Author Archive for



30
Jun
13

Kado Pak Polisi

GambarSEORANG pengusa persewaan alat berat hilang. Dua hari kemudian, Sabtu 22 Juni 2013, mayatnya ditemukan di dalam mobil yang sudah remuk. Mobil ini dikubur timbunan tanah dan bebatuan di sebuah areal tambang di Sungailoban, Kabupaten Tanahbumbu, Kalimantan Selatan.

Belum tuntas pengungkapan kasus ini, warga Banjarmasin digegerkan oleh terbunuhnya seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), Selasa 25 Juni 2003, dini hari. Jenazahnya rebah berkuah darah di lantai sebuah diskotek. Polisi mengidentifikasi setidaknya ada 21 luka tusuk pada tubuh pria ini.

Sulit membayangkan, kekejaman macam apa yang mencengkeram pikiran para pelakunya, sehingga memperlakukan korban-korbannya sedemikian rupa? Atau adakah pesan yang sesungguhnya tersimpan di balik dua insiden ini?

Tanggal 1 Juli, Kepolisian Republik Indonesia merayakan hari ulang tahunnya yang ke 67. Banyak harapan digantungkan kepada lembaga ini sebagai abdi negara yang melindungi, melayani masyarakat, dan mengakkan hukum.

Banyak prestasi yang sudah ditunjukkan para bhayangkara negara ini. Demikian pula perannya yang langsung bersinggungan dengan kehidupan keseharian rakyat. Dibanding aparat intitusi lain, polisi lah yang boleh dikata setiap saat terlihat di tengah masyarakat.

Karena setiap saat terlihat itulah, segala gerak-geriknya pun menjadi perhatian warga. Mereka adalah sosok yang diharapkan mencerminkan tugas dan peran utamanya, melindungi dan melayani, mengayomi dan membimbing, menjaga memelihara ketertiban dan menjamin rasa aman warga, menegakkan hukum.

Karenanya masyarakat tersentak dan tercederai kepercayaannya manakala melihat ada tindak-tanduk personal aparat berseragam cokelat ini yang tidak selaras dengan gambaran ideal yang ada dalam pikiran setiap warga negara.

Warga muak ketika menyaksikan tayangan media sosial yang menggambarkan personel berseragam polisi berpangkat rendah memeras turis asing yang dianggam melanggar aturan lalu lintas di Bali. Demikian pula ketika mengikuti tahap demi tahap perkembangan kasus megakorupsi yang melibatkan petinggi di markas besar kepolisian RI nun di Jakarta sana.

Timbul kesan, perilaku korup di lingkungan institusi ini sudah menjalar sedemikian parah hingga tindak mengenal batas kepangkatan dan jabatan. Seolah nyaris setiap personel para bhayangkara ini belepotan noda korupsi.

Di sisi lain, publik juga tidak bisa mengesampingkan bukti-bukti keberhasilan para punggawa ketertiban dan keamanan ini, misalnya dalam pemberantasan terorisme. Dunia internasional mengakui penanggulangan terorisme di Indonesia termasuk yang terbaik dibanding negara-negara lain.

Bahwa masih ada unsur-unsur yang dinilai melanggar hak asasi dalam penanganan aksi ini, publik harus mengakui sejauh ini langkah-langkah mereka membuahkan hasil. Setidaknya, teror berlatar radikalisme di tanah air mereda, meski belum tentu bisa dikatakan sirna sama sekali.

Namun “teror” lain yang disebar dan dijalarkan para mafia narkotika dan obat berbahaya, tak kunjung bisa diredam. Bahwa ada publikasi mengenai penangkapan terhadap pembuat, pengedar, maupun pengguna narkoba, realitas menunjukkan bisnis barang haram ini seakan tak berpengaruh sama sekali.

Padahal, bahaya yang ditanamkan oleh para “teroris” jenis ini melalui sel-selnya yang bergerak di keremangan, tak kalah dahsyat dibanding bom bunuh diri para “pengantin sorga” yang rela mengorbankan hidupnya demi sebuah keyakinan. Bom waktu yang disebar para “teroris” narkoba ini bisa meledakkan masalah amat serius di kemudian hari.

Banyak pihak menilai para bhayangkara negara tidak serius memberantas para “teroris” narkoba. Jika mereka bisa dengan cepat menggerakkan detasmen khusus antiteror dan memberlakukan tindak- tindakan tegas, tidak demikian dengan penanganan atas para teroris narkoba.

Ada kesan, banyak aparat yang justru jadi bagian dalam mata rantai “aksi teror” para mafia ini dengan cara memembiarkan praktek-praktek mereka. Bahkan para personel itu secara individual mengambil manfaat dari situasi ini. Karena itu banyak pihak yang yakin bahwa “terorisme narkoba” tidak akan pernah bisa diberantas di bumi nusantara.

Ketika polisi menangkap pentolan-pentolan preman di ibu kota, masyarakat sempat bernapas agak lega dan menghirup harapan bahwa itu merupakan bangkitnya kekuatan para bhayangkara negara untuk menjamin rasa aman warga dari rongrongan dan praktek-praktek premanisme.

Namun, harapan itu segera saja menguap ketika muncul sejumlah peristiwa di berbagai tempat yang menunjkkan hal sebaliknya. Praktek ala bandit masih berlangsung di depan mata dengan skala kekejaman yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Rangkaian peristiwa penyerangan Markas Polisi di Baturaja, penyerangan Lembaga Pemasyarakat Cebongan, penindansan dan pengusiran atas warga minoritas, atau bahkan pembunuhan keji atas seorang pemilik usaha persewaan alat berat di Batulicin dan pembunuhan sadistis atas seorang tentara di sebuah diskoetek di Banjarmasin itu, menunjukkan bahwa warga tidak memiliki jaminan perlindungan memadai dari para bhayangkara ini.

Saat ini ada sekitar 395.000 personel polisi di tanah air. Mereka harus melayani kurang lebih 230 juta warga. Masalah tersebut selalu jadi argumen dalam perbincangan lemahnya kinerja polisi karena rasio ideal konon satu polisi berbanding 300 penduduk.

Namun hal yang lebih penting dari jumah ini tentu saja adalah persoalan mental, karena inilah yang akan menetukan integritas. Berapa pun besar jumlah aparat, tak berguna jika tak memiliki integritas. Situasi akan lebih parah jika anggota masyarakat masih belum kunjung mampu menjadi polisi bagi diri sendiri.

Selamat ulang tahun polisi Indonesia! **

06
Feb
11

Horor Cikeusik

KEKERASAN kembali terjadi dan menewaskan saudara sebangsa. Sekelompok orang menyerbu dan membantai anggota jemaah Ahmadiyah di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten Minggu. Sejumlah orang meninggal dan cidera dihakimi massa yang menganggap mereka sesat.

Itu peristiwa berdarah pertama tahun ini yang dibingkai sentimen keyakinan, dan insiden kesekian kali yang menimpa kelompok minoritas tersebut. Ia juga sekaligus melengkapi kenyataan bahwa hingga kini kekerasan terhadap kelompok minoritas tak kunjung bisa dibendung.

