bita.jpgarga1.jpglaras.jpgdika1.jpg

Eshbita Harlina – Istriku. Ibu dari anak-anakku, Arga Sinantra Rahmat Si Sulung; Laras Sukmanintyas (kedua), dan Si Bubngsu Andika Megaswara.

Arga  – Lahir di Bandung 8 Juli 1983: Raja iseng. Seringkali adik-adiknya dan mamanya jadi korban keisengan. Teman-teman seangkatan, bahkan satu dua yang di bawah dia, sudah pada selsesai kuliah. Ada yang sudah kerja. Dia masih santai. “Saban tahun, puluhan ribu orang antre mau masuk Unpad, lha sayang kan kalau Aa cepet-cepet selesai,” kilahnya.

Takut hewan. Lalat, cecunguk, cicak, capung, ayam, kucing, bisa bikin dia mendadak kehilangan “kejantanan”. Apalagi hewan yang lebih besar. Tapi, anehnya, dia sering banget keluar-masuk hutan/gunung.

Waktu kecil, susah makan. Lamaaaaaa banget menghabiskan satu mangkuk bubur. Sampai kelas 1 SMA dia masi bawa bekal makanan dari rumah. Umur 2 sampai 4 tahun suka merenung, duduk berlama-lama di emperan teras rumah neneknya, memandangi bulan.

Ketika usia antara 3-4 tahun sangat suka wayang golek. kadang jadi dalang dadakan atau berperan sebagai wayang orang (karena tak juga mahir memainkan wayang golek yang harus dirogohnya, dan heran kok wayang nggak ada “anunya” tapi ditutupi sarung kayak anak disunat).

Mulai tertarik wayang ketika kami bertamu ke rumah seorang teman. Di sudut ruang tamunya ada wayang golek, Bima, sebagai hiasan. Tuan rumah sempat mendemonstrasikan –alakadaranya, wong bukan dalang– cara memainkan Sang Bima.

Saat kami pamit, tuan rumah merelakan boneka wayangnya diboyong. Tiba dirumah, dia paksa bapaknya dalang, “crek-crek nong, crek-crek nong lah! Lakadala…. dst”. Bapaknya harus bersila dan menggunakan dua dengkul sebagai gendang, tangan memukul, dan ketipak-ketipung ketipak-ketipung (bunyi gendangnya ya mulut).

Belakangan karena dia tak jga mahir memainkan boneka bertangkai itu, dia sendiri yang minta didandani seolah-olah jadi Bima. Bapaknya jadi nayaga sekaligus dalang. Biasanya dia ngumpet dulu di kamar. Saat musik “ditabuh” maka Bima pun datanglah, keluar dari kamar dengan hentakan gagah pada setiap langkah dan lengan terkembang (ngarengkenek) seperti pemain wayang orang memerankan Bima.

Saat dalang bertutur menyuarakan Bima, tangannya bergerak-gerak memeragakan adegan orang sedang bicara. Saat-saat seperti inilah, biasanya, kami yang menyaksikan (bapa-ibunya, nenek, paman, tante) jadi ribut.

Lha saat menggerak-gerakkan tangan itu, jempolnya selalu terselip di antar telunjuk dan jari tengah. Orang-orang tertawa, dia seperti senang karena gayanya terpuji. Padahal orang menertawakan jarinya itu lho.

Takut oleh luka sekecil apa pun. Jangan kata berdarah-darah, sekadar disuntik saja bisa membuatnya lari pontang-panting. Pernah bikin geger UGD RS Santo Yusup, ketika tangannya cedera tertusuk gunting. Perawat mau merawatnya. Dia pikir mau disuntik. Maka dia melesat dari tempat tidur terus lari dan merangkak-rangkak cepat di kolong-kolong brankar di UGD. Orang se-UGD sibuk “menangkapnya”.

Setelah menjelang dewasa pun, jarum suntik tetap jadi momok yang menakutkannya. Saat kena gejala DB dan di rawat di RS, suster mengalami kesulitan ekstra keras untuk menginfus. Jarum infus baru bisa ditusukkan, setelah dia ditangani empat orang. Adiknya, Mamanya, Eyyo (temannya) masing-masing mengunci kaki, tangan, dan kepalanya. Barulah suster bisa punya ruang dan kesempatan melaksanakan tugas.

