BUKU itu berjudul Jendela Bandung, Pengalaman Bersama KOMPAS. Penulisnya, Her Suganda wartawan Kompas yang bertugas di Bandung sejak tahun 1980 sampai pensiun di usia 60. Wartawan Tribun Jabar, Kisdiantoro, mengulas sekilas isi buku tersebut:
TENGOKLAH sebentar ke Jalan Braga, Kota Bandung. Di sana, dengan mudah akan ditemukan bukti-bukti sejarah berupa bangunan tua yang memikat. Kalau masyarakat menjuluki Bandung sebagai laboratorium arsitektur Indonesia, sepertinya tak salah.
Itulah sepotong kecil catatan sejarah keeksotikan Kota Bandung yang digambarkan Her Suganda, pensiunan wartawan Kompas dalam bukunya “Jendela Bandung, Pengalaman Bersama Kompas.”
Jendela Bandung, boleh disebut sebagai buku pertama yang merekam secara lengkap kota ini yang mencakup tiga kurun dari pra sejarah hingga masa kini.
Dari balik jedela-nya, Hers –demikian ia biasa disapa– melihat Bandung yang sangat kaya warisan budaya. Cerita sastra nenek moyang tentang Sangkuriang dan Dayang Sumbi, Bandung jaman pra sejarah, Bandung di era sejarah dengan bangunan-bangunan yang memikat, dan Bandung di era sekarang. Semua cerita itu ia tulis dengan gamblang dan jelas.
“Sebuah rumah tanpa jedela akan sumpek, dengan jedela lalu membukanya, kita akan melihat Bandung yang bergitu memikat. Saya menuliskan, Bandung dalam tiga episode, Bandung pra sejarah, era kolonial, dan masa kini,” kata Her Suganda, usai mengikuti pembukaan Kompas Gramedia Fair 2007 di Gedung Sabuga ITB, Rabu (28/11).
Apa yang dikatakannya, terungkap jelas ketika ia melukiskan Jalan Braga. Sepotong jalan ini menyimpan rekaman sejarah yang jauh lebih panjang dari ruas jalan yang hanya satu kilometer itu.
Braga yang membujur dari arah utara ke selatan itu, termasuk satu di antara jalan tertua di Kota Bandung. Di sisi kiri-kanan jalan ini banyak berdiri bangunan dengan desain unik dan sejarah panjang menjadikannnya melegenda.
Pada masa awalnya, jalan ini menghubungkan gudang kopi milik Andries de Wilde, tempat yang kini digunakan sebagai kantor Walikota Bandung. Saat itu, Jalan Braga hanya dilalui gerobak yang ditarik kerbau sehingga dinamakan Karrenweg atau Jalan Pedati. Saat musim hujan, jalan itu menjadi berlumpur.
Di musim kemarau kemarau, debu bertebaran di mana-mana. Ujung utara jalan itu merupakan tempat yang menyeramkan, karena banyak tumbuh pohon-pohon besar. Karena menyeramkan, orang pun menamainya Jalan Culik.
Sejarah telah mengubahnya menjadi jalan yang demikian megah. Setelah di ujung selatan jalan itu dibangun pula jalan (kini dikenal sebagai Jalan Asia Afrika), tumbuhlah bangunan-bangunan tempat perbelanjaan.
Dan, jadilah Braga sebagai pusat perbelanjaan Hindia Belanda paling bergengsi saat itu. Lalu, gedung-gedung lain ikut tumbuh. Semisal, Bioskop Majestic, Hotel Savoy Homann, dan Hotel Grand Preanger termasuk bangunan-bangunan tua di sekitar Alun-alun Kota Bandung.
Itu baru sepotong kisah tentang Jalan Braga, dan Jendela Bandung memuat lebih banyak lagi dari sekadar sepotong jalan. Kewat buku itu, Her Suganda juga berusaha memandu warga dan pengunjung kota bertabur bunga ini dengan setumpuk rapi informasi kekinian yang dibutuhkan.
Mulai dari alamat jalan, restoran dan kafe, tempat jajanan, toko roti dan kue, alamat hotel, sampai ke alamat factory outlet (FO) dan berbagai petunjuk lainnya lengkap dengan gambarnya.
Her sudah sejak lama berinvestasi mengumpulkan kekayaan Kota Bandung dengan menyimpan semua peristiwa penting dalam lembaran catatan atau lembaran foto. Setidaknya, sejak ia ditugaskan di Bandung pada tahun 1980 sampai buku ini disusun tahun 2007.
Setiap melakukan tugasnya sebagai reporter Kompas, ia tak hanya menjumput catatan- catatan peristiwa, tapi juga merekamnya secara mendalam. Hampir semua gang di Kota Bandung pernah disambangi. Ia pun sangat hapal karena setiap peristiwa ia catat.
“Tak ada kota di Indonesia yang memiliki sejarah Geologi selengkap di Bandung. Bandung pra sejarah, gunung api, samudra Bandung yang berubah menjadi danau, semua bisa dibuktikan. Ini fakta, bukan dongeng,” kata Her Suganda sangat mengagumi Bandung.
Bukti lain bahwa Bandung sangat memikat, membanjirnya pendatang dari berbagai kota pada akhir pekan. Mereka berkunjung untuk berwisata belanja dan menikmati makanan.
Padahal di Jakarta atau kota lain, banyak didapati mal yang menyediakan berbagai pakaian temasuk makanan lezat. Tapi mereka tetap datang ke Bandung.
Menurut Her, hal itu terjadi karena orang-orang merasa nikmat berkunjung ke rumah-rumah. Dan di Bandung ditemukan tempat belanja yang bernuansa home. Pengunjung merasa nyaman, bak mengunjungi rumah yang disambut ramah oleh sang tuan rumah.
“Investasi yang sangat berharga adalah kekayaan intelektual, dan itu saya lakukan bertahun-tahun. Buku ini saya tulis dengan gaya feature, sehingga enak di baca. Menulis tentang Bandung, setidaknya saya ikut mendokumentasikan sejarah,” tutur Her.
Sebagai pekerja, Her Suganda sangat paham bahwa suatu saat ia bisa pensiun atau diberhentikan dari pekerjaan. Namun sebagai seorang jurnalis ia tak mengenal pensiun. Selama masih kuat menulis, katanya, ia akan terus menulis. Kota Bandung di mata Her Suganda masih menyimpan banyak kekayaan yang menarik untuk didokumentasikan. (kisdiantoro)