Tahun lalu, sebagaimana dilaporkan Setara Institute, tercatat 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di 20 provinsi. Tingkat pelanggaran tertinggi di Jawa Barat, 91 peristiwa. Lalu Jawa Timur 28, Jakarta 16 insiden, Sumatera Utara 15 dan Jawa Tengah 10 peristiwa.

Penindasan terhadap kelompok minoritas itu kembali menunjukkan tentang kondisi nyata kebebasan beragama/berkeyakinan di Tanah Air belum mendapat jaminan utuh dari negara. Praktik intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan masih terus terjadi.

Padahal secara normatif negara telah meneguhkan komitmennya melalui Pasal 28 e ayat (1 dan 2) UUD 1945. Jaminan yang sama juga tertuang dalam UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No 12/2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik. Namun demikian, politik pembatasan terhadap hak itu masih terus terjadi.

Sebelum insiden Cikeusik, Banten, publik tentu masih ingat peristiwa di Mataram Nusa Tenggara Barat. Bagaimana, warga mengintimidasi dan mengusir dan membakar permukinan dan tempat ibadah saudara sebangsanya. Peristiwa di Bogor dan Kuningan Jawa Barat juga demikian, atau peristiwa bekasi, ketika umat Nasrani dihalang-halangi dan diusir dari tempat mereka beribadah.

Semua insiden itu menyisakan luka batin dan cidera fisik yang tentu disertai korban harta benda, bahkan nyawa. Negara seharusnya tak menunggu hal itu terjadi karena undang- undang telah menggariskan demikian.

Nyatanya, dari 216 peristiwa kekerasan dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama/ berkeyakinan, 103 insiden melibatkan penyelenggara negara sebagai aktor. Dari jumlah itu, 24 merupakan tindakan pembiaran dan 79 tindakan merupakan tindakan aktif, termasuk pernyataan pejabat publik yang provokatif dan mengundang terjadinya kekerasan.

Sangat boleh jadi hal itulah yang hingga kini menyebabkan orang begitu garang dan galak, sehingga demikian gampang menyerang, membunuh dan –kalau perlu– memusnahkan orang atau kelompok lain sambil berlindung di balik topeng keyakinan.

Masing-masing pihak bisa melontarkan argumen untuk membenarkan tindakannya, tapi rasanya tak ada satu agama pun yang membenarkan penganiayaan dan pembunuhan terhadap penganut keyakinan lain.

Kebedaan –yang menjadi fitrah — membuat manusia butuh saling berhubungan untuk menemukan persamaan. Dan, dengan cara itu kerukunan bisa dirangkai dan diresapi di tengah maraknya individualisme yang membelenggu tiap orang.

Kerukunan itulah yang hingga kini selalu mengemuka di tengah pergaulan sosial bangsa kita. Di satu sisi, kita meyakini dan mencita-citakan kehidupan bersama yang rukun dan damai, namun di sisi lain kita juga menyaksikan insiden yang memicu ketidakrukunan.

Publik sering terheran-heran, mengapa orang sesuku dan seagama bisa baku bunuh. Padahal, sudah berabad-abad kita hidup dalam suasana yang tenang dan bersama-sama menciptakan kerukunan yang jadi sesuatu yang khas dalam kehidupan bangsa.

Tapi itulah yang terjadi. Kita kadang tak habis mengerti, mengapa ada saja orang atau kelompok yang memaksakan kehendaknya atas orang atau kelompok lain.

Kita prihatin, karena ternyata para pengelola negara tak juga mampu memberi perlindungan memadai bagi warganya agar bisa menyelengarakan kehidupan keberagamaannya secara bebas dan merdeka sesuai fitrah manusia. (*)

15
Agu
10

Negeri Apa Ini?

HAMPIR sepekan setelah insiden penyerangan terhadap sekelompok orang yang tengah melaksanakan ibadah, barulah presiden buka suara. Ia menginstruksikan para menteri terkait dan pemerintah daerah memperhatikan secara khusus tanda-tanda munculnya kembali ketakharmonisan antarumat beragama.


Insiden yang terjadi di Bekasi terhadap jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang sedang beribadah, maupun tindak kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah di sejumlah daerah sebelumnya, menunjukkan kecenderungan sebagaimana yang dimaksud presiden.

Demikian pula saat mencermati unjuk kekuatan sekelompok organisasi massa berbasis agama yang menekan pihak-pihak yang mereka anggap tidak sepaham dengan keyakinan yang mereka anut, belakangan ini makin sering tampak lagi ke permukaan.

Adalah beralasan jika ada sementara pihak yang mengungkapkan keprihatinannya dan menganggap insiden seperti itu sebagai gejala munculnya kembali dominasi orang yang mengatasnamakan kelompok mayoritas terhadap kaum minoritas.

Jika tidak segera diatasi, kecenderungan itu akan berkembang menjadi bom waktu yang bisa meledak setiap saat. Masuk akal jika kemudian kepala negara menginstruksikan polisi agar segera mencegah begitu muncul indikasi akan adanya kekerasan.

Apa yang berkembang selama ini, munculnya kekerasan dan penindasan terhadap kaum minoritas lebih dikarenakan lambannya antisipasi pihak berwenang terhadap gejala awal yang muncul.

Pada saat terjadi peristiwa pun, aparat cenderung berpihak kepada massa –biasanya berasal dari kelompok mayoritas– sehingga kaum minoritas seolah dilepas tanpa perlindungan dan dipaksa harus tunduk kekuatan kaum mayoritas.

Timbul pertanyaan, mengapa orang kini kembali mudah bertindak garang? Mengapa orang kini gampang menyerang –bahkan kalau perlu membunuh dan memusnahkan orang atau kelompok masyarakat lain– sambil berlindung di balik topeng keyakinan?

Masing-masing pihak bisa melontarkan argumen untuk membenarkan tindakannya, tapi rasanya tak ada satu agama pun yang membenarkan penganiayaan dan pembunuhan terhadap penganut agama lain.

Orang yang meyakini kebenaran agamanya, tentu tidak akan merasa terhalang untuk bersaudara dengan orang yang beragama lain, sebab hubungan antaramanusia justru akan terasa lebih indah manakala di sana tercermin adanya kebedaan.

Kebedaan –yang menjadi fitrah umat bumi– itulah yang membuat manusia harus saling berhubungan untuk menemukan persamaan. Dan, dengan cara itu kerukunan bisa dirangkai dan diresapi di tengah maraknya individualisme yang membelenggu setiap orang.

Kerukunan. Itu, inti persoalan yang kembali mengemuka belakangan ini, sehingga perlu dibahas secara khusus oleh presiden dalam sidang kabinet. Kita patut heran, mengapa orang sesuku dan seagama bahkan sekecamatan –hanya beda kampung– bisa baku serang. Padahal sudah berabad-abad kita hidup dalam suasana yang tenang dan bersama-sama menciptakan kerukunan yang jadi sesuatu yang khas dalam kehidupan bangsa.

