Posts Tagged ‘garuda

10
Nov
08

Terbang Tegang Bersama Batavia

bataviaair_foto_wikan_tribun_kaltimENTAH sudah berapa puluh kali saya menggunakan jasa maskapai penerbangan tanah air sejak 1984, tapi baru kali ini memperoleh pengalaman mencekam. Merasakan sendiri ketegangan, sekaligus menyaksikan bagaimana orang-orang lain yang saat itu berada dalam kabin pesawat yang sama, bereaksi atas ketegangan yang mereka alami.

Hari itu Jumat, 7 September 2008. Pesawat Airbus A320 milik maskapai penerbangan Batavia Air dengan nomor penerbangan 7P-631 tujuan Manado via Balikpapan, terpaksa kembali ke areal parkir setelah bersiap lepas landas, di Bandara Soekarno Hatta.

Semula, saya –mungkin juga penumpanbg lain—lega setelah menunggu hampir satu jam dari jadwal yang ditetapkan, akhirnya dipersilakan memasuki pesawat. Saya berada di antara lebih dari seratus penumpang pesawat itu.

Semua persiapan sudah dilakukan. Seluruh penumpang duduk dengan sabuk pengaman terkunci. Pramugari sudah mengumumkan dan memperagakan tata-tertib di dalam pesawat, sementara pesawat bergerak lambat-lambat menuju landas pacu.

Di sinilah teror perasaan itu dimulai. Di sela gemuruh jet, terdengar bunyi yang ganjil. Bunyi itu berupa deritan panjang dan kontinyu dalam interval tertentu. Bunyinya mirip suara gerinda yang menggerus logam berkarat, sekaligus mirip bunyi seperti tali kipas mobil yang tidak normal, tapi lebih tinggi. Menjerit, berderit, menusuk kuping.

Saya melirik ke sebelah kiri, seorang penumpang menekankan dahinya ke punggung kursi di depannya. Mulutnya komat-kamit. Di sebelahnya lagi, seorang perempuan, menunduk tepekur, tangan kanannya mengelus-elus perut buntingnya. Pria di sebelah saya bergumam tak jelas. Ketegangan terasa mencekam seantero kabin.

Kurang lebih 10 menit, kami terperangkap dalam jebakan kegelisahan, sampai akhirnya bunyi mesin terdengar agak mengendur, suara menderit masih muncul sesekali. Sejurus kemudian, Kapten Pilot Anjar Sulistyaji mengumumkan menunda keberangkatan sekitar 20 menit.

Padahal sebelumnya keberangkatan sudah molor 35 menit. Jadwal lepas landas pukul 15.10 WIB namun penumpang baru boarding pukul 15.45 WIB. Para penumpang yang gelisah, agak sedikit lega. “Dari pada dipaksakan terbang, tapi celaka….” ujar lelaki di sebelah kiri saya. Hiyyyy… langsung terbayang berbagai kecelakaan pesawat, mulai dari musibah Garuda di Adisutjipto, sampai Hercules pengangkut Paskhas!

Peristiwa-peristiwa mengenai kecelakaan pesawat terbang yang sering jadi topik berita media, jelas sangat berpengaruh. Setidaknya, jadi pelembek nyali.

Setelah kembali ke areal parkir, dan penerbangan ditunda lebih dari 20 menit, pesawat kembali bergerak menuju landasan. Namun sudah 10 menit di landasan, tidak juga lepas landas.

Penumpang mulai gelisah, dan kepanasan. Bayi-bayi menangis. Mesin pesawat dalam kondisi hidup, namun sesekali suara gesekan masih terdengar sedangkan penjelasan lebih lanjut tidak ada dari awak kabin.

Akhirnya, pesawat keluar dari areal parkir dan memasuki landas pacu. Kami lepas landas dengan ketegangan masih mencekam. Syukurlah penerbangan lancar hingga mendarat dengan mulus di Bandara Sepinggan, Balikpapan, Kalimantan Timur pukul 19.07 Wita.

Penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta ke Balikpapan memakan waktu tempuh sekitar satu jam 50 menit. Saat penumpang tujuan Balikpapan turun di Kota Minyak ini, penumpang tujuan Manado tetap berdiam, menunggu di dalam pesawat.

Tiga puluh menit kemudian, pesawat bergerak lagi menuju landas pacu Sepinggan. Saya dan pria di sebelah kiri saya saling tatap sambil berusaha mendengar sesuatu. Astaga!! Bunyi derit itu terdengar lagi di antara gemuruh jet. Terdengar raungan mesin lebih tinggi lagi, makin tinggi dan makin kuat.

Bunyi derit seperti gerinda menggesek logam berkarat itu sirna. Entah memang tidak ada masalah lagi, atau tertimpa tingginya raungan mesin. Sesaat kemudian, pesawat bergerak ke landas pacu. Para penumpang hening, seperti kembali dicekam ketegangan, meski terasa seperti antiklimaks.

Syukurlah, penerbangan lancar dan airbus Batavia Air ini mendarat mulus di Bandara Internasional Sam Ratulangi, satu setengah jam setelah lepas landas dari Balikpapan. Saya beringsut turun. Rongga mulut dan kerongkongan terasa kering. (*)

19
Okt
07

Sebuah Kelas

ENTAH siapa yang memulai menggunakan ‘ekonomi’ sebagai istilah untuk ke­las paling rendah dalam tingkatan layanan bagi publik. Tak per­caya? Silakan gunakan jasa angkutan umum di darat dan laut.

