PEREMPUAN itu melangkah dengan agak ragu sambil menyorongkan tiket dan paspornya ke pramugari. Sang pramugari tersenyum, lalu memintanya menunjukkan boarding pass agar ia bisa atahu di kursi mana penumpang ini harus duduk. “Tiket dan paspornya disimpan saja, mbak,” katanya.
Rambutnya lurus dengan ujung dibikin keriting, lipstiknya merah menyala, kacamata hitam menutup matanya sementara kabel walkman menjulur dari kuping kiri-kanannya. Ia mengenakan rok over-all dari bahan jins biru dengan kaos bulu tebal lengan panjang bermotif kulit macan. Sepatunya berhak sangat tebal, dengan kaos kaki warna hitam bergaris-garis merah setengah betis. Jam tangan dengan piringan tebal dan melotot beradu dengan gelang manik-manik warna warni.
Begitu duduk –kebetulan di sebelah saya– di dekat jendela, ditariknya dompet dari ransel kulit kecil, paspornya pun dicabut lagi dari saku ransel, dibukanya. “Aku dari luar negeri nih,” mungkin itu yang hendak dikatakannya.
Dari dompet panjang dicabutnya amplop, dan ia menarik isinya. Selembar cek bertulisan Huruf Arab dari sebuah bank di Riyadh. Dibolak-baliknya cek itu, seakan ingin menunjukkan, “Urusan gua sudah pakai cek, cing!”. Ia turun di Jakarta dan melanjutkan dengan penerbangan lain ke Surabaya.
Ini mungkin buruh yang baru mudik, pikir saya. Ternyata benar, dari perbincangan sekilas, ia menuturkan sudah setahun bekerja pada seorang saudagar di Riyadh. Ia dizinkan pulang untuk lebaran, tapi tak akan kembali lagi.
“Kecuali kalau ada ponsor, ‘ana’ pasti berangkat lagi,” katanya. Yang dimaksud ponsor itu, ternyata sponsor, penghubung alias calo tenaga kerja yang biasa datang ke desa-desa. Juga ke desanya, katanya sih, di Kediri sana.
Adegan itu teringat kembali ketika beberapa waktu lalu media massa kita dihebohkan oleh kasus Kartini. Kartini yang kita kenal saat ini, tentu saja bukan Putri Jepara yang pikiran-pikirannya dilukiskan –oleh Belanda– cemerlang dan progresif namun tak berdaya melepaskan diri dari tindasan adat yang memberi kebebasan pada suaminya untuk memperlakukan dia seenak perut dan bawah perut. Lalu diharumkanlah namanya sebagai Putri Sejati.
Kartini abad-21 adalah Kartini dari kampung di Rengasdengklok Karawang yang –karena kemiskinan– lantas membiarkan diri diekspor ke tanah seberang, dan terdamparlah ia di Fujairah Uni Emirat Arab.
Kartini diekspor ke sana bersama ratusan, mungkin ribuan, perempuan lain yang dibetot dari komunitasnya, keluarga, anak dan suaminya, untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, kata lain untuk memperhalus istilah babu dan jongos.
Kartini hamil, atau dihamili, seorang lelaki asal India, dan ia sendirian harus menanggung dosanya. Pengadilan setempat mempersalahkannya atas kasus perzinaan, dan hukuman untuk tindak pidana itu adalah dirajam sampai mati, sesuai dengan undang-undang setempat.
Kerancuan proses penempatan, minimnya mutu dan perlindungan serta kerentanan posisi buruh merupakan titik lemah program penempatan buruh ke Timur Tengah. Terlebih lagi masih ada citra di sebagian masyarakat Arab bahwa pembantu adalah budak yang bisa diperlakukan layaknya sesuka majikan. Oleh karena budak itu sudah dianggap miliknya, mereka bisa melakukan apa saja terhadap budaknya.
Sudah beberapa kali Departemen Tenaga Kerja mengusulkan kepada sejumlah negara Arab untuk menandatangani Nota Kesepahaman (MOU) yang isinya antara lain menyatakan bahwa TKW itu adalah pekerja dan bukannya budak. Tapi negara‑negara Arab itu tidak mau menekennya. Artinya, kita tetap tunduk saja pada ketentuan yang mereka berlakukan.
