Posts Tagged ‘budiono

03
Mar
10

Wajah-wajah Memalukan

PERTUNJUKAN langsung alias reality show itu betul-betul memukau, tapi sekaligus memalukan. Disebut memukau, karena pertunjukan yang digelar di panggung politik terbesar di Senayan Jakarta Selasa (2/3) siang itu, memperlihatkan perilaku tak terpuji para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dibilang memalukan, karena para pemeran pertunjukan yang disaksikan jutaan penonton televisi di seluruh tanah air ini, adalah wakil rakyat. Wakil –di mana pun– pasti mencerminkan pihak yang diwakilinya, padahal rakyat merasa perilaku mereka tidaklah seburuk apa yang ditunjukkan wakil-akilnya itu.

Demikianlah, hari pertama –dari dua hari yang dijadwalkan– Rapat Paripurna DPR dengan agenda pembacaan hasil penyelidikan Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century berakhir ricuh. Suasana di dalam gedung dewan yang terhormat itu mendadak berubah jadi seperti arena tawur emosi preman jalanan.

Adegan yang tersiar luas ke hadapan rakyat itu kontan saja memuncratkan pertanyaan. Dengan performa seperti itu, pantaskah mereka disebut wakil rakyat? Apakah mereka itu betul-betul memerankan wakil sejati yang menyuarakan hati nurani rakyat yang diwakilinya? Lebih ekstrem lagi, jika perilakunya seperti itu masihkah rakyat memerlukan wakil?

Mungkin ini pertanyaan-pertanyaan yang kini melekat di kepala ratusan juta warga bangsa ini. Sebagai sebuah ilustrasi kecil, ratusan pesan singkat dan e-mail dari warga mengalir deras. Umumnya, mereka mengecam sekaligus mempertanyakan arti penting para wakil kita itu dengan bahasanya sendiri. Mulai dari bahasa yang halus sampai kasar.

Umpatan dan makian –seperti juga dilontarkan para wakil rakyat saat mengumbar jurus silat lidahnya dengan tekanan emosi yang tampak tak terkendali– publik ekspresikan sebagai wujud makin pudarnya kepercayaan mereka.

Namun benar-benar sedemikian burukkah wajah wakil kita? Mungkin tak terlalu sulit menjawab pertanyaan ini jika kita coba merunut dari akarnya, yakni sejak pola rekrutmen para wakil rakyat oleh partai politik, hingga kehadiran mereka sebagai orang yang mendadak jadi politisi.

Sejak awal, raw material calon anggota legislatif banyak yang bermasalah. Mereka yang lolos jadi wakil rakyat, banyak yang tidak matang secara intelektual, emosi maupun moral. Cara menyelesaikan masalah dengan cara adu kuat fisik bukti nyata ketidaksiapan mereka memanggul perannya yang secara struktural sangat terhormat, wakil rakyat.

Ini sekadar gambaran sederhana tentang akibat pola rekrutmen pencalonan anggota legislatif di tubuh parpol yang mengesampingkan kemampuan intelektual, emosional dan moral. Dalam menjaring jagonya untuk duduk menjadi wakil rakyat, partai politik lebih bersandar pada pertimbangan-pertimbangan politis kelompok.

Bukan hanya performa itu yang kini membuat rakyat mengelus dada. Realita politik saat ini, diwarnai putusnya bentang emosi antara rakyat dengan wakilnya. Ketika para wakil rakyat telah terpilih dan duduk sebagai pejabat negara, saat itu pula mereka sibuk dengan urusan pribadi dan kelompoknya.

Para wakil itu dengan cepat melupakan rakyat yang dengan segala ketidaktahuan, keluguan, dan kepolosannya telah memilih mereka. Lebih celaka lagi, terjadi kecenderungan nama rakyat dijadikan tameng untuk memperjuangkan kelompoknya.

