Posts Tagged ‘Golkar

20
Agu
09

Partai dan Mas Tommy

BANYAK pihak tak menduga Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto tiba-tiba muncul kembali. Kali ini, ia meramaikan perebutan kursi orang pertama di Partai Golongan Karya, partai peninggalan rezim mendiang ayahnya itu sedang dalam proses suksesi.

mastommyKemunculannya di bursa pergantian pemimpin partai beringin itu meramaikan kandidat yang hari-hari belakangan ini disebut-sebut dan dianggap lebih berpeluang, dan tentu saja diikuti kontroversi.

Selain karena pengalamannya di organisasi partai belum terlihat, ia juga dibayang-bayangi status sebagai mantan narapidana dalam kasus pembunuhan terhadap seorang hakim agung.  Namun di luar itu, sesungguhnya tak ada yang luar biasa.

Ini negara bebas. Demokratis, kata orang. Jadi siapa mau jadi apa, ya bebas. Bahkan kemunculan Tommy sempat menyita perhatian, barangkali karena banyak pihak tidak menyangka putra penguasa orde baru yang sudah ditumbangkan itu ‘berani’ tampil lagi.

Keberanian yang –tentu saja– bukan tanpa latar belakang dan dukungan. Sokongan pertama, tentu dari orang-orang partai yang mencalonkannya. Berikutnya, pasti dari jaringan Keluarga Cendana yang sudah terbentuk sedemikian rupa sejak Soeharto berkuasa.

Mungkin saja Tommy sekadar digunakan sebagai kendaraan politik elite yang dekat dengan Soeharto untuk kembali berkuasa dengan cara ikut dalam prosesi partai yang pernah berpengaruh itu.

Namun bisa pula Tommy sendiri muncul tanpa membawa pesan tertentu, melainkan semata mewarnai kebebasan dan demokrasi karena siapa pun boleh mencalonkan diri jadi apa saja. Bahkan kalau perlu langsung mendirikan dan memimpin partai.

Dalam hal peluang, mungkin masih tipis. Setidaknya masih ada tokoh yang kiprah kepartaiannya sudah jelas seperti Aburizal Bakrie dan Surya Paloh, atau tokoh muda seperti Ferry Mursyidan dan Yuddy Chrinandi. Belum lagi ketentuan internal partai, yang mungkin saja tidak bisa mengakomodasi kiprah ‘orang baru’ seperti Tommy.

Sangat  boleh jadi, sebagaimana dikemukiakan pengamat politik, bahwa hasrat Tommy Soeharto menjadi ketua umum DPP Partai Golkar merupakan langkah awal atau ancang-ancang untuk ikut larut dalam kegiatan politik di kemudian hari. Bisa saja dia mempersiapkan diri atau dipersiapkan untuk meramaikan pemilihan presiden di masa berikutnya.

Sebagai anak mantan penguasa, wajar dia punya ketertarikan terhadap kerja politik. Fenomena itu juga berlaku bagi keluarga- elite politik lainnya. Apakah target Tommy hanya ingin menjadi ketua umum atau menjadi calon presiden. Insting itu sama dengan yang dimiliki keluarga elite politik lainnya, termasuk keluarga Bung Karno yang sejak dini sudah menyiapkan Puan Maharani.

Ketertarikan Tommy untuk menjadi orang pertama di Partai Golkar tampaknya didasari alasan yang realistis. Selain sebagai partai yang amat loyal pada mendiang ayahnya, Golkar adalah satu-satunya partai yang sejauh ini memiliki infrastruktur, jaringan paling solid dan masif sampai ke daerah terpencil. Meski suara Golkar cenderung turun, namun tidak sulit untuk menjalankan mesin politiknya.

Terlepas apakah Tommy akan bisa masuk ke dalam kancah pemilihan Ketua Umum Partai Golkar atau sekadar penggembira, yang pantas disesalkan adalah jika pencalonan pemimpin bangsa masih dikaitkan dengan latar belakang orangtua dan seberapa besar pengaruh atau seberapa besar hartanya.

Gejala itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih sulit menemukan sosok pemimpin yang benar-benar memiliki kemampuan dari dirinya sendiri. Inilah pekerjaan besar yang seharusnya diambil alih oleh partai yang ada sekarang ini, yakni bagaimana menyiapkan kader terbaiknya ke depan menjadi pemimpin bangsa. Itu penting, karena rakyatlah yang menentukan pemimpin mereka nanti.

29
Jan
09

Adu Siasat Berebut Suara

suaradiam

PERHATIAN para peminat politik di tanah air sejenak berpaling ke Solo, Jawa Tengah tempat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) melakukan Rapat Kerja Nasional. Kegiatan itu sebenarnya biasa-biasa saja dan sangat wajar dilakukan sebuah partai politik, apalagi menjelang pesta demokrasi.