Kerukunan yang telah lama terjalin dan di beberapa tempat sudah begitu sublim dalam kehidupan warga, mulai dirusak lagi. Padahal, barang siapa membuat kerusakan dan mengganggu ketentraman orang lain, sesungguhnya dia telah mengkhianati ajaran agama yang demikian mulia dan begitu menaruh tinggi martabat serta kehormatan manusiawi setiap manusia.

Kompas pernah menulis laporan tentang bagaimana kelompok kasidah dari muda-mudi Lembata Flores Timur (NTT) mengiringi Prosesi Salib Yubileum, berupa arak-arakan “napak tilas” mengusung kayu salib melalui 36 titik perhentian di pulau tersebut.

Malah, di beberapa titik perhentian itu, Salib tersebut diterima secara adat oleh sekelompok pimpinan umat Islam, sebelum kemudian ditancapkan pada titik yang disediakan dan mereka ikut mengangkat simbol umat Kristiani itu sebelum diusung untuk diarak.

Pernyataan Muhammad Siong, tokoh pemuda Islam Lembata Flores Timur, mungkin bisa memperjelas gambaran pola hubungan antarpemeluk agama di sana. Seorang Menteri sempat menangis terharu ketika meresmikan Masjid Amakaka di Kecamatan Ileape, saat dilapori bahwa hampir 80 persen anggota panitia pembangunan masjid itu umat Katolik.

Contoh lain, ketika Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat propinsi NTT digelar di Kota Ende (Flores). Spontan saja terbentuk kelompok pemuda lintas agama untuk menyongsongnya. Mereka mengawali kegiatan dengan menyelenggarakan Malam Dana di Aula Gereja Katolik Mautapaga, Ende. Hasilnya, disalurkan untuk membantu membiayai kegiatan MTQ. Mereka pun menjaga penuh keamanan selama pelaksanaan perhelatan besar tersebut.

Di daerah yang mayoritas penduduknya muslim pun, terjadi hal serupa. Aceh yang terkenal sebagai Serambi Mekkah, juga Banjar masin yang dikenal dengan masyarakat muslimnya yang religius, warganya mampu hidup berdampingan secara damai dan rukun dengan warga yang agama dan etnisnya berbeda.

Sepanjang gejolak berdarah-darah di Tanah Serambi, rasanya tak pernah terdengar ada penindasan –apalagi pemunahan– warga pemeluk agama lain di sana. “Perang” justru terjadi antara warga Aceh dengan pasukan yang dikerahkan penguasa. Sebagian besar di antara anggota pasukan itu memeluk keyakinan yang sama dengan mayoritas penduduk Aceh.

Begitu halnya kerusuhan yang meledak di Banjarmasin pada 1997, bukanlah kerusuhan yang menjadikan kaum minoritas sebagai sasaran.

Orang boleh saja berpendapat, contoh-contoh di atas tidaklah lantas mencerminkan secara utuh bahwa bangsa kita begitu rukun, sebab realitas di berbagai tempat justru menunjukkan hal sebaliknya.

Namun kita juga harus sepakat, betapa indah kerukunan seperti yang tampak pada contoh di atas bila benar-benar tercipta dari pancaran ketulusan manusiawi setiap orang, bukan karena ikatan formalitas yang dilegitimasi kekuasaan.

Kondisi macam itu baru bisa terbangun secara bertahap dan tercipta melalui pengembangan yang terus menerus sikap toleran di antara sesama. Yakni, secara tulus saling memahami dan mau menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Jeleknya kita, kadang lebih suka melihat kekurangan orang lain dan lebih membanggakan kelebihan diri sendiri, namun tak mau menerima hal yang sebaliknya. (*)

10
Agu
10

Mencontoh Gusti Hatta

“Eh.., itu menteri, kan?” bisik seorang perempuan kepada rekan seperjalanannya di dalam bus yang sesak. Yang dibisiki manggut- manggut, “Iyyaa… itu Pak Hatta, menteri lingkungan,” katanya dengan suara direndahkan.

Ya, orang yang mereka bicarakan adalah Gusti Muhammad Hatta Menteri Negara Lingkungan Hidup. Ia duduk di kursi bus pengangkut penumpang yang baru turun dari pesawat. Di sebelahnya, duduk sang istri. Di kiri-kanan dan depan mereka, berjejal penumpang yang tak hirau siapa pun.

Para penumpang pesawat Garuda, GA 536, Jakarta-Banjarmasin, Jumat (6/8) malam itu sama-sama letih. Setelah didera kemacetan arus lalu lintas menuju Bandara Soekarno-Hatta, jadwal keberangkatan pun ditunda satu jam.

Sebagai pejabat tinggi negara, Hatta sebenarnya berhak atas berbagai fasilitas khusus, termasuk saat berada di tempat publik. Jika pun ia duduk di kursi eksekutif di pesawat, patut sajalah. Demikian juga saat turun dari pesawat, wajar jika dijemput secara istimewa sebagai pejabat negara.

Saat turun dari pesawat, terlihat dua bus mini yang biasa digunakan mengangkut tamu-tamu penting, (VIP-very important person), tapi ternyata bukan menjemput menteri. Hatta dam istrinya memilih berdesak-desakan bersama penumpang lain di dalam bus. Entah orang penting mana yang malam itu minta jemputan istimewa.

Saat turun dari bus, Hatta menyeret sendiri koper berodanya. Beberapa orang menoleh ke arahnya. Mungkin mereka mengenali sosok yang barusan bersama-sama di dalam bus itu adalah menteri.

Tiba di gerbang keluar Bandara Syamsudin Noor, sebuah sedan Toyota Camry warna hitam mendekat perlahan. Saya pikir mungkin inilah mobil yang menjemputnya. Tapi Hatta dan istri terus bejalan memintas jalan di depan hidung sedan mewah itu, menuju areal parkir yang semerawut.

Pengelola parkir di bandara ini tampaknya cuma pintar mengutip uang, tapi tak mau menyediakan tenaga-tenaga terampil yang khusus mengatur arus lalu-lintas dan memandu serta menata kendaraan- kendaraan yang parkir.

Maka sang menteri pun harus berhati-hati memilih jalan agar tak kena seruduk mobil lain. Di areal parkir, Hatta manata sendiri barang bawaannya. Dia membuka kabin bagasi mobil berwarna cerah metalik, dan memasukkan bawaan, lalu menutupnya. Setelah itu, barulah ia masuk bergabung bersama istri dan kerabat yang malam itu menjemputnya.

Mobil yang digunakan untuk menjemputnya malam itu pun bukanlah mobil mewah, melainkan ‘mobil sejuta umat’, sebuah Toyota Avanza warna cerah metalik, dengan pelat nomor berkode F, tanda nomor kendaraan untuk wilayah Bogor, Jawa Barat dan sekitarnya.