Itulah parodi wakil rakyat di negeri kita. Meski merupakan hasil pemilihan langsung, mereka ternyata belum merasa harus mewakili orang yang memilih dan memberinya mandat. Bukankah seorang wakil itu seharusnya melaksanakan apa pun amanah, kehendak, harapan dan keinginan dari pihak yang diwakilinya.

Ya, anggota DPR adalah para wakil rakyat yang mewakili dan dipilih langsung rakyat. Jika ingin pararel dengan hal itu, mestinya mereka pada krdudukannya hari ini adalah orang yang berorientasi kepada apa yang dikehendaki rakyat.

Namun, seperti yang kita saksikan dalam “opera Senayan” terbaru ini, berbagai argumen, dalih, dan logika politik, dijalankan untuk jadi pembenar tindakan yang mereka lakukan. Mereka mungkin mengira bahwa rakyat bangga menontonnya.

Padahal para ‘penonton’ kini sudah lebih kritis dan cerdas. Mereka tahu betul apakah sajian Opera Senayan itu sesuai dengan ‘skenario’ mandat yang mereka berikan, atau tidak.

Kita berharap para aktor politik itu segera menyadarinya, sebelum para pentonton meninggalkan mereka dan ramai-ramai mencabut mandat. ***

13
Jan
10

Mulutmu!

SKANDAL Bank Century terus menggelinding sebagai isu panas yang hari-hari ini disodorkan kepada publik sebagai tontonan siaran langsung televisi. Melalui siaran itu publik di seluruh pelosok tanah air bisa menyaksikan, mengikuti, dan menyimak, bagaimana para wakil rakyat mengupas, meneliti, mencari jawaban, menuntut penjelasan dari berbagai pihak terkait.

Berbagai hal yang oleh banyak kalangan dinilai sebagai keganjilan dalam proses pengucuran dana talangan pemerintah terhadap bank kecil yang kolaps karena salah urus itu, dipertanyakan oleh para anggota Panita Khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada orang-orang yang dianggap terlibat.

Hal yang paling ingin ditekahui publik adalah bagaimanakah nasib duit rakyat sebesar Rp 6,7 triliun? Mengapa dana sebesar itu dengan mudah diberikan oleh pemerintah? Atas pertimbangan apakah Bank Indonesia merekomendasi untuk memberi dana talangan kepada institusi bodong seperti Bank Century.

Seputar itulah tanya jawab para wakil rakyat dengan orang-orang yang dianggap terlibat dalam skandal ini. Dewan telah memanggil dan memintai keterangan para pejabat tinggi baik yang sudah tidak lagi menjabat, maupun yang justru telah menduduki jabatan lebih tinggi dari sebelummya.

Publik belum bisa menangkap arah penyelesaian kasus tersebut, karena memang masih dalam proses yang kali ini sudah masuk ke parlemen, sudah di lembaga tertinggi, lembaga wakil rakyat. Artinya, persoalan ini betul betul serius, menyangkut kepentingan bangsa dan negara, menyangkut kepentingan rakyat dan kelangsungan hidupnya. Jika tidak, tak mungkin masalah ini sampai ditangani DPR.

Sebagai lembaga tertinggi, DPR tentu merupakan lembaga terhormat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukannya pun, pasti menggunakan tata cara yang bersandarkan pada kaidah-kaidah moral dan budi pekerti sebagaimana yang lazim berlaku dalam forum terhormat. Orang-orang yang hadir mengikuti agendanya tentu juga terikat –sertidaknya harus bisa menyesuaikan diri– dengan kehormatan forum dan lembaga tersebut.

Di luar penting dan seriusnya masalah yang dibahas, publik beruntung dapat menyaksikan juga pola perilaku para pembahas, dan mereka yang –dengan berbagai status dan jabatannya– turut hadir dalam forum yang seharusnya terhormat itu. Publik dengan leluasa menyaksikan debat antara wakil-wakil rakyat dengan orang-orang yang dimintainya keterangan. Atau, juga di antara mereka sendiri, maupun perilaku orang yang hadir dalam forum tersebut.

