Arsip untuk Juni, 2013

30
Jun
13

Kado Pak Polisi

GambarSEORANG pengusa persewaan alat berat hilang. Dua hari kemudian, Sabtu 22 Juni 2013, mayatnya ditemukan di dalam mobil yang sudah remuk. Mobil ini dikubur timbunan tanah dan bebatuan di sebuah areal tambang di Sungailoban, Kabupaten Tanahbumbu, Kalimantan Selatan.

Belum tuntas pengungkapan kasus ini, warga Banjarmasin digegerkan oleh terbunuhnya seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), Selasa 25 Juni 2003, dini hari. Jenazahnya rebah berkuah darah di lantai sebuah diskotek. Polisi mengidentifikasi setidaknya ada 21 luka tusuk pada tubuh pria ini.

Sulit membayangkan, kekejaman macam apa yang mencengkeram pikiran para pelakunya, sehingga memperlakukan korban-korbannya sedemikian rupa? Atau adakah pesan yang sesungguhnya tersimpan di balik dua insiden ini?

Tanggal 1 Juli, Kepolisian Republik Indonesia merayakan hari ulang tahunnya yang ke 67. Banyak harapan digantungkan kepada lembaga ini sebagai abdi negara yang melindungi, melayani masyarakat, dan mengakkan hukum.

Banyak prestasi yang sudah ditunjukkan para bhayangkara negara ini. Demikian pula perannya yang langsung bersinggungan dengan kehidupan keseharian rakyat. Dibanding aparat intitusi lain, polisi lah yang boleh dikata setiap saat terlihat di tengah masyarakat.

Karena setiap saat terlihat itulah, segala gerak-geriknya pun menjadi perhatian warga. Mereka adalah sosok yang diharapkan mencerminkan tugas dan peran utamanya, melindungi dan melayani, mengayomi dan membimbing, menjaga memelihara ketertiban dan menjamin rasa aman warga, menegakkan hukum.

Karenanya masyarakat tersentak dan tercederai kepercayaannya manakala melihat ada tindak-tanduk personal aparat berseragam cokelat ini yang tidak selaras dengan gambaran ideal yang ada dalam pikiran setiap warga negara.

Warga muak ketika menyaksikan tayangan media sosial yang menggambarkan personel berseragam polisi berpangkat rendah memeras turis asing yang dianggam melanggar aturan lalu lintas di Bali. Demikian pula ketika mengikuti tahap demi tahap perkembangan kasus megakorupsi yang melibatkan petinggi di markas besar kepolisian RI nun di Jakarta sana.

Timbul kesan, perilaku korup di lingkungan institusi ini sudah menjalar sedemikian parah hingga tindak mengenal batas kepangkatan dan jabatan. Seolah nyaris setiap personel para bhayangkara ini belepotan noda korupsi.

Di sisi lain, publik juga tidak bisa mengesampingkan bukti-bukti keberhasilan para punggawa ketertiban dan keamanan ini, misalnya dalam pemberantasan terorisme. Dunia internasional mengakui penanggulangan terorisme di Indonesia termasuk yang terbaik dibanding negara-negara lain.

Bahwa masih ada unsur-unsur yang dinilai melanggar hak asasi dalam penanganan aksi ini, publik harus mengakui sejauh ini langkah-langkah mereka membuahkan hasil. Setidaknya, teror berlatar radikalisme di tanah air mereda, meski belum tentu bisa dikatakan sirna sama sekali.

Namun “teror” lain yang disebar dan dijalarkan para mafia narkotika dan obat berbahaya, tak kunjung bisa diredam. Bahwa ada publikasi mengenai penangkapan terhadap pembuat, pengedar, maupun pengguna narkoba, realitas menunjukkan bisnis barang haram ini seakan tak berpengaruh sama sekali.

Padahal, bahaya yang ditanamkan oleh para “teroris” jenis ini melalui sel-selnya yang bergerak di keremangan, tak kalah dahsyat dibanding bom bunuh diri para “pengantin sorga” yang rela mengorbankan hidupnya demi sebuah keyakinan. Bom waktu yang disebar para “teroris” narkoba ini bisa meledakkan masalah amat serius di kemudian hari.

Banyak pihak menilai para bhayangkara negara tidak serius memberantas para “teroris” narkoba. Jika mereka bisa dengan cepat menggerakkan detasmen khusus antiteror dan memberlakukan tindak- tindakan tegas, tidak demikian dengan penanganan atas para teroris narkoba.

Ada kesan, banyak aparat yang justru jadi bagian dalam mata rantai “aksi teror” para mafia ini dengan cara memembiarkan praktek-praktek mereka. Bahkan para personel itu secara individual mengambil manfaat dari situasi ini. Karena itu banyak pihak yang yakin bahwa “terorisme narkoba” tidak akan pernah bisa diberantas di bumi nusantara.

Ketika polisi menangkap pentolan-pentolan preman di ibu kota, masyarakat sempat bernapas agak lega dan menghirup harapan bahwa itu merupakan bangkitnya kekuatan para bhayangkara negara untuk menjamin rasa aman warga dari rongrongan dan praktek-praktek premanisme.

Namun, harapan itu segera saja menguap ketika muncul sejumlah peristiwa di berbagai tempat yang menunjkkan hal sebaliknya. Praktek ala bandit masih berlangsung di depan mata dengan skala kekejaman yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Rangkaian peristiwa penyerangan Markas Polisi di Baturaja, penyerangan Lembaga Pemasyarakat Cebongan, penindansan dan pengusiran atas warga minoritas, atau bahkan pembunuhan keji atas seorang pemilik usaha persewaan alat berat di Batulicin dan pembunuhan sadistis atas seorang tentara di sebuah diskoetek di Banjarmasin itu, menunjukkan bahwa warga tidak memiliki jaminan perlindungan memadai dari para bhayangkara ini.

Saat ini ada sekitar 395.000 personel polisi di tanah air. Mereka harus melayani kurang lebih 230 juta warga. Masalah tersebut selalu jadi argumen dalam perbincangan lemahnya kinerja polisi karena rasio ideal konon satu polisi berbanding 300 penduduk.

Namun hal yang lebih penting dari jumah ini tentu saja adalah persoalan mental, karena inilah yang akan menetukan integritas. Berapa pun besar jumlah aparat, tak berguna jika tak memiliki integritas. Situasi akan lebih parah jika anggota masyarakat masih belum kunjung mampu menjadi polisi bagi diri sendiri.

Selamat ulang tahun polisi Indonesia! **