Posts Tagged ‘demokrasi

20
Okt
13

Saling-silang Perpa…Perppu!!!

Gambar

ADA diskusi publik yang sebenarnya menarik, terkait dengan  Peraturan Perintah Pengganti Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi (Perppu MK) yang ditandatangani presiden beberapa hari lalu. Perppu ini segera akan diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memdapatkan persetujuan. Peristiwa ini penting untuk membuka mata khalayak awam terhadap tata hukum, pelaksanaan, dan penegakannya di tanah air, terutama setelah tsunami kasus Akil Muchtar mengguncang dan merontokkan harapan serta kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.

Sayang sekali publikasi pergulatan pemikiran di antara para ahli, para praktisi, dan para akademisi mengenai hal itu, terganggu oleh heboh tak penting, manakala pemimpin tertinggi negara ini dengan emosional menanggapi rumor tentang sosok Bunda Puteri, yang secara substansial tidak terkait langsung dengan kepentingan masyarakat. Sosok yang disebut-sebut dalam kesaksian di tengah persidangan atas para koruptor itu, sekadar menampilkan gambaran nyata betapa  saling-silangnya persekongkolan canggih pihak-pihak yang terlibat itu untuk membobol uang negara.

Muara dari semua ini adalah penegakan hukum. Namun ketika lembaga tinggi dalam penegakan hukum seperti Mahkamah Konstitusi terkotori orang bermental korup, maka hancurlah harapan masyarakat terhadap tegaknya hukum di tanah air. Jebolnya benteng moral MK oleh perilaku Akil Muchtar, melengkapi runtuhnya kepercayaan publik terhadap hampir semua institusi penegak hukum.

Tak ada satu pun institusi itu yang tidak tercemari personel-personelnya yang bermental korup. Bahkan, proses hukum atas kasus korupsi pun dijadikan arena suap-menyuap sebaimana terungkap dalam peristiwa penangkapan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung beberapa waktu lalu, yang kemudian menyeret mantan wali kota dan mantan sekretaris daerah setempat ke balik jeruji tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ada situasi sangat genting yang sedang melanda penegakan hukum di tanah air. Ada situasi yang oleh banyak pihak dinilai sebagai saat yang memerlukan langkah-langkah darurat untuk mengatasinya. Masyarakat perlu diajak serta memperlajari dan memahami situasi yang sedang terjadi agar mereka makin terbuka matanya, bahwa penegakan hukum bukan semata tanggung jawab para penegaknya, melainkan tanggung jawab bersama.

Dalam konteks inilah kontroversi mengenai Perppu MK menjadi hal penting sebagai pembelajaran kepada masyarakat. Ada pihak yang setuju terhadap langkah kepala negara mengeluarkan Perppu ini, tak kurang pula yang menolak dengan berbagai argumentasi. Baik argumentasi akademis, maupun argumentasi yang sangat bersifat politis belaka sekadar menunjukkan bahwa yang bersangkutan punya kemampuan untuk menolak.

Pihak yang setuju menyatakan,  tidak ada yang salah dengan substansi Perppu itu yang antara lain mengatur tambahan syarat menjadi hakim konstitusi, mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi, serta perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi. Adalah tepat  jika calon hakim konstitusi disyaratkan tidak menjadi anggota partai politik dalam kurun tertentu. Lalu, tidak ada salahnya pula jika proses seleksi dan pengajuan calon hakim konstitusi melibatkan panel ahli independen yang dibentuk oleh Komisi Yudisial. Pelibatan panel ahli tidak akan membatasi kewenangan Presiden, Mahkamah Agung, dan DPR dalam mengajukan calon hakim konstitusi.

Pengawasan hakim yang diatur melalui Perppu MK ini tidak melanggar konstitusi. Hakim konstitusi akan diawasi  Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang sifatnya independen, bukan oleh Komisi Yudisial. Majelis ini terdiri atas orang-orang yang dipilih KY berdasarkan usulan masyarakat, yakni mantan hakim MK, praktisi hukum, akademisi di bidang hukum, dan tokoh masyarakat yang usianya kurang lebih 50 tahun.

Pihak yang menolak Perppu ini menyandarkan argumentasi pada dasar hukumnya, apakah bertentangan dengan UUD, atau tidak. Bahkan ada yang secara ekstrem menyatakan menolak karena menilai Perppu ini menyalahi aturan. Sebaiknya Perppu hanya dibuat dalam situasi situasi genting  sesuai kebutuhan yang berkaitan dengan isu kesejahteraan. Bukan isu yang menyebabkan tata negara dicederai. Misalnya wewenang yudikatif dan legislatif yang diserobot eksekutif.

Mereka juga mengkritisi aturan pemilihan hakim, yakni pembentukan tim penilai terhadap usulan-usulan Mahkamah Agung (MA)-Presiden-DPR. Menurut mereka, ini potensi buruk yang mengganggu otoritas masing-masing lembaga pemegang kekuasaan tersebut sbg perwujudan kedaulatan rakyat. Keberadaan Tim panel yang punya kekuasaan menilai lembaga-lembaga tinggi ini tidak bisa dibenarkan karena berpotensi mengganggu praktek ketata negaraan.

Sepatutnya tim panel bekerja sebelum pengambilan keputusan oleh DPR, MA, presiden sebagaimana praktek tim seleksi untuk hakim MA selama ini. Sejak amandemen UUD, keberadaan lembaga-lembaga tinggi negara setara, tidak ada yang lebih tinggi. Jika tim panel dibentuk tanpa melalui proses demokratis, melibatkan rakyat secara langsung. Lalu, bagaimana mau menilai putusan politik DPR sebagai perwujudan kedaultan rakyat? Demikian argumentasi mereka.

Dalam konteks inilah publik perlu diberi keleuasaan memperoleh akses informasi, baik terhadap pendapat pihak-pihak yang setuju, maupaun terhadap pandangan mereka yang tidak setuju dan menolak terbitnnya Perppu MK. Di luar itu semua, masyarakat di tanah air sudah tahu belaka bahwa seberapa ideal pun proses pemilihan anggota MK, ternyata tak luput meloloskan ahli hukum yang juga ternyata ahli memanipulasi hukum demi kepentingan pribadinya.