Peristiwa pertama yang sangat mengejutkan dan seharusnya mencederai perasaan publik adalah ketika seroang wakil rakyat memaki dengan kata-kata amat kasar, ketua sidang. Kata-kata yang hanya pantas diucapkan di jalanan dalam konteks orang jalanan, tentu tak layak digunakan seorang wakil rakyat dalam forum terhormat yang sedang membahas persoalan besar bangsa dan negara.

Peristiwa berikut adalah ketika seorang yang turut hadir langsung –meski bukan peserta– dalam sidang parlemen itu memaki dan menghujat seorang wakil presiden. Betul bahawa yang bersangkutan hadir sebagai mantan gubernur BI, bukan sebagai wakil presiden, namun hal itu tak membuat siapa pun bebas memaki, menghujat, melontarkan kata-kata kotor. Insiden serupa, terjadi hari berikutnya di tempat sama kepada menteri keuangan.

Jangankan kepada orang yang telah dipercaya –dipilih rakyat– untuk jadi (wakil) pemimpin negeri atau kepada menteri, kepada sesama rakyat biasa pun, hujatan dan hinaan adalah perbuatan yang tidak patut. Jangankan di ngedung  dewan, yang jadi simbol kehormatan rakyat atas kedaulatannya, di jalanan pun baku-maki tentulah bukan hal yang pantas.

Betul bahwa kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat dijamin serta dilindungi undang- undang. Namun dalam konteks kebebasan itu pula seharusnya kita menjunjung tinggi kehormatan dan penghargaan atas sesama. Apa yang dipertontonkan seorang wakil rakyat yang memaki sejawatnya dalam forum terhormat yang terbuka untuk umum, tentu tidak mencerminkan penghormatan dan penghargaan tersebut.

Demikian pula apa yang ditunjukkan seorang aktivis yang neghujat  wakil presiden, dan dua mahasiswa yang memaki menteri di sela-sela forum terhormat di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, tentu bisa kita kelompokkan ke dalam perbbuatan yang tidak patut, tidak menunjukkan budi pekerti dan penghormatan atas sesama.

Predikat wakil rakyat, aktivis prorakyat, mahasiswa, tidak serta merta mengesahkan seseorang untuk bertindak-tanduk dan berperilaku sekehendak hati tanpa memperhatikan tata krama dan sopan santun. Predikat-predikat itu seharusnya justru mencerminkan sosok dan jatidirinya sebagai manusia, sebagai orang yang memang patut menyandang predikat tersebut.

Masyarakat tentu akan marah jika dikatakan bahwa sosok wakil rakyat, aktivis, mahasiswa  yang gampang memaki adalah, adalah cerminan dari karakter asli mereka. Perilaku seperti itu hanya menunjukkan bahwa orang-orang tersebut –meski sudah dibajui wakil rakyat, aktivis, maupun mahasiswa– ternyata belum bisa mengendalikan ucapannya, belum bisa mengendalikan dirinya sendiri.

Bagaimana mungkin seseorang diberi kepercayaan untuk mengendalikan urusan yang begitu besar seperti membongkar kasus skandal Bank Century,  jika mengurus diri sendiri saja tak becus. Jadi, sebelum membongkar tuntas kasus itu, sebelum menggerakan dinamika mengelola negara dan bangsa, ada baiknya kita semua bercermin untuk meneropong diri kita masing- masing. Sudah patutkah atau belum? ***

17
Mei
09

Tiga Kandidat

genderang_perang_kalla-mega-sby

GENDERANG sudah ditabuh. Pertarungan dimulai. Tiga kandidat akan maju ke arena pemilihan presiden pada Juli 2009. Pekan lalu agenda politik nasional yang dipadati aneka spekulasi dan kontroversi, ditutup oleh atraksi formal pendaftaran para calon presiden dan wakilnya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Di antara pasangan kandidat itu adalah presiden dan wakil presiden yang kini menghabiskan sisa masa baktinya, namun maju ke arena pemilihan presiden dengan bendera berbeda. Ada mantan presiden, ada bekas perwira tinggi militer, dan ada ilmuwan.