Terlepas bahwa kedatangannya ke Banjarmasin, mungkin semata keperluan pribadi sehingga melepaskan diri dari ketentuan protokoler, predikatnya sebagai menteri tetap saja memberinya hak untuk berbeda dari rakyat kebanyakan. Namun, Hatta memilih jalan yang bersahaja.

Bandingkan dengan pejabat lain, negeri atau swasta, yang selalu menuntut perlakuan khusus. Bepergian ke mana pun, selalu didampingi ajudan yang membawakan tas dan membukakan pintu mobil. Tak perlu berjalan menuju kendaraan, karena mobilnya yang akan mendekat. Tak perlu khawatir perjalanan terhambat, karena ada voorijder yang memandu jalan, menghalau rintangan.

Malam itu Hatta memberi contoh tanpa gembar-gembor, bahwa jabatan dan kehormatan tidak luntur hanya kerena tidak memperole keistimewaan perlakuan.

Ia tetaplah seorang menteri negara meski berada di tengah jejalan penumpang bus, tanpa pengawalan ajudan, tanpa ada yang membawakan tas, dan tanpa ada yang membuka-tutupkan pintu mobil yang hendak ditumpanginya.

Para pejabat negara patut mencontoh gerak gerik menteri asal Banjar ini. Mau enggak ya?

10
Agu
10

Selamat Jalan Mimi, Mbah, Tia…

BERITA duka menutup akhir pekan kemarin. Dua tokoh politik, seorang istri anggota parlemen, dan seorang seniman besar yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk seni panggung, meninggal dunia. Para putra-putri terbaik bangsa itu meninggal dalam tempo nyaris bersamaan dengan cara berbeda-beda.

Tokoh besar politik nasional, Soetardjo Soerjogoeritno (Mbah Tardjo) meninggal dalam usia 76, Sabtu (7/8) sore di Jakarta. Sebelumnya seniman besar Mimi Rasinah, meninggal dalam usia 80 tahun dalam perjalanan menuju rumah sakit di Indramayu, Jawa Barat.

Kedua tokoh itu merupakan ‘panglima’ di bidang masing- masing, yakni sebagai politisi dan seniman. Mbah Tardjo adalah sosok nasionalis yang konsisten sejak terjun ke Partai Nasional Indonesia (PNI) di era Soekarno sampai lahirnya PDI Perjuangan, setelah gonjang-ganjing melanda Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tanpa Perjuangan yang dikooptasi rezim orde baru.

Mbah Tardjo boleh dibilang merupakan mentor atau patron bagi politisi yang lahir sesudahnya. Konsistensi sikap, integritas, dan rasa kebangsaannya sulit dicari tandingan. Apalagi di tengah membludaknya politisi dadakan yang masuk parlemen karena kebetulan, karbitan, atau kekerabatan.

Sama seperti Mbah Tardjo, Mimi Rasinah adalah sosok fenomenal yang dengan gigih mempertahankan seni tradisi di tengah gempuran arus perubahan yang tak kenal ampun menggilas nilai-nilai tradisi dan memulasnya jadi hiasan semata.

Rasinah tidak pernah mau menyerah. Kemiskinan dan kelemahan fisik tak membuatnya berhenti berkarya. Bahkan tiga hari sebelum ajal menjemputnya, dalam keadaan tubuh setengah lumpuh akibat serangan stroke, dia masih memanggungkan tarian kreasinya.

Mbah Tardjo dan Rasinah pergi secara wajar karena usia yang demikian uzur, ketika kekuatan dan keberadaan badaniah tak lagi mampu bertahan melawan keniscayaan untuk kembali ke ketiadaan.

Dua tokoh lain, yakni Setia Permana seorang politisi muda, dan seorang istri anggota DPR, meninggal dalam usia relatif muda. Masih produktif. Mereka pergi di tengah sukacita berwisata menikmati keindahan, ketika ombak menggempur kapal yang mereka tumpangi dan membantingnya ke pantai berbatu di Manado.

Setia Permana, boleh dibilang generasi baru di dunia politik nasional. Akademisi yang selalu gelisah atas perkembangan bangsanya ini baru dalam Pemilu 2009 masuk secara formal. Dia aktif di pergerakan mahasiswa melawan rezim penguasa pada 1977/1978, kemudian mengabdikan dirinya di dunia akademis.

Di era reformasi, dia mulai berpaling dari dunia akademis dengan menjadi Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerahnya. Kegelisahannya untuk ikut berperan memperbaiki bangsa ‘dari dalam’ membuatnya memutuskan bersedia menjadi anggota parlemen.

Perannya sebagai anggota dewan yang terhormat itu membawanya ke Manado Sulawesi Utara, untuk sebuah kunjungan kerja. Namun di sana pula kariernya berakhir untuk selamanya. Musibah menimpa rombongan parlemen itu sesaat setelah mereka bersenang-senang menikmati panorama dan keindahan Bunaken.

Mungkin tidak perlu dibahas, apakah piknik termasuk di dalam agenda setiap kunjungan kerja anggota dewan. Atau, semata memanfaatkan waktu senggang setelah letih bekerja memperjuangkan aspirasi rakyat.

Jika hal itu memang menjadi bagian dari agenda kerja parlemen, seharusnyalah ada persiapan dan prosedur standar menyangkut berbagai keperluannya, termasuk sarana angkutan yang digunakan.

Demikin pula mengenai keikutsertaan anggota keluarga. Jika memang ada ketentuan yang membolehkan anggota dewan membawa keluarga saat berdinas, seharusnya juga ada tata cara dan standar yang tegas.

Persoalannya bukan apakah biaya keluarga dibebankan kepada negara atau atas tanggungan sendiri, melainkan karena kepergian dan perjalanan anggota ke luar daerah maupun ke luar negeri adalah untuk bekerja bukan untuk bersenang-senang bersama keluarga.

Di satu sisi, kepergian orang-orang itu memberi pelajaran berharga bagi anak-anak bangsa tentang bagaimana seharusnya orang mendedikasikan diri sepenuhnya tanpa pamrih kecuali pengabdian pada profesi dan bangsa.

Di sisi yang lain, kepergian mereka juga memberi peringatan kepada segenap anak bangsa untuk tidak mencampuradukkan kepentingan dan kesenangan pribadi dan keluarga manakala sedang menjalankan tugas negara. (*)

13
Jun
10

Dua Rudy dan Spirit Demokrasi

PASANGAN Rudy Ariffin-Rudy Resnawan resmi menjadi gubernur dan wakil gubernur Kalimantan Selatan, 2010-2015. Berdasarkan rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jumat (11/6), pasangan itu memperoleh dukungan 777.554 suara atau 46,81 persen dari 1.661.223 suara sah. Mereka unggul di 11 kabupaten/kota.

Pasangan Zairullah Azhar-Habib Aboe Bakar Al Habsyi (ZA) yang unggul di dua kabupaten yakni Tanahbumbu dan Kotabaru berada pada posisi kedua dengan perolehan 376.274 suara atau 22,65 persen. Surat suara tidak sah dalam Pemilukada Gubernur Kalsel itu sebanyak 88.849 lembar.

