatasnamakan kelompok mayoritas terhadap kaum minoritas.

Jika tidak segera diatasi, kecenderungan itu akan berkembang menjadi bom waktu yang bisa meledak setiap saat. Masuk akal jika kemudian kepala negara menginstruksikan polisi agar segera mencegah begitu muncul indikasi akan adanya kekerasan.

Apa yang berkembang selama ini, munculnya kekerasan dan penindasan terhadap kaum minoritas lebih dikarenakan lambannya antisipasi pihak berwenang terhadap gejala awal yang muncul.

Pada saat terjadi peristiwa pun, aparat cenderung berpihak kepada massa –biasanya berasal dari kelompok mayoritas– sehingga kaum minoritas seolah dilepas tanpa perlindungan dan dipaksa harus tunduk kekuatan kaum mayoritas.

Timbul pertanyaan, mengapa orang kini kembali mudah bertindak garang? Mengapa orang kini gampang menyerang –bahkan kalau perlu membunuh dan memusnahkan orang atau kelompok masyarakat lain– sambil berlindung di balik topeng keyakinan?

Masing-masing pihak bisa melontarkan argumen untuk membenarkan tindakannya, tapi rasanya tak ada satu agama pun yang membenarkan penganiayaan dan pembunuhan terhadap penganut agama lain.

Orang yang meyakini kebenaran agamanya, tentu tidak akan merasa terhalang untuk bersaudara dengan orang yang beragama lain, sebab hubungan antaramanusia justru akan terasa lebih indah manakala di sana tercermin adanya kebedaan.

Kebedaan –yang menjadi fitrah umat bumi– itulah yang membuat manusia harus saling berhubungan untuk menemukan persamaan. Dan, dengan cara itu kerukunan bisa dirangkai dan diresapi di tengah maraknya individualisme yang membelenggu setiap orang.

Kerukunan. Itu, inti persoalan yang kembali mengemuka belakangan ini, sehingga perlu dibahas secara khusus oleh presiden dalam sidang kabinet. Kita patut heran, mengapa orang sesuku dan seagama bahkan sekecamatan –hanya beda kampung– bisa baku serang. Padahal sudah berabad-abad kita hidup dalam suasana yang tenang dan bersama-sama menciptakan kerukunan yang jadi sesuatu yang khas dalam kehidupan bangsa.

Kerukunan yang telah lama terjalin dan di beberapa tempat sudah begitu sublim dalam kehidupan warga, mulai dirusak lagi. Padahal, barang siapa membuat kerusakan dan mengganggu ketentraman orang lain, sesungguhnya dia telah mengkhianati ajaran agama yang demikian mulia dan begitu menaruh tinggi martabat serta kehormatan manusiawi setiap manusia.

Kompas pernah menulis laporan tentang bagaimana kelompok kasidah dari muda-mudi Lembata Flores Timur (NTT) mengiringi Prosesi Salib Yubileum, berupa arak-arakan “napak tilas” mengusung kayu salib melalui 36 titik perhentian di pulau tersebut.

Malah, di beberapa titik perhentian itu, Salib tersebut diterima secara adat oleh sekelompok pimpinan umat Islam, sebelum kemudian ditancapkan pada titik yang disediakan dan mereka ikut mengangkat simbol umat Kristiani itu sebelum diusung untuk diarak.

Pernyataan Muhammad Siong, tokoh pemuda Islam Lembata Flores Timur, mungkin bisa memperjelas gambaran pola hubungan antarpemeluk agama di sana. Seorang Menteri sempat menangis terharu ketika meresmikan Masjid Amakaka di Kecamatan Ileape, saat dilapori bahwa hampir 80 persen anggota panitia pembangunan masjid itu umat Katolik.