Namun karena PDIP merupakan partai besar dan berpengaruh dalam konstelasi politik di tanah air, apapun hasil rapat kerja itu akan turut mengubah, bahkan menentukan perimbangan dan kalkulasi politik menjelang pemilu.

Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDIP merupakan calon presiden dari partai itu. Namun karena bangunan dan tata laku politik kita tak memungkinkan seseorang maju sendiri hanya atas dasar dukungan partainya. Makanya, hasil raker partai itu –yang antara lain merekomendasi tokoh mana saja yang akan mendampingi Megawati– menjadi penting. Pasalnya menyangkut partai lain dan basis massanya, yang berarti akan menentukan hasil pemilu.

Dengan menggandeng figur tertentu dari partai atau organisasi massa tertentu, diharapkan parpol itu –juga setelah berkoalisi– bisa menangguk suara cukup signifikan yang akan menentukan langkah berikutnya di pemilihan presiden.

Hal seperti ini galib saja dalam dunia politik, apalagi di Tanah Air kita yang para politisinya masih belajar berdemokrasi secara dewasa. Koalisi memungkinkan memadukan dan menggabungkan kekuatan serta keunggulan masing-masing, di sana juga terjadi konsesi- konsesi dan berbagai kompromi.

Jika dicermati secara logika normal, bisa saja terasa terbolak- balik. Yang semula kawan, bisa mendadak jadi lawan. Demikian sebaliknnya. Pelajaran dari dua pemilu sebelumnya (1999 dan 2004) bisa memberi gambaran cukup nyata mengenai wajah asli dan perilaku politik para politisi kita.

Pada Pemilu 1999, misalnya. PDIP menang telak, tapi yang jadi presiden malah Gus Dur. Belakangan, Gus Dur justru digusur oleh kekuatan yang semula mendukungnya menggeser Mega dari singgasana. Pada Pemilu 2004, Partai Golkar menang, tidak bisa menempatkan orangnya sebagai kepala negara.

Banyak pengamat memperkirakan hadirnya kekuatan nasionalis- religius masih akan mewarnai panggung politik kita. Paduan nasionalis-religius memang tak lepas dari fakta historis yang hingga kini masih terus berlanjut dan menjadi patron para politisi kita.

Namun perdebatan dari ideologi nasionalis-religius itu akhir- akhir ini kehilangan roh. Tak heran kalau kita tak menemukan nilai-nilai religiusitas ataupun nasionalisme dalam arti yang sesungguhnya di kalangan para politisi.

Buktinya, korupsi jalan terus, komunikasi politik sarat dengan bagi-bagi kursi, kelicikan dan intoleransi. Politik jadi penuh nafsu dan ambisi, bukan lagi sarana untuk ibadah atau perwujudan patriotisme.

Kalau pun tokoh nasionalis dan tokoh agama kemudian bergabung, bukan lagi dilandasi persamaan cita-cita untuk menyejahterakan bangsa, tetapi lebih sebagai lokomotif yang akan menarik gerbong massa menuju puncak kekuasaan.

Tampilnya pasangan capres-cawapres dengan embel-embel nasionalis, religius, maupun citra kearifan kekuasaan tradisional, membuktikan politisi kita masih terkurung dalam pusaran sejarah masa silam.

Memang tokoh berbasis massa akan jadi modal pada kemenangan pemilu. Tapi tak sedikit juga pemilih – umumnya swing voters – mendambakan tokoh baru, pemimpin baru yang memiliki visi jauh tanpa mengandalkan merek masa lalu.

Pengalaman pemilu sebelumnya menunjukkan, pengaruh dari pemilih yang tidak memberikan suara pada pemilu legislatif, ternyata cukup signifikan dalam menentukan siapa yang kemudian jadi pemenang dalam pilpres.

Prediksi ‘suara diam’ dalam pemilu kali ini akan jauh lebih besar lagi. Jadi, daripada rumit-rumit beradu argumen dan tawar menawar tentang siapa jadi apa nanti, lebih baik jalani dulu proses politik secara normal. Pelajari pengalaman dari pemilu-pemilu sebelumnya.

Bukankah pengalaman adalah guru terbaik? **

14
Apr
08

Kejutan 13 April

BANYAK pihak terkejut melihat hasil (sementara) penghitungan cepat (quick count) empat lembaga survei terhadap hasil Pemilihan Gubernur Jabar 2008, Minggu (13/4), membukukan kemenangan untuk pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf yang diusung PKS-PAN.