Hari ini, Senin 14 Juni 2010, KPU Kalsel menetapkan hasil pemilihan tersebut sekaligus mengukuhkan (kembali) Rudy Arifin sebagai gubernur didampingi Rudy Resnawan sebagai wakil gubernur. Keduanya mengemban amanah para pemilih untuk memimpin sekaligus melayani segenap warga Kalsel.

Merujuk pada daftar pemilih tetap (DPT), pemegang hak suara dalam pemilihan umum kepala daerah kali ini sebanyak 2.623.296 orang. Jika surat suara yang sah 1.661.223 lembar dan surat suara tidak sah 88.849 lembar, maka jumlah yang tak memilih mencapai 873.224 orang, atau 12 kali lebih besar dibanding suara tak sah pada pemilihan gubernur 2005.

Gejala tak memilih dan gejala suara tak sah itu pada satu sisi bisa dipandang sebagai pembelajaran dalam proses demokrasi, meski di sisi lain bisa juga dilihat sebagai bentuk perilaku politik pemilih. Ia bisa ditafsirkan beragam, mulai dari ketaktahuan, ketidakpedulian, hingga pemberontakan.

Mengingat jumlahnya cukup signifikan, yakni mendekati 30 persen dari jumlah penduduk Kalsel, maka tentu saja gejala itu tidak bisa diabaikan begitu saja oleh pasangan yang kini diamanati untuk melayani warga Banua.

Mereka adalah warga negara yang memiliki hak yang sama dengan mereka yang menggunakan hak suaranya pada saat pemilihan, baik yang memilih pasangan yang kini jadi pemenang maupun yang memilih empat pasangan lain. Kecenderungan itu harus jadi perhatian segenap pemimpin di Kalsel untuk menyempurnakan lagi komunikasi politiknya demi memperkuat kehidupan demokrasi ke arah yang lebih baik lagi.

Hal lain yang patut dicatat dari proses politik itu adalah makin berkembangnya kesadaran masyarakat terhadap penyelenggaraan pemilihan umum secara damai. Hal itu bisa dimaknai sebagai modal politik paling berarti bagi Kalimantan Selatan, karena tanpa kedamaian mustahil kita bisa melakukan demokrasi secara sehat.

Spirit damai itu sangat boleh jadi merupakan karakter dasar urang Banua, sebab sudah ditunjukkan tidak saja pada pemilu kepala daerah kali ini dan lima tahun sebelumnya, melainkan sejak masa- masa awal reformasi yang disusul pemilihan umum. Mengutip pernyataan Bupati Banjar –saat itu Rudy Arifin– seorang tokoh Carter Center Indonesia (CCI — lembaga swasta pemantau pemilu yang didirikan mantan presiden AS Jimmy Carter) menyatakan, warga di sini hidupnya sungguh demokratis, tidak membedakan satu dengan yang lain.

Masyarakat tentu berharap, spirit demokrasi damai itu tetap terpelihara dan makin dikedepankan dalam pelbagai kesempatan, karena dengan cara itulah bangsa kita kian tambah dewasa dalam berpolitik. Semua pihak tentu berharap situasi yang aman dan damai itu terus terjaga, baik dalam pesta politik maupun dalam kegiatan kehidupan sosial hari-hari ini dan seterusnya.

Demokrasi yang sehat adalah ketika pihak yang kalah menerima kekalahan dan langsung bahu membahu dengan pihak pemenang untuk melaksanakan proses sesuai dengan prosedur yang sudah disepakati demi mencapai tujuan bersama.

Pemenang menjalankan amanat rakyat dengan penuh tanggung jawab, pecundang menerima kekalahannya dengan lapang dada. Pemenang dan pecundang bergandeng tangan berjuang memajukan bangsa tanpa melihat lagi siapa kalah siapa menang.

Kekurangan di satu pihak diisi oleh kelebihan dari pihak lain. Kelebihan satu pihak berguna untuk mengisi kekurangan pihak lain. Semua kembali berjalan seiring bersama, sampai pada batas waktu yang disepakati kemudian memulai lagi proses dari awal menuju kehidupan demokrasi yang lebih baik lagi. **

13
Jun
10

Menanti Masjid

SETIDAKNYA ada 120 ribu warga Indonesia di Hong Kong, dan mayoritas beragama Islam. Hari-hari ini mereka sedang bermimpi memiliki masjid sendiri yang tidak saja bisa digunakan untuk beribadah, melainkan juga aktivitas dakwah secara luas, dan pendampingan bagi kaum pekerja di rantau ini.

Selama ini, kebanyakan dari mereka lebih sering menggunakan musala di Konsulat Jenderal (Konjen) RI Hong Kong kalau hendak menunaikan salat Jumat. Sedangkan kegiatan yang lebih besar terpaksa dilakukan di lapangan terbuka.

Timbul persoalan ketika mereka mau melaksanakan salat wajib pada saatnya. “Untuk berwudu saja terpaksa kucing-kucingan dengan penjaga toilet gedung karena dianggap bikin kumuh dengan mencecerkan air terlalu banyak di lantai,” kata Ria Susanti, seorang jurnalis Indonesia yang sudah tiga setengah tahun mukim di sana.

Saat ini di Hong Kong, ada empat masjid besar yang cukup populer, baik karena bangunannya yang luas maupun karena catatan historisnya. Keempatnya adalah Masjid Jamiah di Shelley Street Mid-Levels, Masjid Ammar di Wan Chai, Masjid Kowloon di Tsim Sha Tsui, dan Masjid Cape Collinson di Chai Wan.

Masjid Jamiah adalah yang tertua. Ia dibangun pada 1890 dan direnovasi 1905, dan tercatat sebagai masjid tertua. Pemerintah Hong Kong sudah menetapkannya sebagai cagar budaya.

Masjid yang juga dinilai cukup bersejarah adalah Masjid Kowloon yang sekaligus dijadikan Pusat Keislaman. Masjid ini didirikan pada 1896 dan dibuka kembali pada 1984 setelah dilakukan renovasi besar-besaran.

Masjid Kowloon dibangun dengan mengadaptasi gaya arsitektur tradisional, empat menara dan satu kubah. Masjid ini terdiri atas empat lantai dan gagah berdiri di sebelah Kowloon Park.

Masjid-masjid tersebut dipenuhi komunitas Muslim Pakistan, Nepal atau China jika salat Jumat digelar. Sedangkan orang Indonesia rata-rata memilih menunaikan salat Jumat di musala kantor Konjen RI.

Saat lebaran lalu, Konsulat Jenderal RI untuk Hong Kong Ferry Adamhar menyatakan dalam waktu dekat pihaknya membangun masjid yang cukup memadai. Kini, pihaknya sedang melakukan pendekatan kepada otoritas Hong Kong.

Jika pendekatan berhasil, maka masjid yang akan berlokasi di daerah Chai Wan tersebut terealisasi pada 2013. “Mungkin akan dibangun empat atau lima lantai,” ujar Ria, mengutip keterangan pengurus Musala Al-Falah, Abdul Ghofur yang juga pengurus Dompet Dhuafa Hong Kong.

