HAMPIR sepekan setelah insiden penyerangan terhadap sekelompok orang yang tengah melaksanakan ibadah, barulah presiden buka suara. Ia menginstruksikan para menteri terkait dan pemerintah daerah memperhatikan secara khusus tanda-tanda munculnya kembali ketakharmonisan antarumat beragama.
Insiden yang terjadi di Bekasi terhadap jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang sedang beribadah, maupun tindak kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah di sejumlah daerah sebelumnya, menunjukkan kecenderungan sebagaimana yang dimaksud presiden.
Demikian pula saat mencermati unjuk kekuatan sekelompok organisasi massa berbasis agama yang menekan pihak-pihak yang mereka anggap tidak sepaham dengan keyakinan yang mereka anut, belakangan ini makin sering tampak lagi ke permukaan.
Adalah beralasan jika ada sementara pihak yang mengungkapkan keprihatinannya dan menganggap insiden seperti itu sebagai gejala munculnya kembali dominasi orang yang mengatasnamakan kelompok mayoritas terhadap kaum minoritas.
Jika tidak segera diatasi, kecenderungan itu akan berkembang menjadi bom waktu yang bisa meledak setiap saat. Masuk akal jika kemudian kepala negara menginstruksikan polisi agar segera mencegah begitu muncul indikasi akan adanya kekerasan.
Apa yang berkembang selama ini, munculnya kekerasan dan penindasan terhadap kaum minoritas lebih dikarenakan lambannya antisipasi pihak berwenang terhadap gejala awal yang muncul.
Pada saat terjadi peristiwa pun, aparat cenderung berpihak kepada massa –biasanya berasal dari kelompok mayoritas– sehingga kaum minoritas seolah dilepas tanpa perlindungan dan dipaksa harus tunduk kekuatan kaum mayoritas.
Timbul pertanyaan, mengapa orang kini kembali mudah bertindak garang? Mengapa orang kini gampang menyerang –bahkan kalau perlu membunuh dan memusnahkan orang atau kelompok masyarakat lain– sambil berlindung di balik topeng keyakinan?
Masing-masing pihak bisa melontarkan argumen untuk membenarkan tindakannya, tapi rasanya tak ada satu agama pun yang membenarkan penganiayaan dan pembunuhan terhadap penganut agama lain.
Orang yang meyakini kebenaran agamanya, tentu tidak akan merasa terhalang untuk bersaudara dengan orang yang beragama lain, sebab hubungan antaramanusia justru akan terasa lebih indah manakala di sana tercermin adanya kebedaan.
Kebedaan –yang menjadi fitrah umat bumi– itulah yang membuat manusia harus saling berhubungan untuk menemukan persamaan. Dan, dengan cara itu kerukunan bisa dirangkai dan diresapi di tengah maraknya individualisme yang membelenggu setiap orang.
Kerukunan. Itu, inti persoalan yang kembali mengemuka belakangan ini, sehingga perlu dibahas secara khusus oleh presiden dalam sidang kabinet. Kita patut heran, mengapa orang sesuku dan seagama bahkan sekecamatan –hanya beda kampung– bisa baku serang. Padahal sudah berabad-abad kita hidup dalam suasana yang tenang dan bersama-sama menciptakan kerukunan yang jadi sesuatu yang khas dalam kehidupan bangsa.
Kerukunan yang telah lama terjalin dan di beberapa tempat sudah begitu sublim dalam kehidupan warga, mulai dirusak lagi. Padahal, barang siapa membuat kerusakan dan mengganggu ketentraman orang lain, sesungguhnya dia telah mengkhianati ajaran agama yang demikian mulia dan begitu menaruh tinggi martabat serta kehormatan manusiawi setiap manusia.
Kompas pernah menulis laporan tentang bagaimana kelompok kasidah dari muda-mudi Lembata Flores Timur (NTT) mengiringi Prosesi Salib Yubileum, berupa arak-arakan “napak tilas” mengusung kayu salib melalui 36 titik perhentian di pulau tersebut.
Malah, di beberapa titik perhentian itu, Salib tersebut diterima secara adat oleh sekelompok pimpinan umat Islam, sebelum kemudian ditancapkan pada titik yang disediakan dan mereka ikut mengangkat simbol umat Kristiani itu sebelum diusung untuk diarak.
Pernyataan Muhammad Siong, tokoh pemuda Islam Lembata Flores Timur, mungkin bisa memperjelas gambaran pola hubungan antarpemeluk agama di sana. Seorang Menteri sempat menangis terharu ketika meresmikan Masjid Amakaka di Kecamatan Ileape, saat dilapori bahwa hampir 80 persen anggota panitia pembangunan masjid itu umat Katolik.
Contoh lain, ketika Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat propinsi NTT digelar di Kota Ende (Flores). Spontan saja terbentuk kelompok pemuda lintas agama untuk menyongsongnya. Mereka mengawali kegiatan dengan menyelenggarakan Malam Dana di Aula Gereja Katolik Mautapaga, Ende. Hasilnya, disalurkan untuk membantu membiayai kegiatan MTQ. Mereka pun menjaga penuh keamanan selama pelaksanaan perhelatan besar tersebut.
Di daerah yang mayoritas penduduknya muslim pun, terjadi hal serupa. Aceh yang terkenal sebagai Serambi Mekkah, juga Banjar masin yang dikenal dengan masyarakat muslimnya yang religius, warganya mampu hidup berdampingan secara damai dan rukun dengan warga yang agama dan etnisnya berbeda.
Sepanjang gejolak berdarah-darah di Tanah Serambi, rasanya tak pernah terdengar ada penindasan –apalagi pemunahan– warga pemeluk agama lain di sana. “Perang” justru terjadi antara warga Aceh dengan pasukan yang dikerahkan penguasa. Sebagian besar di antara anggota pasukan itu memeluk keyakinan yang sama dengan mayoritas penduduk Aceh.
Begitu halnya kerusuhan yang meledak di Banjarmasin pada 1997, bukanlah kerusuhan yang menjadikan kaum minoritas sebagai sasaran.
Orang boleh saja berpendapat, contoh-contoh di atas tidaklah lantas mencerminkan secara utuh bahwa bangsa kita begitu rukun, sebab realitas di berbagai tempat justru menunjukkan hal sebaliknya.
Namun kita juga harus sepakat, betapa indah kerukunan seperti yang tampak pada contoh di atas bila benar-benar tercipta dari pancaran ketulusan manusiawi setiap orang, bukan karena ikatan formalitas yang dilegitimasi kekuasaan.
Kondisi macam itu baru bisa terbangun secara bertahap dan tercipta melalui pengembangan yang terus menerus sikap toleran di antara sesama. Yakni, secara tulus saling memahami dan mau menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Jeleknya kita, kadang lebih suka melihat kekurangan orang lain dan lebih membanggakan kelebihan diri sendiri, namun tak mau menerima hal yang sebaliknya. (*)