DI tengah krisis yang mengguncang seluruh bangunan ekonomi, Indonesia harus berterima kasih kepada para buruh migran. Sementara para buruh di tanah air mulai kehilangan pekerjaan akibat gelombang pemecatan besar-besaran, para pekerja di luar negeri (TKI) mengalirkan uang mereka ke kampung halamannya di tanah air.
Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BPN2TKI) menunjukkan, tahun 2006 para buruh migran ini mengalirkan Rp 60 triliun ke kampung halaman mereka di tanah air. Ini sama dengan tiga kali lipat dari nilai investasi langsung negara maju ke Indonesia, sebagaimana disitir Kepala BPN2TKI, Jumhur Hidayat belum lama ini.
Selain menunjukkan gairah investasi asing di Indonesia masih rendah, fakta itu juga menggambarkan betapa besar sumbangan para buruh terhadap perekonomian nasional.
Menurut survei Ikatan Sarjana Ekonomi (ISEI) Jabar dan Kantor Bank Indonesia Bandung, para buruh itu rata-rata mengirimkan 80 persen pendapatan mereka ke tanah air. Artinya, mereka hanya menikmati bagian sangat kecil (20 persen) dari hasil banting tulangnya di negeri orang.
Bayangkan, bagaimana saudara-saudara kita itu hidup dengan mengetatkan ikat pinggang mereka di lingkungan asing, demi mengihidupi keluarganya di kampung halaman. Dan, tanpa mereka sadari, dana yang mereka alirkan itu telah memperkuat neraca pembayaran sekaligus menopang cadangan devisa negara.
Sebagian besar (sekitar 85 persen) dari para pahlawan devisa itu bekerja di sektor rumah tangga. Entah itu pembantu, pengasuh anak, atau sopir. Penghasilan mereka -jika dikonversi ke Rupiah- berkisar antara dua sampai5 juta per bulan.
Sementara ini, keringat para pembantu rumah tangga itu bisa menjadi penyangga ekonomi negara. Namun, situasi ini tentu tak boleh dibiarkan berlarut. Perlu dilakukan langkah-langkah serius agar di kemudian hari tenaga kerja kita di luar negeri tidak melulu sebagai pembantu rumah tangga dan sejenisnya. Dengan peningkatan kemampuan serta keterampilannya, mereka bisa mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik lagi.
Namun yang kita lihat hari-hari ini, jangankan menyiapkan tenaga kerja terampil yang punya “daya jual” tinggi di luar negeri, mengurusi dan melindungi para buruh migran yang sudah ada saja seringkali masih compang-camping.
Jangankan mengupayakan peningkatan keterampilan, melindungi mereka pun kadang kita tak mampu. Jangan cerita bagaimana melindungi mereka di negeri orang, di alam negeri saja mereka seringkali diperlakukan bak sapi perah dan objek pemerasan, resmi maupun tidak. Mulai dari para makelar, hingga para preman.
Kerancuan proses penempatan, minimnya mutu dan perlindungan serta kerentanan posisi buruh merupakan titik lemah program penempatan buruh kita ke luar negeri. Posisi tawar menawar kita dalam penempatan buruh ini tetap lemah ketika dihadapkan pada kelangkaan kesempatan kerja di dalam negeri di satu pihak, dan peningkatan devisa di pihak lain.
Sejauh ini kita kita belum melihat langkah-langkah konkret dan radikal dari negara -pemerintah dan lembaga wakil rakyat- untuk mengelola mereka dengan lebih baik lagi, lebih canggih dan lebih manusiawi, sehingga mereka mampu mengisi sektor-sektor yang lebih beragam, tidak melulu sebagai pembantu rumah tangga. (*)
lihat: made in indonesia