Ghofur menyatakan, selepas Ramadhan lalu memang ada pembicaraan soal pembangunan masjid ini dan pihak KJRI mendukung gagasan tersebut.

Menurut Ria, beberapa waktu lalu malah sempat muncul pula gagasan di kalangan kaum perempuan Indonesia yang bekerja di sana, untuk memiliki masjid yang dikelola sendiri

Maklum, dari seluruh tenaga kerja Indonesia yang mencari nafkah di Hong Kong, boleh dikata 90 persen adalah perempuan. Ini tampak kalau pas Idul Fitri atau Idul Adha. “Banyak yang akhirnya batal ikut salat karena keterbatasan tempat. Padahal hampir seluruh jemaah laki-laki kebagian tempat,” ujarnya.

Ide untuk mendirikan masjid yang dikelola sepenuhnya oleh kaum perempuan ini bersambut gayung dengan organisasi perempuan muslim terbesar di Tanah Air, Fatayat-Nahdlatul Ulama. “November tahun lalu Ketua Umum Fatayat, Maria Ulfa Anshor, bahkan menyempatkan diri datang ke Hong Kong untuk membicarakan ide ini,” tutur Ria.

Namun imam Masjid Tsim Sha Tsui sudah menyatakan penolakannya terhadap ide tersebut. Dia menilai, keberadaan masjid perempuan itu terlalu eksklusif. Padahal, yang dimaksud adalah masjid yang dikelola perempuan bukan hanya untuk perempuan.

Hari-hari ini masjid khusus yang dibangun oleh dan untuk warga Inonesia di Hong Kong itu belum terwujud. Karenanya, kegiatan peribadatan yang melibatkan massa terpaksa masih “nebeng” di areal terbuka, misalnya di lapangan Indiana Club. (*)

Tersudut di Sarang Judi

BAGI sebagian orang, Macau sama artinya dengan sarang kemaksiatan. Perjudian legal telah menumbuhkan kawasan peninggalan Portugis ini jadi kota yang sangat maju secara ekonomis, dan gemerlap dalam segala hal.

Di sela-sela kegemerlapan kota dengan berbagai riuh- rendahnya, tentu agak sulit mencari tempat ibadah yang representatif. Karenanya, keberadaan masjid di sini jadi istimewa.

Masjid Macau atau Mosquita de Macau, terletak jauh dari pusat keramaian. Di ujung kota. Suasana sehari-harinya sepi, dan gerbangnya selalu digembok dari dalam. Di balik gerbang inilah  masjid ini terletak. Ukuran kira-kira 6,5 m x 12 m. Rasanya, lebih cocok disebut musala.

Menariknya, masjid ini biasanya ramai pada Minggu, bukan Jumat seperti di Tanah Air. Maklum, sebagian besar di antara jemaah itu adalah pekerja asing di Macau yang terikat jadwal waktu kerja yang amat ketat.

Seperti di Hong Kong, Minggu adalah hari “kemerdekaan” mereka, sehingga bisa leluasa pergi ke mana saja sampai Senin dini hari. Nah, tiap Minggu, di masjid ini diadakan pengajian untuk para pekerja Indonesia di Macau. (*)

13
Jun
10

Pssst… Ada Pak Dhe!

MINGGU pagi di Victoria Park. Ini bukan judul film yang dibuat dan dibintangi Lola Amaria tentang tenaga kerja Indonesia di Hong Kong, tapi betul-betul suasana pagi hari Minggu 16 Mei 2010. Rasanya seperti di tanah air. Tepatnya, seperti di Jawa.

Orang Hong Kong bilang, Minggu adalah hari Indonesia karena saat itulah orang-orang asal Indonesia yang bermukim di Hong Kong datang ke taman yang luasnya kira-kira dua kali luas Alun-alun  Bandung ini.

“Sialan! kowe rak bilang-bilang wis bebe-an. Ayo mana PIN- nya, gabung ke grup awak dhewek ya.. wis rolas ki! (sialan, kamu tidak bilang sudah punya BlackBery. Ayo mana PIN-nya, gabung ke grup kita. Sudah dua belas orang,” celoteh seorang perempuan yang baru turun dari bus. Ia berjalan memasuki taman. Tangan kirinya menekankan telepon ke kuping. Tas tercangklong di lekukan siku kanan, sementara tangan kanannya menggenggam BlackBerry.

Ia bergegas menuju kursi taman di bawah kerindangan pohon, berteduh dari gerimis tipis. Tak jauh dari tempatnya, 20-an orang usia lanjut, laki-perempuan, sedang merapal jurus-jurus pelan taichi diiringi musik lembut yang mengalun lambat.

Perempuan tadi mengaku bernama Marni. Katanya berasal dari Ngawi, Jatim. Katanya sudah empat tahun bekerja di Hong Kong. “Ya kalau dirupiahkan, rata-rata sekitar tujuh juta (rupiah) sebulan,” katanya mengenai upahnya  sebagai pembantu rumah tangga. Dia menyebut sebuah tempat di Kowloon, tempatnya bekerja.

Sebagian pendapatan dikirim ke kampung halaman. “Untuk biaya sekolah. Tahun ini anak pertama saya masuk SMP,” katanya. Sebagian lagi ditabung dan untuk keperluan pribadi seperti untuk ongkos dan beli makanan di taman Victoria itu.

Pagi itu sekitar pukul tujuh. Banyak warga Hong Kong yang berolah raga. Ada yang taichi, tenis, lari, atau sekadar joging. Bersamaan itu warga asal Indonesia mulai berdatangan.

Beberapa di antara mereka dalam kelompok kecil yang kemudian bergabung dengan kelompok yang lebih besar sebelum berkumpul di pojok-pojok strategis bahkan sampai ke trotoar luar taman, persis di tepi jalan raya atau di bawah keteduhan jembatan penyeberangan.

Seorang perempuan berusia pertengahan dua puluhan, tampak tak hirau kiri-kanan. Ia bersolek sambil bersandar ke pagar besi pembatas antara trotoar dengan jalan raya. Tangan kirinya mementang cermin kecil di balik tutup kotak bedak, tangan kanannya sibuk menata alis. Di sebelahnya, tiga perempuan sibuk menata barang- barang yang baru dibongkarnya dari tas.

“He..psst…pssst, ada pak dhe. Ada pak dhe..!” seru seorang perempuan di belakang kami, saat kami melintas. Perempuan yang mengemasi barang itu dengan takut-takut menatap ke arah kami. Saya menoleh ke arah penyeru tadi, “Apa mbak…?”

“Oalahhh….jebule sedulur (ternyata saudara). Dari Indonesia ya Pak? Kami kira polisi, lha wong bapak itu (dia melirik ke arah rekan seperjalanan saya) mirip pak dhe, je..!”