Dengan atau tanpa Perppu, penegakan hukum di tanah air akan tetap terseok-seok, sepanjang orang-orang yang dipercayai untuk menegakkannya malah membengkokkannya sekehendak hati sesuai kepentingan diri dan kelompoknya. Gejala seperti inilah yang terus menerus berlangsung dan disaksikan rakyat tanpa bisa berbuat banyak. Keadaan sudah genting sejak lama, namun kita seperti dininabobokkan, dibiarkan buta hukum, agar dengan mudah diperdaya oleh mereka yang mengerti hukum. **

07
Jan
10

membaca wasiat

KEPERGIAN KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggalkan warisan yang tak ternilai. Wasiat tak tertulisnya dia utarakan melalui sepak terjang dan lontaran-lontaran pemikiran. Wasiat itu harus dibaca dan dimaknai sebagai spirit kebhinnekaan, ruh demokrasi, bagi kehidupan anak-anak bangsa yang ditinggalkannya.

Belum genap sepekan, ibaratnya air mata duka belum kering dan tanah makam pun masih gembur sepeninggal Gus Dur, sudah muncul klaim, pengakuan sempit mengenai wasiat, restu, amanat, yang oleh masing-masing orang diterjemahkan sesuai dengan kepentingannya.

Sekadar contoh, tokoh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang sedang berseberangan sama-sama mengaku diwasiati untuk menyelamatkan partai yang didirikan Gus Dur itu. Satu pihak menyatakan mendapat amanat untuk memprakarsai islah, rekonsiliasi, rujuk.

Pihak lain menyatakan, kepadanyalah Gus Dur berwasiat agar membersihkan partai dari orang-orang yang perilaku politiknya kotor. Pihak lain lagi meyakinkan bahwa tak ada wasiat politik apa pun dari Gus Dur bagi kedua belah pihak yang berseteru itu. Di luar partai, ada pula orang yang dengan sangat percaya diri menyatakan memperoleh restu Gus Dur untuk maju ke pemilihan kepala daerah.

Terlepas dari benar atau tidaknya pengakuan-pengakuan tersebut — karena memang tak akan dapat dikonfirmasi– hal paling penting dicermati, adalah sedemikian mudahnya orang memanfaatkan kepergian tokoh besar itu untuk kepentingan individu dan kelompoknya.

Tidak adakah sedikit rasa hormat, sekadar untuk menunda pelepasan birahi politik? Atau sedemikian buta-tulinyakah tokoh-tokoh yang berkepentingan –dengan wasiat, restu, dan apa pun– itu sehingga tak kuasa menanti suasana duka berlalu dahulu? Bukankah akan lebih baik mempercakapkan hal itu manakala situasi sudah tenang, emosi sudah stabil, dan pikiran sudah jernih kembali?

Namun itulah yang sedang terjadi. Pelajaran, wasiat, dan warisan yang selama ini dipersembahkan Gus Dur, tampaknya belum juga bisa diterima, diserap, dan diterjemahkan dengan baik. Kita masih tetap berpikir untuk diri dan kelompok. Padahal, Gus Dur telah memberikan teladan konkret tentang bagaimana dia menghablurkan diri demi kepentingan kebersamaan sebagai bangsa. Meski untuk itu, dia harus melepaskan kepentingannya sendiri.

Harus kita akui, pemikiran Gus Dur yang tajam dan cemerlang terutama dalam soal soal kebangsaan khususnya tentang kesatuan dalam perbedaan dan kebedaan dalam persatuan, telah berperan besar bagi perjalanan bangsa. Sikap dan perilaku itulah yang mesti diikuti, ditiru, dan dilaksanakan dalam tindak-tanduk keseharian.

Wasiat dan warisan yang selama ini diamanatkan Gus Dur, haruslah dibaca sebagai sikap saling menghormati segala bentuk perbedaan demi tercapainya tatanan masyarakat yang demokratis. Perbedaan adalah kodrat yang menjadi rahmat bagi manusia, karena di antara perbedaan itu kita menemukan kesamaan untuk mengikat persatuan.

Sikap seperti itulah yang hari-hari ini diperlukan dalam kehidupan kita sebagai bangsa yang sedang memasuki –dan larut dalam eforia– kebebasan, karena tanpa toleransi dan tanpa penghormatan atas hak-hak dasar pihak lain, kebebasan justru bisa menimbulkan perpecahan. Tanpa adanya saling pengertian dan saling memahami, kebebasan satu pihak hanya akan bermakna sebagai ketidakbebasan bagi pihak lain.

Gejala ke arah perpecahan dengan mudah kita temukan di hampir semua segi kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya, bahkan dalam kehidupan keberagamaan. Karena itulah, sebelum telanjur mengumbar hasrat politik, alangkah baiknya jika politisi –dan semua anak bangsa– membaca dan merenungkan kembali wasiat sejati Gus Dur. ***

30
Des
09

Selamat Jalan, Gus!

UJUNG tahun 1999, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyongsong pergantian tahun di Tanah Papua. Ia menyambut fajar milenium baru, tahun 2000, di tanah yang –dalam administrasi pemerintahan– semula bernama Irian Barat, lalu Irian Jaya.

Sepuluh tahun kemudian, 30 Desember 2009, sehari menjelang pergantian tahun Masehi, Gus Dur pergi untuk selama-lamanya. Ia meninggal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Rabu selepas waktu magrib.

Tokoh-tokoh masyarakat Papua menyatakan bela sungkawa bagi cendekiawan multidimensi ini. Demikian halnya masyarakat di Indonesia timur yang sebagian besar pemeluk Nasrani.

Adalah Gus Dur, yang ketika itu menjabat sebagai presiden, yang memutuskan menyetujui usulan rakyat di sana untuk mengembalikan nama Papua atas pulau paling timur Nusantara ini.

Gus Dur pula yang menganggap gerakan “perlawanan” rakyat Papua adalah bagian dari dinamika demokrasi. Ia menganggap bahwa pengibaran bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM) tak perlu disikapi secara berlebih. Anggap saja bendera organisasi massa.

Itu baru sebagian kecil dari bentuk toleransi Gus Dur yang oleh sementara pihak sering dianggap melawan arus. Tidak umum. Kita tentu masih ingat, bagaimana ia tanpa ragu menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional sebagaimana hari besar keagamaan lain. Suatu hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnyam dan sekaligus merupakan apresiasi terhadap keragaman.

Ia dikecam oleh sebagian kalangan di lingkungan Islam yang menggapnya terlalu dekat dengan kaum Yahudi, karena ia jadi anggota yayasan perdamaian yang dimotori Shimon Peres, mantan PM Israel, dan menerima medali perdamaian.

Orang Yahudi menganggapnya amat berperan dalam upaya-upaya perdamaian di Timur Tengah. Demikian pula tokoh di Palestina. Ia bahkan punya hubungan khusus dan sangat dekat dengan (mendiang) Yasser Arafat.