Punya masalah dengan penglihatan (mungkin bawaan sejak lahir), tapi kedua orangtuanya tak segera menyadari. Baru setelah naik kelas 2 SD, dia diperiksakan ke dokter mata. Ternyata matanya sudah minus dua setengah. Dokter ‘memarahi’ kami dan kami cuma saling pandang.

Beberapa hari kemudian, kacamatanya jadi. Saya ajak dia mengambil kaca mata di optik. Ia langsung mebngenakannya dan pas, tak pake pusing-pusing dulu. Di sepanjang perjalanan pulang (dia duduk di depan saya di atas jok motor), tak henti-hentinya dia bacai (dengan suara keras) papan-papan reklame apa saja yang terpampang di kejauhan. “Pepsodent, pa! Apotek!  Itu Tos….hiba! Tukang gigi!…..” dst. Tampak riang sekali, mungkin dunia yang dilihatnya kini jauh berbeda. Lebih terang, lebih fokus.

Malamnya, sepulang kerja saya tertegun di pintu kamar, melihatnya tertidur dengan wajah bahagia. Meringkuk, memeluk mamanya. Kacamata tergeletak di atas kotak pakaian pakaian dekat cermin. Saya menangis memaki diri sendiri. Betapa, sebagai orangtua, kami tak peka. Malah cenderung sering memarahinya jika ia nonton tv terlalu dekat. Bahkan saya pernah menyentil kupingnya karena itu. Dia cuma berurai airmata, tidak menangis keras. Lalu berngsut ke kamar, menenggelamkan diri dalam kesedihan karena orangtuanya tolol. “Maafkan kami, nak!” bisik hati saya saat itu.

Kini, minus matanya sudah makin tebal. Entah karena terlalu banyak baca, entah karena keseringan begadang, atau karena terlalu suka melototi cewek.

Laras Sukmaningtyas – Lahir di Bandung 20 Februari 1988: Sangat suka membaca. Bangun tidur, yang pertama diambilnya adalah kacamatanya –minus 5,5– lalu menarik buku atau majalah. Atau apa saja, sembarang. Bacaan yang saat itu paling dekat dari jangkauannya pasti langsung dilahap  sebagai sarapan pagi bagi matanya.

Kurang lebih 650 judul buku berserak di sembarang tempat. Sebagian terususun rapi di rak dekat meja belajarnya. Sebagian tercecer di bawah meja tamu, di tempat buku-buku saya, di bufet dekat meja makan, di tempat tidur, di celah lemarim di rak tempat televisi, di sela-sela meja rias ibunya, dan … di dapur!

“Bapak, ade sudah bisa baca dalam hati…” katanya suatu hari, di seberang telepon. Saat itu awal tahun 1993, ia baru lepas empat tahun. Ia di Yogya, saya di Palembang. Maksudnya, ia mengabarkan sudah bisa baca tanpa menggerakkan mulut dan tanpa suara. Kini, membaca adalah bagian dari ‘gerak-geriknya’ di rumah, di angkutan kota, atau di bus antarkota yang ditumpanginya ke kampus.

Ia melahap buku bacaan apa saja. Mulai dari komik Gen Si Kaki Ayam — komik humanis Jepang mengenai korban bom atom di akhir perang dunia kedua. Ia baca habis karya-karya Pramudya Ananta Toer, sampai Sang Nabi-nya Khalil Gibran. Seri Mitologi Yunani mulai dilahapnya saat masih tinggal di Yogyya, ketika usianya baru empat tahun. Saksi Mata –iptek populer– sampai seri cerita rakyat dari seluruh Indonesia juga dikoleksi setelah dibacanya berulang-ulang.

Belajar baca dengan mengeja nama surat kabar setelah mengenal alfabet. Ka-O-Em, pe-a-es ..KOMPAS, te-e-em..tem, pe-o.. po… TEMPO… dst.  Sekali waktu tiba-tiba dia tanya, “Pak, kenapa Bush memarahi Saddam…” Astaga! Anak empat tahun tanya soal Bush (senior).  Rupanya, ia baca judul berita Kompas mengenai kontroversi antara Bush dan Saddam Hussein pada perang teluk I, setelah Irak menginvasi Kuwait.