Rupanya, pak dhe adalah sebutan warga Indonesia bagi polisi Hong Kong. Rekan jalan saya, memang bermata sipit berklulit kuning, asli kelahiran Bangka. Mereka mengira kami polisi berpakaian sipil.

Sejatinya, taman Victoria dan sekitarnya terlarang bagi aktivitas perdagangan. Apalagi jual beli makanan yang berpotensi mencecerkan sampah. Namun sulit mengawasi secara ketat saat lebih dari dua ribu orang tumplek di satu tempat.

Hari-hari ini ada sekitar 120 ribu warga Indonesia di Hong Kong. Sebagian besar di antara mereka adalah perempuan sebagai pembantu rumah tangga. Minggu adalah ‘hari merdeka’ buat mereka, dan ke Victoria Park, mereka berlibur. Bertemu dengan saudara setanah air.

Berbagai kegiatan dilakukan di taman ini. Mulai dari sekadar kongkow dan ngobrol-ngobrol, bertemu pacar, arisan, hingga pengajian dan persekutuan doa. Dari taman ini, biasanya mereka lalu menyebar dan bergabung ke hiruk-pikuk megapolitan Hong Kong.

“Nah, orang-orang ini kan perlu makan dan minum. Maka kami jualan makanan. Lumayanlah untuk menambah tabungan,” kata perempuan mengaku bernama Sulis. Katanya sih dari Klaten, Jateng. Pagi itu ia berjualan kue-kue basah khas Indonsia. Sekotak plastik kelelepon, getthik jiwel dan sejenisnnya, dia jual lima dolar Hong Kong.

Rekannya, Ida, sedang sibuk menyiapkan dagangan. Bakso dan sop serta soto. Ia menggodok kuah-kuah itu pada sebuah panci di atas  kompor gas kecil yang disamarkan di dalam kardus yang disamarkan lagi dalam tas bepergian.

‘Dapur berjalan’ ini sangat membantu kalau pas ada razia. Tinggal buang kuahnya, matikan api, tarik risleting tas, lalu cabut!

Suasana Indonesia di Taman Victoria ini berlangsung dari pagi buta hingga tengah malam menjelang pergantian hari. Di sinilah warga Indonesia yang sehari-harinya terikat tugas rutin dan jam kerja yang ketat, bisa melepaskan diri dan tampil sebagai diri sendiri untuk bertemu dan bergabung ke dalam komunitas asal-mula.

“Ya, untuk yang baru-baru, taman itu memang menyenangkan. Setidaknya, bisa bertemu dengan saudara-saudara setanah air. Tapi kalau sudah dua tiga bulan, kita baru tahu ada yang cocok, ada juga yang hmmm… nggaklah,” kata Dwie yang ditemui di bandara Hong Kong sehari berselang. Ia tak bersedia menjelaskan lebih jauh, apa yang dimaksudnya itu.

Ia mengaku sudah tujuh tahun bekerja di Hong Kong, sejak lulus SMA. Ia juga mengaku kini diberi keleluasaan majikannya untuk sekolah lagi. “Saya sedang sekolah komputer,” katanya. (*)

11
Jun
10

Terjerumus ke “Bordil Cyber”

SEPANJANG pekan ini publik disentak oleh gempa digital porno menyusul beredarnya rekaman amat pribadi pasangan artis terkenal. Dua perempuan pesohor, satu pria penyanyi dari grup band terkenal jadi bulan-bulanan pemberitaan. Salinan rekaman adegan intim mereka, dengan cepat menjalar berkat kemudahan akses informasi.

Heboh pun meledak-ledak karena diperkuat pula melalui forum pembahasan di televisi yang menghadirkan tokoh-tokoh publik, pengamat, ahli teknologi informatika, polisi, bahkan perempuan yang pernah jadi “korban” musibah digital ketika rekaman adegan intimnya dengan anggota parlemen muncul di ruang maya dan kontan jadi santapan publik.

Tiap kurun seolah menghadirkan gejala serupa dalam takaran yang berbeda. Awal 80-an heboh meledak menyusul beredarnya foto perempuan penyanyi Bandung dalam pose-pose tanpa busana. Saat itu, kamera video dan lensa digital belum populer. Internet, apalagi! Jadi, gelombang hebohnya tidak menjalar secepat dan sebesar sekarang.

Periode berikutnya, publik tentu masih ingat kasus yang melibatkan dua mahasiswa di Bandung beberapa tahun lalu. Kemudian rekaman panas Ayu Azhari, Yuni Shara, mendiang Sukma Ayu, rekaman bugil peserta casting iklan sabun, heboh rekaman panas anggota parlemen dengan penyanyi dangdut dan geger adegan intim anak seorang bupati dengan pasangannya.

Mudah ditebak, segera saja rekaman adegan suami istri dari artis terkenal yang bukan suami istri ini pun dengan cepat menjalar. Ada saja yang  mengunduh dan menyebarkannya, atau merekamnya, memasukkannya ke dalam telepon selular, dan seterusnya bahkan ada yang menjadikannya sebagai komoditas laris di pasar cakram digital video. Dan, publik melahapnya dengan rakus. Tanpa ampun!

Di satu sisi, peristiwa ini kian membuka mata tentang betapa kian terbuka dan makin bebas perilaku sebagian di antara para selebritas atau pesohor itu. Gonta-ganti pasangan –apalagi jika betul masih ada rekaman sejenis dari pria sang artis itu dengan 30-an perempuan berbeda– seolah bukan lagi aib, melainkan justru jadi semacam kebanggan.

Pada sisi lain, ia juga makin menyadarkan publik mengenai bagaimana seharusnya kita berada di tengah kemajauan teknologi dan keserbagampangan mengakeses informasi. Ini mengandung arti bahwa sesungguhnya, cepat atau lambat, jutaan pasang mata siap melahap mentah-mentah segala apa pun yang kita lakukan.

Betul bahwa polisi bisa saja melacak orang yang pertama mengirim rekaman-rekaman macam itu ke internet, untuk menjeratnya sebagai pihak yang turut serta melakukan perbuatan pidana me nyebarluaskan pornografi. Namun perlu waktu amat lama untuk menemukan para pengelola “bordil cyber” seperti itu.

Lagi pula, rasa-rasanya perangkat hukum kita yang terbaru pun belum secara maksimal bisa menjangkau ruang maya publik (public-cyberspace) yang tidak saja sudah menggantikan sebagian fungsi toko buku, pasar, koran, bahkan prostitusi dan segala tetek-bengeknya, melainkan sudah seperti rimba raya digital yang demikian ruwet.

Begitu Anda sendiri, atau seseorang “memasukkan” Anda ke rimba itu, habislan. Ditelan atau dicabik-cabik tanpa ampun sebagaimana yang dialami artis-artis itu. Kita yakin, mereka tak sebodoh itu untuk secara sengaja mengirim rekaman adegan intimnya ke rimba maya. Pasti ada orang ketiga yang melakukannya, dan jutaan pasang mata melahapnya.