Contoh lain, ketika Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat propinsi NTT digelar di Kota Ende (Flores). Spontan saja terbentuk kelompok pemuda lintas agama untuk menyongsongnya. Mereka mengawali kegiatan dengan menyelenggarakan Malam Dana di Aula Gereja Katolik Mautapaga, Ende. Hasilnya, disalurkan untuk membantu membiayai kegiatan MTQ. Mereka pun menjaga penuh keamanan selama pelaksanaan perhelatan besar tersebut.

Di daerah yang mayoritas penduduknya muslim pun, terjadi hal serupa. Aceh yang terkenal sebagai Serambi Mekkah, juga Banjar masin yang dikenal dengan masyarakat muslimnya yang religius, warganya mampu hidup berdampingan secara damai dan rukun dengan warga yang agama dan etnisnya berbeda.

Sepanjang gejolak berdarah-darah di Tanah Serambi, rasanya tak pernah terdengar ada penindasan –apalagi pemunahan– warga pemeluk agama lain di sana. “Perang” justru terjadi antara warga Aceh dengan pasukan yang dikerahkan penguasa. Sebagian besar di antara anggota pasukan itu memeluk keyakinan yang sama dengan mayoritas penduduk Aceh.

Begitu halnya kerusuhan yang meledak di Banjarmasin pada 1997, bukanlah kerusuhan yang menjadikan kaum minoritas sebagai sasaran.

Orang boleh saja berpendapat, contoh-contoh di atas tidaklah lantas mencerminkan secara utuh bahwa bangsa kita begitu rukun, sebab realitas di berbagai tempat justru menunjukkan hal sebaliknya.

Namun kita juga harus sepakat, betapa indah kerukunan seperti yang tampak pada contoh di atas bila benar-benar tercipta dari pancaran ketulusan manusiawi setiap orang, bukan karena ikatan formalitas yang dilegitimasi kekuasaan.

Kondisi macam itu baru bisa terbangun secara bertahap dan tercipta melalui pengembangan yang terus menerus sikap toleran di antara sesama. Yakni, secara tulus saling memahami dan mau menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Jeleknya kita, kadang lebih suka melihat kekurangan orang lain dan lebih membanggakan kelebihan diri sendiri, namun tak mau menerima hal yang sebaliknya. (*)

10
Agu
10

Mencontoh Gusti Hatta

“Eh.., itu menteri, kan?” bisik seorang perempuan kepada rekan seperjalanannya di dalam bus yang sesak. Yang dibisiki manggut- manggut, “Iyyaa… itu Pak Hatta, menteri lingkungan,” katanya dengan suara direndahkan.

Ya, orang yang mereka bicarakan adalah Gusti Muhammad Hatta Menteri Negara Lingkungan Hidup. Ia duduk di kursi bus pengangkut penumpang yang baru turun dari pesawat. Di sebelahnya, duduk sang istri. Di kiri-kanan dan depan mereka, berjejal penumpang yang tak hirau siapa pun.

Para penumpang pesawat Garuda, GA 536, Jakarta-Banjarmasin, Jumat (6/8) malam itu sama-sama letih. Setelah didera kemacetan arus lalu lintas menuju Bandara Soekarno-Hatta, jadwal keberangkatan pun ditunda satu jam.

Sebagai pejabat tinggi negara, Hatta sebenarnya berhak atas berbagai fasilitas khusus, termasuk saat berada di tempat publik. Jika pun ia duduk di kursi eksekutif di pesawat, patut sajalah. Demikian juga saat turun dari pesawat, wajar jika dijemput secara istimewa sebagai pejabat negara.

Saat turun dari pesawat, terlihat dua bus mini yang biasa digunakan mengangkut tamu-tamu penting, (VIP-very important person), tapi ternyata bukan menjemput menteri. Hatta dam istrinya memilih berdesak-desakan bersama penumpang lain di dalam bus. Entah orang penting mana yang malam itu minta jemputan istimewa.

Saat turun dari bus, Hatta menyeret sendiri koper berodanya. Beberapa orang menoleh ke arahnya. Mungkin mereka mengenali sosok yang barusan bersama-sama di dalam bus itu adalah menteri.