Posisi tawar menawar kita dalam ekspor budak, eh ekspor buruh ini tetap lemah ketika dihadapkan pada kelangkaan kesempatan kerja di dalam negeri di satu pihak dan peningkatan devisa di pihak lain. Maka dengan penuh semangat kita kirim sebanyak mungkin orang, termasuk yang seperti Kartini, dan ketika kena kasus barulah ribut.
Kartini, dengan keterbatasan berbahasa dan pengetahuan hukum lokal, tentu tak bisa berbuat banyak saat diadili. Bisa jadi, dalam proses persidangan, ia tidak mengerti pertanyaan yang diajukan jaksa karena saat itu ia tidak didampingi oleh penerjemah, dan ia manggut-manggut saja ketika dituding telah berzina.
Kita tentu sepakat, zina adalah perbuatan dosa, dan seorang pendosa harus dihukum. Namun kita masih belum mendapat kejelasan, apakah kehamilan Kartini memang merupakan buah dari perzinaan suka sama suka, atau oleh sebab lain. Misalnya, Kartini tak kuasa menolak atau menghindar dari amuk birahi lelaki yang kemudian menyebabkannya hamil.
Persoalannya kemudian adalah, haruskah Kartini mati dengan cara dirajam atas ‘dosa’ yang diperbuatnya bersama lawan mainnya itu? Apakah kehamilan saja sudah cukup membuktikan bahwa ia berzina dan harus mati karena itu? Apakah orang yang turut melakukan perbuatan dosa itu boleh bebas berkeliaran dan lepas dari hukuman?
Dan, masih banyak lagi pertanyaan yang mungkin muncul, sebelum kita bisa menerima atau menolak pelaksanaan proses hukum bagi Kartini.
Lepas dari dari legal atau tidaknya Kartini diekspor untuk bekerja di UEA, proses penempatan Kartini merupakan gambaran dari program penempatan buruh Indonesia di mancanegara, khususnya ke Timur Tengah.
Ini juga menguak fakta yang sesungguhnya, bahwa meski zaman perbudakan sudah tinggal sejarah, pada prakteknya kita malah sedang melegalkan perbudakan model baru. Celakanya, sebagaian besar di antara ‘budak-budak’ itu justru berasal dari kaum Kartini, yang –maaf saja– sebagian besar di antara mereka diposisikan sebagai jongos alias babu, atau istilah halusnya pembantu rumah tangga, lebih halus lagi pramuwisma.
Nah, ketika nasib buruk menimpa orang seperti Kartini dan juga Nasiroh, barulah kita tersentak. Pemerintah ribut seakan betul-betul ingin membela seluruh buruh kita yang dikemas dalam paket-paket ekspor tenaga kerja. Namun persoalan sudah terlalu rumit sebab kita tidak menanganinya secara benar sejak awal. Ketika muncul kasus per kasus, barulah tindakan penanganan dilakukan sehingga terkesan pemerintah kita membela buruh yang tenaganya diperas untuk meningkatan devisa itu.
Hal yang agak menimbulkan pertanyaan adalah, mengapa pada saat-saat seperti ini para Kartini yang tergabung dalam berbagai lembaga swadaya masyarakat seperti tidak tergerak untuk menunjukkan peran dan pembelaannya terhadap sesama kaumnya. Ingat ketika kerusuhan Mei, betapa militan para Kartini ini berjuang bahkan bergerilya menolong dan membela, memberi advokasi, dan berdemonstrasi meneriakkan penderitaan para perempuan yang jadi korban kebiadaban amuk massa.
Namun, ketika Kartini abad 21 terpojok di kursi pesakitan nun di negeri seberang sana, hanya sedikit orang di tanah air yang mau bersuara, apalagi memperjuangkannya. Atau ketika mengalami nasib sebagaimana yang menimpa Nirmala Bonat, ( http://curahbebas.wordpress.com)
Padahal, bukan cuma Kartini, Nirmala, dan Nasiroh yang nasibnya tak menentu di tanah seberang (antara 30 – 40 persen perempuan pekerja di sana dilaporkan mengalami perundungan seksual!), sebab di tanah air sendiri masih banyak Kartini lain yang nasibnya harus diperjuangkan. ***
April 2000Bandung,