

“Anak-anak Bukit” di sekolahnya ketika ditengok para petiggi Kabupaten Balangan (kiri). Anak bukit adalah sebutan bagi anak-anak Dayak Meratus. Dengan jalan seperti ini sepanjang hampir 7 kilo, Hampang bisa ditembus sekitar satu jam dari Halong (Kanan) — foto: anjar wulandari/B.Post
HALONG adalah sebuah kecamatan di ujung utara Kalimantan Selatan. Letaknya di lereng selatan Pegunungan Meratus. Mendaki lagi ke dinding lereng kira-kira tujuh kilo meter, terdapat sebuah kampung bernama Hampang.
Kampung ini boleh dibilang merupakan “benteng” terakhir komunitas Dayak di Pegunungan Meratus saat berhadapan dengan gemuruh pembangunan sosial ekonomi dan politik.
Hampang bias ditempuh kira-kira satu jam perjalanan berkendaraan roda empat (harus dobel gardan!!) dari Halong. Menuju Halong dari Paringin –ibukota Kabupaten Balangan, Kalsel— kita diajak menerobos hutan karet selama kurang lebih satu jam juga. Sedangkan Paringin, biasa ditempuh antara 4-5 jam dari Banjarmasin.
Rabu 29 April 2008 lalu, berlangsung peringatan HUT ke-5 Kabupaten Balangan, sekaligus peringatan Hari Pers Nasional tingkat Porvinsi Kalsel. Ya, baru lima tahun lalu wilayah ini memisahkan diri dari induknya, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU).
Nah, pada kesempatan itu para pejabat dan undangan dari “pusat” pemerintahan diajak menengok Hampang, sekaligus diajak merasakan betapa beratnya jalan yang harus ditempuh warga setempat sekadar –misalnya- untuk turun memporelh bahan bakar dan kebutuhan sehari-hari.
Sejak tahun 2007, Pemkab Balangan membangun enam sekolah dasar (SD) kecil. Salah satunya SD kecil di Desa Hampang. “Gedung” SD itu berupa bangunan kayu memanjang sekitar 2×6 meter persegi, terdiri atas dua kelas, kelas satu dan kelas dua.
Untuk keperluan belajar ada sejumlah meja dan kursi kayu serta papan tulis ukuran 1×1,5 meter persegi. Saat ini ada 20 siswa kelas satu dan 25 siswa kelas dua.
Mendirikan bangunan sekolah dasar (SD) kecil di daerah terpencil yang masuk kawasan Pegunungan Meratus seperti di Kecamatan Halong mungkin bagi pemerintah sekadar kebijakan di bidang pendidikan. Tapi bagi anak-anak Suku Dayak yang tinggal di daerah perbukitan terpencil, hal itu sangat berarti.
Mereka dapat mengecap pendidikan lebih layak. Tidak kepanasan atau kehujanan lagi seperti saat harus belajar di bawah pohon bambu dulu. Jarak yang ditempuh untuk ke sekolah juga lebih dekat.
“Dulu belajarnya di bawah tenda dekat pohon bambu di belakang sekolah. Kalau siang kepanasan, tapi kalau hujan tidak sekolah. Sekarang di kelas, jadi lebih enak belajarnya,” kata Ibis (16) siswa kelas dua SD kecil Hampang.
Sama dengan Ibis, Ulih (14), siswa SD kecil di Libaru Sungkai menyatakan senang dengan gedung sekolah yang baru karena membuat kerasan dan semangat bersekolah. Sebelumnya, ia dan teman-temannya juga harus rela belajar di bawah tenda.
SD kecil Hampang dan SD kecil Libaru Sungkai merupakan dua dari enam SD kecil yang telah dibangun tahun 2007 silam. (jpx-anjar)