Duka Cita Virtual
SETELAH menjalani perawatan intensif selama 24 hari di Rumahsakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta, mantan presiden kedua RI, HM Soeharto akhirnya mengembuskan napas terakhirnya, Minggu (27/1) pukul 13.10. Orang kuat di era orde baru itu meninggal dalam usia 86 tahun.
“Telah wafat dengan tenang Bapak HM Soeharto pada pukul 13.00 WIB di RSPP. Semoga amal beliau diterima dan diampuni dosanya,” ujar Ketua Tim Dokter Kepresidenan, Dr Mardjo Soebiandono, dalam keterangan resminya kepada wartawan.
Jumpa pers meskipun berlangsung singkat, hanya lima menit, terasa mengharukan. Mata tim dokter berkaca-kaca. Tiga anak Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut), Siti Hediyati (Mbak Titik) dan Sigit Harijudanto ikut bersama tim dokter. Mata ketiga anak Soeharto itu sembab. Bahkan Tutut tak kuasa membendung air matanya.
“Asragfirullah…astagfirullah…astagfirullah.., inna lillahi wa inna illaihi roji’un,” kata Tutut, suaranya terus terisak, di RS Pertamina. Namun suasananya juga terhidang di setiap ruang keluarga, di rumah makan, di tempat hiburan, di kafe, dan di mana pun yang ada televisi dan televisinya dihidupkan.
Pemerintah menetapkan masa berkabung selama tujuh hari sejak kepergian Sang Jenderal Besar ini. Upacara perkabungan dan pemakamannya menyita perhatian, karena seluruh media massa nasional, terutama televisi dan media online, berusaha menyiarkan secara realtime sejak “Raja” Orde Baru ini masuk rumah sakit (lagi) hingga ke detik-detik penguburan.
Sepanjang hari Munggu dan Senin, perhatian publik tersita ke Ruma Sakit Pertamina, Jalan Cendana, nDalem Kalitan, dan Astana Giribangun. Tidak semata pada bagaimana suasana duka menyelimuti keluarga, siapa saja yang datang menjenguk dan melayat, bahkan hingga bambu dan kayu yang digunakan dalam pemakaman, sampai ke aspek mistis. Semua seolah menjadi sesuatu yang harus disampaikan kepada publik.
Era informasi telah membuat dukacita ini jadi dukacita yang mengharu-biru semua orang, seolah menindih kesusahan dan dukacita nyata yang sedang dialami oleh orang-oranga itu sendiri terlepas dari siapa dan apa pun peran dia dalam hidup keseharian.
Tepat sekali apa yang disampaikan Yasraf Amir Piliang, realitas sakit dan kepergian Pak Harto kini menjadi citra duka publik di dalam layar elektronik. Naik turun detak jantung Pak Harto seakan menjadi naik turun detak jantung publik; harap-cemas para dokter seakan menjadi harap-cemas publik; komat-kamit doa keluarga kini menjadi komat-kamit doa publik. Dan, kepergian Pak Harto kemudian membangun sebuah ruang ”publisitas” duka, keprihatinan dan doa.
Teknologi informasi tidak saja mampu memindahkan informasi dengan kecepatan tinggi dan secara real time, tetapi juga mampu memberi pembesaran efek sehingga duka diri kini menjadi duka setiap orang.
Akan tetapi, citra visual itu tidak selalu merupakan cermin realitas. Citra-citra ”dipilih” untuk satu tujuan tertentu. Mengambil foto berarti membingkai (to frame) dan meminggirkan (exclusion), yaitu menyembunyikan realitas-realitas lain dari mata publik.
Narasi visual Pak Harto yang terbaring sakit hingga wafat dan kemudian dimakamkan dalam sebuah prosesi yang kolosa, dibingkai bersama narasi-narasi visual masa kecil, kegigihan, keberanian, dan kepahlawanannya sehingga menggugah empati di hati publik.
Publik seakan diajak untuk melupakan –sejenak atau selamanya– tentang persoalan-persoalan nyata yang juga membelit mereka, meringkus semua anak bangsa. Lupa bahwa masih banyak duka cita yang belum dan dituntaskan.
Kita pun seolah lupa, bahwa bahwa kita pernah membiarkan seorang mantan kepala negara meninggal dalam kesunyian setelah dicengekeram sakit tanpa perawatan memadai di sebuah wisma. Kita mungkin memang telah melupakan kepedihan ditinggal pergi tunas-tunas bangsa dalam aksi penembakan membabi-buta dalam insiden Trisakti dan insiden Semanggi.
Kita lupa terhadap kepedihan orang-orang yang ditinggal mati oleh suami, isteri, anak, menantu, kerabat, sanak, famili, sahabat, yang dihabisi dalam huru-hara menjelang bangkitnya rezim orde baru. Kita lupa, pada dukacita dan trauma yang dialami korban-korban kerusuhan 13-14 Mei 1998. Lupa pada kepedihan para keluarga korban 27 Juli 1996.
Soeharto telah pergi, 27 Januari 2008. Rezimnya sudah tumbang sepuluh tahun silam. Tapi rezim berikutnya, mulai dari Habibie, Gus Dur, Megawati dan kini Susilo bambang Yudhoyono, tampaknya terlu sibuk dengan diri masing-masing. Para politisinya pun tak kalah seru baku rebut pengaruh, posisi, dan publisitas.
Entah kapan mereka akan menoleh pada kepentingan keluarga orang-orang hilang, keluarga Munir, keluarga Udin, keluarga para mahasiswa yang tewas ditembaki saat menyuarakan aspirasi rakyat, ribuan keluarga lain yang kehilangan anggotanya oleh sebab yang tak jelas di Aceh, Lampung, Serang, Singkawang, Sambas, Banjarmasin, Situbondo, Sampit, Poso, Ambon, Papua dan masih banyak lagi.
Selamat jalan, Jenderal Besar! ***