Duduk di kelas ekonomi rasanya hampir sama dengan kedudukan seekor kam­bing. Apalagi di saat-saat musim libur seperti men­je­lang lebaran dan tahun baru.

Pada moda angkutan tersebut, penghuni ke­las ini ham­pir dise­tarakan dengan barang, tanpa jiwa tak bere­mosi. Mari tengok dan rasakan ‘ekonomi’ di kapal-kapal motor yang mem­belah laut menjembatani pu­­­lau-pulau lain di bentangan zambrud (ya, zambrud. Betapa indah dan cemerlangnya!) khatulistiwa.

Atau, cobalah sesekali naik ke­reta ‘ekonomi’ dari Jakarta ke Surabaya atau ke mana sajalah jurusannya. Di sinilah sesungguhnya kita merasakan arti “kebersamaan dalam kesengsaraan” sebuah negeri mak­mur dari barat hingga ke timur.

Di kelas ‘ekonomi’ ini pula kita bersama-sama berpeluh, ber­desak, berebut ruang untuk sekadar bernapas, sambil menyak­sikan da­ri balik jendela berkarat, bertapa biru dan luasnya laut. Be­tapa hijau dan permainya ladang, sawah, kebun dan gunung di kiri­-kanan jendela –tanpa kaca– kereta.

Di kelas ‘ekonomi’ pula, kita akan merasakan bagaimana seng­saranya kebersamaan dalam kelaparan dan kehausan terpanggang suhu tanpa berpengatur, antre mendapatkan sepiring nasi dan sepotong ikan entah apa, sementara di bawah kita di kedalaman samudera berjuta-juta ikan menanti dikelola.

Orang bilang, pembagian kelas dalam hal pelayanan kenyamanan adalah sah-sah dan wajar saja. Orang berhak memilih mau dilayani secara mewah, atau secara alakadarnya, terserah, sebab masing-ma­sing memberi konsekuensi sendiri-sendiri.

Namun dalam hal kea­man­­an, tidak ada tawar menawar. Kelas Ve­ry Very Important Person (V­VIP), kelas Very Impor­tant Person (VI­P), kelas eksekutif, kelas bin­sis, kelas ekonomi, semua berhak mem­peroleh layanan dan ja­minan keamanan yang sama.

Soalnya, musi­bah dan kecelakaan tak mengenal kelas. Ketika Boeing 737 menabrak gedung kembar WTC di New York, penumpang di kelas eko­nomi sama sialnya dengan kelas eksekutif atau bisnis.

Begitu pula ketika Garuda terbakar saat mendarat di Yogya tempo hari, atau ketika Adam Air nyemplung ke pwrairan Sulawesi Selatan. Ketika Kapal Motor Egon kandas di perairan Barito beberapa waktu lalu pun penumpang kelas geladak sama sialnya dengan pe­num­pang kelas I, meski kenyamanan mereka berbeda. Ketika Tampomas II terbakar dan karam di perairan Masalembo, maut tak memilih-milih penumpang kelas mana dahulu yang akan “diambil”.

Tapi ba­gaimana kita bisa mengharap jaminan ke­amanan yang utama jika la­­yanan kenyamanan saja belum kita dapat­kan sesuai dengan ‘kelas’ yang kita ambil? Jika penumpang berstatus ek­se­kutif saja bisa me­nik­mati layanan ketaknyamanan yang sungguh tak selaras dengan ke­las yang didudukinya, apalagi penumpang ke­las “ekonomi.”

Selain mendapat layanan kenyamanan yang sama dengan kambing atau ikan sarden, perlin­dung­an keamanan dan keselamatannya pun sangat alakadarnya. Bahkan ka­dang nyaris tanpa perlindungan sama sekali.

Di pesawat terbang ko­­mersial mungkin kita akan mendapatkannya, tapi hampir pasti tak akan kita peroleh pada moda angkutan darat dan laut. Jika dalam pengelolaan hal angkutan udara kita bisa mengikuti atau mendekati layanan kenyamanan dan keamanan stan­dar seperti yang diberlakukan secara umum di dunia, mengapa pada angkutan darat dan laut tidak?

Boleh jadi, itu sebabnya warga kita cenderung berlomba me­miliki dan menggunakan kendaraan pribadi. Di samping penting un­tuk melengkapi simbol status –agar tidak di kelas “ekonomi” te­rus– juga karena angkutan darat tidak menjanjikan keamanan.

Ada baiknya para wakil rakyat dan para pejabat, se­sekali berada bersama rakyatnya duduk di kelas “ekonomi”. Apakah di ka­pal, di kereta api, atau di bus umum. Tentu saja tanpa mengenakan seragam dan atribut mereka. Coba! (yusran pare – 020102)

** Fotografer Persda Network, Bian Harnansa mengirim foto-foto aktivitas pulang kampung warga ibu kota. Di antaranya, foto “berkelas” yang saya pilih untuk ilustrasi percikan pikiran di bawah ini. Terima kasih, bos Bian.