Di tanah air, sangat boleh jadi hanya Gus Dur yang dengan tegas menyatakan siap membela para penganut Ahmadiyah, yang di beberapa tempat justru diuber-uber, diburu, diusir dan sebagian di antaranya jadi korban penganiayaan.

Sangat boleh jadi pula kita tidak atau belum akan menemukan lagi sosok seperti dia. Sosok ulama, pemikir, tokoh demokrasi, budayawan, politisi hebat. Matanya tak lagi dapat melihat, tapi hati dan pikirannya menembus dimensi kekinian, sehingga seolah mampu melihat apa yang kan terjadi.
Ya, gerak gerik pikirannya, jejak langkah gagasan-gagasannya sepenuhnya dihibahkan pada kepentingan msyarakat dalam arti luas, tanpa mengenal sekat dan batas-batas suku, keyakinan, apalagi tingkat sosial. Ia akrab dan dekat dengan siapa pun, termasuk dengan mereka yang memanfaatkannya untuk kepentingan sendiri.

Satu di antara pelajaran berharga yang diberikan Gus Dur dalam kehidupan demokrasi di tanah air adalah jiwa besarnya untuk menang dan untuk “kalah”. Ia merelakan dirinya jadi tumbal reformasi ketika eforia kebebasan menjalar kian kemari, hingga kadang menabrak spirit demokrasi itu sendiri.

Tentu banyak yang masih ingat Sidang Umum MPR 1999 seusai Pemilu yang dimenangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Logika sederhana, tokoh dari partai pemenang pemilu lah yang mestinya dipilih sebagai presiden. Namun realitas politik di Indonesia tidak demikian.

Fraksi Reformasi dengan militansi yang amat tinggi menggalang koalisi Poros Tengah mendorong Gus Dur naik ke kursi presiden, mengganjal Megawati. Berbagai manuver, isu, tekanan dilakukan, dan para anggoat parlemen itu bersorak persis seperti anak-anak kegirangan ketika nyata bahwa Mega akhirnya kalah.

Sekitar setahun kemudian, dalam sidang paripurna MPR pula rakyat melihat, bagaimana pula Fraksi Reformasi –yang dulu demikian garang mendukung Gus Dur– berbalik menjalin persekongkolan untuk menggulingkannya.

Publik kemudian tahu, bahwa saat itu, mereka mendukung Gus Dur jadi presiden bukan karena yang bersangkutan layak, melainkan karena mayoritas anggota parlemen tidak ingin Mega marak sebagai pemimpin, meski partainya menang dalam pemilu.

Kita juga menyaksikan, bagaimana pongahnya para politisi yang merasa sedang berada di atas angin, menguasai lapangan, dan menjalin persekutuan untuk secara bersama-sama menunjukkan kekuatannya sebagai kekuatan mayoritas yang bisa menyingkirkan kelompok minoritas.

Perilaku politik seperti ini masih tampak jelas tampak pada para elite kita hingga kini, baik di pusat maupun di daerah sepuluh tahun setelah reformasi. Politik masih dimaknai sebagai menghalalkan segala cara, meninggalkan kerendahan hati dan menutup kebesaran jiwa.

Demokrasi yang sehat terjadi ketika pihak yang kalah menerima kekalahan dan langsung bahu-membahu dengan pihak pemenang untuk melaksanakan proses organisasi. Kekurangan di satu pihak diisi oleh kelebihan dari pihak lain. Hal ini nyaris tak pernah bisa kita lakukan dengan baik.

Gus Dur telah memberikan pelajaran yang amat berharga yang mestinya jadi acuan, jadi rujukan, jadi model, bagi perilaku kita semua dalam berdemokrasi. Apalagi kini, hampir dua hari sekali digelar pesta demokrasi di berbagai penjuru tanah air, mulai dari pemilihan bupati, walikota, sampai pemilihan gubernur.

Gus Dur telah pergi. Ia meninggalkan warisan tak ternilai bagi bangsa ini, yakni sikap yang demokrat dan humanis. Jika mau berdemokrasi dengan baik, ikutilah gerak-geriknya. Gitu aja, kok repot!

Selamat jalan, Gus Dur. ***

09
Jul
09

Berkat Angka-angka

angka-angka

BETAPA besar jasa penemu angka. Coba kalau umat manusia tak menemukannya, hari-hari ini tak akan ada yang terus dipelototi, dikomentari dan dianalisa.

Ada sekian ratus juta pemilih yang 8 Juli 2009 memilih satu di antara tiga pasang calon presiden dan wakil presien. Hasil akhir dari kalkulasi angka-angka itu menentukan siapa yang jadi pemimpin negara. Luar biasa!

Setiap warga negara yang memenuhi syarat memilih, bebas menentukan pilihannya. Mungkin ada yang memilih lebih dari satu. Malah, siapa tahu ada yang sengaja tidak memilih. Namanya juga demokrasi. Nah, jumlah pemilih yang telah menentukan pilihannya itulah yang kini sedang ditunggu-tunggu.

sempoaHari ke hari, jam demi jam, angkanya berubah terus. Hampir semua stasiun televisi menyajikan angka-angka itu sebagai menu khusus dan sedemikian penting, sehingga ditampilkan dalam bentuk running text, ditayangkan secara berkala.

Media cetak tak mau ketinggalan, juga memuat angka-angka (jumlah pemilih) yang diperoleh calon pemimpin bangsa ini. Sampai Rabu senja, beberapa jam setelah pemilihan berlangsung, angka-angka itu terus jadi bahan perbincangan.

Sementara, angka untuk pasangan Susilo Bambang Yudhoyono – Budiono berada di urutan teratas. Angka bagi dua pasangan lainnya hampir imbang saling susul.  Sejauh ini pemilihan presiden berlangsung lancar, aman dan damai.

Dilihat dari peta perolehan suara yang tercermin pada angka-angka hasil hitung cepat sejumlah lembaga independen, tampaknya pemilihan presiden tidak perlu sampai dua putaran. Meski tentu saja hasil hitung cepat bukanlah hasil sesungguhnya.

Angka-angka yang tampil semata merupakan indikasi dari sejumlah sample atau contoh yang dianggap relevan. Apa yang tampak dari angka-angka yang tiap saat berubah itu pada akhirnya adalah cermin nyata dari suara rakyat.

Bahwa ada ketidakpuasan dan ada insiden yang dianggap sebagai tanda kecurangan, tentu harus dibaca sebagai dinamika sebuah proses politik yang langsung melihat secara nyata rakyat di seluruh penujuru Tanah Air.