Dari tiga pasang calon presiden dan wakil presiden itu tidak tampak tokoh dari partai, golongan, maupun kelompok yang dianggap sebagai representasi dari kekuatan religius. Di masa sebelumnya, komposisi nasionalis-religius selalu menjadi acuan kepemimpinan nasional. Di samping, paduan unsur Jawa dan luar Jawa yang kini pun tidak menjadi persoalan.

Paduan nasionalis-religius (terutama Islam), memang tak lepas dari fakta historis. Pemilu 1955 menunjukkan terjadi pertarungan ideologi antara kubu Islam yang diwakili Masyumi dan NU, dengan kubu nasionalis diwakili PNI, serta kubu komunis diwakili PKI.

Namun tampaknya perdebatan ideologi politik antara kaum religius dengan nasionalis itu sudah kehilangan roh. Hal itu tampak pada pemilihan presiden 2004-2009, yang akhirnya dimenangkan pasangan Yudhoyono-Kalla yang ‘hanya’ mencerminkan ideologi nasionalis.

Demikian halnya dengan wacana paduan unsur Jawa versus luar Jawa. Pada pemilihan presiden kali ini tampaknya sudah tidak terlalu menjadi persoalan betul, karena dari tiga kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden itu, hanya satu yang betul-betul mencerminkan ‘luar Jawa’.

Apakah kecenderungan itu menunjukkan bahwa arena politik kita sudah lepas dari primordialisme agama dan kesukuan, sehingga hari-hari berikutnya bangsa kita berpolitik secara jernih? Tentu saja, belum tentu!

Namanya juga politik. Segala hal bisa terbolak-balik, bahkan dalam hitungan detik. Yang semula kawan, bisa mendadak menjadi lawan. Begitu pula sebaliknya, sebagaimana tampak pada perilaku politik para elite menjelang pencalonan presiden kemarin.

Akal sehat publik dipaksa menerima realitas ‘perkawinan’ antara partai yang pernah ditindas, dengan partai yang dipimpin tokoh yang menjadi bagian dari penindasnya. Atau dua partai tiba-tiba bergabung, padahal yang satunya adalah sempalan dari partai asal. Bagaimana pula partai yang tokohnya murka dan mengumbar amarah karena usulnya tak diakomodasi, tiba-tiba melunak dan langsung menghablur ke dalam persekutuan.

Namun bangsa Indonesia tentu cukup cerdas untuk menilai tingkah laku para elite politiknya, sehingga tidak akan mudah dikibuli omong kosong para politisi dengan jargon dan retorikanya.

Mereka sudah melihat bukti nyata hasil kerja para politisi kita di masa sebelumnya. Korupsi jalan terus, komunikasi politik sarat dengan bagi-bagi kursi. Kekerasan dan intoleransi tumbuh di mana- mana. Politik jadi penuh nafsu, bukan lagi sarana untuk menjalankan amanah. Itulah yang tampak dari hari ke hari, bahkan sampai menjelang pencalonan presiden dan wakil presiden.

Kini, fase paling menentukan sudah dilalui. Rakyat sudah diberi tiga pilihan. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan masing- masing, tiga kandidat pasangan pemimpin nasional itu adalah putra-putri terbaik yang bersedia mengorbankan kepentingan pribadinya demi bangsa dan negara.

Siapa pun yang nanti terpilih, itulah pilihan terbaik. **

13
Mei
09

Politik Pamer Amarah

pameramarah

KEMARAHAN. Itulah yang tampak pada pernyataan dan ungkapan tokoh politik –terutama dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)– saat diwawancara reporter televisi, terkait dengan keputusan Yudhoyono menggandeng Budiono.

Berbagai dalih dilontarkan untuk memperkuat penolakan dan ketidakpuasan mereka atas pilihan Yudhoyono dan Partai Demokrat terhadap pendampingnya.

