22
Okt
13

Korupsi, dan Politik yang Nepotik

Gambar
PENANGKAPAN Ketua Mahamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka banyak hal. Selain menunjukkan betapa dahsyatnya virus korupsi menjalari sendi-sendi kehidupan bernegara, ia juga mengungkap betapa rentannya sturuktur kekuasaan yang dibangun melalui politik kekerabatan (nepotik) terhadap praktik-praktik kolutif  yang berujung pada korupsi dan pula.
Sebagiamana ramai diberitakan, selain menangkap Ketua MK, komisi juga lima orang lainnya termasuk Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, adik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Akil ditangkap saat menerima suap terkait putusan MK atas peradilan sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Wawan diciduk atas dugaan penyuapan terahadap Akil dalam kasus sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, Banten. Komisi juga mencegah Ratu Atut bepergian ke luar negeri,

Banten dengan “imperium” kekerabatan yang berporos pada Ratu Atut adalah realitas menarik dalam perkembangan politik demokrasi di tanah air pascareformasi. Amanat reformasi menyingkirkan pola-pola nepotisme yang selalu jadi bagian tak terpisah dari praktek persekongkolan (kolusi) yang hanya beroirentasi pada keuntungan pribadi dan kelompok dengan cara menggerogoti keuangan negara dan hak-hak publik (korupsi).

Kasus Banten menjadi penting dalam dinamika politik Indonesia karena ia seperti menjadi inspirasi bagi daerah-daerah lain. Provinsi baru hasil “pemerkaran” dari Jawa Barat ini lahir 13 tahun lalu. Gubernur pertama,  Djoko Munandar hanya menjabat tiga tahun. Ia dinonaktifkan tahun 2005 karena terkait kasus korupsi, Atut yang saat itu wakil gubernur, langsung naik jadi pelaksana tugas gubernur. Ia memenangti  Pilkada 2006 berpasangan dengan Mohammad Masduki sebagai wakil gubernur. Mereka dilantik pada 11 Januari 2007.

 Sejak itu kekerabatan kekuasaan di eks Karesidenan Banten ini mulai terbangun. Melalui garis ayahnya, almarhum Tb CHasan Sochib –tokoh jawara yang kemudian jadi penguasaha besar– jejering keluarga Atut menancap seantero Banten. Selain Atut (Gubernur), Ratu Tatu Chasanah (Wakil Walikota Serang), dan Tb Chaeri Wardana (pengusaha/Ketua AMPG Banten), yang juga suami Airin Rachmi Diany, Walikota Tangerang Selatan.

Suami Atut, Hikmat Tomet jadi anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar. Anak kandung Atut, Andika Harzumi tercatat sebagai anggota DPD RI yang akan maju jadi caleg dari Partai Golkar dalam Pemilu 2014. Istri Andika tercatat sebagai anggota DPRD Kota Serang. Saudara Atut dari lain ibu, yakni Tb Haerul Jaman sebagai Wakil Walikota Serang dan Ratu Lilis Karyawati (Ketua DPD II Partai Golkar Kota Serang). Suami  Lilis, Aden Abdul Khaliq adalah anggota DPRD Provinsi Banten.

Gejela kekerabatan seperti di Banten muncul pula di daerah-daerah lain. Publik bisa melihat fenomena bangunan politik keluarga ini dalam politik lokal, Yasin Limpo di Sulawesi Selatan, Sjachroedin di Lampung, Narang di Kalteng, Sarundayang di Sulawesi Utara. Dalam skala lebih kecil lagi, ada contoh istri Walikota Bekasi, yang sempat berlaga di Pemilihan wali kota Bekasi. Atau, Iriani Irianto yang menggantikan suaminya di Kabupaten Indramayu.  Sebut pula Widya Kandi Susanti yang jadi Bupati Kendal, Jawa Tengah menggantikan Hendy Boedoro, yang kini mendekam di penjara akibat menyelewengkan APBD. Lalu istri Idham Samawi, Sri Suryawidati yang jadi bupati Bantul. Idham terjerat kasus korupsi dana hibah untuk Komisi Olahraga Nasional Indonesia (KONI).

Dalam beberapa kasus di negara lain, faktor utama  yang memberikan kontribusi atas maraknya politik nepotik ini adalah sistem partai yang lemah. Para pemimpin partai dan kandidat untuk jabatan publik direkrut tidak melalui proses kaku seleksi dalam partai politik, tetapi melalui jaringan kekerabatan tradisional. Pelembagaan partai yang lemah telah menyebabkan munculnya beberapa “dinasti” di daerah-daerah. Keluarga politik bisa dengan mudah menangkap struktur organisasi cabang partaiatau menggunakan politik uang untuk mendapatkan dukungan partai. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika seorang kerabat pejabat lokal berkuasa dipilih sebagai calon dari partai politik meskipun rekam jejaknya dipertanyakan.

Pemilihan umum yang didominasi oleh keluarga politik berduit akan menunjukkan bagaimana sifat liberal sistem demokrasi suatu negara. Salah satu efek sampingnmya terlihat dari dari pilkada-pilkada yang melahirkan politik nepotik di daerah, sebagaimana tampak pada contoh-contoh di atas, ketika  istri, anak, menantu, paman, sepupu, menggantikan keluarga mereka memimpin daerah.

Fenomena seperti ini layaknya politik kartel yang tak lepas dari politik balas budi, politik uang untuk melanggengkan kekuasaan. Kebebasan politik yang semakin terbuka ini, telah dimanfaatkan betul oleh aktor-aktor politik yang punya segala akses untuk menggapai kapitalisasi dan kekuasaan. Berkaca pada kasus Banten, yang ternyata sarat oleh praktek-praktek kolutif dalam jejaring nepotisme keluarga Atut, tak heran jika publik mempertanyakan berbagai aliran dana negara dalam bentuk hibah kepada lembaga-lembaga dan isntitusi yang dikuasai orang-orang mereka.

Memasuki Pemilu 2014, publik juga melihat kecenderungan politik kekerabatan ini masih tetap muncul. Dari daftar para calon anggota legislatif bisa ditelusuri apa, siapa, dan apa keterkaitan seseorang dengan tokoh-tokoh sebelumnya. Maraknya praktek politik kekerabatan akan terus berlanjut selama proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan sebagaimana mestinya alias macet. Sebuah gugatan bagi para elite partai. ***


0 Tanggapan to “Korupsi, dan Politik yang Nepotik”



  1. Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s


%d blogger menyukai ini: