Arsip untuk Agustus 10th, 2010

10
Agu
10

Mencontoh Gusti Hatta

“Eh.., itu menteri, kan?” bisik seorang perempuan kepada rekan seperjalanannya di dalam bus yang sesak. Yang dibisiki manggut- manggut, “Iyyaa… itu Pak Hatta, menteri lingkungan,” katanya dengan suara direndahkan.

Ya, orang yang mereka bicarakan adalah Gusti Muhammad Hatta Menteri Negara Lingkungan Hidup. Ia duduk di kursi bus pengangkut penumpang yang baru turun dari pesawat. Di sebelahnya, duduk sang istri. Di kiri-kanan dan depan mereka, berjejal penumpang yang tak hirau siapa pun.

Para penumpang pesawat Garuda, GA 536, Jakarta-Banjarmasin, Jumat (6/8) malam itu sama-sama letih. Setelah didera kemacetan arus lalu lintas menuju Bandara Soekarno-Hatta, jadwal keberangkatan pun ditunda satu jam.

Sebagai pejabat tinggi negara, Hatta sebenarnya berhak atas berbagai fasilitas khusus, termasuk saat berada di tempat publik. Jika pun ia duduk di kursi eksekutif di pesawat, patut sajalah. Demikian juga saat turun dari pesawat, wajar jika dijemput secara istimewa sebagai pejabat negara.

Saat turun dari pesawat, terlihat dua bus mini yang biasa digunakan mengangkut tamu-tamu penting, (VIP-very important person), tapi ternyata bukan menjemput menteri. Hatta dam istrinya memilih berdesak-desakan bersama penumpang lain di dalam bus. Entah orang penting mana yang malam itu minta jemputan istimewa.

Saat turun dari bus, Hatta menyeret sendiri koper berodanya. Beberapa orang menoleh ke arahnya. Mungkin mereka mengenali sosok yang barusan bersama-sama di dalam bus itu adalah menteri.

Tiba di gerbang keluar Bandara Syamsudin Noor, sebuah sedan Toyota Camry warna hitam mendekat perlahan. Saya pikir mungkin inilah mobil yang menjemputnya. Tapi Hatta dan istri terus bejalan memintas jalan di depan hidung sedan mewah itu, menuju areal parkir yang semerawut.

Pengelola parkir di bandara ini tampaknya cuma pintar mengutip uang, tapi tak mau menyediakan tenaga-tenaga terampil yang khusus mengatur arus lalu-lintas dan memandu serta menata kendaraan- kendaraan yang parkir.

Maka sang menteri pun harus berhati-hati memilih jalan agar tak kena seruduk mobil lain. Di areal parkir, Hatta manata sendiri barang bawaannya. Dia membuka kabin bagasi mobil berwarna cerah metalik, dan memasukkan bawaan, lalu menutupnya. Setelah itu, barulah ia masuk bergabung bersama istri dan kerabat yang malam itu menjemputnya.

Mobil yang digunakan untuk menjemputnya malam itu pun bukanlah mobil mewah, melainkan ‘mobil sejuta umat’, sebuah Toyota Avanza warna cerah metalik, dengan pelat nomor berkode F, tanda nomor kendaraan untuk wilayah Bogor, Jawa Barat dan sekitarnya.

Terlepas bahwa kedatangannya ke Banjarmasin, mungkin semata keperluan pribadi sehingga melepaskan diri dari ketentuan protokoler, predikatnya sebagai menteri tetap saja memberinya hak untuk berbeda dari rakyat kebanyakan. Namun, Hatta memilih jalan yang bersahaja.

Bandingkan dengan pejabat lain, negeri atau swasta, yang selalu menuntut perlakuan khusus. Bepergian ke mana pun, selalu didampingi ajudan yang membawakan tas dan membukakan pintu mobil. Tak perlu berjalan menuju kendaraan, karena mobilnya yang akan mendekat. Tak perlu khawatir perjalanan terhambat, karena ada voorijder yang memandu jalan, menghalau rintangan.

Malam itu Hatta memberi contoh tanpa gembar-gembor, bahwa jabatan dan kehormatan tidak luntur hanya kerena tidak memperole keistimewaan perlakuan.

Ia tetaplah seorang menteri negara meski berada di tengah jejalan penumpang bus, tanpa pengawalan ajudan, tanpa ada yang membawakan tas, dan tanpa ada yang membuka-tutupkan pintu mobil yang hendak ditumpanginya.

Para pejabat negara patut mencontoh gerak gerik menteri asal Banjar ini. Mau enggak ya?

10
Agu
10

Selamat Jalan Mimi, Mbah, Tia…

BERITA duka menutup akhir pekan kemarin. Dua tokoh politik, seorang istri anggota parlemen, dan seorang seniman besar yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk seni panggung, meninggal dunia. Para putra-putri terbaik bangsa itu meninggal dalam tempo nyaris bersamaan dengan cara berbeda-beda.