Tiba di gerbang keluar Bandara Syamsudin Noor, sebuah sedan Toyota Camry warna hitam mendekat perlahan. Saya pikir mungkin inilah mobil yang menjemputnya. Tapi Hatta dan istri terus bejalan memintas jalan di depan hidung sedan mewah itu, menuju areal parkir yang semerawut.

Pengelola parkir di bandara ini tampaknya cuma pintar mengutip uang, tapi tak mau menyediakan tenaga-tenaga terampil yang khusus mengatur arus lalu-lintas dan memandu serta menata kendaraan- kendaraan yang parkir.

Maka sang menteri pun harus berhati-hati memilih jalan agar tak kena seruduk mobil lain. Di areal parkir, Hatta manata sendiri barang bawaannya. Dia membuka kabin bagasi mobil berwarna cerah metalik, dan memasukkan bawaan, lalu menutupnya. Setelah itu, barulah ia masuk bergabung bersama istri dan kerabat yang malam itu menjemputnya.

Mobil yang digunakan untuk menjemputnya malam itu pun bukanlah mobil mewah, melainkan ‘mobil sejuta umat’, sebuah Toyota Avanza warna cerah metalik, dengan pelat nomor berkode F, tanda nomor kendaraan untuk wilayah Bogor, Jawa Barat dan sekitarnya.

Terlepas bahwa kedatangannya ke Banjarmasin, mungkin semata keperluan pribadi sehingga melepaskan diri dari ketentuan protokoler, predikatnya sebagai menteri tetap saja memberinya hak untuk berbeda dari rakyat kebanyakan. Namun, Hatta memilih jalan yang bersahaja.

Bandingkan dengan pejabat lain, negeri atau swasta, yang selalu menuntut perlakuan khusus. Bepergian ke mana pun, selalu didampingi ajudan yang membawakan tas dan membukakan pintu mobil. Tak perlu berjalan menuju kendaraan, karena mobilnya yang akan mendekat. Tak perlu khawatir perjalanan terhambat, karena ada voorijder yang memandu jalan, menghalau rintangan.

Malam itu Hatta memberi contoh tanpa gembar-gembor, bahwa jabatan dan kehormatan tidak luntur hanya kerena tidak memperole keistimewaan perlakuan.

Ia tetaplah seorang menteri negara meski berada di tengah jejalan penumpang bus, tanpa pengawalan ajudan, tanpa ada yang membawakan tas, dan tanpa ada yang membuka-tutupkan pintu mobil yang hendak ditumpanginya.

Para pejabat negara patut mencontoh gerak gerik menteri asal Banjar ini. Mau enggak ya?

10
Agu
10

Selamat Jalan Mimi, Mbah, Tia…

BERITA duka menutup akhir pekan kemarin. Dua tokoh politik, seorang istri anggota parlemen, dan seorang seniman besar yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk seni panggung, meninggal dunia. Para putra-putri terbaik bangsa itu meninggal dalam tempo nyaris bersamaan dengan cara berbeda-beda.

Tokoh besar politik nasional, Soetardjo Soerjogoeritno (Mbah Tardjo) meninggal dalam usia 76, Sabtu (7/8) sore di Jakarta. Sebelumnya seniman besar Mimi Rasinah, meninggal dalam usia 80 tahun dalam perjalanan menuju rumah sakit di Indramayu, Jawa Barat.

Kedua tokoh itu merupakan ‘panglima’ di bidang masing- masing, yakni sebagai politisi dan seniman. Mbah Tardjo adalah sosok nasionalis yang konsisten sejak terjun ke Partai Nasional Indonesia (PNI) di era Soekarno sampai lahirnya PDI Perjuangan, setelah gonjang-ganjing melanda Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tanpa Perjuangan yang dikooptasi rezim orde baru.