Tentang apakah hasil itu memuaskan atau mengecewakan elite politik, itu persoalan mereka sendiri. Hari-hari ini kedaulatan sepenuhnya milik rakyat, dan itu telah ditunjukkan di tempat pemungutan suara.

Kita belum tahu persis, apakah angka seperti yang tergambar pada hasil hitung cepat itu akan sejalan dengan hasil akhir perhitungan suara yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Yang jelas, publik menangkap ada gerak dan bentuk baru yang berbeda dari pemilu sebelumnya.

Ada kebebasan untuk memilih, dan keleluasaan untuk mengetahui –melalui angka-angka– peran mereka dalam menentukan pemimpinnya. Apa yang tampak dari angka-angka itu makin menegaskan bahwa rakyat kita kini lebih leluasa menentukan sendiri calon pilihannya tanpa harus terikat oleh loyalitas kepada partai.

Penegasan dukungan oleh elite parpol kepada pasangan capres tertentu, ternyata tidak serta merta diikuti konstituen di akar rumput. Jika mau mengalkulasi dengan hitungan matematis dan statistik, maka pilpres sudah selesai dan pemenangnya sudah jelas diketahui.

Tapi, politik di Indonesia tidak mudah dikalkulasi secara matematis, sebab ada begitu banyak variabel yang tak terduga dan bisa menjadi faktor penentu yang membuat 2×2 tidak mesti sama dengan 4.

Begitu pula dalam konteks pemilihan presiden kali ini. Segala gerak-gerik, taktik, tarian, akrobat, bahkan intrik politik sudah dilakukan jauh sebelum hari pemilihan. Namun rakyat toh tetap bebas melakukan apa yang mereka kehendaki, termasuk memilih pemimpinnya.

Tanda-tanda awal, sudah terbaca lewat angka-angka yang terus mengalir dari seluruh penjuru Tanah Air.  Siapa pun yang akhirnya terpilih sebagai presiden, itulah pilihan rakyat. ***

12
Apr
09

“Say No to ….”

KAMIS 9 April 2009, sejak pagi hingga lepas tengah hari, pemilih menentukan pilihannya di bilik suara. Ada juga yang tidak, baik karena hambatan administratif maupun mereka yang memang secara sengaja tidak menggunakan haknya.

sayno2Sampai menjelang detik-detik pemilihan umum, situasi relatif tenang. Suhu politik pun sejuk-sejuk saja tidak ekstrem sebagaimana dikhawatirkan banyak pihak. Bahwa ada riak-riak hangat, sejauh ini masih dalam konteks kewajaran di tengah pesta akbar demokrasi.

Ada beberapa peristiwa cukup menarik yang kali ini turut menambah semarak hura-hura politik, yang membedakannya dari pemilu di masa lalu. Pertama, berita menyangkut putra presiden yang disiarkan media online yang kemudian berdampak hukum. Kedua, hujatan dan dukungan terhadap tokoh tertentu melalui internet. Ketiga, tokoh yang diam-diam menggunakan internet untuk tetap berkampanye di masa tenang.

Tiga cuplikan peristiwa itu sengaja diambil sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa media alam maya telah betul-betul menjadi bagian dari kehidupan –sosial, politik, ekonomi, budaya– di Tanah Air. Ia juga sekaligus memperlihatkan bahwa ruang maya publik (internet) itu besar dan ampuh pengaruhnya.

Kemajuan teknologi informatika yang membawa lompatan jauh –dan kepraktisan– dalam pola komunikasi di dunia maya, telah mengambil alih fungsi yang selama ini diemban ruang publik konvensional, entah itu mall, pasar, gedung parlemen, atau taman kota.

Perbincangan, diskusi atau sekadar bergosip, keintiman atau bahkan kemarahan, sebagian kini telah berpindah saluran ke alam maya. Wacana kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan politik, tak lagi hanya di gedung parlemen dan kampus, malainkan juga di dinding percakapan ruang maya.

Internet telah jadi ruang yang betul-betul terbuka dan bebas — dimasuki atau ditinggalkan– siapa pun. Bebas bicara dan tidak bicara apa pun. Bebas digunakan –dan tidak digunakan– untuk keperluan apa pun, termasuk kepentingan politik.

Ibarat agora (pasar) dalam sistem demokrasi di Athena, internet tidak saja merupakan tempat berjualan, melainkan berfungsi ganda sebagai wahana masyarakat untuk bertemu, berdebat, mencari berbagai, membuat konsensus atau menemukan titik-titik lemah gagasan politik dengan cara memperdebatkannya.

Dalam wacana politik, kondisi itu memberikan optimisme bahwa peran besar teknologi dunia maya tersebut merupakan alternatif kekuatan baru yang dapat menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik. Jelas, ia pun merupakan saluran komunikasi yang potensial dalam menyalurkan berbagai opini dan gagasan politik yang seringkali tersumbat atau terkendala kesungkanan.

Penyaluran informasi yang baik dan jernih adalah satu di antara syarat utama demokrasi yang sehat, karena informasi yang terang dan baik, pasti berasal dan dialirkan lewat kejernihan pikiran dan ketulusan hati. Tanpa pikiran jernih dan ketulusan, demokrasi hanya akan bermakna sebagai kebebasan mutlak yang mendorong anarkisme.

Lebih sepuluh tahun lalu, Wakil Presiden Amerikan Serikat, Al Gore meyakinkan warganya bahwa teknologi informatika membuat warga negara bisa terlibat langsung dalam berbagai keputusan politik. Tahun lalu, Barack Husein Obama membuktikan keampuhan internet dalam perjalanannya menuju Gedung Putih.

Tiga contoh yang dicuplik di atas, yakni penyebaran berita mengenai dugaan kecurangan politik yang dilakukan anak presiden, dan kemurkaan ketua partai besar atas munculnya kelompok jejaring “Say No to …” dan “Say Yes to …” di dinding facebook hanyalah  petunjuk kecil tentang seberapa jauh bangsa kita memanfaatkan keterbukaan informasi itu secara bijak dan cerdas dalam proses demokratisasi.

Makna yang bisa ditangkap adalah: pemanfaatan ruang maya publik untuk komunikasi politik seyogyanyalah disertai persyaratan, di antaranya membangun sikap politik yang matang dan budaya politik yang dewasa.

Komunikasi politik tidak dapat dipisahkan dari berbagai aspek budaya politik seperti sikap mental, etika politik, dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat.

Apa yang terjadi dengan penggunaan kecanggihan teknologi dengan proses politik di tanah air, masih seperti atau sebatas itulah budaya dan sikap mental politik kita.