Keempat lembaga itu adalah Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dipimpin Dr Denny JA, Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dipimpin Dr Saiful Mujani, Litbang Kompas, dan Pusat Studi Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis).

Pilgub Jabar 2008 diikuti lebih kurang 27,9 juta pemilih sesuai dengan daftar pemilih tetap dari sekitar 42 juta penduduk Jabar. Penghitungan resmi oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jabar dimulai kemarin, dan diperkirakan tuntas sepekan ke depan.

Yang menarik dari perhitungan cepat ke-4 lembaga itu, akhir perhitungan dengan metode berbeda, jumlah sampel TPS yang tidak sama, margin perbedaan hasilnya tidak terpaut jauh. LSI-nya Denny JA, misalnya, mencatat pasangan Hade meraup 39,97 persen.

LSI-nya Saiful Mujani mencatat 39,46 persen. Litbang Kompas menyatakan pasangan Hade membukukan 40,37 persen. Adapun Puskaptis melansir angka kemenangan 41,74 persen untuk pasangan yang uniknya kemarin tidak ikut mencoblos karena tak punya hak pilih di Jabar.

Da’i Center tadi malam sekitar pukul 21.00 merilis penghitungan versi mereka dengan hasil kemenangan tipis untuk Danny-Iwan atas Agum-Nu’man. Pasangan Da’i meraih 36,66 persen, Aman 36,40 persen, dan pasangan Hade jeblok di angka 27,20 persen.

KPU Jabar pada pukul 20.45 merilis hasil sementara rekapitulasi suara dari daerah-daerah dengan keunggulan untuk pasangan Hade. Dari 358.201 suara yang masuk, Hade mengumpulkan 140.435 (39,21 persen) suara. Disusul pasangan Agum-Nu’man dengan raihan 112.033 (31,28 persen) suara. Danny-Iwan meraup 105.735 (29,52 persen) suara. Jumlah ini akan terus berubah sesuai dengan pertambahan suara yang masuk dari daerah-daerah.

Para kandidat gubernur pascapengumuman hasil perhitungan cepat kemarin memberikan komentar beragam. Ada yang pesimistis dan sinis dengan hasil penghitungan cepat, ada yang datar-datar saja, dan ada yang optimistis hasil penghitungan cepat takkan berubah.

Pengamat politik dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Darmawan melihatnya sebagai hal yang fenomenal. Menurutnya, kemenangan Hade dipengaruhi kecenderungan pemilih tidak melihat pada esensi visi misi yang disampaikan para kandidat pada saat kampanye.

Visi misi terlalu abstrak bagi para konstituen untuk melakukan penilaiannya. Bahkan mungkin juga publik tidak begitu paham akan visi misi calon. Kemenangan Hade juga dipengaruhi pilihan segmentasi politik dari generasi muda, ibu-ibu, kalangan kampus, kaum intelektual, pendidik, dan masyarakat menengah perkotaan.

Selain itu, bola liar sekitar 9 jutaan pemilih pemula (usia 17 sd 25 tahun) banyak menjatuhkan pilihan pada Hade. Dede Yusuf, yang memiliki ketampanan dan popularitas, menjadi faktor penentu pilihan kaum muda. Meski diakui bahwa Hade hanya didukung oleh dua partai (PAN dan PKS), infrastuktur politik PKS dan juga popularitas Dede Yusuf cukup menjadi daya tawar politik.

Seperti yang dialami oleh Rano Karno, popularitas Dede Yusuf yang muncul dari kalangan selebriti ternyata mampu membius para konstituen khususnya pemilih pemula dan kaum perempuan (muda). Jika di California, AS, seorang aktor Arnold Schwarzenegger menjadi gubernurnya, maka Jabar sebentar lagi memiliki wagub yang juga aktor, Dede Yusuf.

Becermin dari kemenangan Hade, pilgub Jawa Barat telah mengindikasikan bahwa rakyat adalah sentral bagi kedaulatan. Rakyat merupakan bagian penting dalam proses berdemokrasi. Dengan demikian, setidaknya kesadaran berdemokrasi masyarakat Jabar pada umumnya telah sedang memasuki tahap kemandirian (kematangan).

Setidaknya, dengan bermodalkan dana yang tidak begitu besar, pasangan ini bisa meyakinkan publik bahwa tanpa iming-iming, amang-amang, dan omong-omong, Hade telah meluluhkan hati sebagian besar rakyat Jabar untuk memilihnya.

Sesuai dengan jargon politiknya “Harapan Baru Masyarakat Jabar”, semoga Hade menjadi figur-figur yang tumbuh dan besar dari dan bersama rakyat. Mereka mesti tahu dan paham kebutuhan, keinginan, kegalauan, dan berbagai masalah rakyat Jawa Barat. (*)