ENTAH siapa yang memulai menggunakan ‘ekonomi’ sebagai istilah untuk kelas paling rendah dalam tingkatan layanan bagi publik. Tak percaya? Silakan gunakan jasa angkutan umum di darat dan laut.
Duduk di kelas ekonomi rasanya hampir sama dengan kedudukan seekor kambing. Apalagi di saat-saat musim libur seperti menjelang lebaran dan tahun baru.
Pada moda angkutan tersebut, penghuni kelas ini hampir disetarakan dengan barang, tanpa jiwa tak beremosi. Mari tengok dan rasakan ‘ekonomi’ di kapal-kapal motor yang membelah laut menjembatani pulau-pulau lain di bentangan zambrud (ya, zambrud. Betapa indah dan cemerlangnya!) khatulistiwa.
Atau, cobalah sesekali naik kereta ‘ekonomi’ dari Jakarta ke Surabaya atau ke mana sajalah jurusannya. Di sinilah sesungguhnya kita merasakan arti “kebersamaan dalam kesengsaraan” sebuah negeri makmur dari barat hingga ke timur.
Di kelas ‘ekonomi’ ini pula kita bersama-sama berpeluh, berdesak, berebut ruang untuk sekadar bernapas, sambil menyaksikan dari balik jendela berkarat, bertapa biru dan luasnya laut. Betapa hijau dan permainya ladang, sawah, kebun dan gunung di kiri-kanan jendela –tanpa kaca– kereta.
Di kelas ‘ekonomi’ pula, kita akan merasakan bagaimana sengsaranya kebersamaan dalam kelaparan dan kehausan terpanggang suhu tanpa berpengatur, antre mendapatkan sepiring nasi dan sepotong ikan entah apa, sementara di bawah kita di kedalaman samudera berjuta-juta ikan menanti dikelola.
Orang bilang, pembagian kelas dalam hal pelayanan kenyamanan adalah sah-sah dan wajar saja. Orang berhak memilih mau dilayani secara mewah, atau secara alakadarnya, terserah, sebab masing-masing memberi konsekuensi sendiri-sendiri.
Namun dalam hal keamanan, tidak ada tawar menawar. Kelas Very Very Important Person (VVIP), kelas Very Important Person (VIP), kelas eksekutif, kelas binsis, kelas ekonomi, semua berhak memperoleh layanan dan jaminan keamanan yang sama.
Soalnya, musibah dan kecelakaan tak mengenal kelas. Ketika Boeing 737 menabrak gedung kembar WTC di New York, penumpang di kelas ekonomi sama sialnya dengan kelas eksekutif atau bisnis.
Begitu pula ketika Garuda terbakar saat mendarat di Yogya tempo hari, atau ketika Adam Air nyemplung ke pwrairan Sulawesi Selatan. Ketika Kapal Motor Egon kandas di perairan Barito beberapa waktu lalu pun penumpang kelas geladak sama sialnya dengan penumpang kelas I, meski kenyamanan mereka berbeda. Ketika Tampomas II terbakar dan karam di perairan Masalembo, maut tak memilih-milih penumpang kelas mana dahulu yang akan “diambil”.
Tapi bagaimana kita bisa mengharap jaminan keamanan yang utama jika layanan kenyamanan saja belum kita dapatkan sesuai dengan ‘kelas’ yang kita ambil? Jika penumpang berstatus eksekutif saja bisa menikmati layanan ketaknyamanan yang sungguh tak selaras dengan kelas yang didudukinya, apalagi penumpang kelas “ekonomi.”
Selain mendapat layanan kenyamanan yang sama dengan kambing atau ikan sarden, perlindungan keamanan dan keselamatannya pun sangat alakadarnya. Bahkan kadang nyaris tanpa perlindungan sama sekali.
Di pesawat terbang komersial mungkin kita akan mendapatkannya, tapi hampir pasti tak akan kita peroleh pada moda angkutan darat dan laut. Jika dalam pengelolaan hal angkutan udara kita bisa mengikuti atau mendekati layanan kenyamanan dan keamanan standar seperti yang diberlakukan secara umum di dunia, mengapa pada angkutan darat dan laut tidak?
Boleh jadi, itu sebabnya warga kita cenderung berlomba memiliki dan menggunakan kendaraan pribadi. Di samping penting untuk melengkapi simbol status –agar tidak di kelas “ekonomi” terus– juga karena angkutan darat tidak menjanjikan keamanan.
Ada baiknya para wakil rakyat dan para pejabat, sesekali berada bersama rakyatnya duduk di kelas “ekonomi”. Apakah di kapal, di kereta api, atau di bus umum. Tentu saja tanpa mengenakan seragam dan atribut mereka. Coba! (yusran pare – 020102)
** Fotografer Persda Network, Bian Harnansa mengirim foto-foto aktivitas pulang kampung warga ibu kota. Di antaranya, foto “berkelas” yang saya pilih untuk ilustrasi percikan pikiran di bawah ini. Terima kasih, bos Bian.