Mudah-mudahan pemilu kali ini menjadi awal kehidupan demokrasi yang lebih baik lagi.

Contreng!***

04
Feb
09

Ini Anarki, Bung!

anarki_medan_foto-foto_waspada_afp_antara

CERMIN kebrutalan yang mengatasnamakan demokrasi, memantulkan realitas paling buruk di gedung Dewan Perwakilan Raktyat (DPRD) Sumatera Utara di Medan, Selasa (3/2). Sebagaimana luas diberitakan, sidang para wakil rakyat diobrak-abrik massa yang marah karena merasa aspirasinya tak diperhatikan.

Ketua DPRD meninggal di tengah hiruk-pikuk unjuk rasa yang berubah jadi gelombang amuk massa tak terkendali. Tampak di sana, bagaimana aspriasi, muatan politik kelompok dan golongan, kepentingan individu dan syahwat berkuasa, larut dalam keberingasan amarah. Tak ada lagi tata krama demokrasi karena yang muncul adalah pemaksaan kehendak.

Jika dicermati urut-urutannya, tragedi itu bisa disebut sebagai puncak dari serangkaian aksi-aksi serupa selama dua tahun terakhir sejak munculnya wacana pembentukan provinsi baru, Tapanuli, yang lepas dari Sumatera Utara.

Massa juga pernah menyandera Ketua DPRD Sumut sebelumnya untuk menerbitkan rekomendasi pembentukan provinsi baru yang gagasannya mulai muncul sejak 1998 itu, berkembang dan kian menbgkristal hingga kini.

Belakangan terjadi “perpecahan aspirasi” ketika muncul pula wacana baru yakni pembentukan Sumatera Tenggara dan Nias, di samping mereka yang tetap bertahan dengan gagasan provinsi Tapanuli, yang mengerahkan massanya Selasa lalu itu.

Provinsi baru, kabupaten baru, kota baru, marak bermunculan bersamaan dengan berubahnya tatanan politik pemerintahan pascareformasi yang melahirkan aturan dan perundang-undangan yang memungkinkan untuk itu.

Kini ada 33 provinsi, 477 kabupaten dan kota di tanah air, dan mungkin masih berkembang lagi di hari-hari kemudian. Maraknya pemekaran wilayah membawa konsekuensi pada anggaran negara. Selama empat tahun terakhir jatah alokasi dana yang dikucurkan ke daerah meningkat drastis.

Sekadar perbandingan, pada 2006 negara menyediakan dana alokasi umum (DAU) hanya Rp 60,3 triliun dan pada 2008 menjadi Rp 179,5 triliun. Dari jumlah itu, 90 persen di antaranya untuk kabupaten/kota. Tahun 2009, negara mangalokasikan Rp 167,7 triliun untuk kabupaten/kota, atau rata-rata menerima Rp 351,7 miliar untuk setiap daerah.

Dengan demikian bisa dipahami, munculnya eforia untuk memisahkan diri semata-mata tidak hanya didasarkan pada kebutuhan, prospek kemandirian, serta efisiensi dan efektivitas birokrasi, melainkan lebih sebagai wujud dari gejolak birahi politik kalangan elit lokal untuk berkuasa.

Tanpa kekuasaan, tak mungkin mereka punya akses pada anggaran negara. Bersmaan dengan itu pertikaian antarelit selalu mewarnai proses politik terkait pemekaran wilayah. Kondisi ini kian menambah ketakpastian dalam kehidupan bernegara di tingkat bawah karena rakyat selaluj diombang-ambingkan dan tidak pernah sepenuhnya dilibatkan.

Ucapan, tindakan, serta keputusan para elit malah sering mengandung aroma anarki yang muncul ibarat mata uang baru dalam transaksi politik. Para pemimpin politik lebih cenderung menyuarakan kepentingan kelompoknya ketimbang kepentingan bangsa dan negara, sehingga dalam dukamedanaskala tertentu kekerasan dan pemaksaan kehendak seolah sah saja dilakukan.

Bagi sebagian orang, kekerasan adalah komoditas. Bagi sebagian yang lain, ia adalah alat untuk mendapat kekuasaan dan dengan kekuasaan itu ia menghimpun kekuatan untuk membeli kekerasan agar bisa mempertahankan kekuasaannya. Akibatnya, bahasa kemarahan seolah satu-satunya alat komunikasi antara pihak yang berbeda pendapat, pandangan, dan keyakinan.

Apa yang tampak  dari  tragedi di Medan, adalah ironi reformasi ketika para elit berjalan sendiri melampiaskan napsu politiknya dengan memperalat rakyat. Mereka menghujat, mencaci, bahkan menyerang wakil-wakil pilahan rakyat utuk memakaskan kehendak.

Apa pun alasan di balik semua kejadian ini, korban sudah jatuh dan tak bisa bangkit lagi. Ia jadi korban “peradaban baru” demokrasi di tanah air. Jika para wakil rakyat saja tak terbebas dari teror massa seperti itu, bagaimana pula dengan rakyatnya? ***

01
Feb
09

Politik Gasing dan Yoyo

yoyo-gasing_adaptasi_foto_donny_sophandi

SAMBIL meladeni sindiran politik Megawati yang mengibaratkannya bermain yoyo, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyenggol Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan tentu juga Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Jika kepada Megawati pihak Yudhoyono mengumpamakannya bermain gasing yang bikin rakyat pusing, maka kepada TNI dia melontarkan rumor tentang adanya sejumlah perwira yang menggalang kekuatan anti-Yudhoyono.

Megawati –presiden sebelum Yudhoyono– adalah calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada Pemilu 2009. Sedangkan TNI dan Polri –yang oleh undang-undang harus berada pada posisi netral– sejauh ini adalah lembaga yang paling siap melahirkan kader-kader politik, termasuk untuk menduduki kepemimpinan dari pusat hingga daerah.

Yudhoyono sendiri adalah satu di antara kader yang dihasilkan lembaga itu. Demikian pula sejumlah tokoh yang hari-hari ini digadang-gadang sebagai calon presiden, di samping calon-calon dari kalangan sipil.

Ketika meladeni sindiran Megawati, yang disebut-sebut akan menjadi rival paling potensial pada pemilihan presiden Juli nanti, banyak pihak menilai Yudhoyono sebagai emosional sehingga mudah terpancing.

Sedangkan tudingannya kepada para petinggi TNI dan Polri, dinilai pengamat sebagai tindakan yang sembrono, panik, dan menunjukkan ketidakpercayaan namun sekaligus ingin mengesankan sebagai pihak yang dizalimi dan dikhianati.