Ia jutga melahap habis best seller seri Chicken Soup for The Soul, selahap membaca Catatan Harian Zlata sang Anak Bosnia. Buku ini sampai kriting dan kumal karena begitu seringnya dibaca. Belum lagi seri Winetou, seri tokoh-tokoh dunia, hingga novel-novel misteri Fearstreet dan Ghoseboom atau cuma Lupus dan Harry Potter. Juga kumpulan cerpen Seno Gumira Adjidarma, hingga antologi puisi Rendra dan  Sutan Takdir Alisyahbana.

Kini ia mahasiswa Fakultas Sastra (jurusan Sejarah) Universitas Padjadjaran. Membaca tampaknya tetap lebih menarik. Bangun tidur, cabut buku dan membaca barang sejam dua jam. Selesai mandi, ia pasti sarapan sambil membaca buku apa saja yang ditariknya dari atas kulkas, atau yang terselip di sela-sela lemari makan.

Ketika muncul berita mengenai pengadilan internasional bagi para pelanggar HAM di Timtim, misalnya, saya teringat pada pola mahkamah dunia saat menanangni ‘penjahat besar’ Slobodan Milosevic –tokoh komunis Serbia– yang berkuasa di Yugoslavia. Maka, saya pun ‘meminjam’ (lebih tepat mencuri baca) buku Catatan Harian Zlata, miliknya untuk membantu mendapatkan gambaran kekejaman rezim haus darah itu.

Begitu pula ketika mengolah reportase mengenai bisnis telur semut di Yogya, saya curi baca Dunia Binatang dari ‘perpustakaan’ Laras untuk memperoleh referensi mengenai semut. Sama halnya ketika saya hendak bertugas di Banjarmasin. Untuk memiliki gambaran sekilas mengnenai daerah ini, saya curi baca Cerita Rakyat Kalimantan-nya Yustan Azidin, dari koleksi buku putri saya.

Kini, bahkan koran, majalah, dan buku saya pun, disikatnya lebih dahulu. Ia lebih tertarik baca National Geographic ketimbang Gadis dan Femina yang disebutnya sebagai majalah hedonist. Ia juga jadi teman diskusi yang lumayan, mengenai isu apa saja. Mulai dari kesetaraan gender, sampai bangkitnya protestan di dunia krsitiani. Mulai dari kasus Munir, sampai Greenpeace dan Aung San Su Kyi. Mulai dari Spielberg sampai Yudhoyono yang menurut dia  terlalu kemayu (“pake rekaman lagu, segala sih!” katanya) sebagai presiden.

Kelas 3 sampai kelas 4 SD ia jualan es di sekolahnya. Pergi dengan termos tupperware penuh es buah yang dikantongi plastik. Uang yang diperoleh dari margin penjualannya ditabung. Saat itu krisis moneter sedang di puncaknya, padahal ia sedang menjalani terapi asma-nya melalui program renang rutin.

Jadi, uang tabungannya dari keuntungan jualan es itu dia gunakan untuk membayar les renang. Dan, menraktir bapaknya naik becak dari rumah ke tempat renang. Di jalan, ia berceloteh tentang rumah-rumah bagus yang kami lewati. “Naah… itu rumah Ade!” katanya sambil menunjuk sebuah rumah megah, kuldesak, dengan BMW seri-5 warna silver terparkir di pekarangan. Entah rumah siapa. Rupanya, dia sedang mengajak bapaknya bertualang ke alam khayalnya.

Saat di SMP, terutama ketika kelas 2 sampia kelas 3, dia pernah jadi begitu penyendiri di rumah. Pulang sekolah, langsung masuk kamar. Entah baca, entah nulis. Dinding kamar di sebelah tempat tidurnya penuh oleh curahan pikiran dan perasaan. Bukan main-main, sebab tulisan itu memenuhi dinding persis sepanjang tempat tidurnya dari arah kaki sampai kepala, dari batas ketinggian kasur, sampai hampir menyentuh langit-langit!

Saya merasa, pada periode itu dia begitu benci pada ayahnya. Mungkin karena terlalu sering ditinggal. Hubungan kami agak membaik setelah dia di SMA, dan kini dia jadi teman dialog yang menyenangkan dan merupakan orang paling kritis di rumah.

Andika Megaswara – Lahir di Bandung 15 November 1996: Agak manja. Mungkin karena merasa bungsu. Mungkin juga karena betul-betul paling kecil sendiri di rumah. Jarak dengan kakak terdekatnya, sembilan tahun. Jarak dengan kakak sulung, hampir 13 tahun. Ketika kecil, mungkin masih jadi tumpuan kasih sayang. Agak besar dikit, jadi bulan-bulanan kakak-kakaknya. Juga teman-teman kedua kakaknya.

