Posts Tagged ‘banjir

27
Agu
08

Isyarat dari Jorong

BANJIR melanda sejumlah tempat di Kabupaten Tanah Laut dan Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Kali ini, selain menggenangi dan merusak permukiman, tambak, dan mengganggu arus transportasi barang dan jasa, banjir ini juga menelan dua korban manusia.

Dari segi peristiwa, banjir ini –Selasa 26 Agustus 2008-rutin belaka. Warga di sekitar daerah genangan maupun para petinggi instansi terkait, menganggapnya sebagai hal yang biasa. Secara geografis, kawasan pesisir tempat bermuara belasan sungai ini memang rawan. Air pasang dan curah hujan, cukup membuat daerah-daerah landai itu tergenang.

Ketika sesuatu menjadi rutin, orang sering menganggapnya sebagai hal yang biasa. Bukan masalah. Demikian halnya dengan banjir di kawasan pesisir provinsi ini. Karena dianggap bukan masalah, tidak pula tampak ada langkah-langkah serius yang konkret untuk mengatasinya.

Semua seakan diserahkan kepada kebijaksanaan alam untuk mengatur. Bukankah banjir seperti itu akan surut dengan sendirinya jika hujan reda, atau pasang laut sedang surut? Bukankah musibah terjadi karena kelalaian manusia juga? Bukankah korban timbul juga karena orang kurang waspada?

Secara sekilas jalan pikiran seperti ini mungkin ada benarnya. Namun jika mau membaca dengan lebih dalam dan lebih cermat lagi gejala alam yang sudah dianggap rutin ini, sangat boleh jadi ia memberi pandangan lain yang memandu kita untuk bergerak dan bertindak secara lebih arif.

Sungai adalah urat nadi sekaligus jantung ekosistem kawasan ini dan seluruh wilayah daerah alirannya. Tapi kondisinya dari hari ke hari makin buruk saja bersamaan dengan hancurnya hutan dan rusaknya tanah oleh eksploitasi besar‑besaran yang seakan tanpa kendali.

Cadangan plasma nutfah habis terobrak‑abrik, flora dan fauna langka, ikut tergusur dan terbabat. Penduduk asli semakin merana karena hak‑hak ulayatnya raib dicaploki. Mereka yang sepanjang hidupnya bersatu padu dan jadi bagian dari ekosistem hutan, justru sering jadi kambing hitam, dituding sebagai perambah.

Padahal secara naluriah mereka mengembangkan apa yang disebut sebagai kearifan tradisional, larut dalam daur lingkungan yang saling memberi dan menerima satu sama lain. Perusakan justru dilakukan oleh tangan‑tangan industri yang dipompa modal besar, bahkan dari negara‑negara asing yang selama ini menuding Indonesia sebagai negara yang tak bisa merawat rimba.

Data Conservation International (CI), sebuah lembaga internasional yang khusus bergerak di bidang keanekaragaman hayati di dunia mencatat, setiap tahun Indonesia kehilangan hutan dengan tingkat kerusakan sekitar 2,5 persen. Di Kalimantan, tingkat kerusakan jauh lebih parah lagi karena hampir mendekati angka 70-80 persen.

Menurut data Save Our Borneo (SOB), 80 persen hutan di kawasan ini disebabkan oleh ekspansi besar-besaran industri sawit, dan Kalimantan Selatan tercatat sebagai daerah dengan laju kerusakan hutan paling cepat dibanding provinsi lain. Di sini, rata-rata 66,3 ribu hektare hutan musnah per tahun dari total luas wilayah hutan sekitar tiga juta hektare.

Hutan gundul. Lingkungan rusak. Sungai-sungai mendangkal dengan kecepatan yang luar biasa besar dan kita tak bisa lagi menanggulanginya sendiri, sehingga dalam kasus tertentu harus mengundang pihak asing untuk sekadar menggeruknya sebagaimana yang terjadi pada alur Sungai Barito.

Boleh jadi ini parodi paling konyol yang terjadi dalam penanganan masalah lingkungan. Atas nama pembangunan, kita memberi keleluasaan para pemodal untuk menggunduli hutan dan mengeruk habis apa pun yang bisa ditambang, menghancurkan ekosistem, mendangkalkan sungai. Lalu, kita bujuk rayu pihak asing menanamkan modalnya ‑‑ yang harus kita angsur selama bertahun‑tahun -‑ untuk merehabilitasi kerusakan itu.

Karena itulah, peristiwa banjir di Jorong dan sekitarnya kali ini tak bisa lagi dipandang sebagai sesuatu yang rutin. Ini merupakan sinyal bagaimana seharusnya kita berrada –dan jadi bagian– di tengah daur lingkungan.(*)