Di satu sisi, pernyatanya mengenai TNI –jika tudingannya itu betul-betul didasari kenyataan– bisa ditafsirkan bahwa pemerintahan Yudhoyono gagal mengangkat harkat TNI sebagai kekuatan pertahanan yang profesional. Akibatnya, muncul ketidakpuasan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk pembelotan sikap politik di balik seragam kenetralan.

Pada sisi lain, pernyataan Yudhoyono tersebut bisa juga dilihat sebagai manuver politiknya untuk mencari perlindungan pada TNI atau Polri, mengingat muncul beberapa nama perwira bertaburan bintang yang akan mencalonkan diri sebagai calon presiden.

Sebagai orang militer, Yudhoyono pasti sadar betul ‘kemampuan tempur’ tiap individu dan keterampilan mengoperasikan dan mengelola jaringan demi kemenangan, sebagaimana yang dilakukannya sendiri ketika maju ke ‘medan laga’ Pemilihan Presiden 2004.

Terlepas dari semua perdebatan itu, ketika pemilu makin dekat, seharusnya para elite politik mengurangi atau bahkan menghentikan tingkah laku mereka yang bisa membuat masyarakat mengalami kelelahan politik.

Jika rakyat sudah lelah, mereka akan ‘istirahat’ yang berarti demokrasi tak akan berjalan sempurna. Bagaimana rakyat tidak letih jika hampir saban hari mendengar dan menyaksikan elite saling terkam, saling tendang dan baku sodok lewat pernyataan-pernyataan.

Polemik berkembang dan meletup-letup namun tak pernah mencapai titik akhir berupa kesimpulan rasional yang bisa melegakan semua pihak, karena belum selesai satu perkara diperdebatkan dan diributkan, muncul lagi problem baru yang tak kalah seru.

Ujung-ujungnya, rakyat makin bingung. Padahal yang terpenting dari pertarungan politik di tahun 2009 adalah semua pihak mampu mengedepankan kepentingan bangsa dan negara ini daripada kepentingan kelompok, apalagi kepentingan pribadi.

Para elite itu seharusnya makin sadar bahwa kini rakyat sudah letih dan jenuh dijadikan alas kaki mereka. Mestinya mereka lebih berhati-hati, karena rakyat pun bisa bergerak. Kita tentu sangat tidak berharap bahwa besok lusa terjadi ‘arus balik’ yang melawan para elite.

Perlawanan itu bisa dalam berbagai bentuk, mulai dari menarik kepercayaan dan mandat yang selama ini telah diberikan kepada para wakil mereka. Atau melawan secara diam: Tak peduli lagi urusan politik, tak lagi mau berpartisipasi secara politik. Itu yang berbahaya bagi kelangsungan demokrasi.**

01
Agu
08

Riwayat Sehelai Jaket

bpostprint.jpg

SEHELAI jaket tergantung di balik rak kaca pada bagian atas dinding depan dalam ruang redaksi di gedung lama Banjarmasin Post. Sekilas mirip jaket satuan tugas (satgas) ormas yang biasanya marak di saat kampanye. Tapi jika dicermati dengan lebih teliti, jaket itu adalah jaket `almamater’ gerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).

Jelas, penempatan jaket itu di sana bukan tanpa maksud. Bukan sekadar hiasan dan kenang-kenangan romantisme perjuangan mahasiswa, karena mereka yang hilir-mudik berlalu-lalang dan beraktivitas di dalam ruangan itu, hampir semuanya bukan mahasiswa lagi. Sebagian di antaranya malah berusia lebih muda daripada umur jaket tersebut.Bila diurut lagi dari usia pergerakan mahasiswa Indonesia, sangat mungkin pula jaket –yang tampak kusam, tua, dan berdebu karena tak pernah tersentuh oleh petugas pembersih– itu lebih tua empat atau lima tahun dari umur harian ini, Banjarmasin Post: harian terbesar pertama di Kalimantan dan satu di antara sedikit perintis pers nasional yang bisa bertahan hingga kini.

Usia koran ini jelas bukan kanak-kanak lagi, bukan pula remaja yang meledak-ledakkan romantisme perjuangannya secara gegabah. Kalau manusia, pada usia sekarang ini ia sudah mencapai tahap kematangan kedewasaannya, meski mungkin belum sampai pada tahap kebijakan pandita.

Sedangkan untuk sebuah media massa, usia itu adalah perjalanan panjang dari sebuah siklus kerja harian tanpa henti nyaris 24 jam setiap hari dan tujuh hari kerja setiap pekan, saban bulan, sepanjang tahun.

Konsistensi. Itulah salah satu kunci keberhasilan sebuah media, termasuk di dalamnya konsisten terhadap komitmennya untuk melayani khalayak pembaca, konsisten terhadap sikapnya sebagai salah satu pilar demokrasi masyarakat. Hal ini berlaku pula dalam kasus Banjarmasin Post.

Melalui usianya itu pula terlihat bahwa surat kabar ini lahir pada tempo yang nyaris bersamaan dengan bangkitnya kesadaran untuk merombak sebuah tatanan, sebuah ordo yang dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan kebutuhan masyarakatnya.

Ya, harian ini boleh dikata lahir dari sebuah ordo yang menjungkirbalikkan tatanan lama, sekaligus memposisikan diri sebagai pengontrol ordo yang baru itu sendiri. Namun, celakanya ordo yang melahirkannya itu berkembang tanpa kendali, berubah jadi rezim penindas yang secara otoriter selama sekitar dua pertiga dari 32 tahun usia kekuasaannya.

Apa mau dikata, jangankan Banjarmasin Post — media di daerah yang jauh dari pusat kekuasaan– pada masa itu bahkan media raksasa pun kelimpungan dan kadang harus cerdik berkelit mencari celah aman agar tidak diinjak remuk oleh rezim yang secara sistematis memberangus kebebasan dan memanipulasinya sedemikian rupa lewat aneka regulasi dan `semangat kemitraan’ yang sesungguhnya hanya menguntungkan dan memperkokoh cengkeraman kekuasaan.

Bahwa selama sekian tahun Banjarmasin Post larut dalam kompromi yang kadang `tampak’ begitu intim dengan kekuasaan, itu hanyalah cara agar tidak diberangus dan dengan demikian bisa tetap bernapas supaya dapat terus secara konsisten mengunjungi pembacanya, mendampingi mereka dengan gambaran-gambaran mengenai realitas yang sedang tumbuh dan berkembang melalui kacamata yang tentu beda dengan kacamata penguasa.