Jika apa yang menimpa para artis ini boleh disebut musibah, maka sangat bisa jadi masih akan terus berulang di kemudian hari dengan korban lain. Yang jelas, teknologi makin mempermudah semua orang. Jaringan internet memberi ruang terbuka publik yang nyaris tanpa batas bisa menampung dan menyediakan informasi apa saja, termasuk gambar-gambar yang paling pribadi sekali pun.

Peristiwa yang menimpa –sementara ini– tiga pesohor itu juga patut jadi peringatan bagi siapa saja, entah itu pejabat atau tokoh publik, entah itu seseorang anonim, bahwa tekonologi masa kini yang makin canggih, kian murah serta makin mudah penggunaannya mengandung risiko semakin mudah pula menyalahgunakannya.

Tanpa kearifan dan kedewasaan, maka keserbamudahan yang dihasilkan teknologi itu juga memberi celah yang amat besar untuk menghadirkan kesulitan alias ketidakmudahan. Artinya, pesatnya perkembangan teknologi, mutlak disertai pesatnya perkembangan pikiran, perilaku, dan akal budi.
Jika tidak, ya pasti jadi korban. ***

10
Jun
10

“Wolek? Wolomi…Wolomi…!”

SORE itu, pertengahan Mei lalu, kami sudah berada di antara ribuan orang yang menyesaki Tung Choi Street, di kawasan Mongkok. Para turis mengenal jalan ini sebagai Ladies Market, meski tak ada hubungannya dengan perbedaan gender, sebab cuma seruas jalan yang disesaki pedagang kaki lima.

Ruas jalan selebar sekitar delapan meter ini membelah areal pertokoan.
Lapak dan tenda-tenda pedagang memadati sisi kiri dan kanannya menghalangi deretan toko, menyisakan sedikit ruang di tengah jalan untuk orang berlalu-lalang berdesak-desakan.

Sama seperti kawasan pedagang jalanan di kota-kota besar di tanah air, di sini pun faktor paling penting saat transaksi adalah kepandaian dan keberanian menawar. Barang yang dijaja sangat beragam. Boleh dikata, apa pun barang yang kita cari, ada di sini.

“Kalau mau belanja, tawar sampai 30 persen dari harga yang mereka ajukan,” saran seorang teman yang sudah sering ke Hong Kong. Kami tak berniat belanja, cuma ingin melihat-lihat saja memuaskan rasa ingin tahu.

Bisa dipastikan, semua barang yang dijual di sini produk China. Meski ada satu dua toko yang menyatakan hanya menjual barang asli, yang diimpor dari negara pembuat. Tapi, siapa bisa menjamin?

Apalagi China terkenal sebagai sorga para pembajak dan penjiplak. Amerika paling berang pada aktivitas penjiplakan negeri Panda ini. Produk palsunya tidak saja dijual di dalam negeri tapi disebar ke berbagai negara di dunia. Mulai dari barang elektronik, garmen, furnitur, susu formula, hingga piranti lunak, semua dipalsukan China.

Menurut Bea Cukai dan Patroli Perbatasan AS, selama  2004-2009, China (termasuk Hong Kong) menyumbang 84 persen pengumpulan nilai barang palsu yang disita di Amerika Serikat. Amrika dirugikan miliaran dolar (triliunan rupiah) karenanya. Kelompok antarpemerintah yang berbasis di Paris juga menganggap China sebagai pelanggar nomor wahid dalam memalsukan produk.

Logikanya, jika di barang palsu yang masuk ke Amerika saja, 84 persen dari China, apalagi di Hong Kong yang notabene adalah bagian dari China. Apalagi di kaki limanya! Jadi jangan heran kalau pelancong menemukan tas Gucci, Coach, atau Longchamp dengan harga amat miring.

Longchamp, misalnya. Tas tangan perempuan, aslinya buatan Perancis dan hari-hari ini sedang ‘ngetren’ di kalangan perempuan modis, harganya (yang asli) antara Rp 1,3 juta sampai Rp 2 jutaan. Di Ladies Market, dengan uang sebanyak itu Anda bisa mendapatkan sepuluh tas Longchamp! Tentu saja palsu. Tapi sekilas tak kentara bedanya.

Tas Dior model terbaru (tentu palsu juga) dibuka dengan harga 400 dolar Hong Kong (sekitar Rp 460.000). Setelah ditawar habis-habisan sampai 100 dolar. Pedagang itu mematok harga mati 150 dolar.

Begitu pula barang-barang lain bermerek terkenal. Iseng- iseng teman kami menanyakan jam tangan Rolex kepada seorang pedagang di sana, dengan cara menunjuk jam asli yang dikenakan rekan seperjalanan kami.

Perempuan muda penjaga lapak ini bicara cepat kepada temannya, lalu berpaling lagi ke arah kami sambil bicara, mungkin dalam bahasa Inggris dengan dialeknya sendiri. Bicaranya mrepet tak kalah cepatnya dengan tadi.
“Wolek..?” kata dia sambil matanya melihat lengan rekan seperjalanan kami yang menenakan Rolex asli.

Teman saya mengangguk-angguk. Seketika perempuan pedagang itu bangkit, “Wolomi..wolomi!” katanya sambil beringsut. Rupanya dia mengajak kami mengikutinya. Dalam dialek dan artikulasinya, kata follow me, jadi terdengar wolomi…!

Ia berjalan cepat sekali, zigzag melawan arus pengunjung yang berjejalan. Kami mengikutinya menyuruk-nyuruk di bawah tenda dan lapak-lapak, menyusuri lorong sempit di sela lalu lalang orang.

Di suatu tempat kami dipertemukan dengan seorang pria yang duduk di lapaknya, yang cuma terdiri atas sebuah meja, kipas angin, kalkulator, dan setumpuk buku katalog.

Penjual jam tiruan ini tak berani menggelar dagangannya secara terang-terangan. Mau cari Rado, Tissot, Tag Heuer, Tewie? Tinggal bilang saja. Saat kami menunjuk potret jam pada katalognya, ia manggut-manggut lalu mengajak kami memasuki lorong kecil di antara bangunan, serasa dalam adegan film Jackie Chen…!

Diambilnya sebuah kotak sebesar laptop, yang ternyata merupakan tempat memajang Rolex yang dimaksud. Ia menunjuk jam tangan bermerk Rolex jenis submariner lalu mengangsurkannya. Jam ini sangat mirip. Permukaannya sangat halus, hampir tak bisa dibedakan dari yang asli.

Lelaki ini mengambil kalkulator, lalu mengetikkan angka- angka dan menunjukkannya. Kalau dirupiahkan, ia memasang harga 3,8 juta rupiah. Harga Rolex asli tentu saja seratus kalinya. Yang paling murah saja, harganya di atas 300-an juta rupiah.

Dia menyorongkan kalkulator agar saya mengetikkan angka penawaran. Saya tak tertarik, karena memang tak gemar mengoleksi jam tiruan. Apalagi yang asli. Kalau sekadar untuk bergaya, cari “Rolex”  di Cengkareng saja, hehehehe…..! (*)