Posts Tagged ‘damai

25
Des
09

(Masih) Belajar Hidup Rukun

PERAYAAN Natal di berbagai kota berlangsung khidmat. Di sisi lain suasana libur menjelang pergantian tahun, terasa mengental. Tempat-tempat yang jadi tujuan wisata sudah mulai dibanjiri pendatang. Suasana perkantoran, baik pemerintah maupun swasta, juga agak sepi. Banyak pegawai yang memanfaatkan momentum akhir tahun untuk berlibur.

Aparat kepolisian bahu membahu dengan pihak terkait, termasuk dengan masyarakat berusaha mengamankan perayaan Natal dan pergantian tahun agar segenap warga bisa menjalankan aktivitasnya dengan tenang.  Meski ada saja insiden yang jika tidak disikapi dengan bijak, bisa memicu konflik yang lebih luas sebagaimana yang terjadi di Bekasi, Jawa Barat, sepekan sebelum Natal.

Sekelompok orang menyerbu gereja yang sedang dalam tahap penyelesaian. Selain melempari tempat ibadah itu, massa juga merusak dan membakar bedeng kayu tempat para pekerja dan tempat menampung sebagian material bangunan.

Sebagaimana dilaporkan berbagai media, polisi bertindak cepat mengatasi insiden tersebut. Insiden itu sekaligus jadi peringatan dini bagi aparat keamanan untuk mengevaluasi dan meningkatkan perannya.

Peran aparat itu tentu saja disambut baik oleh segenap pihak, termasuk pemuka agama. Bagaimana pun, dukungan keamanan dalam perayaan hari besar keagamaan merupakan bagian dari sikap baik kepada sesama manusia.

Persoalannya kemudian adalah, sampai kapan masyarakat bisa betul-betul bebas dari ketakutan? Petani dan pedagang kecil bebas dari intimidasi. Pebisnis bebas dari pemerasan dan kewajiban upeti. Pemeluk agama bebas melaksanakan keyakinannya. Penghuni rumah tak perlu lagi memasang teralis rapat-rapat di rumah dan portal di kawasan permukimannya. Kapankah itu?

Sepuluh tahun reformasi dan larut dalam kehidupan demokrasi, tampaknya belum cukup bagi kita untuk menghadirkan rasa aman itu. Bahkan sebaliknya, pada situasi tertentu demokrasi dan kebebasan justru dijadikan pembenar bagi tindakan yang sesungguhnya pemaksaaan kehendak satu pihak terhadap pihak lain.

Orang masih demikian mudah bertindak garang, gampang menyerang dan –kalau perlu– mengusir bahkan membunuh orang atau kelompok lain sambil berlindung di balik topeng kesukuan, keyakinan, dan lain sebagainya.

Selain itu orang yang meyakini kebenaran agamanya, tentu tidak akan merasa terhalang bersaudara dengan orang yang berbeda keyakinan. Sebab hubungan antarmanusia justru lebih dinamis manakala di sana tercermin adanya kebedaan.

Perbedaan itulah yang membuat manusia harus saling ber hubungan untuk menemukan persamaan. Dengan cara itu kerukunan bisa dirangkai dan diresapi di tengah maraknya individualisme yang membelenggu tiap orang.

Kerukunan, sangat boleh jadi, inilah satu dari sekian banyak persoalan yang tetap mengemuka setelah sepuluh tahun bangsa kita mengarungi era baru. Bahkan kerukunan yang telah lama terjalin, dan di beberapa tempat sudah begitu sublim dalam kehidupan warga pun selalu saja ada yang berusaha merusaknya.

Padahal, barang siapa membuat kerusakan dan mengganggu ketenteraman orang lain, sesungguhnya dia telah mengkhianati ajaran agama yang menaruh tinggi-tinggi martabat serta kehormatan manusiawi tiap manusia.

Artinya, sejauh ini –bahkan entah sampai berapa kurun ke depan– tampaknya kerukunan masih tetap akan jadi pekerjaan rumah kita bersama.

Kita boleh membantah dengan menyatakan sudah tidak ada persoalan lagi dengan hal itu, jika segenap anggota masyarakat sudah bisa hidup damai dan menjalankan perannya masing-masing tanpa ada lagi penindasan dalam segala bentuknya. ***