Bagaimanapun, dalam beberapa hal, surat kabar ini tetap menjalankan fungsinya mengkritisi perkembangan sosial politik dan budaya yang terjadi di lingkungan di mana ia terbit dan beredar. Sikap kritis yang tampaknya pula dijalankan dengan sangat hati-hati, dengan cara yang tidak langsung menuding dan menonjok, bahkan mencubit pun tampaknya sungkan. Cukup dengan bisik-bisik, toh tetap ada hasilnya.

Periode malu-malu dan serba sungkan yang dijalarkan rezim dari ordo yang baru itu, kini telah berlalu. Dan, Banjarmasin Post lolos dari gulungan badai itu, meski sempat tampak kehilangan orientasi ketika reformasi meledak meluluhlantakkan ordo baru yang sudah lapuk itu. Kedekatan dengan kekuasaan –juga dengan partai yang paling berkuasa saat itu namun ogah disebut partai– membuat media ini sempat sempat agak serba kikuk.

Ini bisa dimaklumi, sebab selama tidak ada reformasi politik menuju ke arah demokratisasi — yang hanya dapat dicapai jika terjadi pelemahan kekuasaan di satu pihak dan terjadi penguatan masyarakat di pihak lain — maka pers juga tidak dapat mengekspresikan peran kontrol sosialnya secara efektif.

Dalam perspektif negara di zaman ordo Soeharto, kecenderungan yang kuat bahwa pers harus mendukung status quo kekuasaan telah mendorongnya memonopoli interpretasi atas regulasi yang diciptakan, bahkan memonopoli interpretasi atas fakta yang seharusnya secara telanjang disajikan. Dan yang lebih parah, memonopoli kebenaran.

Saat itu, perangkat regulasi yang jadi bagian inheren dalam sistem pers yang dibangun, sekaligus merupakan alat pemukul bagi pers yang dianggap merugikan kepentingan status quo. Karena itu, bisa dipahami jika ada masanya Banjarmasin Post seperti terpaksa lebih condong kepada kekuasaan.

Untunglah surat kabar ini segera menemukan kembali keseimbangan dirinya, menghidupkan kembali ruh perjuangan untuk pembebasan sebagaimana yang ditiupkan para perintis dan pendirinya .

Saat inilah kesempatan paling luas untuk segera menempa kembali ruh perjuangan itu agar tetap menggelenyar dalam urat nadi kehidupan para kerabat kerja dan generasi berikut dari pengelola harian ini.

Andai boleh membayangkan, suasana saat-saat ini -tahun-tahun awal pascareformasi– tampaknya tak terlalu jauh dengan saat-saat ketika bayi Banjarmasin Post lahir dari rahim militansi perjuangan para aktivis, menjelang, pada saat, dan setelah kejatuhan ordo yang lama.

Kini ia teah tumbuh dan berkembang dalam gelegak perjuangan menegakkan kebenaran dan memberantas sisa-sisa kezaliman rezim sebelumnya. Ia seharusnya tidak lagi mudah terjebak oleh kekuatan kekuasaan apa pun di luar dirinya, agar bisa dengan leluasa menjalankan fungsi sebagai pendamping masyarakat dalam menempuh arus perubahan, dengan senantiasa menyampaikan kabar, pandangan, dan gambaran yang jujur tanpa prasangka dan jernih tanpa dinodai kepentingan salah satu pihak.

Banjarmasin Post adalah milik masyarakatnya, bukan kepunyaan penguasa, bukan pula milik partai dan bukan, apalagi milik laskar –entah apa itu– yang banyak bermunculan belakangan ini.Karena ia milik masyarakatnya, maka ia akan memegang teguh komitmen pengabdiannya kepada khalayak umum, dari semua golongan, aliran, suku, agama dan ras. Pengabdian itu, juga berarti harus tetap mengkritisi tingkah laku, dan pola perilaku masyarakat serta penguasa yang menjalankan amanat rakyatnya. Pengabdian yang tulus tanpa pamrih, sebagaimana pengabdian para aktivis mahasiswa, ketika mencikalbakali berdirinya surat kabar ini.

Slogan, misi, dan visi pengabdian itulah `jaket almamater’ koran ini untuk menjalani proses di tengah Universitas Kehidupan. Jadi jelas, bukan tanpa maksud orang menaruh jaket KAMI pada dinding ruang redaksi Banjarmasin Post saat berkantor di gedung lama itu. Secara fisik, betul bahwa jaket tersebut sudah tua, kusam, layu dan berdebu. Tapi geletar ruh perjuangannya haruslah selalu menjadi inspirasi segenap pengelola harian ini.

Namun, sejak pindah kantor ke gedung baru berlantai lima, jaket tua “almamater KAMI” itu tak tampak lagi. Entah disimpan di mana. Mudah-mudahan saja spirit dan iman perjuangannya tetap menjalari seluruh awak harian ini. (*)

 

* Yusran Pare Pemimpin Redaksi Tribun Jabar, Bandung, Wakil Pemimpin Redaksi Banjarmasin Post (1998-2000) Catatan: Ditulis ulang dengan penyemuprnaan dari naskah yang dipublikasi 5 Agustus 2000

11
Mei
08

“Demokrasi Blangkon” Pelaihari


PETUGAS di tempat pemungutan suara (TPS) Desa Karang Taruna Pelaihari, Tanah Laut, Kalimantan Selatan, mengenakan busana adat Jawa. Di TPS itu banyak pula pemilih yang secara khusus mengenakan busana Jawa ketika melaksanakan hak pilihnya. Sebagian penduduk daerah ini memang berasal dari Jawa dan bermukim sebagai transmigran. Banyak di antara mereka yang sudah berhasil secara ekonomi. foto: idda royani/BPost

JIKA di Jawa Barat, pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf menggunakan “taktik” tanpa peci untuk menandai penampilan mereka agar berbeda dengan dua pesaingnya dalam pemilihan gubernur (dan kemudian mereka menang), maka di Tanah Laut Kalimantan Selatan, ada praktek “demokrasi blangkon”.

Sejatinya, kabupaten beribukota Pelaihari (kira-kira 60 Km dari Banjarmasin) ini ada di Kalimantan dengan latar kultur banjar. Tapi sebagian di antara penduduknya lebih dekat dengan akar budaya Jawa karena memang dari sanalah mereka berasal. Program transmigrasi yang digalakkan sejak ordo soeharto berkuasa, telah membuahkan hasil berupa populasi etnis Jawa di luar Jawa, termasuk di Kalimantan.