Tokoh besar politik nasional, Soetardjo Soerjogoeritno (Mbah Tardjo) meninggal dalam usia 76, Sabtu (7/8) sore di Jakarta. Sebelumnya seniman besar Mimi Rasinah, meninggal dalam usia 80 tahun dalam perjalanan menuju rumah sakit di Indramayu, Jawa Barat.

Kedua tokoh itu merupakan ‘panglima’ di bidang masing- masing, yakni sebagai politisi dan seniman. Mbah Tardjo adalah sosok nasionalis yang konsisten sejak terjun ke Partai Nasional Indonesia (PNI) di era Soekarno sampai lahirnya PDI Perjuangan, setelah gonjang-ganjing melanda Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tanpa Perjuangan yang dikooptasi rezim orde baru.

Mbah Tardjo boleh dibilang merupakan mentor atau patron bagi politisi yang lahir sesudahnya. Konsistensi sikap, integritas, dan rasa kebangsaannya sulit dicari tandingan. Apalagi di tengah membludaknya politisi dadakan yang masuk parlemen karena kebetulan, karbitan, atau kekerabatan.

Sama seperti Mbah Tardjo, Mimi Rasinah adalah sosok fenomenal yang dengan gigih mempertahankan seni tradisi di tengah gempuran arus perubahan yang tak kenal ampun menggilas nilai-nilai tradisi dan memulasnya jadi hiasan semata.

Rasinah tidak pernah mau menyerah. Kemiskinan dan kelemahan fisik tak membuatnya berhenti berkarya. Bahkan tiga hari sebelum ajal menjemputnya, dalam keadaan tubuh setengah lumpuh akibat serangan stroke, dia masih memanggungkan tarian kreasinya.

Mbah Tardjo dan Rasinah pergi secara wajar karena usia yang demikian uzur, ketika kekuatan dan keberadaan badaniah tak lagi mampu bertahan melawan keniscayaan untuk kembali ke ketiadaan.

Dua tokoh lain, yakni Setia Permana seorang politisi muda, dan seorang istri anggota DPR, meninggal dalam usia relatif muda. Masih produktif. Mereka pergi di tengah sukacita berwisata menikmati keindahan, ketika ombak menggempur kapal yang mereka tumpangi dan membantingnya ke pantai berbatu di Manado.

Setia Permana, boleh dibilang generasi baru di dunia politik nasional. Akademisi yang selalu gelisah atas perkembangan bangsanya ini baru dalam Pemilu 2009 masuk secara formal. Dia aktif di pergerakan mahasiswa melawan rezim penguasa pada 1977/1978, kemudian mengabdikan dirinya di dunia akademis.

Di era reformasi, dia mulai berpaling dari dunia akademis dengan menjadi Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerahnya. Kegelisahannya untuk ikut berperan memperbaiki bangsa ‘dari dalam’ membuatnya memutuskan bersedia menjadi anggota parlemen.

Perannya sebagai anggota dewan yang terhormat itu membawanya ke Manado Sulawesi Utara, untuk sebuah kunjungan kerja. Namun di sana pula kariernya berakhir untuk selamanya. Musibah menimpa rombongan parlemen itu sesaat setelah mereka bersenang-senang menikmati panorama dan keindahan Bunaken.

Mungkin tidak perlu dibahas, apakah piknik termasuk di dalam agenda setiap kunjungan kerja anggota dewan. Atau, semata memanfaatkan waktu senggang setelah letih bekerja memperjuangkan aspirasi rakyat.

Jika hal itu memang menjadi bagian dari agenda kerja parlemen, seharusnyalah ada persiapan dan prosedur standar menyangkut berbagai keperluannya, termasuk sarana angkutan yang digunakan.

Demikin pula mengenai keikutsertaan anggota keluarga. Jika memang ada ketentuan yang membolehkan anggota dewan membawa keluarga saat berdinas, seharusnya juga ada tata cara dan standar yang tegas.

Persoalannya bukan apakah biaya keluarga dibebankan kepada negara atau atas tanggungan sendiri, melainkan karena kepergian dan perjalanan anggota ke luar daerah maupun ke luar negeri adalah untuk bekerja bukan untuk bersenang-senang bersama keluarga.

Di satu sisi, kepergian orang-orang itu memberi pelajaran berharga bagi anak-anak bangsa tentang bagaimana seharusnya orang mendedikasikan diri sepenuhnya tanpa pamrih kecuali pengabdian pada profesi dan bangsa.

Di sisi yang lain, kepergian mereka juga memberi peringatan kepada segenap anak bangsa untuk tidak mencampuradukkan kepentingan dan kesenangan pribadi dan keluarga manakala sedang menjalankan tugas negara. (*)