Mbah Tardjo boleh dibilang merupakan mentor atau patron bagi politisi yang lahir sesudahnya. Konsistensi sikap, integritas, dan rasa kebangsaannya sulit dicari tandingan. Apalagi di tengah membludaknya politisi dadakan yang masuk parlemen karena kebetulan, karbitan, atau kekerabatan.

Sama seperti Mbah Tardjo, Mimi Rasinah adalah sosok fenomenal yang dengan gigih mempertahankan seni tradisi di tengah gempuran arus perubahan yang tak kenal ampun menggilas nilai-nilai tradisi dan memulasnya jadi hiasan semata.

Rasinah tidak pernah mau menyerah. Kemiskinan dan kelemahan fisik tak membuatnya berhenti berkarya. Bahkan tiga hari sebelum ajal menjemputnya, dalam keadaan tubuh setengah lumpuh akibat serangan stroke, dia masih memanggungkan tarian kreasinya.

Mbah Tardjo dan Rasinah pergi secara wajar karena usia yang demikian uzur, ketika kekuatan dan keberadaan badaniah tak lagi mampu bertahan melawan keniscayaan untuk kembali ke ketiadaan.

Dua tokoh lain, yakni Setia Permana seorang politisi muda, dan seorang istri anggota DPR, meninggal dalam usia relatif muda. Masih produktif. Mereka pergi di tengah sukacita berwisata menikmati keindahan, ketika ombak menggempur kapal yang mereka tumpangi dan membantingnya ke pantai berbatu di Manado.

Setia Permana, boleh dibilang generasi baru di dunia politik nasional. Akademisi yang selalu gelisah atas perkembangan bangsanya ini baru dalam Pemilu 2009 masuk secara formal. Dia aktif di pergerakan mahasiswa melawan rezim penguasa pada 1977/1978, kemudian mengabdikan dirinya di dunia akademis.

Di era reformasi, dia mulai berpaling dari dunia akademis dengan menjadi Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerahnya. Kegelisahannya untuk ikut berperan memperbaiki bangsa ‘dari dalam’ membuatnya memutuskan bersedia menjadi anggota parlemen.

Perannya sebagai anggota dewan yang terhormat itu membawanya ke Manado Sulawesi Utara, untuk sebuah kunjungan kerja. Namun di sana pula kariernya berakhir untuk selamanya. Musibah menimpa rombongan parlemen itu sesaat setelah mereka bersenang-senang menikmati panorama dan keindahan Bunaken.

Mungkin tidak perlu dibahas, apakah piknik termasuk di dalam agenda setiap kunjungan kerja anggota dewan. Atau, semata memanfaatkan waktu senggang setelah letih bekerja memperjuangkan aspirasi rakyat.

Jika hal itu memang menjadi bagian dari agenda kerja parlemen, seharusnyalah ada persiapan dan prosedur standar menyangkut berbagai keperluannya, termasuk sarana angkutan yang digunakan.

Demikin pula mengenai keikutsertaan anggota keluarga. Jika memang ada ketentuan yang membolehkan anggota dewan membawa keluarga saat berdinas, seharusnya juga ada tata cara dan standar yang tegas.

Persoalannya bukan apakah biaya keluarga dibebankan kepada negara atau atas tanggungan sendiri, melainkan karena kepergian dan perjalanan anggota ke luar daerah maupun ke luar negeri adalah untuk bekerja bukan untuk bersenang-senang bersama keluarga.

Di satu sisi, kepergian orang-orang itu memberi pelajaran berharga bagi anak-anak bangsa tentang bagaimana seharusnya orang mendedikasikan diri sepenuhnya tanpa pamrih kecuali pengabdian pada profesi dan bangsa.

Di sisi yang lain, kepergian mereka juga memberi peringatan kepada segenap anak bangsa untuk tidak mencampuradukkan kepentingan dan kesenangan pribadi dan keluarga manakala sedang menjalankan tugas negara. (*)