Begitu pula di Tanah Laut. Proses akulturasi yang sudah berlangsung lama telah memberikan warna atau sekadar aksen budaya Jawa pada pola pergaulan warganya. Juga saat melaksanakan proses demokrasi seperti yang tampak pada hari Minggu 27 April 2008.

Suasana tempat pemungutan suara (TPS) 09 di Desa Karang Taruna terlihat lebih menarik, pasalnya para penjaga TPS memakai busana khas adat Jawa. Para pemilih yang mencoblos pun mengenakan busana serupa. Para lelaki, tak lupa melengkapi penampilan mereka dengan blangkon (penutup kepala ala Jawa Tengah).

Menurut Sukamto, warga setempat, ajang ini merupakan pesta pertama kalinya untuk menentukan kepala daerah sesuai keinginannya selama 43 tahun menetap di Tanah Laut. Warga berduyun-duyun memberikan hak suara mereka di berbagai TPS terdekat. Hari itu, suasana daerah yang biasanya sepi, jadi agak lebih semarak.

Apalagi di beberapa tempat pemungutan suara, ada warga yang mengisi kekosongan waktu menunggu penghitungan, dengan menggelar aneka atraksi. Dangdut, misalnya. Maka pilkada pun berlangsung dengan riang, tanpa otot-ototan tanpa panas memanasi. Setelah selesai penghitungan, pihak pememenang dan pecundang, menerimanya dengan lapang. Tak ada hiruk-pikuk, apalagi huru hara.

Tanah Laut yang berpenduduk 260.000 (setara dengan penduduk Kiaracondong dan Batununggal, Bandung, digabung) menetapkan pilihan mereka tanpa ribut-ribut. Ada empat pasang yang tampil sebagai kandidat, yakni Ardiansyah-Atmari; Ikhsanuddin-Asmiriyati; Danche-Iriansyah; dan Ali Rais-Abdi Rahman.

Hasil akhir penghitungan suara menunjukkan, pasangan Adriansyah dan Atmari unggul dengan mengantongi lebih dari 50 persen suara. Seusai pemilihan dan penghitungan suara, warga kembali menjalani rutinitas masing-masing. Damai, tenang, tenteram. Menyenangkan sekali jika proses politik di tiap daerah berlangsung seperti di Tanah Laut.

15
Apr
08

Berkat Sebatang Paku

RIAK mulai muncul. Seseorang hendak membakar Sekretariat Dewan Pimpinan Daerah (DPD) partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Katapang Kabupaten Bandung, Senin lalu. Bersama Partai Amanat Nasional. partai ini mengusung Ahmad Heryawan dengan Dede Yusuf ke arena pemilihan gubernur.

Hari Selasa, sekelompok orang menurunkan dan membakar spanduk-spanduk pro-Hade. Spanduk itu berisi ucapan selamat atas hasil sementara penghitungan suara atas Pemilihan Gubernur Jawa Barat, 13 April lalu.

Hingga Selasa malam, perolehan suara untuk pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf (Hade) –yang hari-hari ini masih dalam penghitungan– lebih unggul dibanding dua pasang pesaingnya, yakni Agum Gumelar – Nu’man Abdul Hakim, dan Danny Setiawan – Iwan Sulanjana.

Pemberian suara kepada para calon gubernur dan wakil gubernur itu dilakukan di bilik-bilik tempat pemungutan suara (TPS). Caranya, pemilih tinggal menusuk satu di antara gambar tiga pasangan.
Kalau dua gambar atau ketiga-tiganya yang ditusuk, tidak sah. Tidak menggunakan paku yang tersedia di bilik itu untuk menusuk, juga dianggap tidak sah.

Ya, paku. Cuma sebatang pula (di tiap bilik). Bagi para kontraktor dan tukang bangunan, benda ini biasanya digunakan untuk menguatkan sesuatu, menyambungkan tiang, dan sebagainya. Di tangan narapidana, paku bisa ditempa dan jadi sebilah pisau yang bisa digunakannya untuk macam-macam hal. Di TPS, benda ini bisa mengubah sejarah.

Hasil secara keseluruhan tusukan itu, di samping menentukan pasangan calon mana yang diamanati untuk memimpin, juga menunjukkan perilaku dan partisipasi politik masyarakat daerah ini.

Boleh jadi, para pemilih puas karena sudah menggunakan suaranya. Atau malah bangga karena melepaskan haknya, tapi satu suara terbuang sudah. Padahal, suara itu turut memberi warna dan ikut menentukan sejarah warga ini dalam berdemokrasi. Sejuta suara tak akan genap jika kekurangan satu coblosan paku pada kertas suara.

Ternyata, paku –apa sih arti sebatang paku– jadi alat pengubah jalannya pemerintahan. Di pusat maupun di daerah. Dengan sebatang paku, empat tahun lalu, rakyat memilih wakil-wakilnya. Dengan tusukan paku pula, presiden dan wakil presiden, gubernur, bupati, dan wali kota dipilih langsung oleh rakyat.

Sangat boleh jadi, hanya sedikit orang yang pernah membayangkan bahwa sebatang paku mampu melemparkan calon-calon presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubenur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, ke luar arena pemilihan meski sebelumnya mereka merupakan tokoh-tokoh yang dianggap –atau menganggap diri– mampu memimpin.

Kini suara yang dinyatakan melalui tusukan paku itu masih terus dihitung. Para pemilih sudah kembali menjalani agenda kehidupannya seperti sedia kala sambil –ada yang berharap-harap cemas– menanti dan mengikuti hasil akhir penghitungan.

Untuk ukuran warga yang baru pertama pertama kali melaksanakan pemilihan gubernur secara langsung, bolehlah kita bangga karena ternyata bisa melakukannya dengan baik tanpa ada gejolak berarti.

Bahwa ada sedikit riak, tentu saja harus dilihat sebagai ungkapan ketakpuasan yang seseorang atau sekelompok orang, sepanjang ia masih dalam koridor kepatutan. secara umum sudah tampak bahwa rakyat sudah cukup dewasa dan menunjukkan kedewasaannya dengan melaksanakan pemilihan secara aman serta damai.

Hasilnya? Perhitungan sementara menunjukkan Pasangan Ahmad Heryawan – Dede Yusuf masih unggul. Jika tak ada aral melintang, Juni nanti warga Jawa Barat akan mencatat sejarah, yakni untuk pertama kali ini punya gubernur hasil pilihan sendiri.

Dan, warga memilihnya dengan sebatang paku! ***

yusran pare