Duet capres dan cawapres dari Partai Demokrat belum resmi diumumkan. Informasi yang sengaja dibocorkan itu kontan meledakkan kontroversi di kalangan peserta koalisi. Para politisi menampilkan wajah aslinya, dan pers mendapat santapan hangat. Dalam tempo singkat kontroversi itu jadi wacana publik.

Disadari atau tidak, informasi yang sedang ditunggu banyak pihak –terutama penggiat politik– itu dialirkan pada awal pekan ini bersamaan dengan peringatan ‘Insiden Mei’ yang jadi puncak reformasi di tanah air.

Dinamika politik hari-hari ini tidak bisa dilepaskan dari apa yang terjadi pada 11 tahun silam saat gerakan reformasi mengantarkan bangsa Indonesia ke gerbang demokratisasi. Suatu kewajaran andai elemen bangsa ini tetap memperingatinya, sekaligus menoleh sejenak ke masa silam untuk memperoleh perspektif yang lebih baik bagi langkah ke depan.

Ingar bingar percaturan politik kekuasaan diselingi pamer kemarahan tokohnya, memalingkan perhatian publik dari momentum reformasi. Padahal momen itulah yang membukakan jalan bagi aktor politik, sehingga mereka bisa mencapai panggung masing-masing saat ini.

Tidak saja di ibu kota yang jadi pusat gempa politik, di sejumlah daerah pun kita melihat kecenderungan yang hampir sama. Saling dorong dan baku tarik pengaruh di antara elite politik, dan antara elite politik dengan pelaksana pemerintahan melalui isu yang tidak langsung menyentuh kepentingan rakyat.

Kita melihat, sebelas tahun pascareformasi ini telah digunakan dengan sangat baik oleh para pendosa untuk menghapus jejaknya. Bahkan kini ada di antara mereka yang tampil sebagai pengawal dan mengesankan diri sebagai tokoh paling reformis.

Rakyat dilarutkan dalam situasi sedemikian rupa sehingga perhatiannya teralih dari agenda reformasi. Keriuhrendahan yang mereka bikin, telah memaksa rakyat melupakan arsitek politik kerusuhan.

Insiden Mei sebelas tahun silam adalah puncak perubahan yang ditandai berbagai kerusuhan yang menewaskan dan ‘menghilangkan’ banyak orang. Hingga kini, tak ada satu pun dari kasus kerusuhan itu yang diselesaikan dengan tuntas.

Di Banjarmasin, misalnya, peristiwa kelam 23 Mei 1997 tak pernah jelas duduk perkara pertanggungjawabannya. Demikian pula insiden 27 Juli 1996 di Jakarta yang kemudian melahirkan PDI Perjuangan.

Peristiwa pelanggaran berat hak asasi manusia seperti yang terjadi di Sambas, Sangau Ledo (Kalbar), Sampit (Kalteng), tragedi Talangsari (Lampung), Wamena (Papua), Kupang (NTT), Ambon (Maluku), Poso (Sulawesi), Aceh, dan lain-lain, juga mengalami nasib sama, seolah sengaja dibiarkan terkubur waktu.

Omong kosong dan silat lidah politik yang dipamerkan elite membuat kita lupa tentang dosa kemanusiaan rezim sebelumnya. Berkat reformasi, rezim pun silih berganti melalui pemilu demi pemilu, namun belum ada perubahan signifikan yang bisa memberi harapan besar dan angin segar kepada rakyat.

Tak satu pun di kalangan petinggi partai yang ingat bahwa posisi mereka sekarang amat ditentukan gerakan demi gerakan yang berpuncak pada reformasi Mei.

Rezim sudah berulangkali berganti, namun banyak hal yang tak kunjung selesai dan seakan sengaja dihapus dari ingatan kolektif masyarakat. Ya, rakyat mungkin bisa dibuat lupa, tapi ingatan sejarah akan tetap mencatatnya.