Ketika ulangtahun ke-11 misalnya. Yang ribut merayakan adalah kakak-kakak dan teman-teman kedua kakaknya. Jadilah McD riuh rendah oleh mahasiswa-mahasiswa yang merayakan ulangtahun anak praremaja.

Perasaannya halus. Gampang berurai air mata oleh hal-hal yang menyentuh (menangis sata nonton Denias, berurai air mata diberi kejutan ulang tahun dsb. Kurang suka membaca jika dibanding dengan kakak perempuannya. Tapi sangat suka ngotak-atik komputer.

Ia juga kurang bisa berkonsentrasi pada satu fokus kegiatan namun termasuk agak mudah menyesuaikan diri pada situasi baru. Sejak kecil memang tak canggung jika diajak bertamu. Malah sering kali langsung ”patroli” keluar masuk ruang demi ruang rumah yang ditetamui, layaknya di rumah sendiri.

Selera musiknya agak berbeda dengan anak sebayanya. Ia sangat tertarik Dave Koz, Il Divo, Jos Groban, dan Chrisye. Mamanya menyebut Dika sebagai “departemen sosial” karena begitu mudah memberikan miliknya kepada orang lain. Akibatnya, saat belanja bulanan, mamanya pasti membeli pensil selusin.

Maklum, hampir tiap hari ia “meminjamkan” pensil kepada temannya dan tak pernah menagihnya kembali. “Kasihan, kalau nggak punya pinsil dia kan nggak bisa belajar,” begitu alasannya.

Dika juga punya hobi meracik makanan. Ada saja resepnya.  Ia asyik sekali kalau sudah di dapur.  Entah itu bikin jus campur (dan enak!!), entah itu memasak.

Seringkali ia menawari kami, “Bapak mau dimasakin apa? Mama? Aa? Teteh mau dibuatkan apa?” itu kalau angin sedang baik. Dan nasi goreng bikinannya, “top” deh. Menyaingi karya mamanya. Begitu pula kalau mengolah spageti.

Kami senang menggodanya dengan meminta macam-macam, yang tentu saja membuatnya pusing. Maka, yang jadi pasti cuma satu jenis, dan takarannya untuk satu porsi saja.

“Kita buka kedai aja yuk. Ruang tamu ini kita pasang meja-meja dan kursi. Dika yang masak. Mama bikin kolak bening pisang yang enak itu. Lumayan, kan Pak!” katanya suatu saat.

Dia pikir, ruang ramu kami cukup lebar. Padahal, kadang di ruang itu pula dia tidur bareng kakaknya. Apalagi kalau “anak-anak” kami dari Jatinanngor dan sebagainya sedang “weekend”. Berimpit-impitan lah.


6 Tanggapan to “Keluarga”


  1. 1 chengkrink
    Januari 7, 2008 pukul 11:07 am

    Cool Family,,,and I have to learn from them much…even almost of them are a little bit crazy…hua ha ha…Peace Ah!!!! (^_^)

  2. 2 boyaz
    Januari 11, 2008 pukul 8:55 am

    haha…
    proud 2 be a part of this family!!!!

  3. 3 boyaz
    Januari 11, 2008 pukul 9:03 am

    btw, fotonya ganti dunk…
    cupu…

  4. 4 winarto yogya
    Maret 21, 2009 pukul 12:12 am

    heheeeee dah besar2 ya anak mas yusran syukurlah good luck ya kang salam ma ibu ma laras ya

  5. April 19, 2009 pukul 7:45 pm

    Luarrrrrrrrrr biasaaaaaaaa Akang nih. Sebelumnya saya membayangkan Akang gak bisa mengikuti perkembangan para buah hatinya karena keseringan tour of duty ke mana-mana. Ternyata salah… begitu detil Akang memperhatikan mereka, saya yang serumah dengan keempat anak saya malah tak bisa mendiskripsikan seruntun Akang… jadi malu. Ah mau memperhatikan anak2ku lebih jelas ah…

  6. 6 irwanto
    April 26, 2009 pukul 10:43 am

    siip lah……..


Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s




%d blogger menyukai ini: